Diksi (Pilihan Kata) - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Bahasa
Indonesia
DIKSI (PILIHAN KATA)
Fakultas
Program Studi
Ekonomi dan Bisnis
Akuntansi
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
MK90008
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Abstract
Kompetensi
Setelah mempelajari materi pada modul
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian diksi
ini
diharapkan
memahami
dan
mahasiswa
menggunakan
dapat
diksi
(pilihan kata) serta berbagai jenis makna
dengan baik dan benar.
2. Menjelaskan fungsi diksi
3. Menjelaskan syarat-syarat diksi
4. Menjelaskan gaya bahasa, idiom,
bahasa artifisial, peranti diksi
5. Menjelaskan proses pembentukan
kata
Diksi (Pilihan Kata)
A. Pengertian Diksi
Seseorang yang menguasai banyak kosa kata dapat menyampaikan gagasannya
dengan baik. Namun, akan lebih baik jika dalam mengungkapkan gagasannya, ia dapat
memilih
atau menem-patkan kata secara tepat dan sesuai. 1 Pilihan kata (diksi) pada
dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alinea,
atau wacana. Pemilihan kata akan dapat dilakukan bila tersedia sejumlah kata yang artinya
hampir sama atau bermiripan. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah
kata yang dapat menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
pendengar. Untuk itu, agar gagasan-gagasan tersebut dapat dengan tepat ada pada
imajinasi pembaca atau pendengar, ketersediaan kata yang dimiliki oleh seorang penulis
mutlak diperlukan yaitu berupa perbendaharaan kata yang memadai, seakan-akan ia
memiliki daftar kata. Persoalan ketepatan pilihan kata dari daftar kata itu akan menyangkut
pula masalah makna kata dan kosa kata seseorang, sehingga dari daftar kata itu dipilih satu
kata yang paling tepat untuk mengungkapkan suatu pengertian. Tanpa menguasai
persediaan kata yang cukup banyak, tidak mungkin seseorang dapat melakukan pemilihan
atau seleksi kata.2
Pemilihan kata bukanlah sekadar kegiatan memilih kata yang tepat, melainkan juga
memilih kata yang cocok. Cocok dalam hal ini berarti sesuai dengan konteks di mana kata
itu berada, dan maknanya tidak bertentangan dengan nilai rasa masyarakat pemakainya.
Untuk itu, dalam memilih kata diperlukan analisis dan pertimbangan tertentu. Hal-hal yang
perlu diperhatikan berkenaan dengan pilihan kata adalah diantaranya penulis/pengarang
mampu membedakan secara cermat denotasi dan konotasi kata, mampu mengetahui kata
kerja yang menggunakan kata depan yang harus digunakan secara idiomatis, mampu
membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, menghindari kata-kata ciptaan sendiri,
waspada terhadap penggunaan kata asing, dan mampu membedakan dengan cermat katakata yang hampir bersinonim. 3 Kata-kata yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi
yang saling melengkapi. Oleh karena itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih
kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga
Hudori K.A. Solihin dan Embay Sa’adah, Terampil Berbahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Uhamka Press, 2003), hlm. 46.
1
2
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2009), hlm.
129.
3
Solihin, Op.Cit., hlm. 47-48.
2016
2
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tidak timbul interpretasi yang berlainan, sebagai contoh, kata mati bersinonim dengan
mampus, meninggal, wafat, mangkat, tewas, gugur, berpulang, kembali ke haribaan Tuhan.
Akan tetapi, kata-kata tersebut tidak dapat bebas digunakan. Mengapa? Ada nilai rasa dan
nuansa makna yang membedakannya. Kita tidak dapat mengatakan Kucing kesayanganku
wafat tadi malam. Sebaliknya, kurang tepat pula jika kita mengatakan Menteri Fulan mati
tadi malam. Itulah contoh hasil analisis dan pertimbangan tertentu. Jadi, ketepatan makna
kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara bentuk bahasa (kata) dengan referensinya. Demikian pula masalah makna
kata yang tepat meminta pula perhatian penulis atau pembicara untuk tetap mengikuti
perkembangan makna kata dari waktu ke waktu.
Dari uraian di atas ada tiga hal yang dapat kita simpulkan, yaitu (1) kemampuan
memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai banyak kosa kata, (2) pilihan
kata mengandung pengertian upaya atau kemampuan membedakan secara tepat kata-kata
yang memiliki nuansa makna yang bersinonim, (3) pilihan kata menyangkut kemampuan
untuk memilih kata yang tepat dan cocok untuk situasi atau konteks tertentu. 4 Dengan
demikian, pilihan kata sebenarnya berhubungan dengan tutur dan tata tulis untuk mewadahi
pikiran. Untuk memilih kata dengan tepat, diperlukan penguasaan kosa kata yang memadai.
