bangkitnya budaya intelektualitas jawa di kediri 1915

advertisement
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pada awal abad ke-20, Gemeente Kediri1 diramaikan dengan mulai
dibukanya toko buku Tan Khoen Swie pada tahun 1905. Sepuluh tahun kemudian
(1915), pemilik toko membuka penerbitan yang kemudian diberi nama Boekhandel
Tan Khoen Swie. Ramainya kegiatan transaksi selama kurun waktu tahun 19201926 dapat dibaca dalam sepuluh surat pembaca dari berbagai kota di Jawa Timur
yang dilayangkan kepada redaksi Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri. Surat Ik Tie
Tjoe dari Banyuwangi dengan gembira dan bersyukur atas kiriman dan
diterbitkannya Buku Sioe Lian, demikian pula ucapan senada Ik Tjong Tjoe dari
Jember, Ik Kan Tjoe Probolinggo, Boen Sim Tjoe Pasuruan, selain Buku Sioe Lian
khususnya Boen Sim Tjoe meminta Tan Khoen Swie untuk menerbitkan ilmu
theosofi.2
Demikian pula Soe Pin Kie Soe beralamat Surabaya mendatangi langsung
ke dapur redaksi Boekhandel Tan Khoen Swie setelah membaca Buku Sioe Lian
Sejarah status kota Kediri dimulai Sejak 1 April 1906, dengan ditetapkan
sebagai Gemeente. Sifat pemerintahan otonom terbatas, dan memiliki Gemeente
Raad sebanyak 13 orang, yang terdiri atas 8 orang golongan Eropa dan yang
disamakan, 4 orang Pribumi (Inlander) dan 1 orang bangsa Timur Asing. Dalam
perkembangannya, kota Kediri pada 1 Nopember 1928 menjadi Zelfstanding
Gemeenteschap (menjadi otonom penuh) mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929.
Lihat Staatsblad no. 148 tertanggal 1 maret 1906, dan berdasarkan Staatsblad No.
173 tertanggal 13 Maret 1906. Lihat juga Staatsblad No. 498 Tahun 1928.
1
2
Surat-surat para pembaca dapat dibaca pada buku Kitab Sioe Lian. Lihat
Ien Sie Tjoe, Kitab Sioe Lian (Samadhi), cetakan ke-2, (Kediri : Boekhandel Tan
Khoen Swie, 1926), hlm. 7, 28, 30, 32.
2
dan banyak memujinya. Tjing Tjaij Tjoe Djien dari Kertosono, Siauw Jauw Loo
Djien dari Kediri, Boen Iet Ong Tulungagung, Kwan Liam Tjoe Blitar, dan Boe
Bing Tjoe dari Malang, mereka memuji dan berterima kasih atas kiriman buku-buku
Tan Khoen Swie.3 Pada periode berikutnya kota itu menjadi dikenal di seluruh Jawa
dan luar Jawa berkat buku-buku produk penerbitan tersebut.
Aktivitas penting penerbitan yang dikendalikan oleh Tan Khoen Swie itu
menjadi perhatian M.C. Ricklefs. Dalam Bagian sub bab karyanya, Ricklefs
membahas tiga buku produk Boekhandel Tan Khoen Swie, Babad Kadhiri, Suluk
Gatholoco dan Serat Darmogandhul yang dinilai mengandung unsur ajaran
penyebab munculnya konflik-konflik horisontal yang berujung pada terbentuknya
polarisasi pada masyarakat Jawa pada awal abad ke-20.4
Menurut Subardi, munculnya konflik-konflik tersebut dinilai juga terkait
dengan kondisi masyarakat yang semakin melek huruf dan berkembang
intelektualitasnya setelah naskah-naskah klasik itu diubah dari bentuk macapat
menjadi bacaan bebas oleh Tan Khoen Swie.5
3
Ien Sie Tjoe, Kitab Sioe Lian (Samadhi), cetakan ke-2, (Kediri :
Boekhandel Tan Khoen Swie, 1926), hlm. 34, 36, 38, 40, 41, dan 45.
4
M.C. Ricklefs, Polarising Javanese Society Islamic and Other Visions
(Singapore: NUS Press, 2007), hlm.181.
5
Subardi, “Transformasi Teks Macapat Terbitan Boerkhandel Tan Khoen
Swie”, Disertasi, Universitas Negeri Malang, Program Pascasarjana Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia Oktober 2012.
3
Perbincangan tentang Tan Khoen Swie tidak hanya marak di dunia
akademik,6 di kalangan jurnalis, pembicaraan itu menjadi tema yang menarik.
Beberapa penulis media massa,7 memaparkan dengan tema bervariasi. Hal yang
menarik dari perbincangan itu memberi kata sepakat bahwa Tan Khoen Swie
sebagai seorang perubah (man of change) yang telah melakukan upaya merubah
kondisi masyarakat yang berbudaya tutur menjadi budaya baca.
Pembicaraan tentang Tan Khoen Swie tidak terlepas dengan tempat
usahanya, yaitu kota Kediri. Secara historis, Kediri menyimpan kenangan sebagai
kerajaan pusat sastra yang telah menerbitkan buku-buku kakawin. Buku-buku itu
pada abad ke-18 dan ke-19 telah disusun dan ditulis kembali oleh Yasadipura.8 Oleh
Pigeaud, periode itu disebut sebagai renaisance Sastra Jawa di Surakarta.9 Apakah
kemudian kota itu akan dibangkitkan kembali sebagai pusat sastra oleh Tan Khoen
Swie ? Sebuah pertanyaan menarik. Terlepas dari pandangan yang menggoda itu,
Kediri juga mengalami imbas dari berakhirnya masa kapujanggan di keraton
Surakarta.
6
Belly Isayoga Kristowidi, “Boekhandel Tan Khoen Swie 1915-1950-an:
Nilai Kultural dalam Terbitan TKS”. Skripsi S-1 Sejarah Unair Surabaya, 2012.
7
Seperti antara lain Djulianto Susantio, “Mengenang Boekhandel Tan
Khoen Swie”, dalam Jurnal Ilmu Arkeologi, Minggu, 24 Mei 2009. Sawega A.M,
“Peran Kebudayaan Tan Khoen Swie”, Kompas, Sabtu, 6 April 2002. Seno Joko
Suyono, dkk., “Harta Karun Boekhandel Tan Khoen Swie”, Tempo Interaktif, 21
Oktober 2002.
8
S. Margana, Pujuangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 21, 47-48.
9
hlm. 7.
Th. Pigeaud, The Literature of Java, Vol.I, (The Hague : M. Nijhoff, 1967),
4
Setelah
berakhirnya
periode
kapujanggan, atau
saat
kematian10
Pujangga
Ranggawarsita pada tahun 1873, tidak ada lagi naskah-naskah yang dihasilkan dari
keraton, sementara masyarakat memerlukan sumber baca. Faktor yang lain,
ditunjang suasana kondusif di luar keraton terutama di wilayah-wilayah pedalaman,
keseragaman budaya pada golongan terpelajar semakin menguat. Oleh karena itu
budaya kapujanggan di keraton Surakarta yang dianggap sebagai satu-satunya
peradaban asli Jawa keluar dan menyebar, berkembang di berbagai wilayah.
Perkembangan budaya kapunjanggan (budaya menulis) atau kepengarangan di
berbagai wilayah diikuti pula dengan munculnya berbagai penerbitan.
