BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa, bahasa terus-menerus mengalami perkembangan, baik secara leksikal maupun semantik. Perubahan suatu bahasa dalam lingkungan budaya tertentu juga tidak terlepas dari kontak bahasa di antara dua bahasa yang saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini ditegaskan oleh Weinrich (1963:5) bahwa adanya pengaruh bahasa lain terhadap bahasa tertentu dianggap sebagai bentuk difusi dan akulturasi budaya. Perkembangan bahasa yang terjadi di masyarakat tertentu dapat menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan. Salah satu fenomena kebahasaan yang ada adalah produktivitas makna suatu leksem yang mengalami perluasan atau bergeser dari makna sebenarnya dan mengacu pada referen lain. Produktivitas makna pada leksem tertentu seringkali dipengaruhi oleh unsur lain yang menyertai leksem tersebut sehingga membentuk perpaduan makna. Dalam hal ini, penggabungan dua leksem atau lebih, yang lebih dikenal dengan idiom. Hal ini ditemukan pada contoh-contoh berikut ini: 1 2 a) Anton menjadi tangan kanan Rina di perusahaan besar itu b) Tangan kanan Anton terluka akibat kecelakaan tadi siang Tangan kanan pada contoh (a) di atas bermakna ‘orang kepercayaan’ dan pada contoh (b) bermakna ‘organ tubuh manusia yang digunakan untuk mengangkat atau memegang sesuatu’. Secara semantis, tangan kanan pada contoh (a) adalah gabungan dua kata yaitu kata tangan dan kata kanan yang maknanya menyimpang dari makna sebenarnya, sedangkan pada contoh (b) kata tangan kanan mengacu pada makna sebenarnya, atau tidak menyimpang dari makna sebenarnya. Jika disesuaikan dengan perpaduan idiom, contoh (a) itulah yang mengarah pada bentuk idiom, yang tidak dapat dipisahkan satu per satu (membentuk satu kesatuan), yang maknanya mengacu pada interpretasi makna lain. Konstruksi ini disebut oleh Langlotz (2006:123) dengan istilah idiom kinetik. Dalam pemahamannya, Langlotz (2006) menjelaskan bahwa idiom kinetik merupakan idiom yang sifatnya non verbal konvensional (conventionalized non-verbal), yang referennya tetap melibatkan makna literal sebagai landasannya, tetapi makna tersebut mengacu pada referen lain, dalam hal ini membentuk interpretasi makna lain. Terkait dengan penelitian ini, peneliti mengangkat fenomena idiom di dalam dua bahasa yaitu bahasa inggris dan bahasa Indonesia. Kedua bahasa ini dipilih oleh peneliti karena ada beberapa kesamaan dan perbedaan yang ditemukan di antara kedua bahasa ini, khususnya dalam pemakaian idiom. Misalnya pada contoh berikut ini: 3 Tabel 1: Contoh Persamaan Idiom Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia No. 1. Idiom Bahasa Inggris Right hand(Tim primapena,2004:429) Lose face (Spears, 1987:217) 2. Idiom Bahasa Indonesia Tangan kanan (Badudu, 2008:345) Kehilangan muka (Chaer, 1981:73) Makna Orang kepercayaan Malu (karena melakukan suatu kesalahan di depan umum) Kedua contoh di atas secara leksikal dan semantis mengacu pada referen yang sama yaitu makna ‘orang kepercayaan’ dan ‘malu’. Dalam interpretasi idiom di atas, kesamaan yang terjadi di antara kedua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia adalah referen idiom pada contoh (1) misalnya mengacu pada hal yang positif berupa orang kepercayaan. Pandangan budaya barat dan budaya Indonesia memiliki kesamaan persepsi dalam hal memandang sebelah kanan sebagai sesuatu hal yang positif. Hal positif yang dimaksud adalah sesuatu yang dilakukan dikaitkan dengan aktivitas manusia di mana sebagian besar manusia mendahulukan sebelah kanan dari pada sebelah kiri. Aktivitas tersebut dapat terlihat ketika seseorang bertemu, tentunya mereka akan menglurkan tangan kanan untuk berjabatan tangan sebagai tanda keakraban untuk menyapa satu sama lain. Ciri positif yang ditentukan oleh tangan sebelah kanan inilah yang dapat memicu kesamaan persepsi di antara kedua budaya tersebut. Sementara itu, contoh (2) menunjukkan tingkat kesamaan persepsi dalam mengungkapkan idiom lose face dan kehilangan muka yang bermakna ‘malu’. Konteks pemakaian idiom tersebut biasanya ditemukan misalnya pada suatu acara di 4 mana seseorang menampilkan sesuatu di hadapan umum. Ketika seseorang tersebut melakukan kesalahan, orang tersebut merasakan bahwa dirinya sudah dikenal oleh semua orang sebagai seseorang dengan kesalahannya, sehingga orang itu beranggapan dirinya itu sudah kehilangan muka di hadapan orang banyak. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis mengangkat fenomena tersebut ke dalam sebuah penelitian. Bahasa Inggris dipilih penulis sebagai bahasa yang berpadanan dengan bahasa Indonesia karena masih ditemukan kesulitan-kesulitan dalam pengajaran idiom bahasa Inggris bagi pembelajar bahasa Inggris. salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan dan kesalahan pembelajaran bahasa kedua dan bahasa asing tersebut adalah dengan menggunakan analisis kontrastif. Menurut Lado (1957), analisis kontrastif adalah cara untuk mendeskripsikan kesulitan atau kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua dan bahasa asing. Objek kajian dari analisis kontrastif adalah unsur-unsur dan sistem kebahasaan sekaligus latar belakang budaya dari bahasa pertama (L1) serta bahasa kedua (L2). Deskripsi dan analisis kontrastif dapat dilakukan di setiap tingkat kebahasaan seperti bunyi bahasa, perubahan bentuk kata (morfologi), leksikon (leksikologi), struktur kalimat (sintaksis), sampai dengan tingkat wacana yang lengkap. Diharapkan dengan mengetahui dan memahami dengan baik unsur dan kebahasaan L1 dan L2, maka para pembelajar dapat lebih mudah memahami serta mengatasi kesulitan dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. 