Kata yang dipilih harus dapat memberi ketepatan makna karena pada masyarakat tertentu
sebuah kata sering mempunyai makna yang baik, dan pada masyarakat lain memberikan
makna yang kurang baik. Penggunaan kata harus sesuai dengan norma kebahasaan
masyarakat. Agar tidak salah, gunakanlah kamus sebagai pedoman dalam pemilihan kata.
Karena dengan menggunakan kamus, kata-kata yang disajikan tidak hanya sebatas kata,
tetapi juga beserta contoh kalimatnya, sehingga kita bisa melihat dengan tepat konteks kata
tersebut.5
Jadi, yang dimaksud dengan pilihan kata adalah kesanggupan sebuah kata untuk
menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar,
seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.6 Agar maksud dan
tujuan pilihan kata dapat tercapai seperti apa yang telah dituliskan pada definisi tersebut
diperlukan semacam indikator bahwa si pendengar atau pembaca dapat memiliki gambaran
atau
perasaan
yang
sama
layaknya
penulis
atau
pembicara,
yaitu
(1)
dapat
4
Finoza, Op.Cit., hlm. 130.
5
Minto Rahayu, Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi: Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian, (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 69.
6
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 87.
2016
3
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengomunikasikan gagasan dan sesuai berdasarkan kaidah suatu bahasa, dalam hal ini
adalah kaidah bahasa Indonesia, (2) menghasilkan komunikasi puncak (yang paling efektif)
tanpa salah penafsiran atau salah makna, (3) menghasilkan respon pembaca atau
pendengar sesuai dengan harapan penulis atau pembicara, dan (4) menghasilkan target
komunikasi yang diharapkan.
7
Untuk itu diperlukan sesuatu yang disebut dengan
kesesuaian pilihan kata dan ketepatan pilihan kata walaupun kedua kata tersebut memiliki
arti yang berbeda. Ketepatan pilihan kata berkenaan dengan apakah kata yang digunakan
sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan anggapan yang lain antara pembicara
dan pendengar atau penulis dengan pembaca. Adapun yang berkenaan dengan kesesuain
pilihan kata, apakah kata yang digunakan tersebut tidak merusak suasana atau
menyinggung perasaan orang yang diajak berbahasa.8
Agar seseorang dapat mendayagunakan bahasa secara maksimal diperlukan
kesadaran betapa pentingnya menguasai kosakata. Penguasaan kosa kata tidak akan
pernah lepas dari kemampuan menggunakan pilihan kata secara tepat. Memilih kata yang
tepat untuk dapat menyampaikan gagasan ilmiah menuntut penguasaan, seperti (1)
keterampilan yang tinggi terhadap bahasa yang digunakan, (2) wawasan bidang ilmu yang
ditulis, (3) konsistensi penggunaan sudut pandang, istilah, baik dalam makna maupun
bentuk agar tidak menimbulkan salah penafsiran, (4) syarat ketepatan kata, dan (5) syarat
kesesuaian kata. Oleh karena itu, ketepatan pemilihan kata terkait dengan konsep, logika,
dan gagasan yang hendak ditulis dalam karangan. Ketepatan tersebut akan dapat
menghasilkan kepastian makna, sedangkan kesesuaian kata menyangkut kecocokan antara
kata yang dipakai dengan situasi yang hendak diciptakan, sehingga tidak mengganggu
suasana batin, emosi, atau psikis antara penulis dan pembacanya, pembicara dan
pendengarnya. Oleh karena itu, untuk menghasilkan karangan berkualitas, penulis harus
memperhatikan ketepatan dan kesesuaian kata. 8 Agar dapat memiliki ketepatan dan
kesesuaian kata dalam pemilihan kata, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
B. Syarat-syarat Pemilihan Kata
Kemahiran memilih kata oleh seorang pengarang/penulis tentunya berkaitan erat
dengan penguasaan kosakata. Seorang pengarang/penulis yang menguasai kosakata,
selain mengetahui makna sebuah kata, ia juga tentunya memahami perubahan makna. Di
Widjono Hs., Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi. (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 98.
7
8
Widjono Hs, Ibid., hlm. 100–101.
2016
4
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
samping itu, agar dapat memilih kata yang akurat, seorang penulis/pengarang harus
menguasai sejumlah persyaratan. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang
penulis/pengarang dapat menghasilkan sebuah tulisan/karangannya dengan baik, yaitu
dapat membedakan denotasi dan konotasi, dapat membedakan kata-kata yang hampir
bersinonim, dapat membedakan kata-kata yang hampir mirip ejaannnya, dapat memahami
dengan tepat makna kata-kata abstrak, dapat memakai kata penghubung yang berpasangan
dengan tepat, dapat membedakan kata umum dan kata khusus dengan tepat.9 Perhatikan
uraian di atas tersebut dengan contoh-contoh di bawah sekaligus untuk melatih ketajaman
pemahaman.