Penulis-penulis lokal di luar keraton bermunculan di berbagai wilayah Jawa
Timur (Ngawi, Lumajang, Bjonegoro, Blitar, Tulungagung, Surabaya, dan Kediri),
di Jawa Tengah (Cilacap, Semarang, Surakarta, dan Karanganyar).11 Kemunculan
penulis-penulis lokal tersebut diiringi dengan munculnya penerbit-penerbit baru di
berbagai kota di Jawa. Dalam catatan Leo Suryadinata,12 pada akhir abad ke-19,
10
Menurut Andjar Any, kematian Ranggawarsita diduga karena dihukum
mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya, terbukti
tanggal kematiannya 24 Desember 1873 tertulis dalam karya terakhirnya, Serat
Sabdajati yang ia tulis sendiri. Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa
yang Terjadi? (Semarang: Aneka Ilmu, 1980).
11
Data didasarkan pada naskah-naskah tulisan pengarang yang masuk ke
redaksi dan telah diterbitkan Boekhandel Tan Khoen Swie, seperti yang ditulis
Boedihardjo dari Lumajang pada naskah Boedihardjo, R., Tjinta Kebaktian pada
Tanah Air, (Kediri : Boekhandel Tan Khoen Swie, 1941). Demikian halnya tulisan
Soedjonoredjo dari Karanganyar, Soedjonoredjo, R., Wedatama Winardi, (Kediri:
Boekhandel Tan Khoen Swie, 1953).
12
Leo Suryadinata, Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta:
Grasindo,1996), hlm. 62.
5
penerbitan-penerbitan milik orang-orang Tionghoa bermunculan, di Jakarta (4),
Bogor (1), Semarang (2). Antara 1900-1923 jumlah penerbitan mereka berkembang
pesat, di Jakarta (19), Bogor (1), Sukabumi (2), Bandung (4), Cirebon (1),
Pekalongan (1), Cilacap (1), Semarang (2), Surakarta (2), Surabaya (2), Malang (2),
Jombang dan Kediri masing-masing satu penerbit. Tahun-tahun berikutnya, di
Tegal dan Kudus (3), Gresik (1), Bangil (1), Bondowoso (1), Blitar (3), Madiun (1),
dan Kebumen (1).13
Di Kediri, Tan Khoen Swie memanfaatkan suasana kondusif
untuk
membuka usaha penerbitan. Langkahnya memberi pengaruh pada munculnya usaha
penerbitan dan media masa di kota itu.14 Beberapa media masa yang terbit di Kediri
seperti, Sri Djojobojo (1920), Hindia Timoer (1926), Padang Boelan (1924),
Sekartadji (1934), Mardi Hardjo (1922), Heroe Tjokro (1923), dan De Kedirische
Courant (1922). Beberapa majalah dan Surat kabar yang terbit sesudah
kemerdekaan : Djojobojo (1945), Soeara Rakjat (1945), Pelajar Merdeka (1946),
Menara Merdeka (1946), Hari Warta (1947), Berita Rakjat (1947), Tinjauan
(1948).15
13
Leo Suryadinata, Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta:
Grasindo,1996), hlm. 62.
14
Media Massa yang secara langsung dikendalikan Tan Khoen Swie, Soeara
Sam Kauw Hwee Kediri yang terbit pertama kali bulan Januari 1935 dan berakhir
Pebruari 1936. Harian Oetoesan, terbit di Kediri tahun 1930-an, Tan Khoen Swie
sebagai penasehat. Lihat Oetoesan, 13 Desember 1934. Setelah 20 Desember 1934,
Harian Oetoesan tersebut berganti nama Neratja Timoer. Ucapan selamat berpisah
dari Redaktur Chen, dalam Oetoesan, 20 Desember 1934.
15
Suripan Sadi Hutomo, Teraju Ombak, Masalah Sosiologi Sastra
Indonesia, (Surabaya: Gayamasa, 1995), hlm.115.
6
Semaraknya aktivitas penerbitan dan media masa di Kediri menarik untuk
dicermati, karena melalui penerbitan dan media masa, perkembangan sejarah
intelektual dan budaya penulisan dapat diketahui. Penelitian ini akan mencoba
menganalisa bagaimana Tan Khoen Swie sebagai pemilik penerbitan menjalankan
usahanya menghadapi situasi dan kondisi dua jaman yang berbeda; masa kolonial
dan masa kemerdekaan.
Dalam historiografi Indonesia, kiprah Tan Khoen Swie tidak pernah
disinggung. Sepak terjangnya jarang mendapat perhatian, padahal ia memiliki
kontribusi yang sangat penting bagi perkembangan intelektualitas Jawa. Dia
kelahiran Gunung Legong, Duren Siwo, Wonogiri pada tahun 1884,16 dan
meninggal di Kediri tahun 1953.17 Semasa hidupnya, ia menggeluti kebatinan Jawa,
fasih berbahasa Jawa, menulis dan membaca aksara Jawa. Ia lebih dikenal sebagai
seorang Tionghoa yang berbudaya Jawa. Pengalaman di dunia penerbitan, ia
peroleh ketika bekerja di Drukkerijk Sie Dhian Ho Surakarta.18 Pekerjaannya itu
16
Tan Hoen Boen, Orang-orang Tionghoa yang Terkemoeka di Jawa
(Surakarta: The Biographical Publishing Center, 1935), hlm. 89.
17
Jasadnya disemayamkan di Bong (pemakaman) Tionghoa di lereng
Gunung Klotok, Kota Kediri. “Tan Khoen Swie: Penerbit dan Penulis Meninggal
Dunia”, dalam Jawa Pos, 5 Mei 1953.
18
Sie Dhian Ho Surakarta, di samping memiliki kegiatan di dunia
pernerbitan juga usaha sampingan berupa firma dagang, terutama
memperdagangkan kain batik. Lihat Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran
Politik (Jakarta: Elkasa, 2002), hlm.339.
7
yang mengenalkan dia dengan Ki Padmosusastra, 19 seorang sastrawan dari keraton
Surakarta.
Tan Khoen Swie membuka usaha penerbitan di Kediri diduga karena situasi
kehidupan sosial ekonomi di Surakarta kurang kondusif. Kerusuhan rasial20 antara
pedagang Jawa dan Tionghoa yang dikelola oleh Firma Sie Dhian Ho,
menyebabkan aktivitas penerbitan di Surakarta terganggu. Hal ini yang
mendorongnya untuk membuka usaha penerbitan di kota Kediri, yang kemudian
dikenal dengan nama Boekhandel Tan Khoen Swie.
Boekhandel Tan Khoen Swie mengawali usaha penerbitan buku sejak tahun
1915-an, dari
sebuah kompleks
bangunan
pertokoan di Jalan Dhoho Kota
Kediri.21 Beberapa buku berhasil dicetak kembali, baik naskah aslinya maupun
salinan yang secara langsung diperoleh dari para penulis naskah-naskah lisan.22
19
Padmosusastro memelopori cara bercerita modern (gagrak anyar) dalam
sastra Jawa. Padmosusastro juga dikenal sebagai jurnalis. Ia pernah memimpin
koran Jawa Bramartani dan majalah berbahasa Jawa Jawi Kandha. Tahun 1911 ia
penulis aneka tata bahasa Jawa, seperti Paramabasa, Layang Basa Jawa. Lihat
Imam Supardi, Ki Padmosusastro (Surabaya: Penyebar Semangat, 1961), hlm. 5-11.
