BAB VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dalam menjawab

advertisement
BAB VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dalam menjawab pertanyaan penelitian, disertasi ini menemukan beberapa jawaban.
Terkait dengan pertanyaan pertama, “bagaimana dinamika gerakan petani Cipari Cilacap
Jawa Tengah pada masa Orde Baru dan reformasi dalam memperjuangkan hak atas tanah?,”
disertasi ini menemukan tiga jawaban.
Pertama, struktur kesempatan politik sebelum era reformasi sangat terbatas bagi
munculnya dan berkembangnya suatu gerakan. Namun demikian, dengan keterbatasan
kesempatan politik ini justru dimanfaatkan oleh petani Cipari untuk melakukan gerakan.
Petani mengoptimalkan mobilisasi sumber daya internal yang tersedia untuk melakukan
gerakan. Demikian pula dalam membingkai isu sebagai dasar dan strategi untuk melakukan
gerakan. Struktur kesempatan politik demokratis era reformasi membawa dampak berbeda
dibandingkan era sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru). Pada era Orde Lama dan Orde
Baru, kesempatan politik terbatas bahkan tertutup bagi munculnya suatu gerakan, sehingga
sebelum era reformasi petani tidak berhasil memperoleh sertifikat kepemilikan tanah.
Kesempatan politik yang terbuka di era reformasi membuat petani Cipari berhasil memiliki
legalitas kepimilikan tanah.
Kedua, petani Cipari juga melakukan mobilisasi struktur, melalui mobilisasi berbagai
sumber daya, termasuk jaringan dengan beberapa organisasi gerakan (SMOs). Hasil temuan
memperlihatkan munculnya gerakan petani disebabkan oleh hilangnya tanah trukah para
leluhurnya yang dirampas oleh negara untuk kepentingan perkebunan. Hal ini membuat
petani berupaya merebut kembali tanah yang hilang sebagai bentuk mempertahankan tanah
157
warisan leluhurnya. Di masa Orde Baru, dimana negara begitu kuat, petani Cipari tetap
melakukan gerakan. Pada saat itu struktur kesempatan politik tidak memberikan ruang bagi
petani untuk melakukan gerakan. Petani Cipari lebih menekankan pada mobilisasi internal,
yaitu membangun solidaritas antarpetani. Nilai sosial-kultural dijadikan dasar dan strategi
untuk melakukan gerakan. Oleh sebab itu, meskipun negara begitu mendominasi dan
hegemonik tetapi petani Cipari berani melakukan gerakan.
Pergantian kekuasaan dari era Orde Baru ke era Reformasi berpengaruh pada bentuk
dan sifat gerakan petani Cipari. Di masa transisi, struktur kesempatan politik terbuka bagi
munculnya serta berkembangnya sebuah gerakan. Kesempatan politik semacam itu secara
tidak langsung berpengaruh pada mobilisasi sumber daya, baik sumber daya internal
maupun eksternal. Artinya, agen gerakan dengan mudah memobilisasi massa untuk
mendukung gerakan. Pada saat yang bersamaan petani mendapat dukungan dari banyak
pihak, mulai dari LSM, partai politik, media, dan kekuatan masyarakat sipil lainnya.
Ketiga, proses framing untuk membentuk kesadaran petani dalam menuntut hak atas
tanah. Membingkai isu sebagai dasar gerakan dimaksudkan agar organisasi gerakan
mendapat dukungan dari masyarakat luas, serta untuk meyakinkan kelompok sasaran yang
beragam agar mereka terdorong untuk melakukan perubahan. Proses framing untuk
membentuk kesadaran petani dalam menuntut haknya juga mengalami perubahan. Di era
Orde Baru isu ketidakadilan serta hilangnya tanah yang dirampas oleh negara/perkebunan
dijadikan dasar dan strategi untuk melakukan gerakan. Petani tidak berani menggunakan
framing land reform, karena di masa itu land reform bagi negara diidentikkan dengan
ideologi komunis. Terbukanya kesempatan politik di era reformasi framing isu sebagai dasar
untuk melakukan gerakan mengalami perubahan pula. Hal ini dilakukan, misalnya, dengan
158
menggeser isu atau tema dari “kembalikan tanah kami” ke “laksanakan land reform”. Tema
baru ini berhasil karena sejalan dengan semangat undang-undang dan agenda politik
redistribusi tanah di era reformasi. Sebab, di era reformasi muncul Tap MPR No IX tahun
2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
Menjawab pertanyaan penelitian kedua, “bagaimana hasil gerakan petani Cipari
Cilacap Jawa Tengah dalam memperjuangkan hak atas tanah?” disertasi ini menemukan
bahwa gerakan petani di masa Orde Lama dan Orde Baru, petani belum berhasil
mendapatkan tanah. Di pengujung pemerintahan Orde Baru, petani hanya memperoleh hak
untuk menggarap tanah perkebunan melalui sistem sewa yang ditetapkan oleh pihak
perkebunan. Baru pada masa reformasi, gerakan petani Cipari berhasil mendorong
pemerintah untuk melaksanakan redistribusi tanah. Keberhasilan gerakan petani ini,
disamping petani mampu memobilisasi sumber daya, membingkai isu sebagai dasar untuk
melakukan gerakan, juga disebabkan terbukanya kesempatan politik. Terbukanya
kesempatan politik di era reformasi ini terkait dengan munculnya kebijakan negara, yaitu
program pembaruan agraria nasional (PPAN). PPAN di masa reformasi lebih menekankan
pada penyelesaian sengketa tanah, sertifikasi tanah dan redistribusi tanah. Melalui
redistribusi tanah ini, akhirnya petani mendapatkan hak milik atas tanah secara legal dengan
sertifikat tanah.
