BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Gerakan petani terkait dengan persoalan tanah tidak hanya terjadi di Indonesia. Di
Philipina misalnya, organisasi gerakan yang dibentuk oleh petani Sumilao dan petani dari
daerah sekitarnya berhasil mendorong pemerintah untuk melaksanakan program reformasi
tanah (Niemela, 2009). Hal yang sama terjadi pula di Banglades. Di negara ini, program
reformasi tanah bisa berhasil karena gerakan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat
sipil di negara tersebut (Islam, 2013: 66-77). Keberhasilan reformasi tanah di Nepal juga
disebabkan oleh gerakan yang dilakukan oleh para pemegang hak, seperti petani marjinal,
buruh tani, penyewa, dan buruh terikat (Adhikari, 2008). Pengalaman di tiga negara tersebut
menunjukkan bahwa petani dan buruh tani memiliki kekuatan untuk melakukan gerakan dan
berhasil ketika mereka membentuk organisasi gerakan.
Di Indonesia, gerakan petani untuk menguasai tanah telah berlangsung sejak zaman
kolonial. Gerakan petani di Indonesia sejak awal memiliki karakter yang bersifat nasional,
baik dari segi orientasi politik, tujuan yang akan dicapai, serta aktivitas organisasinya.
Sejarah gerakan petani di Indonesia, setidaknya dapat dibedakan berdasarkan masa, yaitu
masa Kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan masa Reformasi. Gerakan petani
pada masa kolonial terjadi karena pengambilan tanah secara paksa oleh negara untuk
kepentingan usaha perkebunan. Kebijakan-kebijakan agraria (tanah) pada masa kolonial
telah menempatkan rakyat dalam posisi lemah, sehingga pada saat itu rakyat melakukan
perlawanan atas kebijakan negara tersebut (Rachmawati, 2009:167). Oleh karena itu, ketika
Indonesia memperoleh kemerdekaan, para petani, terutama yang tinggal di kawasan
1
perkebunan melakukan aksi pendudukan tanah perkebunan milik perusahaan asing. Mereka
tidak saja menduduki tanah-tanah perkebunan, namun mereka mendesak pemerintah RI
untuk segera mengambil alih perusahaan-perusahaan asing, serta menghendaki agar
pemerintah segera merombak struktur agraria Belanda dan menyusun undang-undang
agraria yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan (Achdian, 2009:47).
Gerakan petani pada masa Orde Lama lebih berkaitan dengan intervensi partai
politik dimana masalah tanah dijadikan isu kepentingan partai. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kemunculan organisasi petani pertama, yaitu Barisan Tani Indonesia (BTI) yang
bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (Achdian, 2009:37). Berbeda dengan pada
masa Orde Baru, gerakan petani muncul untuk menuntut hak atas tanah yang dikuasai
perusahaan yang berkolaborasi dengan negara. Melalui pemberian HGU dan HPH oleh
negara, perusahaan perkebunan maupun perhutanan baik yang dikelola oleh negara maupun
swasta memperoleh tanah secara legal. Kebijakan negara tersebut berdampak pada
hilangnya akses atas tanah bagi petani. Akibatnya, petani kemudian melakukan gerakan
untuk merebut kembali tanah yang dikuasai oleh perusahaan. Gerakan petani pada masa
Reformasi lebih dicirikan dengan model gerakan reklaiming oleh petani atas tanah yang
dikuasai negara maupun swasta (Mustain, 2016:1).
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru gerakan petani dalam reklaiming tanah
perkebunan maupun kehutanan hampir terjadi di seluruh pelosok tanah air Indonesia.
Menurut catatan Konsursium Pembaruan Agraria (KPA), gerakan reklaiming yang
dilakukan oleh petani, yang kemudian menimbulkan sengketa dengan pihak perusahaan
perkebunan dan kehutanan cukup tinggi. Selama dua tahun (2010-2011) kasus tersebut
mencapai 106 kasus, dan sebagian besar berada pada perkebunan besar, yaitu 59 persen dan
2
kehutanan 22 persen (Nababan, 2012: 79). Untuk wilayah Jawa, gerakan reklaiming juga
terjadi, terutama di daerah kawasan perkebunan besar. Seperti, misalnya, di Malang Selatan
provinsi Jawa Timur petani melakukan reklaiming tanah HGU perkebunan Kalibakar
(Wahyudi, 2005). Di Jawa Tengah gerakan serupa juga terjadi di Batang dan Pekalongan.
Di daerah tersebut petani juga melakukan reklaiming atas tanah HGU perusahaan
perkebunan (Safitri, 2010).
Selain Batang dan Pekalongan, kasus serupa juga terjadi di Cipari, Cilacap, Provinsi
Jawa Tengah. Petani di daerah ini juga melakukan gerakan menuntut hak atas tanah HGU
yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan swasta maupun BUMN. Gerakan petani di Cipari
dilatarbelakangi oleh sengketa panjang antara masyarakat sekitar dengan perusahaan
perkebunan. Gerakan itu muncul karena petani berusaha untuk merebut kembali tanah para
leluhurnya yang dirampas oleh negara untuk kepentingan perusahaan perkebunan.
Perjuangan petani untuk merebut kembali hak atas tanah mengalami proses panjang.
Perjuangan petani telah dimulai sejak tahun 1960-an1. Pada saat itu, masyarakat melakukan
reklaiming atas tanah perkebunan swasta. Namun, gerakan tersebut gagal. Di era Orde Baru,
gerakan serupa berulang lagi dan dimulai
pada tahun 1980-an. Namun, upaya yang
dilakukan petani untuk menguasai lahan tidak berhasil pula. Ketika Indonesia memasuki era
reformasi, yang ditandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru, rakyat kembali melakukan
reklaiming, tepatnya pada tahun 1999. Meluasnya gerakan petani dalam menuntut hak atas
tanah di era reformasi terjadi karena perubahan politik kala itu melahirkan ruang-ruang
kebebasan bagi masyarakat sipil. Saat itu, misalnya dalam laporan Lounela (2002:55), di
sejumlah daerah, banyak organisasi non pemerintah (Ornop) muncul dan mengambil peran
1
Hasil wawancara dengan peneliti LPPSLH Purwokerto pada tanggal 27 Januari 2012.
3
cukup penting dalam membela kepentingan petani, termasuk petani Cipari. Dalam waktu
kurang lebih lima tahun, masyarakat Cipari berhasil menguasai lahan. Tuntutan rakyat tidak
hanya pada hak menguasai lahan melainkan menghendaki redistribusi lahan dengan
sertifikat hak milik2. Melalui proses panjang, gerakan petani Cipari berhasil mendapatkan
hak milik atas tanah secara legal dengan kekuatan hukum berupa sertifikat tanah.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Keberhasilan petani Cipari dalam memperjuangkan hak milik atas tanah tidak
terwujud dalam ruang hampa. Gerakan tersebut berlangsung lama, sejak masa pemerintahan
Orde Lama sampai dengan pasca pemerintahan Orde Baru. Artinya, petani melakukan
gerakan pada situasi politik yang berbeda, sesui dengan rezim yang berkuasa pada saat itu.
Dalam perjuangan panjang yang melelahkan semacam itu, nilai-nilai budaya dan karakter
masyarakat Cipari dapat dikatakan menggerakan energi hingga membuahkan hasil.
Keberhasilan gerakan yang dilakukan oleh petani Cipari merupakan proses yang dinamis.
Proses tersebut melibatkan situasi politik, peran nyata negara, upaya yang dilakukan oleh
petani itu sendiri dalam memobilisasi sumber daya, seperti kepemimpinan formal maupun
informal, kekuatan budaya, serta kekuatan dalam membingkai isu sebagai strategi gerakan.
Oleh sebab itu, menarik kiranya mengkaji lebih lanjut gerakan petani Cipari tersebut dengan
pertanyaan:
1. Bagaimana dinamika gerakan petani Cipari, Cilacap, Jawa Tengah pada masa
Orde Baru dan reformasi dalam memperjuangkan hak atas tanah?
2
Tuntutan redistribusi tanah yang dilakukan oleh petani berkonsekwensi timbulnya konflik antara petani
dengan perusahaan perkebunan. Untuk memahami lebih dalam tentang hal ini, baca: Rizza Kamajaya, 2010.
Transformasi Strategi Gerakan Petani, JPP Fisipol UGM. Yogyakarta, hlm. 9.
4
2. Bagaimana hasil gerakan petani Cipari, Cilacap, Jawa Tengah dalam
memperjuangkan hak atas tanah?
1.3.
Tujuan Penelitian
Mendasarkan pada pertanyaan di atas, penelitian ini bertujuan menjelaskan
terjadinya gerakan petani dalam memperjuangkan hak atas tanah yang dikuasai oleh
perusahaan perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA). Sehubungan gerakan petani dalam
menuntut hak atas tanah berlangsung dalam rentang waktu panjang, maka analisis mengenai
hal itu dibatasi pada kurun waktu sejak masa kekuasaan Orde Baru sampai dengan masa
reformasi. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan dinamika gerakan petani selama kurun
waktu tersebut, serta keberhasilannya dalam memperoleh hak milik atas tanah dalam bentuk
sertifikat.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan pemahaman yang memadai mengenai
gerakan petani dalam memperjuangkan hak atas tanah, baik pada masa kekuasaan Orde Baru
maupun di era reformasi. Pemahaman tentang gerakan petani dalam memperjuangkan hak
atas tanah sampai dengan keberhasilannya dalam sertifikasi tanah ini dipandang penting.
Sebab, studi gerakan petani dalam memperjuangkan tanah, sepengetahuan peneliti, hanya
sampai pada hak menguasai tanah melalui redistribusi tanah, namun belum sampai pada
sertifikasi tanah. Dengan demikian, hasil studi ini bermanfaat bagi perkembangan sosiologi,
utamanya terkait dengan sosiologi gerakan sosial dan sosiologi pertanian/pedesaan. Selain
5
itu, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pijakan maupun informasi awal untuk melakukan
studi serupa di tempat dan waktu berbeda.