20
Kerusuhan itu merupakan pengaruh dari boikot pasar pedagang Tionghoa
di Surabaya pada 1912. Firma Sie Dhian Ho berusaha menekan kain batik yang
mereka beli dari Lawean. Sebagai balasannya, para pedagang di bawah pimpinan
Martodharsono melakukan boikot terhadap firma Sie Dhian Ho, yang menyebabkan
perkelahian masal antara anggota-anggota SI dengan orang-orang Tionghoa di
jalanan Surakarta. G. Beny Setyono, loc. cit.
21
Pada foto tahun 1920-an itu terpampang sebuah tulisan : “Toko Tan
Khoen Swie, Sedia Boekoe Djawa, Melajoe dan Ollanda”. Gambar foto Toko
Surabaya, tahun 1920 berada di ruang tamu drg. Jojo Soetjahjo Gani Jl. Doho, 165
Kediri.
22
Ungkapan-ungkapan para guru ditulis sendiri oleh Tan Khoen Swie dan
disusun dalam Kitab Ilmoe Wedjangan Goeroe-goeroe. Lihat Kitab Ilmoe
Wedjangan Goeroe-goeroe (Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie, 1935).
8
Upaya Boekhandel Tan Khoen Swie untuk menggali naskah-naskah yang
telah tersimpan dalam memori masyarakat dan menyajikannya kembali dalam
bentuk buku-buku yang secara bebas dapat dibaca oleh semua lapisan masyarakat
merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Tidak ada lagi sesuatu yang bersifat
rahasia dari ilmu kebatinan, ilmu para guru dan pengetahuan kehidupan formal dari
dunia keraton.23 Hal tersebut diungkapkan Boekhandel Tan Khoen Swie dengan
tulisan yang lebih bebas untuk diketahui secara umum.
Tan Khoen Swie banyak menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa berkat
bantuan Padmosusastro, R. Tanoyo, dan Mangoenwidjaja dari Kartasura. Apakah
latar belakang asal Tan Khoen Swie dari Wonogiri itu menjadi alasan untuk
menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa, di samping alasan prospek pasar
konsumennya terbanyak adalah orang-orang Jawa di berbagai wilayah, baik di
pedesaan maupun di kota, menjadi pentanyaan menarik.
Di samping ketiga penulis di atas, Tan Khoen Swie juga berhasil
memanfaatkan jaringan penulis pribumi dari berbagai daerah dalam membantu
usaha penerbitannya. Beberapa penulis yang diundang untuk membicarakan ide-ide
yang akan ditulis antara lain berasal dari Yogyakarta, Surakarta, Bojonegoro,
Surabaya, dan Lumajang.24 Demikian halnya beberapa penulis dari Cilacap dan
23
Tema-tema tentang kehidupan keraton diperoleh dari Padmosusastro
pujangga keraton Surakarta, Kepala Perpustakaan Radya Pustaka. Wawancara
dengan drg, Jojo Soetjahjo Gani, (Cicit Tan Khoen Swie), 24 April 2012.
24
Naskah yang disumbangkan dari penulis Lumajang buku Atoeran dari
Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland,
yang dikarang oleh R. Boedihardjo, Patih Lumajang, cetakan 1932. Juga buku
Tjinta Kebaktian pada Tanah Air, terbitan 1941. Dari kedua buku yang dicetak ini
terlihat jiwa nasionalisme Tan.
9
Ngawi seringkali datang untuk bergabung.25 Tan Khoen Swie juga didukung oleh
warga Tionghoa, di antaranya Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe, Sioe Lian, Tjoa Hien
Tjioe, Tan Soe Djwan. Mereka adalah para penulis, jurnalis, redaktur, dan
pengusaha penerbitan Tionghoa. Fasilitas untuk keperluan penulis menjadi
perhatian utama Tan Khoen Swie. Tan Khoen Swie menyediakan rumahnya
menjadi semacam artist residence. Ia membangun kamar-kamar khusus untuk
persinggahan jaringan penulis. Upaya ini dimaksudkan untuk menarik para penulis.
Dari tangan Padmosusastro, R. Tanojo, dan Mangoenwidjaja, ketiganya
berperan besar membawa naskah-naskah keraton untuk diterbitkan Boekhandel Tan
Khoen Swie. Seperti Ardjunawiwaha (Pakubuwono III), Bawa Sagerongipoen
(K.G.P.A.A. Mangkoenegara IV), Weda Tama (K.G.P.A. Mangkoenegara IV), Nitik
Kraton (Pakubuwono IV), Pati Tjentini (Pakoebuwono V), Pramanasidi
(Pakoebuwono X), Sendon Langen Swara (Kanjeng Gusti Adipati Arja
MangkoenagaraIV),
Woelangreh
(Pakoebuwono
IV),
Sasmita
Rahardja
(Pakubuwono IV), Widijakirana (Pakubuwono IV).26
Di samping itu ketiganya juga menulis naskah-naskahnya sendiri untuk
diterbitkan. Pada awal tahun 1916, pencetakan buku telah dilakukan, antara lain
25
Wawancara dengan drg. Jojo Soetjahjo Gani, (Cucu Tan Khoen Swie), 24
April 2012.
26
Catalog Kitab-kitab Pengetahuan Lahir-Batin terbitan Boekhandel Tan
Khoen Swie Kediri, 1941.
10
Kawruh Kasukman, Serat Babad Surakarta.27 Serat Madoe Wasito diterbitkan
1918.28 Disusul Serat Hasmorolojo dan Kridosastro oleh R.Ng. Mangoenwidjaja,
tahun 1919.29 Perkembangan tahun 1920-1930-an semakin bertambah naskahnaskah diterbitkan sampai kematian Tan Khoen Swie tahun 1953.
Michael Tanzil, putra ketiga Tan Khoen Swie, melanjutkan usaha
Boekhandel Tan Khoen Swie. Ia menerbitkan beberapa buku baru dan mencetak
ulang beberapa buku lama.
30
Beberapa cetakan ulang, yang dilakukan Michael
Tanzil, antara lain buku Primbon Jayabaya tahun 1958, Bagawadgita, tahun 1959.
Pada akhir tahun 1950-an, Michael Tanzil mencetak ulang buku Aji Asmaragama,
buku tentang seni hubungan suami-istri untuk mendapat keturunan. Dalam edisi
cetak, buku itu dilengkapi dengan foto ilustrasi adegan suami-istri. Buku-buku
tersebut tidak sempat beredar, karena terlebih dahulu disita pemerintah. Buku
terakhir yang diterbitkan Michael Tanzil
dengan menggunakan nama penerbit
Boekhandel Tan Khoen Swie adalah “Flowers of Leisure : an exhibition of Oil
27
Naskah Kawruh Kasukman diterbitkan Boekhadel Tan Khoen Swie Kediri
tahun 1916, pada saat yang sama, Penerbit De Bliksem Surakarta, juga menerbitkan
judul naskah yang sama. Serat Babad Surakarta disebut juga Babad Giyanti,
diterbitkan dalam bentuk tembang mocopat pada tahun 1916 oleh Boekhandel Tan
Khoen Swie.
