BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Paradigma-Paradigma Ilmu Sosial
Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan
keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian
sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan
nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana
pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam
sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan
tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah
penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang
apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah
analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau
proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110).
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya,
menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan
Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup
positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma
konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)
2.1.1. Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan
aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan
pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi
oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan
yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus
memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut : pertama, objektif. Teoriteori tentang semesta haruslah bebas nilai.
Kedua, fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta
yang teramati. Ketiga, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta
keras yang dapat diamati. Keempat, naturalisme. Alam semesta adalah objekobjek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam. Positivisme memiliki
pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa
ini (Bungin, 2008:10).
Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia
sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai
model. Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini
positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat
diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji
dengan metode ilmiah. Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang
berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode
ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada
pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa
manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik
(Davis dkk, 2010 :14).
Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh
berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma
klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S.
Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan
kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya
terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga
menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah
cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan
sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari
pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga
berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan
dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001:
2.1.2. Paradigma Konstruktivisme
Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993),
gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam
tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Dan gagasan itu lebih
konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu,
substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa, manusia
adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya,
bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh
Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis;
ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui
apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia
nyata. Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah
realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan realisme
hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang
mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk
konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang
sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai
sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena
terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya.
Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990)
disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).
Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri
bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu:
1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas
itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep
subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada
bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang
mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)
2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media
dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya
sebagai perusuh.
3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita
yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis,
bukan kaidah baku jurnalistik
4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat
dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif
dan pertimbangan subjektif.
5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai
partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa
adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti
keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh
keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan
dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan
dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang
bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)
2.1.3. Paradigma Kritis
Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas
semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik,
budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi
dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).
Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang
kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara
historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6),
pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan
dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal
inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis
konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada
konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan
secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan
berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat. Bahasa juga disini
dianggap bukan sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk
subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada
dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi
wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya
dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu
terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan
berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)
2.2. Teori Konstruksi Sosial Realitas
Istilah konstruktivisme atau konstruksi atas realitas sosial terkenal sejak
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang
berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of
Knowledge tahun 1966 (Bungin, 2008:193).
Teori konstruksi sosial realitas berpandangan bahwa masyarakat yang
memiliki kesamaan budaya akan memiliki pertukaran makna yang berlangsung
terus-menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi
orang-orang yang memiliki kultur yang sama. Tanda larangan berhenti di jalan,
misalnya, memiliki makna yang akan sama bagi setiap orang. Berger dan
Luckman menyebut tanda larangan itu memiliki simbol makna objektif karena
orang kerap menginterpretasikan secara biasa-biasa saja. Namun, ada beberapa hal
lain yang merupakan makna subjektif, hal ini disebut tanda. Dalam konstruksi
realitas, mobil adalah lambang (simbol) mobilitas, namun mobil dengan merekmerek tertentu, seperti Cadillac atau Mercedes Benz merupakan tanda
kemakmuran atau kesuksesan (Morissan, dkk, 2010:135) .
Ketika teori ini diterapkan kepada komunikasi massa, teori ini akan
membuat asumsi yang serupa dengan interaksionisme simbolik, yaitu asumsi
bahwa khalayak adalah aktif. Khalayak tidak secara pasif mengambil dan
menyimpan informasi di dalam laci mereka; mereka secara aktif mengolah
informasi, mengubahnya, dan menyimpannya hanya yang mereka butuhkan secara
kultural. Mereka aktif bahkan ketika aktifitas ini hanya menguatkan apa yang
sudah mereka tahu untuk membuat mereka lebih percaya dan bertindak
berdasarkan pandangan mengenai dunia sosial yang dikomunikasikan oleh media
kepada mereka. Dengan demikian, media dapat bertindak sebagai cara yang
penting bagi lembaga sosial untuk menyiarkan kebudayaan kepada kita (Davis,
2010:384).
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan
melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Proses
dialektika ini, menurut Berger dan Luckmann berlangsung dengan tiga momen
simultan.
Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai
produk manusia. Eksternalisasi terjadi pada tahp yang mendasar, dalam satu pola
perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatanya.
Proses ini dimaksud adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah
bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka
produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk
melihat dunia luar
Kedua, tahap objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
Individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun
individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu.
Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial
yang berkembang di masyarakat
melalui diskursus opini masyarakat tentang
produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta
produk sosial itu.
Ketiga, tahap internalisasi, yaitu proses di mana individu mengidentifikasi dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi
anggotanya. Dengan demikian, internalisasi dalam arti umum merupakan dasar
pemahaman mengenai sesama saya , yaitu pemahaman individu dengan orang lain
dan pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan
sosial (Bungin, 2011:15).
Proses konstruksi realitas prinsipnya adalah setiap upaya “menceritakan”
sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Karena media massa adalah sebuah
institusi yang bertujuan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan
utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang disiarkan.