1.5. Studi Terdahulu
Studi tentang gerakan petani telah banyak dilakukan oleh para akademisi, seperti
misalnya Hotman Siahaan (1996), Karl J. Pelzer (1991), Jeffery M. Paige (2004), Rohiman
(2004), Mustapit (2011).
Studi yang dilakukan oleh Siahaan (1996), mengajukan dua hipotesis, yaitu (i)
pembangkangan terselubung dalam program TRI sebagai reaksi yang rasional terhadap
hegemoni birokrasi yang gagal mengartikulasikan kepentingan para petani; (ii)
pembangkangan terselubung sebagai upaya mempertahankan batas keamanan subsistensi
petani untuk kelangsungan hidupnya. Dalam menganalisis temuan sekaligus menjawab
hipotesis tersebut, ia menggunakan teori James C. Scott tentang Everiday Form of Peasant
Resistance, dan Samuel Popkin tentang Rational Actors Theory. Studi ini secara teoritis
mengajukan teori pembangkangan terselubung tentang protes sosial atau tindakan kolektif.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pembangkangan terselubung merupakan tindakan
rasional yang dilakukan para petani secara individual, dan bukannya pilihan rasional seperti
diutarakan oleh Popkin. Ini disebabkan, pembangkangan dalam program TRI dilakukan
dalam skala kecil, secara diam-diam, dan informal. Karl J. Pelzer (1991) dalam studinya
menyatakan bahwa, adanya propaganda anti Belgia, anti Inggris, anti Amerika yang
dilancarkan oleh golongan Komunis selama berbulan-bulan di masa Orde Lama, serikat
buruh dan organisasi pemuda mengambil alih tanah-tanah perusahaan perkebunan secara
ilegal dan melanggar hukum. Ini artinya, gerakan yang dilakukan oleh organisasi buruh dan
6
pemuda pada waktu itu bertjuan untuk mendapatkan tanah sebagai alat produksi. Jeffery M.
Paige (2004) dalam studinya menemukan bahwa pemberontakan petani tidak ditentukan
oleh situasi ekonominya, melainkan oleh perilaku politik kelas atas pemilik tanah. Bagi
petani, satu-satunya cara untuk menaikkan posisi mereka yaitu perampasan tanah milik tuan
tanah. Bagi petani, tanah selain memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial-kultural.
Rohiman (2004), dalam studinya menemukan bahwa merebaknya konflik lahan,
yang kemudian memunculkan gerakan petani disebabkan struktur dan sistem sosial tidak
berpihak pada kepentingan rakyat banyak (petani). Artinya, dalam masyarakat terjadi
ketidakadilan dalam soal agraria. Ketidakadilan agraria ini dapat dilihat pada ketimpangan
dalam pemilikan dan penguasaan lahan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria. Oleh
karena itu land reform, distribusi lahan yang harus dikelola secara kolektif menjadi prasyarat
dalam reforma agraria. Reforma agraria ini penting untuk dilaksanakan untuk menciptakan
keadilan dalam masyarakat.
Uraian ini memperjelas, bagaimana asal-usul terjadinya
gerakan petani, baik secara ekonomi maupun politik.
Selanjutnya, studi tentang reklaiming tanah yang dilakukan oleh Hartono (2004).
Dalam studinya ia menemukan bahwa akitivitas masyarakat tepian hutan memanfaatkan
lahan hutan (reklaiming) untuk budidaya tanaman, beternak, maupun kegiatan lain
merupakan gerakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat tepian hutan melakukan
gerakan reklaiming dengan alasan sudah tidak ada lahan lagi bagi mereka untuk
dibudidayakan. Selanjutnya ia menekankan, bahwa gerakan yang bernuansa ekonomi
tersebut bisa berubah menjadi gerakan politik ketika masyarakat dihadapkan pada produk
hukum, misalnya keputusan menteri kehutanan yang melarang masyarakat melakukan
aktivitas di kawasan hutan.
7
Studi yang dilakukan Mustapit (2011) bertujuan untuk mengkaji mekanisme para
pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran
keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya. Penelitian ini menggunakan metode
sejarah sosiologis untuk melihat dinamika warga dan Perum Perhutani dari waktu ke waktu.
Pemilihan metode kasus historis ini karena reklaiming hutan lindung bukan suatu kejadian
sosial pada waktu tertentu saja melainkan merupakan proses sosial dalam rentang waktu
tertentu. Temuan dalam studi ini, yaitu reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi
rakyat mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas,
keadilan, normatif dan sejarah, serta tujuan praktis yaitu terkait nilai ekonomi dan ekologi
dari hutan lindung. Kesimpulan dalam studi ini, bahwa kontestasi merupakan proses yang
bersifat dinamis dari para pihak yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi
kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi
mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor
utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung);
dan relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung degan reklaiming.
Kelima studi terdahulu yang telah dikemukakan di atas, tidak satupun yang
membahas tentang reklaiming atas tanah yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan swasta.
Artinya, studi tersebut berbeda dengan studi ini yang menekankan pada gerakan petani
dalam menuntut hak atas tanah yang selama itu dikuasai oleh perkebunan swasta.
Berdasarkan penelusuran literatur, ditemukan tiga studi yang serupa dengan studi ini.
Pertama, studi yang dilakukan oleh Wahyudi (2005) tentang gerakan reklaiming yang
dilakukan petani terhadap perkebunan Kalibakar, Malang Selatan. Penelitian ini
8
memfokuskan pada formasi dan struktur gerakan petani dalam melakukan reklaiming tanah
perkebunan. Dalam melakukan analisis, ia menggunakan teori perilaku kolektif dari Smelser
untuk menganalisis formasi gerakan, dan teori mobilisasi sumber daya dari Tilly untuk
menganalisis struktur gerakan sosial petani. Kedua teori ini dipilih dengan alasan masingmasing teori saling melengkapi. Jika Smelser tidak menekankan pada kepentingan (interest),
demikian juga Tilly tidak menekankan pada kepercayaan (belief), dimana kedua aspek ini
berperan dalam gerakan sosial petani Kalibakar. Kedua, studi yang dilakukan oleh Safitri
(2010) terhadap gerakan yang dilakukan oleh petani Batang dan Pekalongan. Studi ini
bertujuan menjelaskan gerakan petani dalam memperjuangkan tanah HGU yang dikuasai
perusahaan perkebunan. Penekanan pada studi ini adalah bentuk dan strategi gerakan yang
dilakukan oleh petani dalam menuntut hak atas tanah. Temuan dalam studi ini adalah, pola
dan strategi yang dilakukan oleh petani Batang dan Pekalongan dipengaruhi oleh para aktor
intelektual yang ada di lingkungannya. Dua strategi yang dilakukan petani untuk menguasai
tanah, yaitu menggarap tanah (okupasi tanah) milik perkebunan dan menuntut hak atas tanah
secara formal dengan cara melakukan lobi ke Pemerintah Daerah (Kabupaten/Provinsi) dan
Pemerintah Pusat. Ketiga, Mashud (2007) dalam studinya bertujuan mengkaji konflik antara
petani dan perkebunan Kalibakar dari aspek kesejarahan sosial, khususnya bertalian dengan
masuknya perkebunan ke daerah ini. Aktifitas perkebunan, sejak jaman kolonial Belanda
sampai dengan perolehan HGU perkebunan tahun 1992 telah menjadi sumber konflik. Studi
ini menemukan bahwa gerakan petani muncul dipicu oleh krisis subsistensi. Petani
melakukan gerakan secara massal, terbuka, dan ekspressif melalui aksi reklaiming. Selain
karena faktor krisis subsistensi dan politik, gerakan muncul karena akumulasi kejengkelan
dan kemarahan yang bernuansa deprivasi relatif. Sejarah menunjukkan hubungan penuh
9
ketegangan dan konfliktual memang selalu mewarnai hubungan antara rakyat dan
perkebunan di Indonesia. Hanya karena kuatnya kontrol negara, menyebabkan rakyat tidak
bisa melakukan perlawanan secara terbuka. Teori yang dipergunakan dalam studi ini yaitu
teori moral ekonomi dari James Scott. Teori ini digunakan untuk menjelaskan model
perlawanan, gaya Asia, yaitu suatu gerakan rakyat miskin yang lemah dengan organisasi
tanpa nama (anonim), bersifat non formal, dan perlawanan kecil-kecil.
Memperhatikan studi terdahulu seperti dipaparkan di atas, studi yang dilakukan oleh
Wahyudi, Safitri, dan Mashud sama-sama mengkaji gerakan petani dalam memperjuangkan
hak atas tanah. Perbedaan ketiga studi tersebut dengan studi ini, yaitu, teori yang
dipergunakan sebagai alat analisis, rentang waktu berlangsungnya gerakan petani, serta
keberhasilan gerakan yang dilakukan oleh petani. Penelitian ini mengkaji gerakan petani
dari periode kekuasaan Orde Baru sampai dengan masa reformasi. Sebagai alat analisis,
penelitian ini menggunakan teori McAdam et.al. (1996), tentang struktur kesempatan
politik, struktur mobilisasi dan proses framing.
1.6. Perspektif Teoritis.
1.6.1. Konsep tentang Gerakan Sosial
Tidak ada konsensus di antara para ahli tentang definisi gerakan sosial (social
movement). Masing-masing ahli akan memberikan batasan berbeda sesuai dengan disiplin
ilmu yang ditekuni. Dalam kamus sosiologi (Turner, 2010:521), misalnya, gerakan sosial
mencakup beraneka ragam bentuk aksi bersama yang bertujuan pada reorganisasi sosial.
10
Tujuan gerakan sosial bisa saja luas seperti, pemakzulan pemerintahan yang sedang
berkuasa, atau sempit seperti, pemasangan rambu-rambu lalu lintas di jalan dan sejenisnya.