28
Serat Madoe Wasito selesai ditulis Ki Padmosusastro tahun 1916, dan
diterbitkan Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri tahun 1918.
29
Pada tahun yang sama oleh Boekhandel Tan Khoen Swie juga diterbitkan
beberapa buku untuk konsumsi masyarakat Tionghoa, antara lain : Kitab Samadhi
Sioe Lian.
30
Buku baru karya Michael Tanzil, “Pembatasan Penduduk dan
Pengendalian Kelahiran” yang menggunakan nama penerbit Interstar. Lihat
Michael Tan B.S., Pembatasan Penduduk dan Pengendalian Kelahiran, (Kediri:
Interstar, 1959).
11
Paintings”,31 tahun 1963. Setelah itu tidak ada lagi buku-buku yang diterbitkan
bahkan aktivitas Boekhandel Tan Khoen Swie tidak berjalan lagi. Boekhandel Tan
Khoen Swie mulai tidak terurus sekitar 1963, ketika ditinggal Michael Tanzil
pindah ke Jakarta. Penelitian ini membatasi buku-buku terbitan sebelum tahun
tersebut.
Karakter naskah-naskah terbitan Tan Khoen Swie berbeda dengan naskahnaskah terbitan Balai Pustaka. Produk terbitan Tan Khoen Swie menurut pandangan
Sri Widati dikategorikan sastra Jawa non Balai Pustaka yang cenderung lebih
berpihak pada kultur pribumi, praktis, mudah dimengerti pembaca umum, kendati
yang diterjemahkan karya klasik.32 Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
Modern,33 efisien, dan efektif. Bahasanya tidak banyak pengulangan, padat, dan
tanpa kata-kata mubazir. Cetakannya tipis-tipis, dengan bahan dari kertas merang.
Hal ini dimungkinkan agar dapat terjangkau dan terbeli oleh masyarakat kalangan
menengah ke bawah.
Beberapa buku Tan Khoen Swie yang mengandung nilai-nilai budaya
pemikiran Jawa seperti tentang teosofi, misalnya, seperti Serat Wuninga ing Gaib,
Skandha Karma, Pejah Saksampuni lajeng kados pundi, Wawarah Samadi, Warni
Pitu jejer dumadosipun manungso, Kawruh Kasukaman, Kawruh Teosofi,
31
Buku itu terbit dalam edisi berbahasa Inggris. Menguraikan tentang
keindahan lukisan bunga-bunga luang. Keterangan Yuriah Tanzil, pada 26 April
2014 di Jakarta.
32
Sri Widati, dkk., Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode
Pra Kemerdekaan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hlm. 162.
33
Istilah Bahasa Jawa Modern dipakai untuk menunjukkan bahasa yang
dipakai dalam sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir abad ke-18 awal abad
ke-19, di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Lihat P.J. Zoetmulder, Kalangwan :
Sastra Jawa Kuno Selayang pandang (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 34.
12
Swaraning Asepi. Tema pendidikan dan budi pekerti, Wulangreh, Wedatama
Wiradi. Mengandung ilmu pengetahuan, misalnya Adji Jopomontro, Kridohatmoko,
Patak Modin, Pastikowarno, Hidajat Djati, Nitiprana, Soponolojo, Bauwarna,
Kabutuhan, Kapratjajan, Prasidodjati, Poerwo Karono,Sukanda Karmo.34
Selain buku-buku dengan tema di atas terdapat pula buku-buku tentang
primbon Jawa yang menjelaskan tentang rahasia numerologi, misalnya Primbon
Djampi Djawi, Primbon Hadu Djago, Primbon Ngimpi,35 Primbon Djajabaja, Achli
Noedjoem, Kitab Ramalan, dan Illaduni.36 Buku-buku Primbon tersebut memuat
berbagai hal, tentang persoalan hidup.
37
Buku-buku itu diterbitkan tahun 1919
hingga 1956. Pada masa itu, buku-buku demikian paling banyak diminati
masyarakat. Bagaimana Tan memahami peluang pasar terhadap buku-bukunya,
menjadi perhatian penting dalam kajian ini.
Naskah-naskah terbitan Tan Khoen Swie beredar di hampir seluruh lapisan
masyarakat, khususnya buku kebatinan, ramalan, primbon, legenda dapat dijumpai
di setiap rumah, baik di desa maupun di kota. Menurut Sardono, Tan Khoen Swie
34
Lihat klasifikasi tema-tema buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie
dalam Daftar Kitab-kitab Kawedalaken Saka Kasade Dening Toko Buku Tan Khoen
Swie Kediri, 1 Februari 1953, hlm. 23-25.
35
Catalogus Kitab-kitab Lahir Bathin, terbitan dari Boekhandel Tan Khoen
Swie Kediri, 1941.
36
Daftar Kitab-kitab Kawedalaken Saka Kasade Dening Toko Buku Tan
Khoen Swie Kediri, 1 Februari 1953, hlm. 23.
37
Primbon disebut juga sebagai gudang ilmu pengetahuan (pangawikan
Jawa). Memunculkan paham primbonisme, termasuk di dalamnya mistikawan.
Lihat Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006),
hlm. 118-119.
13
menawarkan buku-bukunya door to door.38 Itu membuat komunitas pergaulannya
meluas. Buku-buku terbitan Tan Khoen Swie tidak hanya menjadi konsumsi para
pembaca dari kalangan terbatas di Kediri, Surakarta,39 Yogyakarta, Cilacap, Ngawi,
Bojonegoro, Surabaya, dan Lumajang (Jawa) namun juga dibaca secara luas oleh
masyarakat di luar Jawa. Hal ini dapat dilihat pada buku register pengiriman tahun
1958-1959, Boekhandel Tan Khoen Swie telah melakukan pengiriman pesanan
kitab-kitab kepada pembaca, toko buku, dan penerbit ke seluruh wilayah Indonesia,
kecuali Papua.40
Dalam memasarkan produk terbitannya Boekhandel Tan Khoen Swie
memanfaatkan jaringan penulis, penerbit, dan toko buku. Hubungan simbiose
dengan penulis, sangat menarik, karena ternyata hubungan itu memunculkan para
penulis baru.41 Tan Khoen Swie juga memberikan daya tarik kepada penerbit dan
toko-toko buku. Sambutan yang cukup bersemangat untuk menjalin kerja sama
adalah toko-toko buku. Tidak hanya toko buku yang ada di Jawa, akan tetapi
menyebar hampir di seluruh pulau-pulau di luar Jawa. Proses perkembangan itu
38
Majalah Tempointeraktif, 2 April 2011.
39
Penyebaran buku-buku Tan di Surakarta tahun 1920-an melalui beberapa
agen, salah satunya Boekhandel Sitti Sjamsijah Surakarta. Lihat Suripan Sadi
Hutomo, “Sumbangane “Boekhandel Siti Sjamsijah”, Marang Kasusastraan Jawa”,
dalam Jaya Baya, 28 Nopember 1982, hlm. 37 dan 43.
40
Lihat Buku Register pengiriman tahun 1958-1959, Boekhandel Tan Khoen
Swie.
41
Kemunculan penulis baru itu semakin gencar ketika Michael Tanzil
memasang iklan di Majalah Terang Bulan No.23 Th.XI, 1 Desember 1957,
“Kirimkanlah Naskah-naskah Ilmu Pengetahuan dan Primbon dalam Bahasa
Indonesia, untuk kita periksa dan kita terbitkan bilatjotjok”.