1. Dapat membedakan denotasi dan konotasi.
Contoh:
a. Hari Minggu lalu, Saras jatuh ketika sedang naik sepeda bersama teman-temannya.
b. Syarat utama seseorang bisa naik haji adalah dia tergolong orang yang mampu, baik
secara material maupun spiritual.
2. Dapat membedakan kata-kata yang hampir bersinonim.
Contoh:
Selama tiga bulan ini, rencana kami masih dalam rangka memberolahragakan karyawan
Setiap Sabtu pagi, Wandasti bersama kedua orang tuanya selalu mengolahragakan
badan mereka agar selalu sehat.
3. Dapat membedakan kata-kata yang hampir mirip dalam ejaannya.10
Contoh:
Intensif – insentif
preposisi – proposisi
Interferensi – inferensi
korporasi – koperasi
Karton – kartun
sarat – syarat
4. Dapat memahami dengan tepat makna kata-kata abstrak
Contoh:
kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, keamanan, kerukunan, kebersamaan
5. Tidak menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan pendapat sendiri jika
pemahaman belum dapat dipastikan. Maka, pemakai kata harus menemukan makna
yang tepat dalam kamus, misalnya, kata modern sering diartikan secara subjektif
canggih, padahal menurut kamus, kata modern berarti terbaru atau mutakhir; canggih
berarti banyak cakap, suka mengganggu, banyak mengetahui, dan bergaya intelektual.11
9
Keraf, Op.Cit., hlm. 88–89.
10
Finoza, Op.Cit., hlm. 132.
11
Widjono Hs., Op.Cit., hlm. 99.
2016
5
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
6. Dapat memakai kata penghubung yang berpasangan secara tepat.
Contoh:
Antara karyawan dengan atasan harus selalu saling bekerja sama.
Nurdiana tidak mau menerima hadiah berbentuk barang, tetapi berupa uang.
Baik anak maupun orang tua ikut menyaksikan pertandingan itu.
Bukan Imron yang tidak bersalah, melainkan Husen yang telah melakukannya.
7. Dapat membedakan kata umum dan kata khusus dengan benar.
Kata ikan merupakan kata umum yang merujuk pada acuan yang lebih luas daripada
kata mujair atau tawes. Ikan tidak hanya mujair atau tidak hanya tawes, tetapi ikan terdiri
atas beberapa macam. Dalam hal ini yang acuannya lebih luas disebut kata umum,
seperti ikan, sedangkan kata yang acuannya lebih khusus disebut kata khusus, seperti
mujair dan tawes. Kata umum disebut dengan istilah superordinat, sedangkan kata
khusus disebut dengan hiponim. 12 Hal ini juga berlaku pada kata bunga dan mawar.
Bunga disebut dengan superordinat, sedangkan mawar adalah hiponim.
8. Jika seorang pengarang/penulis menggunakan imbuhan asing, dia harus memahami
maknanya secara tepat, misalnya, dilegalisir seharusnya dilegalisasi, koordinir
seharusnya koordinasi.13
9. Menggunakan kata-kata idiomatik berdasarkan susunan (pasangan) yang benar,
misalnya, berdasarkan pada yang seharusnya berdasar pada.
10. Menggunakan kata yang berubah makna dengan cermat, misalnya, kata issue yang kata
tersebut berasal dari bahasa Inggris yang berarti publikasi, kesudahan, perkara,
sedangkan isu dalam bahasa Indonesia berarti kabar yang tidak jelas asal-usulnya,
kabar angin, atau desas-desus.14
Untuk mempertajam pemahaman makna, terkadang kita memerlukan terjemahan
asing, terutama bahasa Inggris sebagai pembanding, sebab perbedaan nuansa makna
antarkata yang bermiripan itu terkadang begitu tipis. Dengan memahami makna yang tepat
akan dapat dilakukan pemilihan kata yang akurat. Bandingkan dengan cermat tatanan katakata bahasa Indonesia dalam bahasa Inggris pada tabel di bawah ini.
12
E. Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi: Sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2008), hlm. 31.
13
Widjono Hs. Op.Cit., hlm. 99.
14
Ibid.
2016
6
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
PERBANDINGAN KATA INDONESIA–INGGRIS DALAM UPAYA MENDAPATKAN
PILIHAN KATA YANG TEPAT15
Bahasa Indonesia
perencanaan
rencana
jadwal
agenda, acara
rancangan, desain
hampa, vakum
kompong
kosong
blanko
luang
lowong, lowongan
Nihil
Bahasa Inggris
planning
plan
program
agenda
desain
vacuum
void
empty
blank
free
vacant, vacancy
nil, nought
Selanjutnya, harus dibedakan pilihan kata yang tidak cermat, yang hanya menegaskan
sesuatu dengan kira-kira, dengan pilihan kata yang tidak tepat, tidak betul, atau tidak kena.