Tilly (2004:1) memberikan penjelasan bahwa gerakan sosial adalah organisasi
inklusif terdiri dari berbagai kelompok kepentingan. Di dalam gerakan sosial terdiri dari
beragam komponen strata masyarakat, seperti pekerja, kelompok perempuan, mahasiswa,
pemuda dan intelektual. Berbagai kepentingan masyarakat ini akan terikat bersama-sama
oleh keluhan umum, yang berkait dengan kurangnya demokrasi dalam sistem politik
tertentu. Dalam pengertian tersebut, secara implisit Tilly menegaskan keterkaitan antara
gerakan sosial dan proses demokratisasi. Dalam sebuah kekuasaan yang berkarakter diktator
dan atau totalitarian, proses demokratisasi hampir nihil yang oleh sebab itu gerakan sosial
sulit berkembang.
Sementara itu, Porta (2006:20), menyatakan gerakan sosial terdiri dari mekanisme
dimana aktor terlibat dalam aksi kolektif seperti, (i) terlibat dalam hubungan konfliktual
dengan pendukung yang teridentifikasi dengan jelas; (ii) berhubungan dengan jaringan
informal yang padat; dan (iii) kesatuan kolektif berbagai identitas yang berbeda. Dalam
pengertian tersebut, Della Porta menekankan dua hal yaitu aktor dan aksi kolektif. Aktor
dalam gerakan sosial, dengan demikian, subyek pelaku utama yang menjadi penentu gerakan
sosial dan mengelola aksi kolektif. Dalam terminologi pemikiran tentang gerakan sosial,
aksi kolektif menurut Tarrow sebagai contentious collective action, ini merupakan sebuah
aksi bersama yang dipergunakan suatu pihak demi tujuan tertentu. Menurutnya, pihak yang
melakukan aksi semacam itu biasanya tidak memiliki akses cukup terhadap lembaga yang
berwenang dan tindakannya dilakukan demi klaim baru terhadap sesuatu atau yang
11
berlawanan dengan umum. Dalam esensi pemikiran Della Porta dan Tarrow, gerakan sosial
melibatkan aktor, aksi kolektif, dan perlawanan (Situmorang, 2007:5).
Perlawanan dalam aksi gerakan sosial memiliki karakternya sendiri yang khas.
Perlawanan dalam terminologi gerakan sosial bukanlah sebagaimana upaya yang dilakukan
oleh pihak yang tidak berkuasa untuk merebut kekuasaan. Apalagi, gerakan sosial dapat
dianggap sebagai entitas sosial informal dan belum terorganisir yang terlibat dalam konflik
ekstra institusional meski berorientasi pada tujuan tertentu. Meski gerakannya nyata dalam
mencapai tujuan yang ditetapkan namun gerakan sosial bukanlah entitas yang terlembaga
dan terorganisir sebagaimana birokrasi – organisasi formal yang cenderung menjadi
instrumen untuk melanggengkan status quo. Dalam bahasa Paul Wilkinson gerakan sosial
adalah:
…. Upaya yang dilakukan oleh sebuah gerakan sosial adalah
usaha kolektif yang disengaja untuk mempromosikan perubahan
dengan cara apapun, dan tidak termasuk kekerasan, ilegalitas, serta
revolusi. Bagi Wilkinson, sebuah gerakan sosial berkomitmen untuk
melakukan perubahan dan hal itu harus menjadi alasan mendasar bagi
organisasi yang didirikan dengan diikuti oleh kemauan, kesadaran,
komitmen atau keyakinan, dan partisipasi aktif dari para pengikut atau
anggota yang menjadi bagiannya. (Tilly, 1977:42).
Menurut Wilkinson, gerakan sosial harus memperlihatkan upaya pengorganisasian
meskipun dalam bentuk yang longgar dan informal atau terlembaga dan semi birokratis.
Uraian pemikiran Wilkinson menunjukkan bahwa gerakan sosial adalah aksi kolektif demi
sesuatu perubahan. Gerakan semacam itu menjadi kolektif karena perubahan menjadi
komitmen organisasi yang melakukannya dan individu-individu yang ada di dalamnya.
Aksi kolektif tidak begitu saja dapat terwujud menjadi gerakan sosial yang dapat
mewujudkan hasil. Menurut Tilly, aksi kolektif akan menjadi gerakan sosial jika memiliki
lima komponen, yaitu: kepentingan, organisasi, mobilisasi, kesempatan, dan tindakan
12
kolektif itu sendiri. Kepentingan merupakan upaya untuk memperhitungkan untung rugi
yang dihasilkan dari interaksi antar kelompok. Organisasi untuk mempertimbangkan aspek
struktur kelompok yang dipandang dapat langsung mempengaruhi kemampuan untuk
bertindak demi kepentingan yang ingin diraih. Mobilisasi, sebagai sebuah proses dimana
kelompok berusaha memperoleh kontrol kolektif atas sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan tindakan. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa tenaga kerja atau barang
yang dapat digunakan selama melakukan tindakan atas kepentingan bersama. Kesempatan,
menyangkut hubungan antara kelompok dengan lingkungan di sekitarnya. Perubahan dalam
hubungan tersebut kadang-kadang dapat mengancam kepentingan kelompok. Sebaliknya,
kemampuan kelompok untuk membaca situasi dapat memberikan kesempatan baru untuk
bertindak atas kepentingan-kepentingannya. Uraian Tilly tentang kelima komponen tersebut
menunjukkan bahwa sebuah gerakan sosial mestilah disertai dengan aksi kolektif yang
memadai yaitu kemampuan untuk merumuskan kepentingan yang jelas, kemampuan untuk
melakukan pengorganisasian kelompok, kemampuan untuk memobilisasi sumber daya,
kemampuan dalam membaca situasi sekitar, dan kemampuan merumuskan tindakan bersama
yang tepat.
Uraian panjang atas pemikiran Tilly tersebut di atas tampak memperlengkapi
pemikiran Della Porta, Tarrow dan Wilkinson. Gerakan sosial, dengan demikian bukan
hanya persoalan aktor yang terlibat dalam aksi kolektif dan gamang di hadapan situasi yang
menyebabkannya terlibat sebagaimana yang dijelaskan Della Porta dan Tarrow. Gerakan
sosial bukan pula hanya ketegasan komitmen untuk melakukan usaha kolektif demi
perubahan seperti yang diungkapkan Wilkinson. Ujung dari gerakan sosial sebagaimana
dirumuskan oleh Della Porta, Tarrow, dan Wilkinson sangat bergantung kepada kemampuan
13
merumuskan kepentingan, pengorganisasian kelompok, melakukan mobilisasi, memilih
kesempatan, dan pada akhirnya memilih tindakan yang tepat. Kemampuan yang
dimaksudkan oleh Tilly tersebut membuka ruang untuk pengkajian lebih lanjut mengenai
tindakan strategis dalam setiap gerakan sosial yang disertai aksi kolektif.
Neil Fligstein dan McAdam memiliki penjelasan mengenai tindakan strategis yang
berkait dengan gerakan sosial. Menurut mereka tindakan strategis merupakan tatanan sosial
dimana aktor, baik secara individual maupun kolektif, saling berinteraksi dalam satu
pemahaman yang sama tentang tujuan, hubungan, dan aturan-aturan dalam gerakan
(Fligstein, et.al, 2011:3). Mereka kemudian menyimpulkan bahwa gerakan sosial merupakan
tatanan yang muncul (emergent orders) dari sekumpulan organisasi gerakan sosial formal
dan kelompok aktivis yang lebih bersifat informal. Dalam pengertian yang demikian itu,
tindakan strategis sebuah gerakan sosial mestilah mempertimbangkan keberadaan gerakan
itu sendiri (tujuan dan tindakan yang dipilih), aktor-aktor yang terlibat di dalamnya
(hubungan antaraktor), dan upaya untuk memperhitungkan kemungkinan konflik yang
ditimbulkan (aktor maupun kelompok yang memiliki kepentingan berlawanan). Pada titik
inilah, tindakan strategis bukan hanya mampu menciptakan gerakan dan aksi kolektif
melainkan juga melahirkan perilaku kolektif.
Morris dan Herring (1984: 5) menunjukkan bahwa para sosiolog perilaku kolektif
(collective behavior) melihat gerakan sosial sebagai upaya untuk melakukan perubahan
sosial secara non-institusional. Selanjutnya, keduanya menguraikan beberapa pemikiran para
sosiolog perilaku kolektif tentang gerakan sosial. Misalnya, mereka menunjukkan pemikiran
Herbert Blumer yang memandang gerakan sosial sebagai usaha kolektif untuk membangun
sebuah tatanan baru di dalam kehidupan. Kemudian, mereka juga mengurai pemikiran Kurt
14
Lang dan Gladys Engel Lang, yang mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan skala
besar, luas, dan berkelanjutan, untuk mengejar suatu tujuan dan membentuk tatanan sosial di
berbagai aspek. Terakhir, mereka menunjukkan pendapat Ralph Turner dan Lewis Killian
yang mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang berkelanjutan untuk
mempromosikan atau menolak perubahan dalam masyarakat atau kelompok di
mana
mereka menjadi bagiannya. Turner dan Killian menyatakan bahwa sebagai kolektivitas,
gerakan sosial adalah kelompok dengan keanggotaan tak terbatas (indefinite) dan mudah
berubah serta pola kepemimpinan yang posisinya lebih banyak ditentukan oleh respon
informal anggota dari pada prosedur formal untuk melegitimasi otoritas. Berangkat dari
pengertian semacam itu, Turner dan Killian menegaskan bahwa mempelajari gerakan sosial
harus dilihat sebagai fenomena sosiologis karena gerakan sosial itu sendiri merupakan
perilaku kolektif yang unik (sui generis) yang bekerja dengan sifat, proses, dan logika
internalnya sendiri. Gerakan sosial, dengan demikian, tidak dapat dipahami melalui
pendekatan organisasi sosial, norma, dan budaya. Oleh sebab itu, gerakan sosial hanya
muncul melalui pengorganisasian selama gerakan sosial tersebut dilakukan. Apabila gerakan
tersebut sampai pada titik pelembagaan (institutionalized), sejak itu pulalah ia kehilangan
makna sebagai gerakan sosial. Ulasan yang dilakukan oleh Morris dan Herring memang
telah sampai pada persinggungan antara perilaku kolektif dengan tindakan strategis dari
gerakan sosial dalam pemikiran Fligstein dan McAdam di muka dimana tindakan strategis
harus mampu melahirkan perilaku kolektif. Namun demikian, Morris dan Herring tidak
sampai pada penjelasan mengani bentuk dan isi dari perilaku kolektif tersebut.