14
mencapai puncaknya ketika Boekhandel Tan Khoen Swie dipegang oleh Michael
Tanzil tahun 1957-1960.42
Ketertarikan para penulis, penerbit dan toko buku untuk menjalin hubungan
bisnis, terutama setelah mengetahui semakin berkembangnya usaha penerbitan Tan
Khoen Swie. Di samping itu daya tarik buku terbitannya sangat digemari dan
banyak diminati pembaca.
Walau disadari kiprah Tan Khoen Swie tidak dapat menapak sepanjang
masa setelah meninggalnya tahun 1953. Berbagai persoalan muncul, mulai dari
bagaimana mengelola Boekhandel itu selanjutnya, pemikiran penggantian nama,
menghadapi situasi politik ideologi pemerintah Orde Lama. Michael Tansil
mengendalikan Boekhandel banyak menghadapi tantangan. Terutama ketika
beberapa naskah Boekhandel Tan Khoen Swie dilarang terbit. Michael Tansil
mengalami kesulitan ketika harus mengedepankan antara politik, dan menggeluti
bidang ekonomi. Sebuah keputusan untuk tidak lagi mengoperasikan Boekhandel
Tan Khoen Swie menjadi pilihannya di tahun 1963. Perjalanan Boekhandel Tan
Khoen Swie menjadi menarik untuk dikaji.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
Eksistensi kelompok penerbit kurang mendapat perhatian dalam tradisi
penulisan sejarah di Indonesia. Kelompok eksklusif ini jarang dimunculkan sebagai
aktor perubahan sosial budaya. Padahal kiprah mereka tidak dapat dipandang remeh
42
Data-data mengenai hubungan khususnya penerbit dan toko buku dapat
dilihat pada Buku Pesanan dan Pembayaran Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri
tahun 1958. Dan lihat juga Buku Kiriman dan Penerimaan Pos Wesel Boekhandel
Tan Khoen Swie Kediri tahun 1958.
15
dalam membentuk mentalitas suatu bangsa. Munculnya tradisi baca dari naskahnaskah yang telah ditulis dan dicetak oleh penerbit memberi kontribusi terhadap
perkembangan identitas bangsa yang sedang menggeliat pada awal abad ke-20.43
Menurut Sartono Kartodirdjo, untuk memahami pergerakan nasional kiranya
sejarah mentalitas tidak dapat ditinggalkan, lebih-lebih apabila masalah kesadaran
yang dipandang sebagai awal dari segala perubahan.44
Secara garis besar penelitian ini hendak mengkaji bagaimana Tan Khoen
Swie menerbitkan buku-buku dan sebagai agent cultural menyebarkan budaya baca
kepada masyarakat Jawa dan luar Jawa, selama kurun waktu 1915-1963. Beberapa
pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana kebijakan perbukuan dan penerbitan pemerintah kolonial dan
poskolonial Indonesia ?
2.
Bagaimana gambaran eksistensi dan aktivitas agen pengarang, agen penerbit
swasta, dan kelompok pembaca sastra Jawa ?
3.
Mengapa Tan Khoen Swie memilih ide atau gagasan menyebarkan buku-buku
budaya Jawa ?
4.
Bagaimana Tan Khoen Swie melalui kemampuan dan kekuatannya merajut
jaringan agen penulis, penerbit, dan pedagang buku ?
43
Lihat terutama pada Bab XXI, “Kebangkitan Nasional 1900-1927”, dalam
Benny G. Setiono, op. cit.,hlm. 323-361.
44
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.172-173.
16
Skope temporal studi ini dibagi dua bagian; pertama, periode dimulai sejak
Tan Khoen Swie membuka penerbitan tahun 1915 sampai meninggalnya tahun
1953. Kedua, periode Michael Tanzil, 1954 sampai 1963. Walaupun sebenarnya
batasan ini tidaklah mutlak, karena persoalan kausalitas sebelum dan sesudahnya
juga dipandang penting diuraikan.
Tempat penelitian di wilayah Kediri (Jawa) dan luar Jawa terutama yang
terkait dan mendapat pengaruh terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie. Kediri,
sebagai lokasi aktivitas Boekhandel Tan Khoen Swie terletak di Jalan Doho No.165
Kota Kediri. Dalam catatan historis, Kediri (Mamenang) disebut-sebut sebagai
pusat sastra di Jawa terutama pada masa Kerajaan Kediri (1045-1222) di samping
Medhangkamulan.45 Babad Kadiri, Serat Darmogandul, dan Suluk Gatoloco ditulis
di kota ini pada tahun 1830-an.
Alasan lainnya, bahwa kebiasaan penulisan karya sastra berbahasa Jawa di
Kediri bertahan hingga sekarang. Terbukti di Kediri terdapat organisasi pengarang
Triwida. Organisasi ini menghimpun para pengarang kesusastraan Jawa Modern
yang bertebaran di Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar.46
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Studi ini mencoba mengungkap bagaimana aktivitas Boekhandel Tan Khoen
Swie dan pengaruh produk terbitannya pada masyarakat di Jawa dan luar Jawa.
Secara khusus studi ini bertujuan: (1) menjelaskan bagaimana kebijakan perbukuan
45
46
S. Margana, op. cit., hlm. 21.
Suripan Sadi Hutomo, op. cit., hlm. 114.
17
dan penerbitan pemerintah kolonial dan poskolonial; (2) menjelaskan gambaran
agen pengarang, agen penerbit swasta, dan kelompok pembaca sastra Jawa; (3)
mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi Tan Khoen Swie memilih ide
atau gagasan menyebarkan buku-buku budaya Jawa; (4) mendiskripsikan
bagaimana Tan Khoen Swie melalui kemampuan dan kekuatannya merajut jaringan
agen penulis, penerbit, dan pedagang buku.
Temuan studi ini diharapkan bermanfaat bagi beberapa pihak. Bagi
masyarakat umum, temuan studi ini dapat membuka dan menambah wawasan
masyarakat tentang pemahaman perkembangan penerbitan buku-buku budaya Jawa
di Kediri yang terjadi sejak awal abad ke-20. Temuan studi ini juga dapat
menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan masyarakat, bahwa proses penerbitan
buku yang ada sekarang ini tidak terlepas dari penerbitan sebelumnya.
Bagi dunia akademis, temuan studi ini memperkaya kajian tentang sejarah
penerbitan di Indonesia yang pernah diteliti. Temuan studi ini dapat dipakai sebagai
bahan untuk menilai kemajuan tingkat konsumsi bacaan komunitas sosial tertentu.
Adakah pelajaran yang bisa diambil dari studi perkembangan penerbitan buku di
Kediri sejak masa kolonial hingga Orde Lama memiliki keterkaitan dengan
kebijakan masa kini. Temuan studi ini memperkaya pemahaman tentang
perkembangan sejarah penerbitan di Indonesia yang sedang berlangsung sejak masa
kolonial.
Bagi pembelajaran sejarah, temuan studi ini dapat dimanfaatkan untuk
substansi pembelajaran sejarah pada berbagai jenjang pendidikan. Tidak hanya
untuk mata pelajaran sejarah akan tetapi dapat juga memperkaya substansi mata
pelajaran IPS dan Antropologi Budaya, serta kajian sejarah sastra.