Pilihan kata yang tidak cermat berhubungan dengan pikiran yang kabur, pilihan kata yang
tidak betul dengan ketidaktahuan, misalnya, nyaris mendapat hadiah, menduduki juara
pertama, merupakan contoh pilihan kata yang tidak tepat.16
Pemakaian pewatas yang berlebih juga dapat mengurangi kekuatan dan kecermatan
pilihan kata. Jika kata benda dan kata kerja masing-masing tidak dapat menjelaskan
maksud, kita tidak perlu menambahkan pewatas yang sebenarnya tidak memperjelas
keterangan. Kata atau ungkapan yang banyak disalahgunakan antara lain; cukup, relatif,
pasti, sering, sangat, banyak, selalu, sama sekali, misalnya, cukup memuaskan, relatif lebih
murah, pasti menang, sering menyalahgunakan kekuasaan, sangat meyakinkan, banyak
pejabat yang tidak mau bertanggung jawab, selalu datang terlambat, sama sekali belum
makan.17
C. Gaya Bahasa dan Idiom
1.
Gaya Bahasa
15
Finoza, Op.Cit., hlm. 134.
16
Alek A dan Achmad H.P., Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm. 236.
17
Ibid., hlm. 235.
2016
7
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kata dan ungkapan dapat ditafsirkan menurut arti harfiah dan menurut arti majasinya.
Arti harfiah itu sama dengan denotasi atau makna sebenarnya. Arti majasi diperoleh jika
denotasi kata atau ungkapan dialihkan dan mencakupi juga denotasi lain bersamaan
dengan tautan pikiran lain.18 Gaya bahasa atau langgam bahasa dan sering juga disebut
majas adalah cara penutur mengungkapkan maksudnya. Banyak cara yang dapat dipakai
untuk mengungkapkan maksud. Ada cara yang memakai perlambang (majas metafora,
personifikasi); ada cara yang menekankan kehalusan (majas eufemisme, litotes); dan masih
banyak lagi majas yang lainnya. Semua itu pada prinsipnya merupakan corak seni
berbahasa atau retorika untuk menimbulkan kesan tertentu bagi mitra komunikasi kita
(pembaca/pendengar).19
Sebelum menampilkan gaya tertentu ada enam faktor yang mempengaruhi tampilan
bahasa seorang komunikator dalam berkomunikasi dengan mitranya, yaitu (a) cara dan
media komunikasi, apakah secara lisan atau tulisan, langsung atau tidak langsung, media
cetak atau media elektronik; (b) bidang ilmu, apakah filsafat, sastra, hukum, teknik, atau
kedokteran; (c) situasi, apakah resmi, tidak resmi, atau setengah resmi, (d) ruang atau
konteks, apakah seminar, kuliah, ceramah, atau pidato; khalayak: apakah dibedakan
berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status sosial; (e) tujuan, apakah
membandingkan emosi, diplomasi, humor, atau informasi. 20 Keenam hal tersebut turut
membentuk dan mempengaruhi seseorang dalam melakukan kegiatan tindak tutur bersama
rekannya.
Syarat-syarat apa saja yang diperlukan untuk membedakan suatu gaya bahasa yang
baik dengan gaya bahasa yang buruk? Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung
tiga unsur berikut; kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran berarti mengikuti aturan
dalam kaidah berbahasa. Lalu, yang dimaksud dengan sopan santun di sini berarti
menyampaikan sesuatu secara jelas dan membuat pembaca atau pendengar tidak
memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Kemudian, yang
dimaksud dengan menarik di sini adalah bahwa gaya bahasa tersebut harus dibuat
bervariasi, sehingga akan menghindari monotomi dalam nada, struktur, dan pilihan kata.
Untuk itu, seorang penulis/pengarang perlu memiliki kekayaan dalam kosakata dan humor
18
Ibid., hlm. 237.
19
Finoza, Op.Cit., hlm. 135.
20
Ibid.
2016
8
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa nikmat dan
gembira.21
2. Idiom
Ungkapan idiomatik adalah ugkapan yang khas pada suatu bahasa yang salah satu
unsurnya tidak dapat dihilangkan atau diganti. Ungkapan idiomatik adalah kata-kata yang
mempunyai sifat idiom yang tidak terkena kaidah ekonomi bahasa.22 Oleh karena itu, setiap
kata yang membentuk idiom berarti di dalamnya sudah ada kesatuan bentuk dan makna.
Meski dengan prinsip ekonomi bahasa pun, salah satu unsurnya tetap tidak boleh
dihilangkan. Setiap idiom sudah terpatri sedemikian rupa sehingga para pemakai bahasa
mau tidak mau harus tunduk pada aturan pemakainya. Sebagian besar idiom yang berupa
kelompok kata, misalnya, gulung tikar, adu domba, muka tembok tidak boleh dipertukarkan
susunannya menjadi *tikar gulung, *domba adu, *tembok muka karena ketiga kelompok kata
yang terakhir itu bukan idiom.23
Biasanya, idiom juga digolongkan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia.
