BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan daya saing di era perdagangan bebas menjadi salah satu kunci ketahanan industri nasional. Untuk mengukur daya saing industri nasional, salah satu indikator yang dipakai adalah indeks revealed comparative advantages (RCA). Pada perkiraan RCA tahun 2015 dan 2020 yang dihitung berdasarkan perkiraan pertumbuhan industri, ternyata daya saing produk industri Indonesia berada diposisi kelima dibawah negara Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam (liputan6.com, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga, bahkan Thailand yang sedang dalam pemulihan dari kisruh politik. Saat ini banyak perusahaan di Indonesia yang sedang bertarung dalam ketatnya persaingan global. Seperti yang dilansir Sinarmas.com (2015), perusahaan mengaku bahwa globalisasi dan perdagangan bebas membuka terjadinya kompetisi yang semakin ketat. Hal tersebut yang menyebabkan perusahaan berusaha meningkatkan kinerja serta mengoptimalisasi seluruh sumber daya yang ada sesuai dengan hukum yang berlaku dan hak asasi manusia. Perusahaan juga meyakini bahwa perusahaan serta individu di dalamnya akan terus berkembang melalui komitmen sepenuh hati dari karyawan dalam menjalankan tugas mereka, dan keberlanjutan usaha dilakukan melalui kerjasama, komunikasi dan rasa saling memiliki para karyawan sebagai bagian dari sebuah keluarga besar (Sinarmas.com, 2015). Hal tersebut menunjukkan adanya perhatian organisasi terhadap keadaan karyawan dalam organisasi dan dianggap penting sebagai pelaku utama berjalannya organisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan peran serta manajemen organisasi untuk mengelola 1 2 sumber daya manusia yang ada di dalam perusahaan agar perusahaan akan berjalan sesuai dengan visi dan misinya. Sumber daya manusia berperan penting dalam mewujudkan suatu organisasi yang kompetitif. Sumber daya manusia adalah pelaku utama dalam berjalannya sebuah organisasi. Berhasil atau tidaknya suatu organiasi ditentukan sumber daya manusia yang ada di dalam organisasi itu sendiri. Berbagai cara dilakukan manajemen dalam organisasi guna meningkatkan kualitas individu dalam organisasi. Meningkatnya kualitas diharapkan memberikan efek domino kepada kinerja individu, sehingga akan meningkatkan produktivitas suatu organisasi. Produktivitas suatu organisasi tidak akan baik jika karyawan yang notabene sumber daya yang berperan penting dalam suatu organisasi mengalami masalah. Pada dasarnya masalah atau kurang maksimalnya karyawan dalam bekerja berkaitan erat dengan masalah produktivitas karyawan itu sendiri. Salah satu aspek perilaku manusia dalam bekerja yang diketahui berkontribusi penting pada efektivitas dan produktivitas dalam organisasi adalah keterlibatan kerja (Steven, 2007). Sehingga penting bagi organisasi untuk memperhatikan keterlibatan kerja karyawannya. Keterlibatan kerja (job involvement) adalah sejauh mana individu secara psikologis mengidentifikasi pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap bahwa kinerja penting bagi dirinya sendiri (Robbins dan Judge, 2013). Demikian seharusnya perusahaan memiliki karyawan yang mempunyai keterlibatan kerja yang tinggi sehingga efektivitas dan produktivitas organisasi dapat tercapai. Dewasa ini, kenyataannya bahwa tingkat keterlibatan kerja karyawan terhadap perusahaan di Indonesia di nilai masih kurang. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Gallup, sebuah perusahaan konsultasi strategi yang berpengalaman selama 80 tahun, tempat kerja yang benar-benar bisa melibatkan karyawan di dalam kesuksesan perusahaan sangatlah jarang. Hasil risetnya menunjukan, bahwa di seluruh dunia hanya ada 13% karyawan yang 3 benar-benar ikut serta dalam apa yang mereka kerjakan. Mereka adalah yang intens terlibat, antusias, dan berkomitmen terhadap pekerjaannya serta untuk perusahaan tempatnya bekerja. Sisanya, 87% karyawan tidak terlibat langsung atau acuh tak acuh kepada perusahaan, atau lebih buruknya lagi secara sengaja tidak ingin terlibat dan berpotensi “memusuhi” terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka (pikiran-rakyat.com, 2015). Hasil riset Gallup tersebut juga menunjukkan hanya 8% karyawan di Indonesia yang benar-benar memiliki level keterlibatan yang tinggi, komitmen dan motivasi kuat dengan pekerjaannya. Sisanya, atau 92 % hanya berangkat, mengerjakan tugas, pulang, lalu terima gaji di akhir bulan (strategimanajemen.net, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata karyawan tidak menginvestasikan diri mereka secara emosional dan tidak fokus terhadap perusahaan. Ribuan perusahaan industri di seluruh dunia yang memenuhi kriteria pada penghargaan Gallup Great Workplace, hanya 40 perusahaan atau sama dengan 5 persen perusahaan di dunia yang berhasil mendapatkan apresiasi ini, dan hanya satu perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar 40 perusahaan tebaik. Penilaian ini melalui survei yang melibatkan minimal 1.000 karyawan perusahaan dengan response rate harus 80%. Penghargaan tersebut merupakan apresiasi terhadap perusahaan