18
Bagi Pemerintah Daerah, temuan studi ini dapat dipakai sebagai bahan
untuk melengkapi penulisan sejarah lokal, dan bahkan mungkin untuk bahan
rujukan bagi pemerintah daerah yang ingin menulis kembali sejarah penerbitan di
daerahnya.
D. Tinjauan Pustaka
Literatur yang membahas tentang Tan Khoen Swie dan aktivitas usahanya
sangat terbatas. Beberapa penulis seperti, M.C.Ricklefs,47 dalam Polarising
Javanese Society: Islamic and Other Visions, 1830-1930 memberi penilaian yang
menarik. Menurutnya, Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri (1882-1953)
memainkan peranan penting dalam mendukung kepustakaan Jawa. Tan Khoen Swie
pemilik usaha itu menguasai bahasa Jawa seperti halnya banyak orang Tionghoa
lain di Jawa dan menjadi kekuatan intelektual Jawa yang penting. Dia mensponsori
dan menerbitkan tulisan-tulisan terkenal dari orang-orang Jawa seperti Raden
Tanaya, Ki Mangunwijaya dan Ki Padmasusastra. Karya-karyanya kebanyakan
bergaya tradisional, tidak dipengaruhi oleh pembaharuan Islam dan satu bentuk
yang menarik pembaca untuk cenderung pada sitesa mistik Jawa.
Ricklefs berusaha mencari keterkaitan antara konsep ‘budi dan buda’
terhadap munculnya polarisasi politik yang terjadi pada awal abad ke-20. Tiga
naskah yang kemudian menjadi rujukan Ricklefs,
Serat Babad Kediri, Serat
Darmogandul, dan Suluk Gatoloco yang pada akhir abad XIX menjadi bacaan
kontroversi di masyarakat Jawa dipandangnya menjadi pemicu munculnya
polarisasi. Ketika awal abad ke-20 Tan Khoen Swie menerbitkan kembali ketiga
47
Lihat M.C. Ricklefs, op. cit., hlm.238-239.
19
naskah tersebut, pertentangan sosial antara golongan Islam dan non Islam semakin
meninggi. Tan Khoen Swie, terkena dampak dari konflik sosial yang muncul. Salah
satu dari ketiga naskah di atas, (Serat Darmogandul), yang dipandang kontroversi
itu berasal dari tulisan Drewes yang mendapat protes tahun 1923.48 Menurut
penjelasan Ricklefs, Drewes tidak mengira kalau tulisannya itu berdampak luas.
Penjelasan Ricklefs pada persoalan di atas menarik untuk dijadikan bahan analisa
terhadap naskah-naskah Boekhandel Tan Khoen Swie, terutama dikaitkan dengan
naskah-naskah yang bersifat kontroversial.
Tulisan Sri Widati dan kawan-kawan, mengenai perkembangan sastra Jawa
modern masa prakemerdekaan sangat membantu dalam memahami aspek
historisnya.49 Menurutnya, pada rentang waktu antara tahun 1917 sampai dengan
1942, sastra Jawa tumbuh dan berkembang melalui dua jalur penerbitan, yaitu jalur
Balai Pustaka dan non Balai Pustaka. Boekhandel Tan Khoen Swie, menurut Sri
Widati, termasuk penerbit non Balai Pustaka (swasta), untuk membedakan dengan
Balai Pustaka (pemerintah). Menurutnya, penerbit non Balai Pustaka dinilai sebagai
penerbit tak resmi. Sebagai penerbitan swasta, Boekhandel Tan Khoen Swie
memiliki jalan berlawanan dengan Balai Pustaka dan menekuni jalur bebas,
sehingga karya-karyanya tidak sepenuhnya patuh pada kekuasaan. Alasan yang
dikemukakan, karena penerbit itu : (1) bukan bagian dari alat kolonial; (2) tidak
bertujuan menciptakan mode dan corak yang seragam baik bentuk maupun isi,
48
Drewes, G.W.J., “The Struggle Between Javanism and Islam as Illustrated
by The Serat Darmogandul”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde van
Nederlandsch Indie (BKI),122 309-365, 1966.
49
Lihat Sri Widati, dkk., op. cit., hlm.69.
20
karena sistem sosial (pengarang, penerbit, dan pembacanya) tidak berasal dari
kekuasaan atau produk kolonial; (3) tidak didukung oleh dana pemerintah, tetapi
oleh swadaya penuh, sehingga lebih bersifat mencari untung.50
Sebagai penerbit non Balai Pustaka, Boekhandel Tan Khoen Swie memberi
kebebasan kepada setiap pengarang untuk berkarya. Artinya penerbit itu cenderung
tidak mengelola sistem redaksionalnya seperti balai Pustaka. Bebas mengisi celahcelah komersial yang tidak dapat diisi oleh balai Pustaka. Menurut Sri Widati,
Boekhandel Tan Khoen Swie menerbitkan karya-karya klasik, dan sedikit karyakarya yang bernuansa nasionalisme.51 Penjelasan tersebut penting untuk memahami
karakteristik dan status sebuah penerbitan.
Uraian yang tidak kalah penting dari tulisan Sri Widati adalah informasi
tentang struktur masyarakat pendukungnya. Posisi pengarang, penerbit, pembaca,
dan pengayom dijelaskan beriringan dengan perkembangan sastra Jawa modern.
Walaupun dalam tulisan itu, sepak terjang Tan Khoen Swie disajikan sepotongpotong,
namun uraiannya sangat membantu memahami eksistensi dan
perkembangan Boekhandel Tan Khoen Swie.
Disertasi Zubaidah Isa, berjudul Printing and Publishing in Indonesia,
1902-1970, menjelaskan bahwa pembentukan Volkslectuur pada tahun 1910
merupakan langkah maju yang signifikan di bidang penerbitan, pendidikan, dan
50
51
Ibid.,hlm. 162.
Sri Widati dkk., Ikhtisar Perkembangan sastra Jawa Modern Periode
Prakemerdekaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001), hlm.168.
21
perpustakaan pemerintah di Hindia.52 Kritik kebijakan pemerintah tentang
pendidikan menyebabkan dibentuknya Commissie voor de Inlands che School en
Volkslectuur (Komisi Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat) pada 14 September,
1908. Fungsi utama komisi adalah untuk membangun sekolah-sekolah desa, untuk
memberikan buku bacaan dalam bahasa asli untuk siswa-siswa sekolah, dan untuk
membangun perpustakaan di sekolah-sekolah. Kegiatan penerbitan Volkslectuur
termasuk menerjemahkan, dan mencetak ulang cerita rakyat.
Uraian Zubaidah yang cukup menarik adalah tentang pembangunan usaha
penerbitan di tahun 1950-an. Menurutnya, pembangunan usaha penerbitan
pemerintah dilakukan dengan mengimpor barang-barang untuk keperluan
penerbitan. Data-data yang dituangkan memberikan pemahaman tentang bagaimana
usaha penerbitan pemerintah pasca kemerdekaan dimulai. Bandingkan dengan
ketika masa kolonial dengan balai Pustakanya. Bahan-bahan tulisan ini cukup
bermanfaat untuk pengembangan eksplanasi tulisan ini. Sayangnya beberapa ulasan
mengenai seba-sebab menurunnya usaha penerbitan nasional di akhir tahun 1950-an
tidak ada penjelasan yang detail.