5 Salah satu kesulitan dan kesalahan dalam pembelajaran bahasa Inggris oleh pembelajar berbahasa Indonesia terjadi pada saat mempelajari makna dari ungkapan atau idiom dalam bahasa Inggris. Kesalahan tersebut dapat ditemukan saat siswa menemukan ungkapan seperti to see eye to eye with somebody dalam bahasa Inggris, yang untuk kebanyakan pembelajar berbahasa Indonesia akan menjadi ‘bertemu langsung atau bertatap muka dengan orang lain’, padahal makna sebenarnya dari idiom tersebut adalah ‘setuju dengan seseorang’. Kesulitan dan kesalahan juga akan dihadapi dan dilakukan siswa pada saat diminta untuk memberi makna pada idiom atau ungkapan bahasa Inggris to stick one’s nose into other people’s affairs yang memiliki makna ‘ikut campur urusan orang lain’, karena di dalam bahasa Indonesia para pembelajar lebih terbiasa menyampaikan makna tersebut dengan ungkapan “campur tangan dengan urusan orang lain”. Kesalahan tersebut terjadi karena interferensi kebiasaan siswa dalam menggunakan idiom yang menggunakan bagian tubuh tangan dalam bahasa Indonesia dan bukan hidung seperti yang digunakan dalam bahasa Inggris. Contoh-contoh di atas menunjukkan perbedaan yang terdapat di antara ungkapan yang terdapat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang mengakibatkan pembelajar mengalami kesulitan dan melakukan kesalahan transfer (transfer negatif) dalam memahami makna dari idiom atau ungkapan. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan kajian kontrastif pada tingkat bentuk dan makna yang terdapat dalam ungkapan atau idiom dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, dan mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka 6 penelitian ini akan dibatasi padanan idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang menggunakan unsur anggota tubuh manusia. Berikut contoh padanan idiom bahasa Inggris dan idiom bahasa Indonesia yang mempunyai perbedaan kata dan makna sama: Tabel 2: Perbedaan pemilihan kata dan makna sama No Idiom bahasa Inggris Light fingered (1) (TimPrimapena, 2004:349) Bentuk Frasa ajektiva Idiom bahasa Bentuk Makna Frasa Suka nomina mencuri Tutup mulut Frasa Tidak (Chaer,1981:13) verba bicara Indonesia Panjang tangan (Badudu,2008: 344) Seal the lips (2) (Tim primapena, Klausa 2004:439) Two tongued (3) (Tim Frasa primapena,2004 ajektiva :512) A cool hand (4) (Tim Frasa Primapena,200 nomina 4:9) Swelled head (5) (Spears, 1999:62) Lidah ular (Badudu,2008: 206) Kepala dingin (Badudu,2008: 169) Frasa nomina Tidak jujur Frasa Pikiran nomina tenang Frasa Besar kepala Frasa nomina (Chaer,1981:36) nomina Sombong 7 Adapun contoh penggunaannya dalam kalimat adalah sebagai berikut: 1. Ani’s brother is light-fingered. (Tim Primapena,2004:349) ‘Kakak laki-laki Ani panjang tangan.’ 2. You should be better seal the lips! (Tim Primapena, 2004:439) ‘Kamu sebaiknya menutup mulut!’. 3. Don’t trust to the people who have two tongued. (Tim Primapena,2004:512) ‘Jangan percaya dengan orang yang berlidah ular.’ 4. We have to solve some problems with cool hand. (Tim Primapena, 2004:9) ‘Kita harus menyelesaikan masalah-masalah dengan kepala dingin.’ 5. Don't get a swelled head from all this success. (Spears, 1999:62) ‘Jangan besar kepala dengan semua kesuksesan ini.’ Hal yang mempengaruhi perbedaan pemilihan kata pada idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di atas adalah faktor budaya karena kebudayaan Inggris dan Indonesia berbeda sehingga menimbulkan fenomena tersebut. Pada contoh data (1) di atas idiom bahasa Inggris menggunakan kata fingered yang memiliki makna ‘jari-jari’ sedangkan di dalam idiom bahasa Indonesia menggunakan kata tangan. Secara konseptual, kaitan antara jari-jari fingered dengan tangan dalam bahasa Indonesia tidak jauh bergeser dari maknanya. Hal ini disebabkan karena perbedaan pengungkapan orang Indonesia dengan orang Barat. Pada contoh data (2) di atas idiom bahasa Inggris menggunakan kata seal yang bermakna ‘menyegel atau melekatkan sesuatu dengan lem atau isolatip’ dan kata 8 lips yang mempunyai makna ‘bibir’. Padanannya dalam bahasa Indonesia yaitu kata menutup dan mulut. Pada idiom bahasa Inggris menggunakan kata seal yang bermakna ‘menyegel’ dikarenakan orang Barat dengan orang Indonesia mempunyai perbedaan cara pandang untuk mengungkapkan suatu ungkapan. Pada contoh data (3) idiom bahasa Inggris menggunakan kata two dan tongue untuk mengungkapkan makna ‘tidak jujur’ sedangkan padanannya dalam idiom bahasa Indonesia menggunakan kata ular dan lidah. Ular memiliki lidah yang bercabang dan ular merupakan hewan yang mempunyai konotasi negatif di masyarakat Indonesia dan masayarakat di Negara barat, karena ular merupakan hewan berbisa yang mempunyai racun sehingga bisa membawa racun bagi orang