Untuk memahami kaitan antara gerakan sosial dengan perilaku kolektif, ada baiknya
jika kita simak kembali pemikiran Della Porta. Menurutnya, gerakan sosial merupakan
15
representasi dari keterkaitan antara ide, individu, peristiwa, dan organisasi. Dalam
memahami keterkaitan tersebut, ia menunjukkan adanya empat hal penting yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, perubahan struktural dan transformasi pada pola konflik sosial.
Kedua, peran representasi budaya dalam konflik sosial. Ketiga, proses dimana nilai-nilai,
kepentingan, dan ide dapat hidup di dalam aksi kolektif. Keempat, keterkaitan kondisi sosial,
politik dan budaya dengan gerakan sosial dan keberhasilannya (Porta dan Diani, 2006: 5-6).
Sebagaimana dinyatakan oleh Fligstein dan McAdam di muka, aksi kolektif yang dilakukan
dalam gerakan sosial dapat menebarkan benih konflik. Pada satu sisi, di sinilah titik temu
Fligstein dan McAdam dengan Della Porta dimana gerakan sosial berpotensi menimbulkan
konflik. Pada sisi yang lain, pemikiran Della Porta sendiri makin menegaskan bahwa ide,
individu, peristiwa, dan organisasi (kelompok) dapat menjadi satu dan berkait satu dengan
yang lain dalam perilaku kolektif. Selanjutnya, hal itu menjadi dasar pijak bagi munculnya
perubahan struktural dan transformasi, merepresentasikan budaya, mempersatukan nilai dan
kepentingan, dan mencapai keberhasilan dalam meraih tujuan.
Untuk melihat keberhasilan atau kegagalan suatu gerakan sosial tidaklah mudah.
Paul Burstein (1999) dalam artikelnya Social Movement and Public Policy mencoba melihat
dampak dari gerakan sosial. Menurut dia, ada dua pemikiran dari ilmuwan politik dan
sosiologi tentang konsekwensi gerakan sosial. Di satu sisi, mereka percaya bahwa gerakan
sosial memiliki konsekwensi penting. Dia merujuk pendapat Gamson, bahwa organisasi
gerakan sosial (SMOs), hanya sebagai bagian dari proses politik demokrasi jika mereka
mencapai tujuan dan, dia mengakhiri apa yang mereka kerjakan. Banyak ahli yang tertarik
gerakan sosial, mereka percaya bahwa gerakan memainkan kekuatan penting untuk
perubahan sosial. Namun, disisi lain, ahli sosiologi dan politik percaya bahwa gerakan
16
sosial jarang memiliki dampak. Beberapa argumen bahwa SMOs jarang memiliki dampak
karena demokrasi bekerja begitu buruk, sementara lainya beranggapan bahwa SMOs
memiliki dampak kecil karena demokrasi bekerja dengan baik. SMOs bekerja buruk karena
pemerintah tidak merespon, sehingga tidak demokratis (Burstein, 1999: 3). Meskipun
demikian, Burstein menyatakan bahwa organisasi kepentingan (SMOs) memiliki sedikit dampak
langsung pada tindakan legislatif, ketika mereka dengan jelas menentang dan mengekspresikan
keinginan mayoritas rakyat (Burstein, 1999: 12).
Keterkaitan antara gerakan sosial dengan kebijakan publik juga dikemukakan oleh
Meyer (2003: 1). Menurutnya, isi dan proses pembuatan kebijakan berfungsi baik sebagai
rangsangan dan hasil gerakan sosial. Memahami hubungan ini, bagaimana kebijakan dan
gerakan sosial mempengaruhi satu sama lain, menjadi penting untuk memahami fungsi
politik demokrasi kontemporer dan proses demokrasi secara lebih luas. Dalam artikelnya dia
menawarkan model dialogis dari pengaruh timbal balik protes dan kebijakan, yang
menekankan interaksi upaya aktivis dan proses kebijakan, dan dinamika koalisi politik di
dalam dan di luar lembaga-lembaga politik. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa perubahan
kebijakan, terutama dalam komposisi monopoli kebijakan, berarti medan untuk
memobilisasi gerakan sosial terus bergeser (Meyer, 2003: 14).
Giugni (2009: 468) membedakan antara tiga dampak kebijakan gerakan sosial, yaitu:
efek langsung, efek tidak langsung, dan model efek bersama. Model efek langsung
menyatakan bahwa gerakan dapat memiliki dampak positif pada kebijakan dengan kekuatan
mereka sendiri tanpa adanya dukungan eksternal. Model efek tidak langsung melihat
gerakan memiliki dampak mengikuti proses dua tahap, pertama dengan mempengaruhi
aspek-aspek tertentu dari lingkungan khusus eksternal mereka, aliansi politik dan opini
17
publik, dan kedua, membiarkan untuk mempengaruhi kebijakan. Model efek bersama
menyatakan bahwa dampak gerakan ini akan datang ketika sekutu politik atau opini publik
yang menguntungkan (atau keduanya) menggabungkan dengan mobilisasi gerakan.
Selanjutnya, ia membedakan antara tiga varian model efek bersama, tergantung pada
kombinasi spesifik dari faktor-faktor tersebut. Dampak dari protes atas kebijakan adalah
terbesar ketika aliansi politik dan opini publik membentuk lingkungan yang menguntungkan
bagi terjadinya perubahan kebijakan.
Berdasarkan pada pengertian tentang gerakan sosial serta dampaknya seperti
dipaparkan di atas, maka gerakan petani Cipari dalam menuntut hak atas tanah bisa disebut
sebagai suatu gerakan sosial. Sebab, petani terlibat dalam aksi kolektif, hubungan
konfliktual dengan perkebunan, berhubungan dengan jaringan, serta sebagai kesatuan
kolektif berbagai identitas yang berbeda (Porta, 2006:20). Selain itu, ada nilai-nilai,
kepentingan, dan ide di dalam aksi kolektif, serta adanya keterkaitan kondisi sosial, politik
dan budaya dengan gerakan petani dan keberhasilannya (Porta, dan Diani, 2006: 5-6).
1.6.2. Peta Teori Gerakan Sosial
Teori gerakan sosial mengalami perkembangan pesat pada tahun 1960 an.
Perkembangan ini terus berlangsung hingga memasuki abad ke-21. Munculnya gerakan
sosial baru ditandai mulai dari beragamnya isu-isu yang diangkat hingga kepada pelaku
gerakan itu sendiri. Jika gerakan sosial lama dicirikan oleh gerakan yang dilakukan para
buruh dan petani, gerakan sosial baru melibatkan pelaku yang semakin beragam seperti,
mahasiswa, perempuan, dan kelompok profesional. Perkembangan pelaku dan studi gerakan
18
sosial yang dilakukan para akademisi telah melahirkan sejumlah teori maupun pendekatan.
Berikut ini empat pendekatan untuk memahami gerakan sosial.
Pendekatan Tindakan Kolektif (Collective Behavior). Pendekatan ini melihat bahwa
munculnya gerakan sosial merupakan akibat dari perubahan sosial. Studi Niel Smelser
(1962) tentang teori perilaku kolektif
sering dirujuk ketika menjelaskan pendekatan
Tindakan Kolektif. Menurut dia, sistem masyarakat akan menuju ke arah keseimbangan
melalui kemunculan subsistem-subsistem. Adanya tindakan kolektif mengindikasikan
adanya tegangan yang tidak secara cepat terakomodasi dalam mekanisme keseimbangan
homoestatis. Sementara itu menurut Porta dan Diani (1994: 4), munculnya tindakan kolektif
mempunyai arti ganda. Disatu sisi, merefleksikan ketidakmampuan institusi dan mekanisme
kontrol sosial untuk mereproduksi kohesi sosial. Disisi lain, upaya masyarakat dalam
merespon situasi krisis melalui pengembangan persamaan keyakinan sebagai landasan
solidaritas kolektif.
Cara pandang Tindakan Kolektif sempat menjadi idola dalam melihat gerakan sosial
hingga tahun 1950-an. Cara pandang ini menempatkan fenomena kerumunan (crowds),
gerombolan (mobs), situasi; kepanikan (panic), keranjingan (mania), demam akan sesuatu
(fashion) dan lainnya yang berkenaan dengan bentuk tindakan irasional, sebagai bentuk
tindakan menyimpang (deviance).
Pendekatan Mobilisasi Sumber Daya (Resources Mobilization). Pendekatan
Mobilisasi Sumber Daya melihat tindakan atau mobilisasi kolektif sebagai tindakan rasional.
Pendekatan ini muncul sebagai respon atas sudah tidak memadainya pendekatan Tindakan
Kolektif dalam menjelaskan gerakan sosial. Di tahun 1970-an, banyak akademisi yang
mengkaji gerakan sosial bersimpati dan bahkan terlibat langsung dalam gerakan sosial yang
19
sedang terjadi. Para akademisi dan aktivis itu mulai meninggalkan pandangan tentang
gerakan sosial sebagai patalogi sosial. Mereka mulai menaruh perhatian pada pendekatan
sosiologi tentang aktor yang rasional dan model-model pengorganisasian masyarakat.