Disertasi Subardi, berjudul “Transformasi Teks Macapat Terbitan
Boerkhandel Tan Khoen Swie” lebih menekankan tinjauan sisi bahasa pada tiga
buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie.53 Subardi melakukan eksperimen
transformasi teks terhadap Serat Wulangreh, Wedatama Wiradi, dan Sariwarsita.
Tulisan itu dimaksudkan untuk mempermudah para pembaca dalam memahami
52
Zubaidah Isa, “Printing and Publishing in Indonesia, 1902-1970”, Tesis Ph.
D. Indiana University, 1972.
53
Lihat Subardi, loc. cit.
22
ketiga naskah tersebut. Tulisan ini memberi pemahaman tentang bagaimana naskah
tembang macapat ditransformasikan ke dalam sebuah karya bebas atau gancaran
(prosa).54
Menurut Subardi, alasan penerbitan buku-buku oleh Tan Khoen Swie adalah
untuk menyebarluaskan karya-karya pujangga yang semula terbatas di kalangan
istana sehingga lebih mudah diapresiasi oleh masyarakat. Inisiatif tersebut lebih
didasari motivasi penyebaran gagasan dan nilai-nilai daripada motivasi ekonomi.
Indikatornya menurut Subardi, harga buku dijual dengan harga murah sehingga
terjangkau untuk dibeli masyarakat.55
Karya S. Margana berjudul Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial,
berisi tentang tradisi pemikiran para intelektual Jawa tradisional, tentang sastra, dan
kesejarahan sangat penting untuk memahami persoalan psikologis, sosial, kultural,
dan politik selama abad ke-18 dan 19 di Surakarta.56 Walaupun Boekhandel Tan
Khoen Swie hanya disinggung sangat terbatas terutama mengenai komparasi naskah
penelitian Sasatya Darnawi, “Serat Wicara Keras Karangan Yasadipura II”, dengan
naskah koleksi Netherland Bible Society Leiden sangat menarik.
Uraian yang sangat bermanfaat dari buku S. Margana terutama pada bab IV
mengenai dunia akademis kolonial dan intelektual Jawa abad ke-19 dan pada
54
Upaya itu dimaksudkan untuk mengubah motip dari sastra Jawa tradisional
ke sastra Jawa modern. Motif sastra modern ini digagas oleh Padmosusastro yang
berusaha melepaskan diri dari literer sastra Jawa tradisional, yaitu bentuk tembang
ke arah bentuk naratif atau gancaran. Lihat Edi Sedyawati, dkk., (Ed.), Sastra Jawa
Suatu Tinjauan Umum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm.170-171.
55
56
Subardi, op. cit., hlm. 171.
Buku ini membahas tradisi pemikiran para intelektual Jawa tradisional
tentang sastra dan kesejarahan. Lihat S. Margana, op. cit., hlm. VII.
23
penjelasan bab V tentang dunia kapujanggan Surakarta dan tradisi pemikiran
intelektual Jawa abad ke-18 dan 19. Analisa tulisan itu membantu untuk melihat
gambaran struktur masyarakat sastra Jawa yang menjadi fokus penelitian ini.
Tulisan sejenis, yang menguraikan perkembangan sastra Jawa Modern
periode kemerdekaan, dapat dibaca pada tulisan Tim Penyusun Sejarah Sastra Jawa
Modern.57 Kedua tulisan itu memberi pemahaman mengenai sejarah perkembangan
Sastra Jawa Modern masa prakemerdekaan sampai periode kemerdekaan.
Tulisan Mikihiro Moriyama, “Ketika sastra dicetak: perbandingan tradisi
tulisan tangan dan cetakan dalam Bahasa Sunda pada paruh abad ke-19”, penting
untuk dicermati. Dalam penjelasannya, tradisi membaca naskah tidak hilang
seketika setelah munculnya buku-buku cetakan mekanis, tetapi terjadi perubahan
dalam aktivitas membaca. Reproduksi mekanis memiliki sifat baru, masing-masing
buku memiliki bentuk yang sama dalam penampilan. Keseragaman yang timbul
karena percetakan memperkuat kecenderungan ke arah penguatan kesatuan atau
komunitas bahasa. Kondisi tersebut memunculkan praktek-praktek budaya yang
baru dalam membaca dan menulis yang menciptakan pola-pola solidaritas dan rasa
kebersatuan yang kuat bersamaan dengan saat budaya naskah mulai melemah.58
57
Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta, Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa
Modern Periode Kemerdekaan, (Yogyakarta: Kalika, 2001).
58
Mikihiro Moriyama, “Ketika Sastra dicetak: perbandingan tradisi tulisan
tangan dan cetakan dalam bahasa Sunda pada paruh kedua abad ke-19”, Makalah
terjemahan Dr. Mikihiro Moriyama Profesor of Indonesian Studies Faculty of
Foreign Studies Nanzan University, hlm. 4.
24
Melalui percetakan, kesusastraan di Nusantara mengalami perubahan besar,
tulis Hilmar Farid.59 Lanjutnya, naskah-naskah yang semula ditulis tangan hanya
memiliki jangkauan peredaran yang terbatas. Ketika karya-karya yang terbit dalam
masa perkembangan kapitalisme cetak dapat diterbitkan secara massal dan
menjangkau jumlah pembaca yang lebih besar, sastra (teks dalam bentuk tercetak)
memasuki dunia komoditi yang dapat diperjualbelikan dan memiliki makna yang
berbeda dengan karya-karya yang ditulis tangan. Dalam perkembangan sejarah,
terlihat bagaimana produksi naskah tulisan tangan digeser oleh barang cetakan.
Secara konseptual proses produksi kapitalis tersebut dijelaskan secara detail
dalam buku Frederick Engels, “Tentang Das Kapital Marx”. Dijelaskan bahwa,
dalam kekayaan masyarakat berlaku produksi kapitalis yang meliputi atas barangbarang dagangan. Setiap barang dagangan mempunyai nilai pakai dan nilai tukar
yang berlaku bagi semua masyarakat. Aktivitas di dalamnya ditentukan secara
rangkap, di satu pihak, sebagai aktivitas produktif tertentu, di pihak lain, sebagai
pengerahan tenaga kerja manusia. Yang pertama memproduksi nilai pakai, dan yang
kedua memproduksi nilai tukar. Konsep dasar tersebut belakangan secara kuantitatif
dapat diperbandingkan mengenai perbedaan atau selisih antara kerja ahli dan tidak
ahli, kerja gabungan dan dalam lingkup sederhana. Oleh karenanya substansi nilai
tukar adalah kerja abstrak, termasuk besaran dan ukurannya.60
Tinjauan pustaka di atas secara umum menyiratkan beberapa hal. Pertama,
Kediri merupakan pusat sastra yang utama yang mewariskan budaya menulis,
59
Hilmar Farid, “ Kolonialisme dan Budaya : Balai Poestaka di Hindia
Belanda”, dalam Prisma, Edisi Oktober 1991.
60
Sinopsis Capital K. Marx. Capital Jilid I. Buku I. Proses Produksi Kapitalis,
dalam Frederick Engels, Tentang Das Kapital Marx, (Alih Bahasa Oey Hay Djoen),
(T.T.: Geys, Renaissance, 2007), hlm. 40.