Padahal, pengertian idiom jauh lebih luas daripada peribahasa. Untuk mengetahui makna
sebuah idiom, setiap orang harus mempelajarinya sebagai seorang penutur asli, tidak
mungkin hany melalui makna dari kata-kata yang membentuknya. Jadi, pengertian idiom
adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum,
biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau
secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya.
24
Misalnya, ada seorang asing yang sudah mengetahui makna kata makan dan tangan, tidak
akan memahami frasa makan tangan. Siapa orang yang akan berpikir bahwa makan tangan
sama artinya dengan kena tinju atau beruntung besar? Selanjutnya, masib terdapat idiom
dengan kata makan lainnya, seperti makan garam yang berarti berpengalaman dalam hidup,
makan hati yang berarti bersusah hati karena perbuatan orang lain, makan suap yaitu
menerima uang sogok.
Di bawah tingkatan idiom ini ada pasangan kata yang selalu muncul bersama sebagai
frasa. Kelompok kata bertemu dengan, dibacakan oleh, misalnya, bukan idiom, tetapi
berperilaku idiom. Pasangan kelompok kata semacam ini pantas disebut ungkapan
21
Keraf, Op.Cit., hlm. 113–115.
22
Arifin, Op.Cit., hlm. 53.
23
Finoza, Op.Cit., hlm. 135–136.
24
Keraf, Op.Cit., hlm. 109.
2016
9
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
idiomatik. 25 Kedua contoh kata di bawah ini belum beraroma idiomatis karena tidak berisi
ungkapan idiomatik.
(1) Presiden Rusia, Vladimir Putin, bertemu Presiden RI, SBY.
(2) Berita selengkapnya dibacakan Putra Nababan.
Dengan alasan ekonomi bahasa pun contoh (1) dan (2) tetap salah karena terasa
timpang. Pembetulannya tidak lain adalah dengan cara menempatkan pasangan serasi bagi
kata bertemu, yaitu dengan; dan pasangan serasi bagi kata dibacakan, yaitu oleh.
(1a) Presiden Rusia, Vladimir Putin, bertemu Presiden RI, SBY.
(2a) Berita selengkapnya dibacakan oleh Putra Nababan.
3. Bahasa Artifisial
Bahasa artifisial adalah bahasa yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial tidak
terkandung dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk menyatakan
suatu maksud. Fakta-fakta yang sederhana dapat diungkapkan dengan sederhana dan
langsung tak perlu disembunyikan.26 Dalam karya sastra memang perlu ditampilkan bahasa
yang artifisial. Dalam bahasa umum atau bahasa ilmiah, bahasa artifisial perlu dihindari.
Dalam menyampaikan sesuatu secara tertulis, setiap penulis memang harus memperhatikan
bagaimana dan apa yang ditulis. Namun, bila konsentrasi lebih ditekankan kepada
bagaimana ia harus menulis tanpa memperhatikan apa yang ditulis, tulisannya akan
cenderung mengarah ke tulisan yang artifisial. 27
Sebagai contoh bahasa artifisial adalah sebagai berikut; Ia mendengar kepak sayap
kelelawar dan guyuran sisa hujan dari dedaunan, karena angin pada kemuning. Ia
mendengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti yang jauh. Kalimat-kalimat tersebut di atas dapat diubah menjadi bahasa biasa
adalah sebagai berikut; Ia mendengar bunyi sayap kelelawar dan sisa hujan yang ditiup
angin di daun. Ia mendengar derap kuda dan pedati ketika langit mulai terang.
4.
Peranti-peranti Diksi
Agar tercipta pilihan kata yang tepat dan sesuai dengan konteks kalimat, sehingga apa
yang dirasakan dan dibayangkan oleh penulis dan pembicara dapat dirasakan dan
dibayangkan pula oleh si pembaca dan pendengar. Jika hal tersebut dapat tercapai tentunya
25
Finoza, Op.Cit.
26
Keraf, Op.Cit., hlm. 110.
27
Solihin, Op.Cit., hlm. 53.
2016
10
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
akan dapat tercipta suatu komunikasi yang efektif dan efisien, sehingga akan ada
pemahaman yang baik dan terhindar dari kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Selain
hal-hal tersebut di atas, masih ada yang perlu diperhatikan, yaitu; (1) bernilai rasa, belum
tentu kata yang bernilai rasa tinggi termasuk ke dalam dimensi kebakuan, namun
sebaliknya, ada kata yang menggunakan ragam santai atau bahkan tidak bernilai rasa sama
sekali, justru bisa jadi merupakan bagian ragam baku. Jika hal seperti itu terjadi harus
dipertimbangkan secara cermat laras bahasanya dan sekaligus perlu dipertimbangkan
segala hal yang menyangkut konteks kebahasannya,28 kemudian (2) ragam baku dan ragam
tidak baku, yang disebut sebagai ragam baku adalah ragam yang dilembagakan serta diakui
oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai
kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya, sedangkan ragam tidak baku
adalah sebaliknya.29 Contoh untuk nomor (1) dalam konteks pemakaian umum kata wanita
dan perempuan sering dipersoalkan. Ada yang mengatakan bahwa bentuk perempuan lebih
benar, tetapi ada pula yang mengatakan perempuan itu tidak memiliki nilai rasa, sedangkan
untuk yang nomor (2) bentukan kata merubah dengan mengubah yang sering kali salah,
tidak hanya diucapkan, tetapi juga dituliskan. Padahal, bentukan baku dari kedua kata
tersebut adalah mengubah dan bukan merubah.