Peralihan itu, menurut Godwin et.al (2000: 70), dapat dilihat dari pertanyaan yang diajukan
dalam melihat gerakan sosial. Perpindahan dari pertanyaan motivasi ‘mengapa (why)’
menjadi lebih strategis ‘bagaimana (how)’ dalam mempelajari gerakan sosial. Bagi Polleta
dan Diani (1999:7), pendekatan Mobilisasi Sumber Daya bertujuan mencari jalan baru
dalam melihat gerakan sosial sebagai perluasan dari pengertian bentuk-bentuk tindakan
politik konvensional, bahwasannya tindakan aktor yang terlibat dalam gerakan sosial
dimengerti sebagai tindakan rasional, berdasarkan kepentingan aktor; organisasi dan gerakan
para penggiatnya (entrepreneurs) memainkan peran penting dalam memobilisasi sumber
daya kolektif dimana gerakan berlangsung. Memperhatikan pernyataan di atas, gerakan
sosial dalam pengertian pendekatan Mobilisasi Sumber Daya tidak ada bedanya dengan
pengertian tentang politik pada umumnya dalam arti pemahaman politik masyarakat
modern.
Para pencetus pendekatan Mobilisasi Sumber Daya, yakni Mayer Zald, Anthonny
Oberschall dan Charles Tilly menformulasikan tindakan kolektif sebagai tindakan yang
rasional, bertujuan dan terorganisir (Porta dan Diani, 1999: 8). Menurut pendekatan ini,
tindakan protes berakar pada perhitungan untung-rugi (cost and benefit). Kalkulasi itu
tergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh si pemrotes. Pendekatan ini menaruh
perhatian pada perubahan dari perasaan tidak puas menjadi sebuah mobilisasi gerakan.
Melihat perubahan itu dengan cara memperhatikan sumber daya material (tenaga, uang,
keuntungan konkret, dan jasa) dan sumber non-material (otoritas, sikap moral, keyakinan
20
dan persahabatan) yang dimiliki oleh individu atau kelompok yang sedang melakukan
gerakan sosial. Charles Tilly (1978) memformulasikan model untuk melihat gerakan sosial
dengan nama ‘model mobilisasi.’ Model ini melihat tindakan kolektif dalam beberapa
variabel seperti, fungsi kepentingan, organisasi, mobilisasi sumber daya, kekuasaan, tekanan
politik dan kesempatan untuk melakukan gerakan. Beberapa variabel itu digambarkan
sebagai sifat-sifat ‘struktural’ yang terpisah dari perasaan dan keyakinan individual (Jasper
dan Poletta, 2000: 70).
Pendekatan Proses Politik (Political Process). Pendekatan ini tak jauh beda dengan
pendekatan Mobilisasi Sumber Daya. Pendekatan Proses Politik melihat aktor yang terlibat
dalam gerakan sosial sebagai individu yang melakukan tindakan rasional. Gagasan utama
pendekatan ini adalah struktur kesempatan politik (political opportunity structure). Sydney
Tarrow (1983: 28; 1989: 35) membangun kerangka teori untuk mengintegrasikan beberapa
variabel dalam melihat gerakan sosial dengan menggunakan pendekatan Proses Politik.
Variabel-variabel itu adalah; derajat keterbukaan dan ketertutupan akses politik formal,
derajat stabilitas dan instabilitas keberpihakan (alignment) kekuasaan, ketersediaan aliansi
(sekutu) untuk menyusun strategi gerakan dan derajat potensi konflik antara para elite dan di
dalam elite (Porta dan Diani, 1999: 10).
Di dalam pendekatan Proses Politik, muncul pendekatan alternatif bernama
pendekatan Instrumental. Pendekatan ini masih dalam kerangka Mobilisasi Sumber Daya
dan Proses Politik. Pendekatan ini bersumber pada gagasan tentang pembebasan kognisi
(cognitive liberation), karena pendekatan Mobilisasi Sumber Daya mengesampingkan isu
tentang keluhan-keluhan (grievance) yang muncul dalam gerakan sosial (Doug McAdam,
21
1982: 49). Gagasan ini ditujukan untuk menyerap proses politik, dimana individu menyakini
protes yang muncul di masyarakat. McAdam menulis:
“mengubah respon seorang anggota masyarakat untuk menjadi
penentang utama membutuhkan perubahan atas kondisi politik yang
sedang berlangsung agar menjadi seperangkat ‘isyarat kognitif
(cognitive cue)’ yang bermakna bagi perlawanan, dengan demikian
sistem politik kian rapuh untuk dirobohkan.”
Pendapat McAdam tersebut dianggap tidak kuat. Goodwin (2000:17), menyebut gagasan itu
terlalu bersifat rasional (cognitive). Sebab, pembebasan kognitif menyiratkan melempar
emosi dan menolak adanya kemungkinan lain. Dengan demikian, gagasan pembebasan
kognitif hanyalah sekedar cara untuk mencapai tujuan(instrumental means) guna memahami
informasi yang tersedia tentang kemungkinan bergerak dalam kondisi politik yang menekan.
Pendekatan
Proses Politik hingga dekade 1970 hingga 1990-an sempat
menghegemoni akademisi dan aktivis yang mengkaji tentang gerakan sosial. Pendekatan ini
sangat berkuasa dalam membentuk lanskap konsep, wacana teoritis, dan agenda riset
(Goodwin dan Jasper, 2004:3-4). Hingga di awal dekade 1990-an akhirnya muncul kritik
terhadap pendekatan Proses Politik. Ini ditandai dengan terbitnya buku Comparative
Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structures, and
Cultural Framing (McAdam, et.al., 1996), dan Dynamics of Contention (McAdam, et.al.,
2001). Melalui dua buku itu, muncul pemikiran bahwa mengkaji gerakan sosial tidak bisa
hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Melalui dua buku itu muncul sintesa dalam
mendekati fenomena gerakan sosial, bahwa mengkaji gerakan sosial haruslah berlandaskan
pada tiga hal dalam kesatuan, yakni struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya dan
framing kultural atau isu.
22
Berdasarkan beberapa kritik itu, para akademisi yang menggunakan pendekatan
Proses Politik berupaya memperkaya analisis mereka. Salah satu cara yang mereka gunakan
adalah menyertakan dan mengkombinasikan elemen kultural ke dalam kerangka pendekatan
mereka. Upaya itu sering dikenal dengan pendekatan Mobilisasi Sumber Daya. Pendekatan
ini tak hanya berupa elemen struktural dan elemen kultural semata, namun keduanya
bergerak secara interaktif dalam menjelaskan gerakan sosial. Gagasan itulah yang diajukan
oleh McAdam et.al (1996). Namun demikian, gagasan mereka tetap mendapat tanggapan
dari pemikir lain. Goodwin dan Jasper (2004: 4-5) menyebut bahwa analisis faktor nonstruktural yang dilakukan oleh para pemikir pendekatan Mobilisasi Sumber Daya
sebagaimana halnya mereka menganalisis faktor struktural dalam gerakan sosial. Para
pemikir pendekatan Mobilisasi Sumber Daya, mengabaikan tentang makna, strategi, agensi
dan kultural sehingga lebih seperti faktor-faktor struktural. Upaya
memasukkan
analisis
faktor kultural yang dilakukan pendekatan Mobilisasi Sumber Daya juga mendapat
tanggapan dari Poletta (2004). Menurut dia, ada hal yang membingungkan dalam distingsi
antara ‘kesempatan struktural’ objektif dan ‘pembingkaian kultural’ (cultural framing)
subjektif seperti yang diajukan oleh McAdam (1994), dimana kultur ditempatkan dalam
upaya aktor membingkai isu (framing issue).
Pendekatan Teori Framing (Framing Theory). Secara umum, Teori Framing dapat
dimasukan dalam pendekatan Kulturalis. Pendekatan Kulturalis dalam gerakan sosial
merupakan penolakan terhadap pendekatan strukturalis yang sangat menekankan sumber
daya ekonomi, struktur politik, organisasi formal dan jaringan sosial (social network).
Sementara pendekatan Kulturalis lebih memperhatikan pada interaksionisme simbolik,
23
kerangka isu, identitas, makna dan emosi. Munculnya pendekatan Kulturalis dalam gerakan
sosial merupakan gagasan kembali ke kultur (cultural turn).
Dalam Teori Framing, posisi agensi dan subjektivitas sangatlah ditekankan. Secara
metodologis, pendekatan Framing merupakan pengembangan pendekatan konstruksionis.
Menurut Cristiansen (2011: 147) manusia melakukan framing atas pengalaman dirinya guna
mengatur dan memahami dunia di sekitarnya Dengan melakukan pembingkaian, manusia
akan dimudahkan untuk mengatur dirinya ketika menjalani kehidupan di dunia. Proses
framing akan membantu seseorang dalam menafsirkan dunia berdasarkan posisinya dalam
masyarakat dan berdasarkan pengalaman. Setiap interaksi sosial yang terjadi dipahami
berdasarkan kerangka acuan yang telah ditetapkan sebelumnya dimana manusia
melandaskan persepsi dan definisi situasi ketika berinteraksi dengan manusia lain.
Dalam ranah gerakan sosial, Snow (1986: 464) berupaya mengaitkan dua faktor yang
berbeda dalam menjelaskan gerakan sosial, yakni faktor mikro (sosial psikologi) dan faktor
makro (struktur dan organisasi) melalui elaborasi terhadap proses pembingkaian sekutu
(frame alignment process), yakni sebuah proses dimana sebuah organisasi gerakan sosial
menyampaikan sebuah isu atau orientasi gerakan yang telah ditafsirkan kepada massa atau
individu-individu yang belum dimobilisasi. Disebut isu dapat berupa seperangkat
kepentingan individu, nilai, keyakinan, aktivitas organisasi, tujuan gerakan dan bahkan
ideologi. Pendekatan framing menempatkan pandangan bahwa tindakan aktor merupakan
tindakan rasional dan bergerak dalam realitas yang selalu berubah. Pendekatan ini fokus
pada empat hal yang saling berkait, yakni pembentukan dan penggunaan kerangka isu yang
telah diformulasi; proses framing; kesempatan dan hambatan; dan buah yang didapat dari
proses framing dan proses-proses yang terjadi sesudahnya.