6.2. Refleksi Teoritis
Memperhatikan gerakan petani Cipari dalam memperjuangkan tanah dari waktu ke
waktu menunjukkan petani sebagai subyek aktif terus melakukan tuntutan terhadap negara,
159
dalam konteks ini adalah perkebunan. Sebagai subyek aktif, jika dikaitkan dengan sejumlah
teori gerakan sosial menawarkan sejumlah tesis. Tidak seperti asumsi yang ditawarkan oleh
McAdam, gerakan petani Cipari ternyata menunjukkan karakter yang berbeda.
Argumen McAdam et.al (1996), bahwa setiap gerakan sosial muncul dan
berkembang ketika kesempatan politik (POS) terbuka lebar, misalnya, bukan saja ini tidak
sesuai dengan fakta gerakan petani Cipari, tetapi sekaligus mengungkap kelemahan teori
McAdam yang selama ini banyak menjadi rujukan dalam menjelaskan gerakan sosial.
Sebab, petani Cipari dalam rezim kekuasaan mana pun selalu melakukan gerakan menuntut
hak-haknya atas tanah. Artinya, petani melakukan gerakan bukan karena terbukanya
kesempatan politik, melainkan karena menuntut kembalinya tanah yang hilang. Satu titik
lemah McAdam adalah senantiasa mensyaratkan POS, dan menekankan sumber daya
eksternal. Terlalu menekankan sumber daya eksternal, berarti menghilangkan atau paling
tidak mengabaikan faktor internal gerakan petani itu sendiri yang sekaligus berposisi sebagai
subyek aktif melakukan gerakan dinamis. Dengan kata lain, menekankan sumber daya
eksternal senantiasa menempatkan petani sebagai obyek pasif yang tentu saja konsekuensi
logisnya adalah, bahwa sejak awal setiap komunitas gerakan sosial tersebut tidak memenuhi
syarat, sehingga tidak akan bisa melakukan gerakan sosial.
Penelitian ini menemukan bahwa gerakan petani Cipari muncul sejak masa Orde
Lama, dan berlangsung terus sampai pasca Orde Baru. Pada era Orde Baru ketika negara
tampil begitu kuat, sehingga struktur kesempatan politik terbatas, tetapi gerakan petani
Cipari terus berlangsung. Ini artinya, petani berani melakukan gerakan karena faktor internal
yang ada dalam diri petani itu sendiri. Realitas ini menolak tentang pembebasan kognisi
(cognitive liberation) sebagaimana dinyatakan McAdam (1999), bahwa mengubah respon
160
seorang anggota masyarakat untuk menjadi penentang utama membutuhkan perubahan atas
kondisi politik yang sedang berlangsung agar menjadi seperangkat ‘isyarat kognitif
(cognitive cue)’ yang bermakna bagi perlawanan. Pembebasan kognisi terlalu bersifat
rasional sehingga mengabaikan emosi dan menolak adanya kemungkinan lain (Goodwin,
2000: 17).
Fakta ini sekaligus menunjukkan titik lemah komponen kedua yang ditawarkan
McAdam, yaitu struktur mobilisasi, yang menekankan faktor eksternal, misalnya organisasi
dan jaringan. Penggerak gerakan petani Cipari bukan terletak pada aspek struktural, seperti
terbukanya kesempatan politik, tersedianya organisasi dan jaringan, tetapi aspek kultural,
yaitu kesadaran bersama mempertahankan pesan leluhur yaitu tanah trukah harus
dipertahankan sampai mati, sebagaimana ungkapan ‘sedumuk bathuk senyari bumi’.
Memang harus diakui pula, bahwa peran struktur mobilisasi cukup signifikan dalam
memberikan penjelasan tentang gerakan sosial, seperti keterlibatan individu dalam aksi
kolektif, taktik gerakan, dan tersedianya organisasi gerakan. Namun demikian, dalam kasus
gerakan petani Cipari proses struktur mobilisasi itu tercipta karena faktor internal. Misalnya,
tentang tersedianya organisasi sosial, sejak awal inisiatifnya datang dari dalam sendiri, yaitu
sejak membentuk organisasi Ketan Banci pada masa Orde Baru sebagai instrumen gerakan.