Kemudian, selain kedua hal tersebut di atas, hal lain yang masih harus diperhatikan
adalah (3) masalah penyempitan dan perluasan makna, hal ini dapat selalu terjadi karena
bahasa yang hidup selalu berkembang. Tuntutan yang demikian itu hadir karena adanya
dinamika bahasa. Melalui inovasi dan kreativitas kebahasaan akan dapat dimunculkan
makna-makna kebahasaan yang baru, 30 setelah itu (4) ragam sosiolek dan fungsiolek,
ragam sosiolek merupakan ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan
atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat,
sedangkan ragam fungsiolek merupakan ragam fungsional yang dikaitkan dengan profesi,
lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan
keresmian kedaan penggunanya. Dalam kenyataan, ragam fungsional menjelma sebagai
bahasa negara dan bahasa teknis keprofesian, seperti bahasa dalam keilmuan atau
teknologi, kedoketran, dan keagamaan.31
28
R. Kunjana Rahardi, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Erlangga, 2009),
hlm. 34.
29
Solihin, Op.Cit., hlm. 51.
30
Rahardi, Op.Cit., hlm. 37.
31
Solihin, Op.Cit., hlm. 52–53.
2016
11
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Contoh untuk yang nomor (3) kita ambil kata pendeta, yang telah mengalami
penyempitan makna, yang semula bermakna orang yang berlimu, saat ini hanya dapat
digunakan untuk kata yang bermakna pengajar atau pengkhotbah agama Kristen dan yang
untuk perluasan kita ambil contoh kata bapak dan ibu, yang semula untuk sebutan seorang
anak kepada kedua orang tuanya, saat ini dijadikan sebagai sebutan secara umum. Kedua
kata tersebut bisa digunakan dalam berbagai lingkungan dan situasi, salah satunya dalam
lingkungan perkantoran, yaitu karyawan sebagai atasan atau bawahannya, atau sebutan
lainnya, yang paling tidak sebagai bentuk penghargaan kepada seseorang dalam bentuk
kata sapaan, sedangkan contoh untuk nomor (4) adalah kata-kata seperti golf, film, dan
folio, ekstra adalah bentuk-bentuk ucapan sosiolek bagi yang pernah mengenyam
pendidikan, bandingkan dengan golep, pilem/pelem, polio, dan estra, ucapan-ucapan seperti
yang tersebut dapat kita katakan bahwa orang tersebut mungkin belum pernah mengenyam
pendidikan. Untuk contoh ragam fungsiolek adalah istilah-istilah yang ada pada bidang
pekerjaan atau kegiatan tertentu, yaitu kata kohesi yang dalam ilmu fisika berarti gaya tarikmenarik di antara molekul sejenis dalam suatu benda, sedangkan pada linguistik yaitu
keterkaitan antarunsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana yang ditandai antara
lain konjungsi, pengulangan, penyulihan, dan pelesapan.
Peranti-peranti berikut yang harus ada dalam proses pemilihan kata adalah; (5)
keaktifan kata dan kepasifan kata. Yang dimaksud dengan keaktifan kata adalah kata-kata
yang banyak digunakan oleh tokoh masyarakat, sehingga kata-kata yang semula pasif, yaitu
jarang digunakan, menjadi aktif lagi dan siap untuk digunakan. Dalam kerangka dinamika
bahasa, fakta demikian lazim karena telah terjadi proses kreatif, yakni kreativitas yang
sifatnya membangkitkan,32 selanjutnya (6) kata yang berhubungan dengan indra/sinestesia
yaitu istilah-istilah yang menyatakan pengalaman-pengalaman yang diserap pancaindra,
seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, penciuman. Hubungan satu indra
dengan indra yang lain begitu rapat, sehingga kata yang sebenarnya hanya dikenakan pada
satu indra dikenakan pula pada indra yang lain,33 dan yang terakhir adalah (7) kelugasan
kata yaitu kata-kata yang sekaligus juga ringkas, tidak merupakan frasa panjang, tidak
mendayu-dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit.34
Contoh untuk nomor (5) adalah kata terkini yang merupakan bentukan tidak benar.
Tidak banyak orang tahu bahwa bentuk kebahasaan yang demikian itu sesungguhnya tidak
32
Rahardi, Op.Cit., hlm. 38.