Media bertugas menyusun berbagai realitas-realitas yang ditemukannya di
lapangan kemudian menyusun realitas tersebut hingga menjadi cerita atau wacana
bermakna.
Ibnu Hamad dalam bukunya mengatakan bahwa ada tiga tindakan yang
biasa dilakukan oleh pekerja media tatkala melakukan konstruksi realitas yang
berujung pada pembentukan citra sebuah kekuatan politik. Diantaranya sebagai
berikut:
Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Sekalipun media massa hanya
bersifat melaporkan, namun telah menjadi sifat pembicaraan politik untuk selalu
memperhitungkan
simbol
politik.
Apapun
simbol
yang
dipilih
akan
mempengaruhi makna yang muncul.
Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Karena
adanya tuntutan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman (media cetak) atau
waktu (media elektronik), jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa
secara utuh mulai dari menit pertama hingga menit terakhir. Sehingga terjadi
pemilihan fakta untuk ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan.
Ketiga, menyediakan ruang atau waktu untuk sebuah peristiwa politik (fungsi
agenda setting). Justru jika media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa
politik, maka peristiwa tersebut akan memperoleh perhatian oleh masyarakat.
Semakin besar tempat yang diberikan, maka semakin besar pula perhatian yang
diberikan khalayak (Hamad, 2004:16-24).
Tabel 1. Kerangka Kerja Teori Studi Liputan Politik
PERISTIWA POLITIK (1)
Dinamika
Internal dan
Eksternal Media (2)
Sistem Operasi
Media Massa (3)
Faktor internal:
ideologis, idealis
Proses Konstruksi
Realitas Oleh
Media (6)
Faktor Eksternal:
Pasar, Kenyataan
Politik (5)
Straegi Media
Mengkonstruksi
Realitas (4)
Fungsi Bahasa
Strategi
Framing
Agenda
Setting
Teks Berita
Politik (8)
Makna Dan Citra Partai/Aktor Politik
(Hamad,
Opini PublikSumber:
yang Terbentuk
dan2004:5)
Perilaku Politik Khalayak
Motivasi dan Tujuan si Pembuat Teks (9)
Sumber: (Hamad, 2004:5)
2.2. Teori Interaksionisme Simbolik
Ide dasar teori interaksionisme simbolik menyatakan bahwa lambang atau
simbol kebudayaan dipelajari melalui interaksi, orang memberi makna terhadap
segala hal yang akan mengontrol sikap tindak mereka. George Herbert Mead
dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolik ini. Ia mengajarkan
bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara manusia, baik secara verbal
maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan
makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanyakita dapat memahami
suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu (Morissan dkk, 2010:126).
Dalam perkembangan selanjutnya, teori interaksionisme simbolik ini
dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa,
pendekatan dramaturgis dan etnometodelogi, diilhami pandangan filsafat,
khususnya behaviorisme. Pada awalnya Mead memang tidak pernah menerbitkan
gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanyalah yang
setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam
sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead,
kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme
simbolik (Santoso, 2010:21).
Dalam bukunya tersebut, Mead (1934) berpendapat bahwa kita
menggunakan simbol untuk menciptakan pengalaman kita akan pikiran sadar,
pemahaman kita akan diri kita sendiri, dan pengetahuan kita akan tatanan dunia
sosial yang lebih besar (masyarakat). Dengan perkataan lain, simbol
menjembatani dan membentuk seluruh pengalaman kita karena simbol
membentuk kemampuan kita untuk merasakan dan menafsirkan apa yang terjadi
disekeliling kita.
Herbert Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme
simbolik yaitu, meaning (makna), Blumer menyatakan bahwa perilaku seseorang
terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami
tentang objek atau orang tersebut. Language (bahasa), dijelaskan bahwa makna
tidak melekat pada objek, melainkan dinegoisasikan melalui penggunaan bahasa.
Bahasa adalah bentuk dari simbol. Berdasarkan makna yang dipahaminya,
seseorang kemudian dapat memberi nama terhadap suatu objek, tindakan atau
sifat. Thought (pemikiran) secara sederhana proses ini menjelaskan bahwa
seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan
sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir
maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara
simbolik (Santoso, 2010:23).
Sedangkan untuk penerapan pemikiran interaksionisme simbolik ini
terhadap penggunaan media massa adalah sebuah buku yang berjudul
Communication and Social Behavior: A Symbolic Interaction Perspective yang
ditulis oleh Don F. Faules dan Dennis C. Alexander pada tahun 1978.
Mendasarkan analisis mereka pada defenisi komunikasi sebagai “perilaku
simbolik yang menghasilkan beragam tingkatan makna bersama dan nilai-nilai di
antara partisipan”, mereka menawarkan tiga proposisi dasar atas interaksi
simbolik dan komunikasi.