lain. Meskipun mempunyai pandangan yang sama terhadap ular, tetapi karena budayanya berbeda sehingga cara pengungkapannya pun juga berbeda. Contoh data (4) idiom bahasa Inggris yang bermakna ‘pikiran tenang’ menggunakan kata hand yang bermakna ‘tangan’ sedangkan padanannya dalam idiom bahasa Indonesia yang mempunyai arti yang sama menggunakan kata kepala. Di dalam idiom bahasa Indonesia menggunakan kata kepala karena tempat otak untuk berfikir terdapat di kepala, tetapi berbeda halnya dengan idiom bahasa Inggris yang menggunakan tangan. Hal ini disebabkan karena adanya kesepakatan bahasa di suatu masyarakat berbeda-beda. Contoh data (5) idiom bahasa Inggris menggunakan kata swelled yang bermakna ‘bengkak’ dan kata head yang bermakna ‘kepala’ dan padanannya dalam idiom bahasa Indonesia menggunakan kata besar dan kepala. Kedua idiom di atas 9 sebenarnya merujuk pada hal yang sama yakni kepala besar namun dalam idiom bahasa Inggris kata yang digunakan yakni bengkak untuk mereprensentasikan kepala besar karena kepala bengkak ukurannya lebih besar dari ukuran kepala dalam keadaan normal. Selain contoh-contoh di atas, penulis menemukan beberapa persamaan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yakni pemilihan kata-kata yang sama dan memiliki makna yang sama, yakni: Table 3 Pemilihan kata sama dan makna sama No. (6) Bahasa Inggris Raise eyebrows (Spears,1987:281) Bentuk Klausa Broken heart (7) (Tim Primapena, Klausa 2004:142) (8) (9) Big mouth Lose face ( Spears,1987 (Tim primapena, 2004:118) Indonesia Mengangkat alis (Chaer,1981:21) Patah hati (Chaer,1981:141) Bentuk Klausa Klausa Frasa Mulut besar Frasa nomina (Chaer,1981:127) nomina Klausa Blood sucker (10) Bahasa Klausa Kehilangan muka (Chaer,1981:73) Penghisap darah (Badudu,2008:89) Klausa Klausa Makna Menyatakan keheranan Putus cinta Suka membual Malu namanya menjadi jelek Rentenir Adapun contoh penggunaanya dalam kalimat adalah sebagai berikut: 6. He turned to raise an eyebrow mockingly in Toni's direction ‘Dia berbalik mengangkat alis dan mengejek kearah Toni.’ (Cambridge Dictionary,1995) 10 7. Two years ago I was broken hearted because my boyfriend got married with other woman. (Cambridge Dictionary, 1995). ‘Dua tahun lalu saya patah hati karena pacar saya menikah dengan wanita lain.’ 8. He is a big mouth. He always boast himself to somebody else. (Cambridge Dictionary, 1995) ‘Dia adalah orang yang bermulut besar. Dia selalu menyombongkan dirinya kepada orang lain.’ 9. Things will go better if you can explain to him where he was wrong without making him lose face. (Spears A Richard, 1987:217). ‘Semua akan berjalan dengan baik jika kamu menjelaskan kepadanya dimana kesalahannya tanpa membuatnya kehilangan muka.’ 10. I hear your uncle is a blood sucker.Is it true? ‘Saya dengar pamanmu adalah seorang penghisap darah. Apakah itu benar?.’ Data (6), (7), (8), (9) dan (10) di atas menunjukan adanya kesamaan pemilihan kata, bentuk dan makna pada idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena semua organ tubuh manusia di dunia mempunyai fungsi yang sama, sehingga persepsi manusia untuk merepresentasikan suatu ungkapan ada yang sama berdasarkan fungsi anggota tubuh manusia. Peneliti juga menemukan persamaan pemilihan kata yang digunakan di dalam idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tetapi maknanya yang berbeda. Persamaan tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini: 11 Table 4 Pemilihan kata sama dan makna berbeda No. Bahasa Inggris Bentuk Makna Big hearted (11) (Tim Frasa Primapena, ajektiva Baik hati Primapena, 2004:325) (Spears, Primapena, (Tim Primapena, 2004:498) nomina Gembira Frasa nomina biasa (Badudu, nomina Suka mencuri 2008:344) Menggoyang Klausa Terburu- kaki buru (Badudu, BersenangKlausa 2008:159) Makan Klausa dengan enak Thick (15) Bangga; tangan 2004:225) skinned Frasa Tulisan Eat heartly (Tim Makna Frasa 1987:298) (14) Bentuk Panjang Shake a leg (13) (Badudu, 2008:124) Long hand (12) Indonesia Besar hati 2004:87) (Tim Bahasa ajektiva Tidak punya malu sudah tak bekerja lagi Makan hati (Badudu, 2008:125) Klausa Sakit hati Tidak perasa; Kulit tebal Frasa senang biar (Badudu, Frasa 2008:184) nomina tak acuh terhadap sindiran atau olok-olok 12 Adapun bentuk penggunaannya dalam kalimat adalah sebagai berikut: 11. a. He is a big hearted, I like him very much. ( Good, dkk 2008) ‘Dia adalah orang yang baik hati, saya sangat menyukainya.’ b. Besar hati saya melihat kemajuan anak-anak itu. (Badudu, 2008:124) 12. a. She copied that lesson with long-hand. (Tim Primapena, 2004:325) ‘Dia menyalin pelajaran itu dengan tulisan biasa (bukan tulisan cepat steno)’. b. Si panjang tangan mana yang telah mengambil bolpoinku di atas meja itu? (Badudu, 2008:344). 13. a. She is shake a leg leave this room. (Spears, 1987:298) ‘Dia buru-buru meninggalkan tempat ini.’ b. Kalau kita rajin dan hemat di masa muda, di hari tua kita boleh menggoyang kaki saja. (Badudu, 2008:159) 14. a. She can’t eat heartly because she get toothache. (Tim Primapena,2004:225) ‘Dia tidak dapat makan dengan enak karena dia sakit gigi.’ b. Makan hati Ibu memandang pekerti Adik yang buruk dan tak pernah berubah itu. (Badudu, 2008:125) 15. a. He is a thick skinned. ( Good, dkk:2008) ‘Dia adalah seorang yang berkulit tebal.’ b. Orang yang berkulit tebal itu disindir pun tak ada gunanya. (Badudu, 2008:184) Pada contoh data (11), (12), (13), (14) dan (15) di atas dapat dilihat adanya kesamaan bentuk dan pemilihan kata yang digunakan di dalam idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mengenai unsur bagian tubuh manusia hanya saja maknanya yang berbeda. Berdasarkan contoh kalimat di atas dapat terlihat jelas perbedaan 13 makna antara idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Perbedaan makna pada kedua idiom di atas dikarenakan perbedaan budaya sehingga menimbulkan perbedaan persepsi dalam memaknai suatu ungkapan. Berdasarkan pemaparan contoh data di atas, penulis merasa bahwa idiom bahasa Inggris berunsur anggota tubuh dan padanannya dalam bahasa Indonesia jika diagkat menjadi bahan penelitian kebahasaan akan menjadi suatu hal yang sangat menarik. Mengingat bahasa Inggris dan bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang serumpun. 1.2 Rumusan Masalah Seperti yang dikemukakan di atas, penelitian ini mengkaji tentang idiom. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk idiom bahasa Inggris berunsur anggota tubuh manusia? 2. Bagaimana bentuk idiom bahasa Indonesia yang berunsur anggota tubuh manusia? 3. Bagaimana perbedaan dan persamaan idiom bahasa Inggris yang berunsur bagian tubuh manusia dan padanannya dalam bahasa Indonesia serta faktor – faktor yang mempengaruhinya? 14 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini, antara lain : 1. Untuk menjelaskan bentuk idiom bahasa Inggris yang berunsur anggota tubuh manusia. 2. Untuk menjelaskan bentuk idiom bahasa Indonesia yang berunsur anggota tubuh manusia. 3. Untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan idiom bahasa Inggris yang berunsur bagian tubuh manusia dan padanannya dalam bahasa Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat Teoritis yakni hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi linguistik pada umumnya, khususnya dalam bidang semantik yang berkaitan dengan penerjemahan idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Adapun manfaat secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan agar pembaca dapat memahami idiom dalam bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dari padanan idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ini dapat diketahui penyebab-penyebab terjadinya perbedaan dan persamaan pemilihan kata yang digunakan dalam kedua bahasa tersebut. 15 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai idiom dalam bahasa Indonesia sebelumnya pernah dilakukan oleh Hartati (2002) dalam Thesisnya yang berjudul “Idiom dalam Bahasa Indonesia”. Dalam penelitiannya, Hartati membahas tentang ciri-ciri idiom, bentukbentuk idiom, dan fungsi idiom. Farida Nuryanti Ningsih (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Perpadun Leksem Anggota Tubuh Manusia”. Dalam penelitiannya Farida membahas tentang penggabungan leksem anggota tubuh manusia serta bentuk-bentuk dari penggabungan leksem tersebut. Selain Hartati dan Farida topik yang berkaitan dengan tesis ini yang telah diselesaikan oleh Suyatno (2012) dalam disertasinya yang berjudul “Idiom Bahasa Indonesia”. Dalam penelitiannya, Suyatno membahas tentang ciri-ciri idiom, bentuk idiom, unsur pembentuk idiom, sumber referensi idiom, ruang lingkup pemakaian idiom, hubungan idiom dengan budaya dan motif penggunaanya dan fenomena perkembangan idiom bahasa Indonesia dewasa ini. Dari ketiga penelitian tersebut, belum ada yang membahas tentang idiom bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Suyatno, peneliti banyak mendapatkan referensi-referensi tentang hubungan idiom dengan budaya, sedangkan dari penelitian Hartati peneliti mendapatkan referensi tentang bentuk idiom bahasa Indonesia, dan dari penelitian Farida peneliti mendapatkan referensi tentang penggabungan leksem anggota tubuh manusia. 16 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Idiom Idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara grammatikal dengan hanya bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya (Keraf, 1986 : 96-97). Selanjutnya Keraf juga mengatakan bahwa untuk mengetahui makna idiom, setiap orang harus mempelajarinya sebagai penutur asli, tidak melalui makan katakata yang membentuknya. Misalnya idiom makan garam yang berarti ‘berpengalaman dalam hidup’ untuk mengetahui maknanya dapat dipelajari dari pengalaman-pengalaman dan bukan melalui kaidah umum bahasa. Moeliono (1982:143) mengatakan bahwa idiom adalah ungkapan bahasa yang artinya tidak dapat dijabarkan secara langsung dari unsur-unsurnya. Idiom merupakan satuan leksikal yang utuh, karena itu jika diubah akan merusak kesatuannya. Pengertian senada bahwa idiom adalah rangkaian kata-kata yang artinya tidak dapat diramalkan dari arti kata-kata yang menyusunnya dikemukakan Palmer (1981:36) dan Seidl & McMordie (1980:4) bahwa idiom adalah sejumlah kata yang secara menyeluruh mempunyai arti yang berbeda dari masing-masing kata dalam idiom itu. Idiom adalah rangkaian kata yang berfungsi sebagai kesatuan karena secara semantik artinya tidak dapat disimpulkan dari masing-masing unsur pembentuknya dan secara sintaktik rangkaian kata-kata itu susunannya tetap atau tidak dapat diubah (Crystal, 1980 : 179). 