33
Solihin, Op.Cit., hlm. 49
34
Rahardi, Op.Cit., hlm. 36.
2016
12
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
benar dari sisi kebahasaan. Bentuk kata keterangan kini tidak mungkin dapat ditambahkan
dengan awalan ter-. Untuk nomor (6) kata yang termasuk sinestesia adalah sedap dan
manis. Kedua kata tersebut digunakan jika berhubungan dengan indra pengecap/perasa,
tetapi kedua kata tersebut dapat digunakan untuk kata yang tidak berhubungan dengan
indra tersebut, contoh Sedap betul kedengarannya kata-katanya itu dan Gadis manis
berkepang dua itu istri saya. Untuk bagian terakhir (7) contohnya adalah kata-kata yang
berhubungan dengan hal yang tabu, seperti kata penis lebih lugas daripada zakar dan
sanggama lebih lugas daripada berhubungan badan atau koitus.
D. Pembentukan Kata
Salah satu cara untuk memperluas perbendaharaan kata adalah dengan menganalisis
sebuah kata. Namun, yang khusus akan dibicarakan di sini adalah analisis terhadap bagianbagian kata yang selalu muncul dalam bentuk-bentuk gabungan, sehingga dengan
mengingat dasar katanya, semua kata yang mempergunakan dasar tadi, dapat diduga
maknanya secara tepat. Bagian-bagian kata yang selalu muncul dalam bentuk gabungan itu,
dapat berupa akar kata, dapat pula berbentuk imbuhan-imbuhan.
35
Ada dua cara
pembentukan kata, yaitu dari dalam dan dari luar bahasa Indonesia. Dari dalam bahasa
Indonesia terbentuk kosakata baru dengan dasar kata yang sudah ada, sedangkan yang
dari luar terbentuk kata baru melalui unsur serapan. 36 Bahasa Indonesia mengenal pula
konsep akar kata. Namun, konsep akar kata dalam bahasa Indonesia agak berbeda bila
dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain, seperti Sansekerta, Latin, dan Yunani. Akar kata
dalam bahasa Indonesia merupakan hasil dari sebuah analisis hipotesis karena tidak
produktif lagi, contohnya terdapat akar kata kit yang diperkirakan bermakna naik, misalnya,
rakit, sakit, ungkit, bukit, bangkit. Namun, akar kata tersebut tidak dapat dipakai seenaknya
untuk membentuk kata-kata baru, seperti halnya akar kata dari bahasa Sansekerta, Arab,
Latin, dan Yunani. Akar-akar kata dari bahasa-bahasa tersebut masih tetap produktif untuk
membentuk kata-kata baru.37
Kita sadar bahwa kosakata bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa asing,
kontak bahasa memang tidak dapat dielakkan karena kita berhubungan dengan bangsa lain.
Oleh sebab itu, pengaruh-memengaruhi dalam hal kosakata pasti akan selalu ada. Kata-
35
Keraf, Op.Cit., hlm. 71.
36
Arifin, Op.Cit., hlm. 33.
37
Keraf, Op.Cit., hlm. 72.
2016
13
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kata pungut adalah kata yang diambil dari kata-kata asing. Hal ini disebabkan oleh
kebutuhan kita terhadap nama dan penamaan benda atau situasi tertentu yang belum
dimiliki bahasa Indonesia. Pemungutan kata-kata asing yang bersifat internasional sangat
kita perlukan karena kita memerlukan suatu komunikasi dalam dunia dan teknologi modern,
kita memerlukan komunikasi yang lancar dalam segala macam segi kehidupan. Kata-kata
pungut tersebut ada yang dipungut tanpa diubah, tetapi ada juga yang diubah. Kata-kata
pungut yang sudah disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia disebut bentuk serapan.38
Bentuk-bentuk serapan itu ada empat macam; (1) Mengambil kata yang sudah sesuai
dengan ejaan bahasa Indonesia, seperti: bank, opname, dan golf. (2) Mengambil kata dan
menyesuaikan kata tersebut dengan ejaan bahasa Indonesia, seperti: subject menjadi
subjek, apotheek menjadi apotek, standard menjadi standar, dan university menjadi
universitas. (3) Menerjemahkan dan memadankan istilah-istilah asing ke dalam bahasa
Indonesia, seperti; starting point menjadi titik tolak, meet the press menjadi jumpa pers, up
to date menjadi mutakhir, briefing menjadi taklimat, dan hearing menjadi dengar pendapat.
