BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma-Paradigma Ilmu Sosial Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237) 2.1.1. Paradigma Positivisme dan Postpositivisme August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut : pertama, objektif. Teoriteori tentang semesta haruslah bebas nilai. Kedua, fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang teramati. Ketiga, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati. Keempat, naturalisme. Alam semesta adalah objekobjek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam. Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa ini (Bungin, 2008:10). Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model. Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji dengan metode ilmiah. Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14). Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238) Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001: 2.1.2. Paradigma Konstruktivisme Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Dan gagasan itu lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14). Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu: 1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19) 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik 4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial. 6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95) 2.1.3. Paradigma Kritis Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43). Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat. Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6) 2.2. Teori Konstruksi Sosial Realitas Istilah konstruktivisme atau konstruksi atas realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge tahun 1966 (Bungin, 2008:193). Teori konstruksi sosial realitas berpandangan bahwa masyarakat yang memiliki kesamaan budaya akan memiliki pertukaran makna yang berlangsung terus-menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi orang-orang yang memiliki kultur yang sama. Tanda larangan berhenti di jalan, misalnya, memiliki makna yang akan sama bagi setiap orang. Berger dan Luckman menyebut tanda larangan itu memiliki simbol makna objektif karena orang kerap menginterpretasikan secara biasa-biasa saja. Namun, ada beberapa hal lain yang merupakan makna subjektif, hal ini disebut tanda. Dalam konstruksi realitas, mobil adalah lambang (simbol) mobilitas, namun mobil dengan merekmerek tertentu, seperti Cadillac atau Mercedes Benz merupakan tanda kemakmuran atau kesuksesan (Morissan, dkk, 2010:135) . Ketika teori ini diterapkan kepada komunikasi massa, teori ini akan membuat asumsi yang serupa dengan interaksionisme simbolik, yaitu asumsi bahwa khalayak adalah aktif. Khalayak tidak secara pasif mengambil dan menyimpan informasi di dalam laci mereka; mereka secara aktif mengolah informasi, mengubahnya, dan menyimpannya hanya yang mereka butuhkan secara kultural. Mereka aktif bahkan ketika aktifitas ini hanya menguatkan apa yang sudah mereka tahu untuk membuat mereka lebih percaya dan bertindak berdasarkan pandangan mengenai dunia sosial yang dikomunikasikan oleh media kepada mereka. Dengan demikian, media dapat bertindak sebagai cara yang penting bagi lembaga sosial untuk menyiarkan kebudayaan kepada kita (Davis, 2010:384). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Proses dialektika ini, menurut Berger dan Luckmann berlangsung dengan tiga momen simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Eksternalisasi terjadi pada tahp yang mendasar, dalam satu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatanya. Proses ini dimaksud adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar Kedua, tahap objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu. Ketiga, tahap internalisasi, yaitu proses di mana individu mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Dengan demikian, internalisasi dalam arti umum merupakan dasar pemahaman mengenai sesama saya , yaitu pemahaman individu dengan orang lain dan pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial (Bungin, 2011:15). Proses konstruksi realitas prinsipnya adalah setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Karena media massa adalah sebuah institusi yang bertujuan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang disiarkan. Media bertugas menyusun berbagai realitas-realitas yang ditemukannya di lapangan kemudian menyusun realitas tersebut hingga menjadi cerita atau wacana bermakna. Ibnu Hamad dalam bukunya mengatakan bahwa ada tiga tindakan yang biasa dilakukan oleh pekerja media tatkala melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan citra sebuah kekuatan politik. Diantaranya sebagai berikut: Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, namun telah menjadi sifat pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan simbol politik. Apapun simbol yang dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul. Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Karena adanya tuntutan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman (media cetak) atau waktu (media elektronik), jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa secara utuh mulai dari menit pertama hingga menit terakhir. Sehingga terjadi pemilihan fakta untuk ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan. Ketiga, menyediakan ruang atau waktu untuk sebuah peristiwa politik (fungsi agenda setting). Justru jika media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa tersebut akan memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan, maka semakin besar pula perhatian yang diberikan khalayak (Hamad, 2004:16-24). Tabel 1. Kerangka Kerja Teori Studi Liputan Politik PERISTIWA POLITIK (1) Dinamika Internal dan Eksternal Media (2) Sistem Operasi Media Massa (3) Faktor internal: ideologis, idealis Proses Konstruksi Realitas Oleh Media (6) Faktor Eksternal: Pasar, Kenyataan Politik (5) Straegi Media Mengkonstruksi Realitas (4) Fungsi Bahasa Strategi Framing Agenda Setting Teks Berita Politik (8) Makna Dan Citra Partai/Aktor Politik (Hamad, Opini PublikSumber: yang Terbentuk dan2004:5) Perilaku Politik Khalayak Motivasi dan Tujuan si Pembuat Teks (9) Sumber: (Hamad, 2004:5) 2.2. Teori Interaksionisme Simbolik Ide dasar teori interaksionisme simbolik menyatakan bahwa lambang atau simbol kebudayaan dipelajari melalui interaksi, orang memberi makna terhadap segala hal yang akan mengontrol sikap tindak mereka. George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolik ini. Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanyakita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu (Morissan dkk, 2010:126). Dalam perkembangan selanjutnya, teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodelogi, diilhami pandangan filsafat, khususnya behaviorisme. Pada awalnya Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanyalah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik (Santoso, 2010:21). Dalam bukunya tersebut, Mead (1934) berpendapat bahwa kita menggunakan simbol untuk menciptakan pengalaman kita akan pikiran sadar, pemahaman kita akan diri kita sendiri, dan pengetahuan kita akan tatanan dunia sosial yang lebih besar (masyarakat). Dengan perkataan lain, simbol menjembatani dan membentuk seluruh pengalaman kita karena simbol membentuk kemampuan kita untuk merasakan dan menafsirkan apa yang terjadi disekeliling kita. Herbert Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yaitu, meaning (makna), Blumer menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut. Language (bahasa), dijelaskan bahwa makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegoisasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama terhadap suatu objek, tindakan atau sifat. Thought (pemikiran) secara sederhana proses ini menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik (Santoso, 2010:23). Sedangkan untuk penerapan pemikiran interaksionisme simbolik ini terhadap penggunaan media massa adalah sebuah buku yang berjudul Communication and Social Behavior: A Symbolic Interaction Perspective yang ditulis oleh Don F. Faules dan Dennis C. Alexander pada tahun 1978. Mendasarkan analisis mereka pada defenisi komunikasi sebagai “perilaku simbolik yang menghasilkan beragam tingkatan makna bersama dan nilai-nilai di antara partisipan”, mereka menawarkan tiga proposisi dasar atas interaksi simbolik dan komunikasi. Pertama, Penafsiran dan persepsi orang terhadap lingkungan bergantung pada komunikasi. Dengan kata lain, apa yang kita ketahui mengenai dunia kita sebetulnya adalah fungsi dari pengalaman komunikasi kita terdahulu di dunia tersebut. Kedua, Komunikasi dipandu dan memandu konsep diri, peran, dan situasi, dan konsep-konsep ini menciptakan ekspekstasi di dalam serta terhadap lingkungan itu sendiri. Ketiga, komunikasi terdiri dari interaksi rumit yang “melibatkan faktor-faktor tindakan, kesalingtergantungan, pengaruh timbal-balik, makna, hubungan, dan situasi. Faules dan Alexander dengan jelas mengingatkan kita bahwa pemahaman kita mengenai dunia dan posisi kita di dalamnya adalah dibuat oleh diri kita sendiri melalui interaksi dan keterlibatan kita dengan simbolsimbol media (Davis,dkk :2010: 382). 2.4. Analisis Framing Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis, yang diperkenalkan sosiolog intepretatif, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Zamroni, 2009:94). Pada awalnya, analisis framing atau analisis bingkai merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2004:161). Erving Goffman membangun analisis frame untuk memberikan pemahaman sistematis mengenai bagaiman kita menggunakan pengharapan untuk memaknai situasi sehari-hari dan orang-orang yang di dalamnya. Meskipun setuju dengan argumen konstruksionis sosial mengenai perlambangan, Goffman menganggap bahwa hal tersebut terlalu sederhana. Ia berpendapat bahwa kita secara terus-menerus dan sering kali radikal mengubah cara kita mendefenisikan atau melambangkan situasi, tindakan, dan orang lain ketika kita bergerak melalui ruang dan waktu (Davis, 2010:392). Lebih lanjut dikemukakan oleh Eriyanto, (Sobur, 2004:161) analisis framing dipakai untuk mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiringinterpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. Gamson (1989) salah satu dari peneliti framing yang paling produktif menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Goffman mengamati bahwa kebanyakan berita adalah mengenai pelanggaran frame, yang membuat banyak peristiwa jadi bernilai berita. Pemberitaan mulai menyimpang dari kebiasaan “Anjing menggigit manusia”, bukanlah sebuah berita; tetapi “Manusia menggigit Anjing”, adalah berita. Teori framing menantang pemahaman mengenai jurnalisme yang sudah lama diterima dengan pendapat bahwa berita dapat dan harus objektif. Beberapa penelitian framing bahkan membahas mengenai strategi yang digunakan oleh elit politik dan sosial dalam memanipulasi cara jurnalis melakukan framing pada berita sehingga mengaburkan realitas konstektual yang mendasarinya (Davis, 2010:398). Model framing yang Peneliti gunakan dalam menganalisis berita Pemilikada DKI Jakarta ini adalah model Pan dan Kosicki. Model Pan dan Kosicki merupakan modifikasi dari dimensi operasional analisis wacana Van Dijk. Zhongdan Pan dan Gerald Kosicki melalui tulisanya “Framing Analysis: An Approach To News Discourse” mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing : sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Ada dua konsep framing menurut Pan dan Kosicki yaitu Pertama, konsep psikologi yang menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya dan berkaitan dengan struktur dan proses kognitif. Framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam suatu konteks yang unik dan menempatkan elemen-elemen tertentu dari suatu isu dengan lebih menonjol dalam kognisi seseorang. Kedua, konsep sosiologis yang melihat bagaiamana kostruksi sosial atas realitas. Frame di sini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat dimengerti karena sudah diberi label tertentu. (Sobur,2004:175-176). Seperti yang akan di gambarkan pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Perangkat Analisis Framing Pan dan Kosicki Struktur SINTAAKSIS Perangkat Framing 1. Skema berita Unit yang Diamati Judul, lead, latar (cara wartawan informasi, kutipan, menyusun fakta) sumber, pernyataan, penutup SKRIP (Cara wartawan 2. Kelengkapan 5W + 1H berita mengisahkan fakta) TEMATIK 3. Detail (Cara wartawan menulis 4. Maksud kalimat, fakta) Paragraf, proposisi hubungan 5. Nominalisasi antar kalimat 6. Koherensi 7. Bentuk kalimat 8. Kata ganti RETORIS 9. Leksikon Kata (Cara wartawan 10. Grafis gambar/foto, grafik menekankan fakta) 11. Metafor 12. Penandaian idiom,