17 Langlotz (2006:2-3) mengemukakan, idiom dilukiskan secara konvensional sebagai unit multi-kata yang tidak jelas (buram) secara semantis (semantically opaque) dan tetap secara struktural (structurally fixed). Organisasi internal dari konstruksi idiomatis dapat ditunjukkan oleh adanya karateristik semantis, keganjilan dan ketidakberaturan struktural, ketidakleluasaan atau pembatasan pada perilaku leksikogramatikal mereka yang tidak dapat dijelaskan melalui kaidah-kaidah gramatikal secara umum yang ditentukan bahasa. Dengan demikian, idiom adalah ungkapan konvensional yang termasuk tata bahasa dari yang ditentukan bahasa, dan memenuhi wacana spesifik fungsi-fungsi komunikatif. Secara singkat, konstruksi idiomatis dapat digambarkan sebagai simbol-simbol yang kompleks dengan karakteristik semantis, pragmatis, sosiolinguistis yang formal spesifik. Cruse (2004:86) menyatakan bahwa idiom memiliki sejumlah perangkat gramatikal yang ganjil, salah satunya dapat dihubungkan dengan unsur-unsur pembentuknya yang tidak memiliki makna. Beberapa hal pokok yang dikemukakan yaitu, unsur-unsur idiom tidak dapat diubah secara terpisah tanpa menghilangkan makna idiomatisnya (*she pulled her brother’s left leg), tidak berkoordinasi dengan konstituen semantis asalnya (* she pulled her brother’s leg and arm), tidak dapat memperoleh tekanan kontrastif atau menjadi fokus topikalisasi transformasi ( it was her brother’s leg that she pulled), tidak dapat dirujuk ke belakang secara anaforis (cannot be referred back to anaphorically) (*Mary pulled her brother’s leg ;John pulled it, too), tidak dapat bertahan (survive) pada penggantian unsur-unsur konstituennya dengan kata yang maknanya sama atau hampir sama (synonym or near 18 synonym) (*The poor old chap kicked the pail), dan beberapa aspek tata bahasa (grammar, misalnya bentuk kalimat (voice), dapat menjadi bagian dari sebuah idiom ( His leg was being pulled continually by the other boys), tetapi mungkin juga tidak dapat (*The bucket was kicked by him). Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa idiom adalah kata atau rangkaian kata yang maknanya menyimpang dari makna leksikal maupun grammatikal, maksudnya makna idiom tidak dapat diketahui dari makna kata-kata yang membentuk rangkaian tersebut dan susunannya tetap atau tidak dapat diubah. 1.6.2 Bentuk dan Unsur Pembentuk Idiom Idiom memiliki beberapa bentuk. Dalam bahasa Inggris bentuk idiom dapat sangat pendek, misalnya cold war ‘perang dingin’, forty winks ‘tidur sementara’, atau agak panjang, seperti a dark horse ‘kuda hitam’, a snake in the grass ‘musuh dalam selimut’. Sejumlah idiom dapat lebih panjang lagi atau bahkan sangat panjang, misalnya to fish in troubled waters ‘mengail di air keruh’, to take the bull by the thorns ‘menghadapi masalah dengan (Seidl dan McMordie,1978:5). Menurut Seidl dan McMordie (1978:5), karena hal yang terpenting mengenai idiom adalah maknanya, mengakibatkan seorang penutur asli tidak memperhatikan suatu idiom tidak benar secara gramatikal. Di dalam bahasa Inggris terdapat bermacam-macam susunan idiom, antara lain idiom syang berupa kombinasi antara nomina dan ajektiva, idiom verba dengan nomina, idiom dengan preposisi dan sebagainya. Hal tersebut dinyatakan oleh Seidl dan McMordie (1978:41-112). 19 Di dalam bahasa Indonesia tampaknya juga terdapat idiom yang bentuknya pendek (akal bulus ‘licik’, angkat tangan ‘menyerah’), agak panjang, yang terdiri dari sekitar tiga kata (mengencangkan ikat pinggang ‘berlaku hemat’, menggali kubur sendiri’ melakukan tindakan yang merugikan atau mencelakakan diri-sendiri’. Hartati (2002:47-107) mengemukakan dalam bahasa Indonesia terdapat idiom yang unsurunsur pembentuknya berkategori sejenis dan idiom yang unsur-unsur pembentuknya berkategori tidak sejenis. 1.6.3 Karakteristik Idiom Karakteristik idiom dalam bahasa Inggris dijelaskan sebagai berikut. Pertama idiom merupakan ungkapan multikata, misalnya have a bee in one’s bonnet ‘ gagasan yang naif/bodoh’. Kedua, idiom berperilaku sebagai sebuah satuan semantik tunggal, misalnya kick the bucket berperilaku sama dengan kata die ‘mati’. Ketiga, idiom memiliki struktur sintaksis yang tidak produktif (bersifat beku), misalnya eat one’s words ‘menarik kembali ucapan’, tidak dapat diubah menjadi *eat one’s sentences (http://www.sil.org/). Pendapat Cruse dan langlotz yang telah dipaparkan sebelumnya adalah mengenai idiom dalam bahasa Inggris. Hal yang mereka kemukakan belum tentu dapat berlaku atau dapat diterapkan dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. 