(4) Mengambil istilah yang tetap seperti aslinya karena sifat keuniversalannya, yaitu; de
facto, status quo, cum laude, dan ad hoc. (5) Dapat juga menyerap dari bahasa daerah. (6)
Berikut didaftarkan beberapa kata serapan, seperti configuration menjadi konfigurasi, list
menjadi senarai, pavilion menjadi anjungan, airport menjadi bandara, editing menjadi
penyuntingan, established menjadi mapan, general reherseal menjadi geladi bersih, image
menjadi citra, sophisticated menjadi mutakhir, take off menjadi lepas landas, snack menjadi
kudapan, gap menjadi kesenjangan, dan customer menjadi pelanggan atau nasabah,
ambiguous menjadi taksa, supervision menjadi penyelia, full time menjadi purnawaktu, drain
menjadi salir, domain menjadi ranah.
Ketika menggunakan kata, terutama dalam situasi resmi, kita perlu memperhatikan
beberapa ukuran, yaitu (1) kata yang lazim dipakai dalam bahasa tutur atau bahasa
setempat sebaiknya dihindari dan kata-kata tersebut dapat digunakan bila sudah menjadi
milik umum, (2) kata-kata yang mengandung nilai rasa hendaknya dipakai secara cermat
dan hati-hati agar sesuai dengan tempat dan suasana pembicaraan, dan (3) kata yang tidak
lazim dipakai seharusnya dihindari, kecuali kalau sudah dipakai oleh masyarakat.39
Untuk contoh nomor (1), misalnya, kata nongkrong dan raun, sedangkan kata-kata
yang sudah dianggap sebagai milik umum, seperti ganyang, lugas, heboh, santai,
anjangsana, kelola, dan pamrih. Lalu, contoh nomor (2) yaitu kata-kata seperti tunanetra
38
Arifin, Op.Cit., hlm. 34.
39
Ibid., hlm. 35–36.
2016
14
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan buta, tunarungu dengan tuli, dan tunawicara dengan bisu. Kemudian, contoh untuk
nomor (3), kata-kata seperti; konon, bayu, laskar, puspa, lepau, dan didaulat.
Yang terpenting dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa dalam menyusun atau
membentuk konsep-konsep ilmiah yang baru, para ilmuwan ternyata juga sering
mempergunakan akar-akar kata dalam bahasa Yunani dan Latin yang sudah terkenal.
Dengan mengetahui akar-akar kata tersebut, pada saat pertama kali kita menemukan suatu
istilah baru, kita sudah dapat menduga makna istilah tersebut.40
Akar-akar kata dari bahasa Yunani yang sering dipergunakan seperti untuk maksud
tersebut di antaranya, seperti aero (udara) menjadi bentukan aerodinamik, aerobik, dan
aeronautika, kemudian bio (hidup) menjadi bentukan biokimia, biogenesis, dan bioskop,
serta photos (cahaya) menjadi fotograf, fotosintesis, dan fototelegraf. Akar-akar kata dari
bahasa Latin yang juga sering dipergunakan, seperti aqua menjadi akuarium, akuades, dan
akuarius, kemudian dic/dict (berkata) menjadi diktator, predikat, dan kontradiksi, serta
scrib/script (menulis) menjadi skripsi, transkripsi, dan deskripsi.
Di samping akar-akar kata yang berasal dari bahasa Yunani dan Latin, awalan dari
kedua bahasa tersebut juga sering digunakan untuk membentuk kata-kata atau istilah-istilah
baru.41 Prefiks atau awalan yang terpenting yang sering digunakan dari bahasa Yunani di
antaranya, seperti a-/an- (tidak/tanpa) menjadi anarki, anekdot, dan anemia, prefiks ini
diimbangi oleh prefiks tak-, misalnya, taksosial, taksadar, dan takinsaf, kemudian homo(sama) menjadi homogen, homonim, dan homoseks, serta tele- (jauh) menjadi televisi,
telepon, telegraf. Awalan yang sering digunakan dari bahasa Latin, di antaranya; seperti bi(dua, dua kali), misalnya, bilateral, bilingual, dan biliun, prefiks ini diimbangi dengan dwi-,
seperti; dwiwarna, dwikora, dan dwiminggu, kemudian ante- (sebelum, di depan), yaitu
anteseden, antemeridiem, dan antedate, prefiks ini diimbangi oleh prefiks purba-, seperti
purbakala, purbasangka, dan purbasangka. Contoh terakhir, yaitu prefiks post- (sesudah),
misalnya, postgraduate, postlude, dan postskriptum, prefiks ini diimbangi dalam bahasa
Indonesia menjadi pasca-yaitu pascasarjana, pascapanen, dan pascaperang.
40
Keraf, Op.Cit.
41
Ibid., hlm. 75.
2016
15
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Alek A dan Achmad H.P. 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi: Sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Jakarta: Akapress
Finoza, Lamuddin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia: Untuk Mahasiswa Nonjurusan
Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Hs, Widjono. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Rahardi, R. Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga.
Rahayu, Minto. 2009. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi: Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian. Jakarta: Grasindo.
Solihin, Hudori K.A., dan Embay Sa’adiah. 2003. Terampil Berbahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Uhamka Press.
2016
16
Bahasa Indonesia
Supriyadi, S.Pd., M.Pd.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download