yang berprestasi di seluruh dunia atas kemampuannya menciptakan keterlibatan karyawan untuk meraih kesuksesan perusahaan (pikiran-rakyat.com, 2015). Hal ini juga menunjukkan bahwa di Indonesia masih banyak perusahaan yang kurang mampu membangun lingkungan kerja yang baik sehingga menyebabkan tingkat keterlibatan kerja karyawan rendah. Setiap perusahaan pastinya mendambakan karyawan dengan keterlibatan kerja yang tinggi. Karyawan dengan keterlibatan kerja yang tinggi sangat peduli dengan pekerjaan yang dilakukannya. Sikap positif yang dimilikinya akan mengarahkan mereka untuk berkontribusi secara positif dalam pekerjaannya. Begitu juga dalam lingkungan yang dinamis dan 4 kompetitif, keterlibatan karyawan memainkan peran yang signifikan dalam kesuksesan suatu organisasi (Hussain dan Saleem, 2014). Menurut Rabinowitz dan Hall (1977), keterlibatan kerja mempunyai hubungan langsung dengan kepuasan kerja dan juga mempengaruhi performa kerja, rasa pencapaian, dan ketidakhadiran yang tidak dijelaskan. Keterlibatan kerja yang tinggi ditemukan memiliki hubungan dengan rendahnya absensi, rendahnya turnover, dan tingginya keterikatan kerja (Robbins dan Coulter, 2012). Sedangkan karyawan dengan keterlibatan kerja yang rendah tentunya akan merugikan perusahaan. Karyawan tersebut dapat menjadi seseorang yang mengalami pengasingan dalam bekerja (work alienaton). Menurut Kanungo (1982), para peneliti menganggap bahwa sikap dari keterlibatan atau pengasingan dalam bekerja mempunyai akibat pada pekerja dan organisasi. Keterlibatan kerja yang rendah saat bekerja dapat berdampak pada perilaku para anggota, seperti potensi turnover dan ketidakhadiran pekerja, perilaku produktif, seperti seberapa besar usaha yang digunakan pada pekerjaan dan tingkat kinerja yang dicapai pada pekerjaan. Dampak lain yang ditimbulkan ketika karyawan mengalami keterlibatan kerja yang rendah adalah pada sikap kerja seperti intensitas dan kualitas kepuasan psikologis yang didapatkan dari berbagai hasil kerja intrinsik dan ekstrinsik. Hal tersebut akan berdampak pada efektivitas secara keseluruhan organisasi yang ditunjukkan oleh keuntungan dan kerugian, angka produktivitas, kehilangan jam kerja, dan dimediasi oleh dampak langsung dari pada perilaku dan sikap pekerja. Mengingat pentingnya keterlibatan kerja karyawan pada suatu organisasi, maka perusahaan juga harus memiliki perhatian lebih terhadap keterlibatan kerja karyawan. Suatu metode manajemen dalam organisasi untuk meningkatkan keterlibatan kerja yaitu dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja (quality of work life) karyawan. Diharapkan dengan meningkatnya kualitas kehidupan kerja dapat meningkatkan keterlibatan kerja karyawan, 5 sehingga akan menambah tingkat produktivitas yang diinginkan oleh organisasi atau perusahaan. Hal tesebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa karyawan yang merasa bahwa kondisi kerja memenuhi harapan mereka lebih memungkinkan untuk menikmati pekerjaan mereka dan dilaporkan memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam pekerjaan mereka, dan akibatnya, lebih memungkinkan untuk menampilkan sikap positif terhadap organisasi mereka. Ketika karyawan menikmati pekerjaan mereka dan merasa senang, mereka lebih cenderung menilai kualitas kehidupan kerja mereka secara positif sehingga cenderung memotivasi mereka untuk lebih terlibat dalam pekerjaan mereka (Ojedokun, Idemudia, dan Desouza, 2015). Menilai persepsi tentang kualitas kehidupan kerja adalah suatu pertimbangan penting dalam meningkatkan keterlibatan kerja karyawan (Ojedokun, dkk, 2015). Karena Kualitas kehidupan kerja berperan penting dalam terciptanya keterlibatan kerja karyawan pada suatu organisasi, penting untuk mengetahui tingkat kualitas kehidupan kerja dan keterlibatan kerja pada karyawan di dalam sebuah organisasi, sehingga organisasi dapat melakukan perlakuan yang tepat bagi kemajuan organisasi. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan keterlibatan kerja pada karyawan pada suatu organisasi. Menarik juga untuk diketahui apakah peningkatan kualitas kehidupan kerja dapat diikuti dengan peningkatan keterlibatan kerja pada karyawan. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan keterlibatan kerja pada karyawan, dan juga mengetahui seberapa besar sumbangan kualitas kehidupan kerja terhadap keterlibatan kerja. 6 C. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai dua manfaat yang diharapkan, antara lain: 1. Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menjelaskan konsep hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan keterlibatan kerja. Selain itu juga untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi industri organisasi. 2. Manfaat praktis penelitian ini adalah dapat memberikan saran atau masukan kepada organisasi dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan kerja dan keterlibatan kerja. Selain itu penelitian ini juga dapat dijadikan landasan atau bahan pertimbangan suatu organisasi dalam memperhatikan kualitas kehidupan kerja dan keterlibatan kerja pada karyawannya.