20 1.6.4 Analisis Kontrastif Istilah analisis kontrastif atau contrastive analysis yang secara umum diartikan dengan analisis yang memperlihatkan perbedaan dan persamaan elemenelemen suatu bahasa dengan bahasa lain. Secara teoritis analisis kontrastif bertujuan untuk menemukan atau membuktikan persamaan maupun perbedaan dalam berbagai bentuk, karakteristik dan aspek kebahasaan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan, sementara secara praktis kajian ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip kebahasaan yang bermanfaat untuk diterapkan untuk keperluan pengajaran, pembelajaran dan penerjemahan. Analisis Kontrastif menjadi semakin populer setelah muncul karya Lado (1959) yang berjudul Lingusitik A Cross Culture yang menguraikan secara panjang lebar mengenai cara-cara mengkontraskan dua bahasa. Buku tersebut berisi uraian anakon antara bahasa Inggris dengan bahasa Spanyol, dengan suplemen contohcontoh lain dari bahasa Cina, Muangthai dan sebagainya. Lado menganjurkan agar pengkontrasan itu dilakukan terhadap fonologi, struktur gramatikal, kosakata serta sistem tulisan Lado (1957) mendefinisikan bahwa dengan mengkontraskan bahasa pertama dengan bahasa yang akan dipelajari dapat meramalkan dan mendeskripsikan polapola yang akan menyebabkan kesulitan dan kemudahan belajar bahasa. Berikut adalah prosedur dan langkah yang diterapkan oleh Robert Lado dalam melakukan analisis kontrastif: a) Tempatkan satu deskripsi struktural yang terbaik tentang bahasa – bahasa 21 yang bersangkutan. Deskripsi ini harus mencakup tataran fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Deskripsi ini harus mencakup bentuk, makna serta distribusi. b) Rangkum dalam satu ikhtisar yang terpadu semua struktur. Ini berarti seorang linguis harus merangkum semua kemungkinan pada setiap tataran analisis bahasa yang diteliti dan diibandingkan. c) Bandingkan dua bahasa itu struktur demi struktur dan pola demi pola. Dengan perbandingan tiap struktur dan pola dalam dua sistem bahasa itu, orang dapat menemukan pola-pola yang sama dan berbeda. Dengan demikian, kita dapat meramalkan kemungkinan-kemungkinan hambatan dan kesulitan dalam pembelajaran bahasa-bahasa tersebut. Kridalaksana (1993:13) mengatakan “Analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan terjemahan”. James (1986:3) menambahkan “Analisis kontrastif adalah sutu upaya yang bertujun untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik (yaitu kontrastif, bukan komparatif dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan (maksudnya analisis kontrastif selalu berkaitan dengan pasangan dua bahasa). Bussman (1996:102) menyatakan analisis kontrastif merupakan “linguistics subdiscipline concerned with the synchronic, comparative study of two or more language varieties. Generally both differences and similarities are studied, altought 22 emphasis is usually placed on differennces thought to lead to inference (i.e. negative transfer, the faulty application of structure form one’s native language to the second language”. Lubis (2009:23) menjelaskan “Analisis kontrastif suatu upaya untuk membandingkan dua bahasa secara sinkronis yang bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan kedua bahasa dalam berbagai aspek”. Secara keseluruhan uraian pengertian di atas menunjukkan bahwa analisis kontrastif bertujuan untuk memperoleh dan menghasilkan perbedaan-perbedaan sistem atau struktur antara dua bahasa, dan hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk keperluan dalam pengajaran dan penerjemahan. Temuan tentang perbedaan dan persamaan di antara kedua bahasa digunakan untuk membantu pengjaran bahasa asing. 1.6.5 Kata, Frasa, Klausa dan Kalimat Dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk serta perilaku sintaksisnya. Kategori sintaksis sering disebut kategori atau kelas kata (Alwi 2003:35-36). Dalam bahasa Indonesia terdapat lima kategori yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva atau kata sifat, advebia atau keterangan, dan kata tugas. ( Alwi 2003:36). Di atas kata terdapat satuan sintaksis yang lazim disebut kelompok kata atau frasa. Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melewati batas fungsi (Ramlan, 1983:137-138). 23 Tataran satuan sintaksis di atas frasa adalah klausa. Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari predikat, baik disertai subjek, objek, pelengkap dan keterangan atau tidak (Ramlan, 1983:78) atau sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang mengandung unsur predikasi (Alwi et al., 2003:312). Kalimat adalah tuturan sintaksis di atas klausa. Menurut Ramlan (1983:22), kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Alwi (2003) menyatakan kalimat dapat ditinjau berdasarkan jumlah klausanya, bentuk sintaksisnya, kelengkapan unsurnya, dan susunan subjek dan predikatnya. 1.6.6 Hubungan Bahasa Dengan Budaya Budaya dibangun karena kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayan. Bahasa merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, persasaan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri, 2001:120). Basnett (1998:13-14) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai dua hal tidak bisa dipisahkan serta menyatakan bahwa bahasa merupakan “the heart within the body of culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Masinambow (2000) dalam Chaer (1993 : 217) menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Atau 24 dengan kata lain kebudayaan adalah suatu sistem yang melekat pada manusia mengatur interaksi manusia di dalam bermasyarakat, maka bahasa adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi tersebut. Gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa sudah lama dan sudah banyak diutarakan oleh para pakar seperti Sapir, Boas dan Bloomfield (1933) via Yadnya (2006:8). Edward Sapir , misalnya menyatakan bahwa kandungan setiap budaya tidak saja terungkap dalam bahasanya. Boas menunjukkan tidak hanya hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa tetapi juga antara bahasa dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis serta bahasa dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya. Bahkan Bloomfield menekankan bahwa sedemikian kuat hubungan budaya itu terhdap bahasa sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Sama halnya dengan penampiln fisik seseorang (orang yang satu berbeda dengan orang yang lainnya), begitu juga halnya dengan kebudayaan. Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga mengguakan bahasa tersebut dengan cara yan amat berbeda. Fishman (1968) via Yadnya (2006:9) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawentahan perilaku manusia. Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa 25 karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antar keduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik). Sedangkan fungsi bahasa dalam kebudayaan diperinci Sibarani (1992:101) menjadi tiga, yaitu (1) sarana perkembangan kebudayaan (2) jalur penerus kebudayaan (3) inventaris ciri-ciri kebudayaan. 1.6.7 Hubungan Idiom Dengan Budaya Kebanyakan orang mengikuti hipotesis yang menyatakan bahwa kebudayaan mempengaruhi bahasa (Chaer, 1993:70). Misalnya masyarakat Inggris yang tidak berbudaya makan nasi, maka dalam bahasa Inggris tidak ada kata untuk menyatakan padi, gabah, beras, dan nasi. Keempat konsep itu hanya diwakili satu kata saja, rice. Sebaliknya bangsa indonesia yang berbudaya makan nasi, memiliki kosa kata untuk keempat konsep tersebut. Di dalam bahasa Jawa bahkan terdapat kosa kata yang lebih lengkap untuk menyatakan hal yang berhubungan dengan nasi atau beras tersebut. Di samping kata-kata pari, gabah, beras, dan sega, masih terdapat las, menir, dhedhak, 26 dan katul. Demikian juga orang Eskimo yang dalam kehidupan sehari-hari akrab dengan salju, mempunyai lebih sepuluh kata untuk menyebut berbagai jenis salju. Sedangkan bangsa Indonesia yang dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak mengenal salju, hanya mempunyai satu kata salju, itu pun serapan dari bahasa Arab (Chaer, 2003:7071). Pendekatan makna sebagai konteks dan penggunaan (context and use) memainkan peran utama dalam pemilihan makna untuk diekspresikan dibandingkan pendekatan-pendekatan makna yang lain tetapi hanya menduduki peran sekunder dalam penentuan makna yang terpadu dari suatu bentuk linguistis. Ada sebuah posisi yang menghubungkan pandangan kontekstualis yang juga memerlukan penjelajahan (exploration). Hal itu adalah reduksionisme budaya (culture reductionism), pandangan yang terkenal dan mempopulerkan bahwa kebudayaan adalah penentu atau penguasa makna final (the final arbiter of meaning), atau bahwa makna linguistis secara keseluruhan ditentukan oleh konteks budaya yang terdapat di dalam bahasa tersebut (Frawley, 1992:44-45). Bahasa, kebudayaan, dan pikiran semuanya adalah cermin satu sama lain. Hipotesis Sapir/Whorf adalah versi yang paling umum dikenal dari reduksionisme budaya, yang merupakan bentuk yang kuat. Pemikiran itu sendiri berbeda lintas bahasa dan budaya karena bahasa membedakan secara jelas satu sama lain (Sapir (1933) via Frawley, 1992:46). Variabilitas dapat ditelusuri melalui pendaftaran (catalouging) variasi dalam bentuk-bentuk linguistis yang sesuai dari seseorang dapat 27 melihat variasi-variasi dalam kebudayaan yang menentukan bentuk-bentuk tersebut, dan karenanya variasi-variasi dalam pemikiran yang direfleksikan bentuk-bentuk tersebut (Frawley, 1992:46). Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia. Oleh karena itu, istilah tersebut memiliki cakupan makna yang sangat luas. Apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya, dan benda-benda yang dibuat dan digunakannya merupakan manifestasi dari budaya. Spradley (1972) via Nurkamto (1999:4) menamai ketiga unsur di atas sebagai perilaku budaya (cultural behaviour), pengetahuan budaya (cultural knowledge), dan benda-benda budaya (cultural artifacts). Dalam hubungan bahasa dengan budaya, Mahayana (2005) via Suyatno (2012: 38) menyatakan, melalui bahasa dapat ditemukan naluri dan sikap budaya sebuah bangsa. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai ekspresi kultural, bahkan juga ideologi (Kompas, 13 April 2010). Dengan demikian, mempelajari bahasa dapat pula digunakan sebagai wahana untuk memahami sikap budaya dan ideologi suatu bangsa. Seberapa jauh hubungan idiom dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan budaya masyarakat pemakainya, perlu pengkajian secara mendalam. Apakah idiom-idiom yang digunakan oleh masyarakat berhubungan dengan perilaku budaya (cultural behaviour), pengetahuan budaya (cultural knowledge), dan benda-benda budaya (cultural artifacts) tertentu dari masyarakat pemakai bahasa Indonesia, hal ini perlu diteliti. 