24
Pada perkembangannya, pendekatan framing berinteraksi dengan pendekatan lain
ketika mengamati gerakan sosial. Pendekatan itu, dikemudian hari diperlakukan secara
interaktif oleh para pendukung pendekatan Mobilisasi Sumber Daya. Benford dan Snow
(2000) misalnya, menyebut bahwa proses framing dapat disejajarkan dengan proses
mobilisasi sumber daya dan kesempatan politik ketika melakukan analisis gerakan sosial.
Berdasarkan paparan di atas, setidaknya terlihat bahwa dalam mengamati gerakan
sosial terdapat bermacam pendekatan. Masing-masing pendekatan berupaya mengajukan
analisis yang memadai tentang fenomena gerakan sosial. Dalam perkembangannya, setiap
pendekatan kemudian meminjam pendekatan lain dan diperlakukan secara interaktif guna
mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif ketika mengamati gerakan sosial.
Mengikuti Polleta (1999: 3), pertentangan antara satu pendekatan dengan pendekatan
yang lain tidak semestinya ditempatkan secara kaku. Akan lebih bermanfaat bila perbedaan
pendekatan yang muncul diperlakukan secara mana-suka (arbitrary) demi memperoleh
pemahaman yang lebih memadai ketimbang menerapkan secara kaku hanya satu
pendekatan. Berdasarkan beberapa pustaka, pendekatan Mobilisasi Sumber Daya
menggunakan tiga pendekatan sekaligus dalam satu kesatuan yang bersifat interaktif, yakni
struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya dan teori framing. Namun, masingmasing pemikir yang menggunakan pendekatan Mobilisasi Sumber Daya hanya
menekankan salah satu atau dua fokus dalam menjelaskan fenomena gerakan sosial. Artinya,
tidak terlihat perbedaan berarti jika berpijak pada pemahaman bahwa semua dalam satu
naungan pendekatan, yakni Mobilisasi Sumber Daya.
Memperhatikan keempat perspektif di atas, maka untuk menganalisis dan
menjelaskan gerakan petani Cipari, peneliti beranggapan menggunakan satu perspektif
25
dipandang tidak memadai. Oleh sebab itu, penelitian ini merujuk pemikiran McAdam et.al
(1996), yang mensitesakan tiga teori, yaitu
Struktur Kesempatan Politik (Political
Opportunity Structure: POS), Struktur Mobilisasi (Mobilizing Structure), dan Proses
Framing (Framing Process).
1.6.3. Sintesis Teori Struktur Kesempatan Politik, Struktur Mobilisasi, dan
Proses Framing.
1.6.3.1. Struktur Kesempatan Politik (POS)
POS menjelaskan bahwa gerakan sosial terjadi disebabkan oleh perubahan struktur
politik. Perubahan struktur politik dapat dilihat sebagai kesempatan maupun peluang
(McAdam et.al, 2004: 29). Struktur kesempatan politik mencakup hampir semua aspek
gerakan sosial seperti, budaya, lembaga politik, krisis, aliansi politik, dan perubahan
kebijakan. Para ahli berkeyakinan bahwa kesempatan politik mendorong munculnya gerakan
sosial dari waktu ke waktu. Keyakinan tersebut menunjuk kepada aspek-aspek dinamis
tentang lingkungan politik yang berubah dan memungkinkan atau mendorong munculnya
gerakan (Gamson dan Meyer, 1996: 275). Kesempatan dapat membentuk atau memaksa
gerakan, tetapi gerakan dapat menciptakan kesempatan juga (Gamson dan Meyer, 1996:
276).
Peter Eisinger menyatakan bahwa revolusi terjadi bukan di saat kelompok
masyarakat dalam kondisi tertekan. Melainkan, aksi kolektif semacam itu muncul ketika
suatu sistem politik dan ekonomi tertutup mengalami keterbukaan (Situmorang, 2007: 3).
McAdam dan Tarrow menjelaskan mekanisme POS lebih spesifik. Keduanya menggunakan
sejumlah variabel untuk menjelaskan munculnya sebuah gerakan sosial. Variabel-variabel
dimaksud adalah; (i) terbukanya atau tertutupnya sistem politik yang terlembaga; (ii)
26
stabilitas dan keberpihakan elit yang biasanya mendasari pemerintahan; (iii). kehadiran
sekutu elit; (iv) kapasitas negara dan kecenderungan untuk represi (Buffonge, 2001: 8). Oleh
karena itu, POS selalu berhubungan dengan sumber daya eksternal. Meskipun demikian,
variabel-variabel yang dijelaskan Tarrow memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya adalah
Tarrow hanya menjelaskan POS seperti struktur kelembagaan sistem politik dan kekuasaan
di antara para aktor di dalam sistem politik. Oleh sebab itu, Kriesi menekankan pentingnya
mempertimbangkan faktor-faktor struktur kelembagaan formal, informal, dan strategi yang
dipergunakan oleh pelaku perubahan. Sejalan dengan Kriesi, Brockett (Situmorang, 2007: 6)
mengajukan isu serupa bertalian dengan POS. Ia menekankan sejumlah aspek, seperti akses
kelembagaan bagi para pelaku perubahan, kehadiran sekutu, fragmentasi elite, dan konflik
yang mempergunakan cara represif. Sementara itu Ruch (Situmorang, 2007: 6)
menambahkan sejumlah aspek, seperti akses terhadap partai politik, kapasitas pemerintah
dalam mengimplementasikan kebijakan, dan struktur aliansi.
Di antara ahli gerakan sosial, struktur kesempatan politik sering disebut dengan
istilah proses politik. Teori proses politik ini mirip dengan teori mobilisasi sumberdaya,
dalam beberapa hal. Teori tersebut, misalnya, cenderung menekankan komponen tentang
struktur sosial bagi perkembangan gerakan sosial, yaitu kesempatan politik. Selanjutnya,
teori proses politik berpendapat bahwa ada tiga komponen penting untuk pembentukan
gerakan: kesadaran pemberontak, kekuatan organisasi, dan kesempatan politik. Kesadaran
pemberontak mengacu pada ide-ide tentang kekurangan dan keluhan. Idenya adalah bahwa
individu-individu atau anggota dari masyarakat merasa seperti sedang dianiaya atau
merasakan ketidakadilan dalam sistem sosial. Kesadaran pemberontak adalah rasa kolektif
ketidakadilan bahwa anggota gerakan merasa dan berfungsi sebagai motivator untuk
27
organisasi gerakan. Kesadaran itulah yang selanjutnya menumbuhkan kekuatan organisasi
dan tersuburkan dengan kesempatan politik yang ada. Munculnya dan berkembangnya
gerakan petani secara tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan politik. Artinya, pada saat
kesempatan politik sangat terbatas, bentuk gerakan petani berbeda dibandingkan dengan
pada saat sistem politik mengalami keterbukaan.
1.6.3.2. Struktur Mobilisasi
McAdam, et.al. (1994: 3) mendefinisikan struktur mobilisasi sebagai kendaraan
kolektif baik formal maupun informal. Melalui kendaraan ini masyarakat dapat dimobilisasi
dan berbaur dalam aksi bersama. Struktur mobilisasi menekankan pada jaringan informal,
organisasi gerakan sosial, dan kelompok-kelompok di lapis menengah Menggunakan logika
teori ini, munculnya dan keberhasilan gerakan menuntut hak atas tanah yang dilakukan
petani Cipari dapat dijelaskan dengan teori mobilisasi sumber daya (resources mobilization).
Artinya, bahwa untuk mengatur gerakan sosial itu harus memiliki kepemimpinan yang kuat
dan sumber daya yang cukup.
McAdam menyebutkan bahwa ada hubungan antara
kesempatan, struktur mobilisasi dan proses framing. Oleh karena itu, pentingnya
menghubungkan ketiga faktor tersebut, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih
lengkap tentang dinamika gerakan sosial. Mobilisasi, harus diakui, memang menjadi salah
satu komponen penting yang membawa gerakan sosial petani Cipari kepada hasil
sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, tidak salah kiranya memperhatikan
pemikiran Gamson yang menekankan perlunya untuk menyimak proses kemunculan dan
perkembangan berkelanjutan gerakan sosial itu sendiri.
McCarthy menjelaskan bahwa struktur mobilisasi adalah sejumlah cara kelompok
gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif, termasuk di dalamnya taktik gerakan dan bentuk
28
organisasi gerakan sosial. Struktur mobilisasi juga memasukkan posisi-posisi sosial dalam
kehidupan sehari-hari. Tujuan memasukkan posisi-posisi sosial ini adalah mencari lokasilokasi di dalam masyarakat yang dapat dimobilisasi. Di sini, unit-unit sosial seperti,
keluarga, jaringan pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, tempat kerja, dan bahkan, beberapa
elemen-elemen negara dapat menjadi lokasi-lokasi sosial bagi struktur mobilisasi.
Rekruitmen gerakan yang memanfaatkan posisi-posisi sosial dapat menghasilkan
gerakan sosial yang kuat. Lofland, seperti dikutip oleh McCarthy (2004: 144), menyatakan
bahwa terdapat beragam kelompok organisasi formal yang berdedikasi dalam membentuk
struktur mobilisasi. Kita biasanya mengelompokkannya sebagai organisasi gerakan sosial
seperti, relawan “lokal independen” yang, jika berdasarkan simbol kelompok, mirip
kelompok “akar rumput” dan mungkin merupakan bentuk struktur lokal yang paling khas
dan merupakan bentuk pengelompokan di masyarakat lapisan bawah.