Pertama, Penafsiran dan persepsi orang terhadap lingkungan bergantung
pada komunikasi. Dengan kata lain, apa yang kita ketahui mengenai dunia kita
sebetulnya adalah fungsi dari pengalaman komunikasi kita terdahulu di dunia
tersebut. Kedua, Komunikasi dipandu dan memandu konsep diri, peran, dan
situasi, dan konsep-konsep ini menciptakan ekspekstasi di dalam serta terhadap
lingkungan itu sendiri. Ketiga, komunikasi terdiri dari interaksi rumit yang
“melibatkan faktor-faktor tindakan, kesalingtergantungan, pengaruh timbal-balik,
makna, hubungan, dan situasi. Faules dan Alexander dengan jelas mengingatkan
kita bahwa pemahaman kita mengenai dunia dan posisi kita di dalamnya adalah
dibuat oleh diri kita sendiri melalui interaksi dan keterlibatan kita dengan simbolsimbol media (Davis,dkk :2010: 382).
2.4. Analisis Framing
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis, yang
diperkenalkan sosiolog intepretatif, Peter L. Berger dan Thomas Luckman.
Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan
teks berita yang dihasilkannya (Zamroni, 2009:94).
Pada awalnya, analisis framing atau analisis bingkai merupakan versi
terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis
teks
media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun
1955.
Mulanya
frame
dimaknai
sebagai
perangkat
kepercayaan
yang
mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan
kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974, yang mengandaikan
frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam
membaca realitas (Sobur, 2004:161). Erving Goffman membangun analisis frame
untuk memberikan pemahaman sistematis mengenai bagaiman kita menggunakan
pengharapan untuk memaknai situasi sehari-hari dan orang-orang yang di
dalamnya. Meskipun setuju dengan argumen konstruksionis sosial mengenai
perlambangan, Goffman menganggap bahwa hal tersebut terlalu sederhana. Ia
berpendapat bahwa kita secara terus-menerus dan sering kali radikal mengubah
cara kita mendefenisikan atau melambangkan situasi, tindakan, dan orang lain
ketika kita bergerak melalui ruang dan waktu (Davis, 2010:392).
Lebih lanjut dikemukakan oleh Eriyanto, (Sobur, 2004:161) analisis
framing dipakai untuk mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan
fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih
diingat, untuk menggiringinterpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Framing
adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang
yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara
pandang itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana
yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.
Gamson (1989) salah satu dari peneliti framing yang paling produktif
menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung
konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Goffman mengamati
bahwa kebanyakan berita adalah mengenai pelanggaran frame, yang membuat
banyak peristiwa jadi bernilai berita. Pemberitaan mulai menyimpang dari
kebiasaan “Anjing menggigit manusia”, bukanlah sebuah berita; tetapi “Manusia
menggigit Anjing”, adalah berita.
Teori framing menantang pemahaman
mengenai jurnalisme yang sudah lama diterima dengan pendapat bahwa berita
dapat dan harus objektif. Beberapa penelitian framing bahkan membahas
mengenai strategi yang digunakan oleh elit politik dan sosial dalam memanipulasi
cara jurnalis melakukan framing pada berita sehingga mengaburkan realitas
konstektual yang mendasarinya (Davis, 2010:398).
Model framing yang Peneliti gunakan dalam menganalisis berita
Pemilikada DKI Jakarta ini adalah model Pan dan Kosicki. Model Pan dan
Kosicki merupakan modifikasi dari dimensi operasional analisis wacana Van
Dijk. Zhongdan Pan dan Gerald Kosicki melalui tulisanya “Framing Analysis: An
Approach To News Discourse” mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural
teks berita sebagai perangkat framing : sintaksis, skrip, tematik, dan retoris.
Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi
sebagai pusat organisasi ide. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana
seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang
dimunculkan dalam teks. Ada dua konsep framing menurut Pan dan Kosicki yaitu
Pertama, konsep psikologi yang menekankan pada bagaimana seseorang
memproses informasi dalam dirinya dan berkaitan dengan struktur dan proses
kognitif. Framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam suatu konteks yang
unik dan menempatkan elemen-elemen tertentu dari suatu isu dengan lebih
menonjol dalam kognisi seseorang. Kedua, konsep sosiologis yang melihat
bagaiamana kostruksi sosial atas realitas. Frame di sini berfungsi membuat suatu
realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat dimengerti karena sudah
diberi label tertentu. (Sobur,2004:175-176). Seperti yang akan di gambarkan pada
tabel di bawah ini:
Tabel 2.
Perangkat Analisis Framing Pan dan Kosicki
Struktur
SINTAAKSIS
Perangkat Framing
1. Skema berita
Unit yang Diamati
Judul, lead, latar
(cara wartawan
informasi, kutipan,
menyusun fakta)
sumber, pernyataan,
penutup
SKRIP
(Cara wartawan
2. Kelengkapan
5W + 1H
berita
mengisahkan fakta)
TEMATIK
3. Detail
(Cara wartawan menulis
4. Maksud kalimat,
fakta)
Paragraf, proposisi
hubungan
5. Nominalisasi
antar kalimat
6. Koherensi
7. Bentuk kalimat
8. Kata ganti
RETORIS
9. Leksikon
Kata
(Cara wartawan
10. Grafis
gambar/foto, grafik
menekankan fakta)
11. Metafor
12. Penandaian
idiom,
Download