28 1.7 Metode penelitian Penelitian ini adalah penelitian kontrastif, karena caranya yang terpenting adalah membanding-bandingkan. Istilah ‘kontrastif’ ini disesuaikan dengan cara melaksanakan penelitian dengan membanding-bandingkan unsur bahasa dari dua bahasa yang berbeda. Penelitian kontrastif bertujuan untuk mengetahui kesalahan interferensi pada bidang ilmu pengajaran bahasa asing, memahami komponen semantik suatu jenis kata atau kelompok kata tertentu, dan untuk mengetahui beberapa ciri atau kecenderungan kebahasaan yang sifatnya universal (semesta). Seperti yang dikatakan oleh Keenan (1978 : 90). ‘Universals are characterisations of the regularities in the ways languages may differ from another. Structures which differ from one another...are among the primary objects of study.’ Menurut Keenan, keuniversalan bahasa merupakan suatu karakteristik dalam suatu bahasa yang membedakannya dengan bahasa yang lain, dan struktur bahasa yang berbeda merupakan objek primer dalam penelitian bahasa. Di dalam penelitian kontrastif, hasil mengarah pada prinsip keuniversalan yang seharusnya bersifat kumulatif. Artinya, hasil yang diperoleh dengan memperbandingkan dua bahasa yang berlainan itu masih harus terbuka dan mau menerima tambahan dari hasil perbandingan dengan bahasa lain. Cara meneliti kecenderugan dan kebahasaan umum adalah sebagai berikut: (a) melakukan pengamatan terhadap kedua bahasa, (b) membuat keputusan yang berupa teori, yang berisi perbedaan dan persamaan antar kedua bahasa. Berdasarkan arah pandangan tersebut, dapat diuraikan metode yang akan digunakan, tahap-tahap yang dilakukan 29 dalam penelitian ini adalah tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. 1.7.1 Sumber Data Sumber data yang dipakai merupakan sumber data sekunder yakni Oxford Dictionary of Idioms dari Judith Siefring 2004, Dictionary of English Idioms dari Richard A. Spears 1987, kamus American Idioms Dictionary dari Longman 1999 dan kamus Idiom bahasa Inggris Tim Primapena cetakan pertama tahun 2004, Kamus Idiom Bahasa Indonesia dari Abdul Chaer cetakan kedua tahun 1986 , kamus ungkapan dari Badudu cetakan kedua tahun 2009. Batasan data dalam penelitian ini berupa idiom bahasa Inggris berunsur bagian tubuh manusia yang mempunyai padanan makna di dalam bahasa Indonesia. 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Sudaryanto (1993:133) dalam bukunya berjudul Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana dan Kebudayaan Secara Linguist menyatakan bahwa metode simak dilakukan dengan menyimak. Di dalam penelitian ini menyimak kamus–kamus idiom bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia dan buku–buku mengenai idiom. Dijelaskan juga bahwa metode simak memiliki beberapa teknik, baik teknik dasar maupun lanjutan yang berupa teknik catat, yaitu dengan mengamati dan mencatat bentuk idiom bahasa Inggris yang berunsur bagian tubuh 30 manusia kemudian mengklasifikasikan bentuk-bentuk idiom yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan paling sesuai dengan jenis penelitian ini yang menggunakan studi pustaka. 1.7.3 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, data diklasifikasikan dengan menggunakan pendekatan kontrastif untuk munculnya padanan antara idiom bahasa Inggris dan idiom bahasa Indonesia. Metode yang dipakai dalam menganalisis penelitian ini adalah metode agih dan padan. Metode agih yaitu metode yang alat penentunya adalah bagian bahasa yang diteliti. Metode agih di sini digunakan untuk menganalisis data mengenai pilihan kata-kata dalam idiom, masing-masing bahasa yaitu bahasa Indonesia (B.IND) dan bahasa Inggris (B.ING). Metode padan digunakan untuk menganalisis faktor perbedaan diantara kedua bahasa, yakni idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Teknik dasar yang dipakai adalah teknik bagi unsur langsung dengan membagi satuan lingualnya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsurunsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. 1.7.4 Metode Penyajian Hasil Data Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal dan metode penyajian formal (Mahsun 2005:225). Penyajian informal adalah bentuk penyajian dengan menggunakan rumusan kata-kata 31 biasa yang digunakan untuk merumuskan tipe-tipe idiom dalam bahasa Inggris berunsur anggota tubuh manusia yang berpadanan dengan idiom bahasa Indonesia. Sementara dalam penyajian formal peneliti menggunakan tanda lambang atau bentuk tabel atau rumus. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disajikan dalam 5 (lima) bab, dengan perincian sebagai berikut. Bab I : Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori (idiom, kata, frasa, klausa dan kalimat, bentuk dan unsur pembentuk idiom, karakteristik idiom, hubungan bahasa dengan budaya dan hubungan idiom dengan budaya, metode (metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode data, dan metode penyajian hasil analisis), serta sistematika penyajian. Bab II tentang bentuk idiom bahasa inggris berunsur bagian tubuh manusia yang padan dalam bahasa Indonesia. Bab III bentuk idiom bahasa Indonesia. Bab IV berisi tentang perbedaan dan persamaan idiom bahasa Inggris yang mengandung unsur anggota tubuh manusia yang berpadanan dengan idiom bahasa Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bab V Kesimpulan, yang mencakup kesimpulan dari penelitisan dan saran bagi penelitian yang akan datang.