Salah satu komponen teori struktur mobilisai dalam gerakan sosial adalah teori
mobilisasi sumber daya. Teori ini menekankan pentingnya sumber daya dalam
pengembangan dan keberhasilan gerakan sosial. Sumber daya di sini meliputi pengetahuan,
uang, media, tenaga kerja, solidaritas, legitimasi, dan dukungan internal dan eksternal dari
elite kekuasaan. Teori ini berpendapat bahwa gerakan sosial berkembang ketika individu
dengan keluhan dapat memobilisasi sumber daya yang cukup untuk mengambil tindakan.
Jenkins, secara khusus menguraikan lima kriteria di mana gerakan sosial dapat melakukan
mobilisasi sumber daya (Frank, 2012: 45-46). Pertama, aksi gerakan adalah rasional, reaksi
adaptif terhadap biaya dan manfaat untuk tindakan yang berbeda. Kedua, tujuan dasar dari
tindakan mereka berhasil dicapai melalui kelembagaan (misalnya, melalui proses politik
seperti lobi, membantu kampanye politik, menantang hukum melalui pengadilan). Ketiga,
29
organisasi kelompok dan peluang untuk tindakan kolektif merupakan faktor utama dalam
keberhasilan gerakan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Keempat, memusatkan pada
organisasi formal yang terstruktur dan efektif dalam memobilisasi sumber daya, dari pada
desentralisasi struktur gerakan informal. Kelima, tujuan, strategi untuk mencapai tujuan dan
potensi keberhasilan gerakan bisa berwujud dan diukur.
Pandangan serupa dikemukakan oleh McCharthy dan Zald (1977: 1212-1241).
Mereka menyatakan, studi tentang gerakan sosial harus menekankan teori sumber daya.
Penekanan tersebut meliputi: (i) agregasi sumber daya (uang dan tenaga kerja); (ii) agregasi
sumber daya memerlukan bentuk organisasi; (ii) untuk memperhitungkan keberhasilan atau
kegagalan gerakan, perlu mempertimbangkan keterlibatan individu dan organisasi dari luar
kolektivitas gerakan sosial; (iv) biaya dan manfaat untuk menjelaskan keterlibatan individu
dan organisasi dalam kegiatan gerakan sosial. Sementara itu, Morris (1984: 49-51)
menyatakan bahwa teori mobilisasi sumber daya dan teori proses politik semestinya juga
menekankan urgensi bahwa gerakan sosial sebagai gerakan yang terorganisir, rasional,
melembaga dan memiliki masa depan politik. Mobilisasi sumber daya, dengan demikian,
meliputi proses pengorganisasian, kepemimpinan, kesempatan politik, dan sifat dari sistem
politik.
Kepemimpinan merupakan faktor integral dalam pengembangan dan kelangsungan
gerakan sosial. Dalam teori mobillisasi sumber daya, para pemimpin memfasilitasi gerakan
sosial dengan mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan, menerapkan strategi dengan
mengurangi biaya kelompok dan memanfaatkan kesempatan untuk tindakan kolektif.
Pemimpin memainkan banyak peran, seperti menumbuhkan ide-ide dasar gerakan,
30
merencanakan metode yang tepat untuk menyebarkan ide-ide, serta membuat dirinya
diterima dan mempengaruhi orang untuk bertindak atas nama kelompok.
Untuk menjadikan catatan, bahwa kesempatan untuk tindakan kolektif tidak
selamanya terbuka. Tantangan bagi gerakan adalah untuk mengidentifikasi dan
memanfaatkan kesempatan dalam melakukan tindakan. Sebagaimana telah dikemukakan
terdahulu, struktur kesempatan politik mengacu pada kondisi dalam sistem politik yang
memungkinkan tindakan kolektif menjadi sukses atau menekannya. Tradisi politik dan
budaya dapat menentukan berbagai fasilitasi, atau sebaliknya, menghasilkan penindasan dari
tindakan kolektif. Lebih besar tingkat tindakan namun kurang kuat organisasinya, semakin
besar kemungkinan akan tertekan. Sebaliknya, keberhasilan gerakan lebih mungkin muncul
ketika tindakan yang berskala kecil diambil dalam sistem politik yang ada dan ketika
organisasi ini lebih terorganisir dan lebih kuat.
1.6.2.3. Proses Framing
Proses framing ini terutama untuk memahami keberhasilan atau kegagalan suatu
gerakan sosial. Seperti halnya dengan kesempatan politik, proses framing tetap sama
pentingnya untuk keberlanjutan gerakan karena melalui proses tersebut itulah aksi kolektif
muncul. Sebuah gerakan sangat bergantung pada pemahaman bersama sejak awal para
pendukungnya atas isu yang menjadi persoalan. Dalam gerakan yang matang, proses
framing memiliki dua fungsi (McAdam, et.all, 2004: 16). Pertama, membentuk kesadaran
dan keputusan strategis pada organisasi gerakan. Kedua, menjadi subjek intens dari
konstestasi antara representasi aktor kolektif yang mewakili gerakan, negara, dan gerakan ke
arah yang sebaliknya.
31
Seperti dikemukakan oleh Snow dan Banford (Situmorang, 2007: 10), keberhasilan
gerakan sosial tergantung pada sejauh mana mereka memenangkan pertempuran atas makna.
Ini bertalian dengan upaya para pelaku perubahan mempengaruhi makna dalam kebijakan
publik. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan gerakan, para pelaku perubahan memiliki
tugas membuat framing masalah-masalah sosial yang dikaitkan dengan ketidakadilan.
Proses framing ini dilakukan dalam upaya untuk meyakinkan kelompok sasaran yang
beragam dan, dengan cara demikian, mereka terdorong untuk melakukan perubahan. James
M. Jasper (2007: 91), menyatakan ada dua komponen dalam proses framing yaitu diagnosis
dan prediksi. Framing diagnosis adalah mendefinisikan masalah dan sumber masalah.
Sedangkan, framing prediksi adalah melakukan identifikasi strategi yang tepat guna
memperjuangkan masalah yang dihadapi. Menurut Zald, ada hal penting yang dapat
memainkan peran dalam membentuk framing. Pertama, kontradiksi budaya dan alur sejarah.
Ia menyatakan bahwa kesempatan politik dan mobilisasi yang tercipta melalui ketegangan
budaya dan kontradiksi yang berlangsung lama dapat menjadi bahan framing. Seperti,
misalnya, keluhan dan ketidakadilan yang menyebabkan terjadinya aksi kolektif. Kedua,
proses framing sebagai aktivitas strategis. Kontradiksi budaya memberikan kesempatan bagi
kader-kader gerakan, seperti pemimpin, anggota, akitivis dan simpatisan untuk melontarkan
isu yang menarik perhatian yang, dengan cara demikian, dapat melahirkan dukungan
kolektif.
Guna mencapai kelompok sasaran, maka dalam membuat framing aktor gerakan
membutuhkan alat berupa media. Pengkontesan framing dapat terjadi dalam interaksi
dengan dan melalui beberapa media seperti, media cetak, media elektronik, buku, pamflet
dan sejenisnya. Para aktivis gerakan sosial bisa memanfaatkan warung kopi, café dan tempat
32
pertemuan sebagai media berdiskusi guna mensosialisasikan isu agar masyarakat
berkeinginan dan mau terlibat dalam gerakan sosial. Mekanisme framing semacam itu,
sering disebut berkait dengan budaya. Penekanan baru pada teori dewasa ini adalah
memahami gerakan sosial melalui budaya mereka, seperti kepercayaan kolektif, ideologi,
nilai-nilai dan makna. Proses framing, dengan demikian, adalah eksplorasi ke dalam
identitas dan tindakan kolektif dari gerakan dan organisasi gerakan.
1.6.4. Kerangka Berpikir Penelitian
Berdasarkan kajian teoritis di muka, studi terhadap gerakan petani Cipari dapat
dijelaskan dengan teori struktur kesempatan politik, struktur mobilisasi, dan proses framing
(McAdam, et.all, 2006). Alasannya, gerakan sosial yang dilakukan oleh warga masyarakat
Cipari berlangsung dalam periode kekuasaan yang berbeda yaitu Orde Lama, Orde Baru,
dan berakhir pada tahun 2010 di Era Reformasi. Di setiap periode kekuasaan tentu saja
lingkungan politik yang berkembang tidak selalu sama sehingga akan mempengaruhi
perkembangan suatu gerakan sosial. Di sinilah struktur kesempatan politik menjadi penting
untuk melihat perkembangan gerakan petani tersebut.
Secara kronologis, petani Cipari sudah menguasai tanah melalui proses trukah.
Namun, dalam perkembangannya, petani Cipari menjadi tidak mempunyai kedaulatan dalam
penguasaan tanah. Sebab, tanah milik warga dirampas oleh negara untuk kepentingan
perkebunan. Para petani yang merasa memiliki bukti kepemilikan mulai melakukan gerakan.
Di sinilah awal mula munculnya gerakan petani.
Di setiap periode kekuasaan (Orde Lama, Orde Baru, Reformasi) kesempatan politik
tidaklah sama. Oleh sebab itu, dalam memobilisasi sumber daya dan pembingkaian isu
33
mengalami perubahan, menyesuaikan lingkungan politik yang berkembang dimana gerakan
itu berlangsung. Secara politis, petani Cipari telah melakukan berbagai upaya, baik pada
tingkat lokal (Pemerintahan Desa, Kabupaten, dan DPRD) maupun nasional (Badan
Pertanahan Nasional) untuk memperoleh kembali hak atas tanah.