Sementara itu struktur mobilisasi McAdam memasukan organisasi, sebagai faktor eksternal
terutama kemampuan memobilisasi sumber daya. Seperti, misalnya pengetahuan, uang,
media, tenaga kerja, solidaritas, legitimasi, dan dukungan dari elite kekuasaan. Faktanya
menunjukkan bahwa gerakan petani Cipari, hanya bisa memenuhi unsur solidaritas, yang
justru menjadi energi utama dalam gerakan mereka, yang berarti bersumber dari faktor
internal.
161
Menekankan pentingnya faktor sumber daya eksternal menempatkan posisi petani
hanya obyek pasif. Dalam kasus gerakan petani Cipari, jika terlalu ketat mengikuti teori
McAdam, akan mengecilkan peran komunitas petani itu sendiri yang sejak awal telah
melakukan gerakan sosial secara sendirian tetapi konsisten. Selain itu, keberhasilan gerakan
petani Cipari dengan mudah diklaim oleh faktor eksternal, seperti keterlibatan LSM, elite
internal maupun eksternal, dan struktur kesempatan politik, yang mengabaikan peran utama
petani itu sendiri dalam melakukan gerakan sosial menuntut kembali hak atas tanah yang
dirampas negara. Banyak LSM hadir pasca Orde Baru, ketika kesempatan politik terbuka.
Mereka melakukan pendampingan kepada petani dan membantu penyelesaian masalah yang
dihadapi petani. Pengaburan peran penting faktor internal yang bersumber dari energi petani
itu sendiri mengalami penguatan justru ketika adanya kesempatan politik sebagaimana
dikatakan oleh McAdam. Sementara secara kritis muncul ungkapan petani “kenapa tidak
dari dulu para LSM itu datang membela kami”.
Kemungkinan lain, menekankan faktor eksternal sebagaimana teori McAdam adalah
terlalu berorientasi hasil dan mengabaikan proses sebuah gerakan sosial. Fakta
menunjukkan, gerakan petani Cipari tidak muncul tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses
historis yang panjang. McAdam terasa berorientasi hasil dari sebuah gerakan sosial, yang
dalam kasus gerakan petani Cipari adalah berhasilnya mendapatkan tanah kembali yang
berkekuatan hukum, yaitu sertifikat. Gerakan petani Cipari untuk mendapatkan kembali hak
atas
tanah
tidak
berlangsung
secara
terputus-putus,
tetapi
merupakan
gerakan
berkesinambungan dan konstan. Konsistensi gerakan itu terjadi lebih banyak bersumber dari
dalam, yaitu nilai kultural. Unsur framing dalam teori McAdam memang lebih banyak
berkesesuaian dengan gerakan petani Cipari. Misalnya, isu ketidakadilan di masa Orde Baru,
162
berubah menjadi isu land reform di era reformasi. Oleh karena itu, beberapa tesis yang dapat
ditawarkan dalam penelitian ini antara lain:
Pertama, gerakan sosial bukan sekadar aktivitas yang terputus-putus, tetapi
merupakan aktivitas berkesinambungan tanpa harus berakhir pada tercapainya sebuah
tujuan. Dengan kata lain, sebuah gerakan sosial bukan berorientasi hasil, tetapi merupakan
proses dinamis yang dilakukan oleh aktor untuk melakukan perubahan maupun perlawanan.
Kedua, faktor pendorong dalam sebuah gerakan sosial
lebih bersifat kultural yang
menciptakan kesadaran bersama untuk mempertahankan sumber daya ekonomi maupun
politik. Jadi gerakan sosial lebih bersifat diterminisme kultural, dalam arti faktor kultural
yang bersifat internal lebih menentukan daripada faktor sosial-politik yang bersifat
eksternal.
6.3. Rekomendasi Untuk Studi Lanjut.
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, gerakan reklaiming atas tanah yang
dilakukan oleh petani semakin masif, dan hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Gerakan reklaiming atas tanah ini, sebagian besar terjadi di daerah kawasan perkebunan dan
perhutanan. Di sekitar Cipari pun demikian pula. Masih banyak gerakan yang dilakukan
oleh petani dalam memperjuangkan tanah yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan swasta
maupun BUMN. Tujuan petani melakukan gerakan masih sama, yaitu merebut kembali
tanah yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan maupun perhutanan. Meskipun demikian,
hingga saat ini sebagian besar gerakan petani belum berhasil menguasai tanah. Oleh karena
itu, studi serupa perlu dilakukan guna melihat faktor penyebab kegagalan gerakan petani,
seperti hambatan yang dihadapi petani, dan juga penyebab lainnya. Ini penting untuk
163
menguji teorinya McAdam tentang struktur kesempatan politik, struktur mobilisasi dan
proses framing. Untuk Cipari sendiri, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat
kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat pasca redistribusi lahan. Studi ini disarankan
karena peneliti menangkap kesan tanah yang diterima oleh sebagian petani dijual ke petani
lain. Kejadian ini apakah berkorelasi dengan ketentuan maupun kriteria penetapan subyek
penerima tanah, ataukah karena alasan lain. Meskipun studi ini belum detail,
namun
setidaknya studi gerakan petani Cipari ini dapat dijadikan informasi awal, dan pengalaman
untuk merencanakan studi serupa, khususnya kasus-kasus atau persoalan agraria.
164
Download