Gerakan petani Cipari juga melakukan mobilisasi melalui pengumpulan sumber daya
dan pengembangan jaringan. Jaringan yang terjalin dalam gerakan petani Cipari terus
mengalami proses elastisitas yang dinamis. Di awal-awal, gerakan petani seiring dengan
gerakan organisasi Buruh Tani Indonesia. Seiring perkembangan dinamika politik nasional,
peristiwa 1965 dan munculnya rezim Orde Baru, gerakan petani tetap berlangsung meskipun
mengalami pasang surut. Gerakan petani masih dalam kelompok-kelompok kecil dan
bersifat sporadis. Pasca runtuhnya pemerintahan Orba, petani sudah mulai membentuk
organisasi gerakan. Artinya, petani berhasil dalam memobilisasi sumber daya internal. Oleh
sebab itu muncul organisasi petani lokal (OTL) di sejumlah desa. OTL tersebut kemudian
bergabung dan membentuk organisasi bernama SeTAM. OTL kemudian berada dalam
naungan SeTAM, dan mulai terjalin jaringan dengan berbagai pihak. Bentuk jaringan
tersebut dapat bersifat strategis atau juga bisa bersifat taktis semata. Jaringan strategis
misalnya, gerakan petani Cipari kerap menjalin kontak dengan Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Yogyakarta. Sementara jaringan taktis misalnya, mereka menerima upaya advokasi
yang dilakukan oleh Konsursium Pembaruan Agraria (KPA), Rapid Agraria Conflict
Appraisal (RACA) Institute, Rumah Aspirasi Budiman (RAB). Kehadiran organisasi non
pemerintah ini bukan faktor utama yang menyebabkan petani melakukan gerakan. Sebab,
dalam rentang waktu panjang petani melakukan gerakan, menunjukan gerakan petani Cipari
mempunyai militansi yang cukup teruji dalam memperjuangkan tuntutan mereka.
34
Hal yang tidak kalah penting dalam gerakan petani Cipari adalah proses framing.
Petani Cipari mampu menyatukan fokus perhatian kepada isu ketidakadilan, kemiskinan dan
land reform sebagai basis kesadaran mereka untuk membangun dan melakukan gerakan
sosial dalam memperjuangkan hak-haknya atas tanah yang hilang. Secara ringkas, kerangka
berpikir penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram (gambar 1.1).
STRUKTUR
KESEMPATAN
POLITIK
STRUKTUR
MOBILISASI
PROSES
FRAMING
GERAKAN SOSIAL
DAMPAK
GERAKAN
SOSIAL
REDISTRIBUSI TANAH
(SERTIFIKASI)
Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Penelitian
Secara umum, keberhasilan petani Cipari dalam melakukan gerakan untuk
memperjuangkan hak atas tanah miliknya dapat dikaji melalui ketiga teori di atas. Karakter
35
kesempatan politik, struktur mobilisasi, dan proses framing, bisa jadi tampak dalam
keberhasilan tersebut. Keberhasilan warga Cipari membuktikan bahwa keterbukaan sistem
politik tidak begitu saja mendorong berkembangnya gerakan sosial. Sebaliknya, sistem
politik yang represif juga tidak akan dengan mudahnya meniadakan gerakan sosial.
Sementara itu, bukan hanya upaya pembingkaian isu yang menjadi penting, melainkan
strategi gerakan. Hal ini dapat dimengerti karena upaya untuk memperjuangkan hak milik
atas tanah adalah persoalan yang lebih menuntut strategi penyelesaian.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Studi Kasus
(Gerring, 2007: 17). Alasan dipilihnya metode ini dengan pertimbangan, metode kwalitatif
dapat menjelaskan gerakan petani yang berlangsung dalam rentang waktu yang lama serta
dalam iklim politik yang berbeda. Iklim politik yang ada setidaknya akan berpengaruh pada
gerakan petani, khususnya di dalam memobilisasi sumber daya serta pembingkaian budaya
maupun isu. Untuk memahami akan hal itu membutuhan informasi yang dalam, maka
metode kwalitatif dipandang sesuai. Atau, penelitian kualitatif lebih luwes dalam
menghadapi situasi dan realitas sosial yang berubah-ubah. Sedangkan pendekatan studi
kasus dipilih dengan alasan, gerakan petani Cipari berbeda dengan gerakan-gerakan petani
lainnya, khususnya dalam keberhasilannya memperoleh hak milik tanah dengan sertifikat.
Keberhasilan gerakan petani tidak bisa dilepaskan dari nilai budaya, organisasi, dan atau
kelompok sehingga pendekatan studi kasus dianggap tepat. Meskipun kasus Cipari tidak
dapat digunakan untuk generalisasi semua kasus gerakan petani, akan tetapi hasilnya tetap
36
saja penting. Sebab, dengan studi kasus kita dapat memahami secara dalam tentang realitas
yang sesungguhnya mengenai gerakan petani (Tjondronegoro, 1984:289).
1.7.2. Lokasi penelitian
Pada saat peneliti merancang penelitian, kasus gerakan petani dalam menuntut hak
atas tanah terhadap perusahaan perkebunan dan perhutani terjadi di berbagai wilayah Jawa
Tengah. Di Kabupaten Cilacap, kasus serupa terjadi di Cilacap bagian barat yang mencakup
enam kecamatan yaitu Cimanggu, Kawunganten, Sidareja, Wanareja, Gandrungmangu, dan
Cipari sendiri. Di berbagai daerah itu, gerakan petani dalam menuntut hak atas tanah yang
dikuasai perkebunan swasta sebagian belum bisa terselesaikan. Sekalipun ada yang
terselesaikan namun tanah yang diredistribusikan kepada masyarakat sangat kecil.
Sebaliknya, gerakan petani Cipari dalam menuntut hak atas tanah yang dikuasai oleh
perusahaan perkebunan swasta berhasil, sampai pada sertifikasi tanah. Berdasarkan
kenyataan itu, peneliti melacak dokumen dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan
masalah tanah di Cipari. Selain itu, peneliti juga telah mewawancari dan berdiskusi dengan
peneliti LPPSLH Purwokerto yang pernah melakukan advokasi kepada petani Cipari.
Tahap selanjutnya, peneliti melakukan pra penelitian di Cipari dan sekitarnya. Dalam
pra penelitian tersebut ditemukan daerah-daerah dimana pernah terjadi okupasi lahan
perkebuan yang dilakukan oleh penduduk sekitar. Ditemukan pula bahwa di Cipari, okupasi
tanah pernah dilakukan oleh masyarakat dari enam desa. Lima desa (Mekarsari, Sidasari,
Kutasari, Caruy, Karangreja) melakukan okupasi tanah perkebunan PT. Rumpun Sari Antan
(RSA). Sedangkan masyarakat desa Mulyadadi melakukan hal yang sama terhadap tanah
perkebunan PT Djawatie. Masyarakat desa Mulyadadi berhasil menguasai tanah seluas 12
37
hektar.
Untuk lima desa tersebut di atas, dapat menguasai tanah seluas 291 hektar.
Berangkat dari besarnya luas tanah yang dikuasai maka peneliti menetapkan Cipari (lima
desa) sebagai lokasi penelitian.
1.7.3. Subyek penelitian
Gerakan petani Cipari melibatkan sejumlah aktor, yaitu petani, organisasi petani
lokal (OTL), dan SeTAM. Oleh sebab itu, sebagai subyek dalam penelitian ini yaitu petani,
baik secara individu maupun yang tergabung dalam organisasi petani lokal maupun SeTAM.
Sehubungan penelitian ini ditujukan untuk melacak dan mengungkap gerakan petani serta
membutuhkan informasi yang lengkap, maka penelitian ini juga menggunakan informan,
seperti perangkat desa, tokoh masyarakat, staf bagian pertanahan Kabupaten Cilacap, staf
BPN, dan staf perkebunan.
1.7.4. Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara. Di samping
wawancara mendalam, dilakukan pula wawancara secara berkelompok (focus group
interview/FGI). FGI ini dilakukan untuk memperoleh informasi menyeluruh dari beberapa
orang subyek penelitian sekaligus dan dilakukan dalam kelompok terbatas (Creswell,
1994:188). Selain wawancara dan FGI, observasi dilakukan untuk mengetahui secara
langsung tentang tanah perkebunan yang dituntut oleh petani, serta kondisi sosial ekonomi
masyarakat Cipari secara umum. Untuk kelancaran dalam wawancara serta memperoleh
informasi yang akurat digunakan alat perekam suara dan buku catatan. Selain itu, peneliti
38
juga melengkapi data dengan dokumen-dokumen (Yin, 2003:185), yang diperoleh dari
pemerintah tingkat kabupaten sampai dengan desa, organisasi non-pemerintah, panitia
redistribusi tanah, dan dokumen lainnya
1.7.5. Analisis data
Sesuai dengan pendekatan yang dipilih yaitu studi kasus, maka data hasil lapang
dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui tiga langkah (Creswell, 1994:191). Langkah
pertama, data lapang yang diperoleh melalui wawancara disusun dalam bentuk transkrip dan
data dalam transkrip kemudian dipilah berdasarkan subyek penelitian. Setelah itu, membaca
data secara keseluruhan untuk memperoleh pengertian umum (general sense) atas informasi
dan kemudian memaknainya. Selanjutnya, menganalisis lebih jauh dengan mengkoding data
kemudian mengolah informasi menjadi tulisan, kemudian memaknai atau melakukan
interpretasi dalam bentuk narasi.
Analisis data ini dilakukan secara simultan dengan pengumpulan data. Artinya
analisis data dilakukan secara terus menerus (on going) bersamaan dengan pengumpulan
data. Setelah pekerjaan pengumpulan data pada hari pertama berakhir, langsung dilakukan
analisis data. Ini dimaksudkan agar pekerjaan lapang pada hari berikutnya lebih baik dengan
mendasarkan pada analisis data yang telah dilakukan. Proses seperti ini berjalan terus
sampai pada saat data ataupun informasi dianggap cukup oleh peneliti.
39
Download