25
membaca, dan mencetak yang melahirkan budaya intelektual Jawa yang lepas dari
perhatian para peneliti. Kedua, munculnya Boekhandel Tan Khoen Swie telah
membuka cakrawala perubahan untuk menuju budaya baca, dari budaya tutur
berkembang menjadi budaya tulis. Ketiga, produk terbitan Tan Khoen Swie tidak
hanya sebuah teks semata, melainkan telah menginformasikan sebuah konteks
peristiwa historis yang menyertainya. Sepengetahuan peneliti belum ada satupun
tulisan yang membahas tema sejarah bisnis penerbitan yang bernilai historis.
E. Kerangka Konseptual dan Analisis
Selama ini tema sejarah penerbitan kurang mendapat minat dari para
peneliti. Alasan utamanya, karena di samping tren tulisan yang sering dipilih adalah
tema-tema yang dinilai lebih mudah penggarapannya dari sisi penggunaan
pendekatan, juga pertimbangan lain disebabkan persoalan keterbatasan sumber.
Bahan-bahan
penggunaan
untuk
menulis
naskah-naskah
sejarah
produk
penerbitan
terbitan
mengharuskan
mengandung
fakta
formulasi
kejiwaan
(mentifact).61
Penggunaan mentifact dimaksudkan untuk menganalisis apa dasar seseorang
atau kelompok sosial/etnis bersikap dan bertindak. Dalam kaitan penelitian ini
obyek yang akan dikaji mencakup : ide, gagasan, ideologi, orientasi nilai, mitos,
pandangan hidup, latar belakang Tan Khoen Swie.
61
Fakta-fakta yang terjadi dalam jiwa, pikiran, atau kesadaran manusia. Lihat
Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 176.
26
Dalam memahami persoalan tersebut, teori strukturasi Anthony Giddens
digunakan untuk memperjelas eksplanasi. Teori strukturasi terfokus pada praktik
sosial, yang melibatkan hubungan antara agen dengan struktur. Praktek sosial
diartikan sebagai praktek dalam bidang kehidupan dan kegiatan nyata keseharian
manusia. Dalam suatu praktek sosial, Giddens melihat terdapat interaksi antara agen
dan struktur, yang selanjutnya menjadi sebuah kebiasaan dalam suatu rutinitas yang
direproduksi dalam kehidupan sosial.62 Inti teori strukturasi Giddens adalah praktek
sosial
yang berulang.63 Praktek sosial
tersebut
dipandang
sebagai
dasar
eksistensi agen dan masyarakat.64 Teori strukturasi Giddens tidak terlepas dari
konsep ruang dan waktu. Konsep ruang dan waktu tersebut melekat pada konsep
‘struktur-(asi)’ yang memberi pengertian kelangsungan atau proses. Ruang dan
waktu merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan dalam mengkaji peristiwa atau
gejala sosial.65
Bagaimana peran agen dalam suatu praktek sosial ? Agen adalah orangorang yang terlibat dalam arus kontinu tindakan.66 Pengertian agen menurut Oxford
English Dictionary
sebagai seseorang yang mengeluarkan kekuasaan atau
62
Anthony Giddens, The Constitution of Society : Teori Strukturasi Untuk
Analisis Sosial, (Terj. Adi Loka Sujono), (Pasuruan : Pedati, 1984), hlm. 131.
63
Ibid., hlm. 2.
64
Peter Beilharz, (Ed.), Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para
Filosof Terkemuka, (Terj. Sigit Jatmiko), (Yogyakarta: Pustaka Pekerja, 2003),
hlm.193.
65
66
B. Herri Priyono, op. cit., hlm.20.
B.Herry Priyono, Anthony Giddens : Suatu Pengantar, (Jakarta :
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm.19.
27
menghasilkan efek. Itulah sebabnya Giddens memberi pengertian agensi hanya pada
orang yang memiliki kemampuan terhadap hal-hal yang menyiratkan kekuasaan.67
Agen sebagai pelaku dalam praktek sosial, dan dapat dilihat sebagai individu atau
kelompok. Dalam penelitian ini Boekhandel Tan Khoen Swie dan pengarang yang
mensuport naskah-naskah hasil karangannya dipandang sebagai agen.
Menurut Giddens, ‘semua manusia’ adalah agen, memiliki tujuan yang
tidak hanya memiliki alasan logis bagi tindakannya, tetapi juga mampu melakukan
elaborasi diskursif atas alasan-alasan tersebut. Lebih jauh, Giddens menyebut
bahwa knowledgeability memiliki bentuk reflektif yang merupakan bagian penting
dari praktik sosial yang berulang.68
Dalam melakukan tindakan sosial, agen selalu melakukan pemantauan
reflektif (reflexive monitoring). Giddens menyebutnya sebagai karakter purposif
dari tindak-tanduk manusia. Melalui pemantauan reflektif, agen tidak hanya
dipengaruhi oleh struktur, tetapi juga mempengaruhi struktur. Dalam pemantauan
reflektif, action bukanlah untaian tindakan (acts) yang memiliki cirinya masingmasing atau agregat dari tujuan, tetapi sebuah proses yang terus berlanjut.
Tindakan manusia dikerangkai oleh beberapa elemen yang disebut Giddens
sebagai stratification model. Model tersebut diajukan sebagai usaha konseptualisasi
human agency. Dalam model tersebut ditekankan tiga lapis kognisi/motivasi.
Pertama, kesadaran diskursif atau kapasitas agen untuk merasionalisasi dan
memberikan alasan atas tingkah lakunya. Kedua, kesadaran praktikal atau apa yang
dipahami agen sebagai kondisi sosial dan tidak bisa disampaikan oleh agen secara
67
Anthony Gidden, op. cit., hlm. 11.
Anthony Giddens, The Constitution of Society : Teori Strukturasi Untuk
Analisis Sosial, (Terj. Adi Loka Sujono), (Pasuruan : Pedati, 1984), hlm. 2-3.
68
28
diskursif. Kesadaran praktikal digunakan agen untuk menyesuaikan diri dengan
terhadap situasi tertentu dan menfsirkan tingkah laku aktor lainnya.
Namun, tindakan manusia tidak hanya dipandu oleh elemen sadar, tetapi
juga elemen tidak sadar yang dikategorikan Giddens sebagai lapis motivasi. Lapis
ini terkait dengan kepercayaan bahwa apa yang berlangsung di dunia ini terjadi apa
adanya (are as they appear to be). Elemen tidak sadar ini dianggap sebagai
kebutuhan agen atas keamanan ontologis yang timbul dari kebutuhan akan sebentuk
kepercayaan. Tanpa elemen ini, manusia akan mengalami kegelisahan akut karena
mereka tidak memiliki identitas sosial. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa
elemen ini merupakan hasil dari regionalisasi dan rutinisasi struktur yang
merupakan hasil dari penggunaan aturan dan sumber daya di masa lalu.
Teori strukturasi meletakkan hubungan agen dan struktur dalam sebuah
hubungan “mutually constitutive”. Agen dan struktur saling jalin menjalin menyatu
dalam praktek sosial. Struktur yang dimaksud dalam kerangka pemikiran Gidden
adalah bersifat maya ‘virtually’, artinya hanya hadir melalui aktivitas agen, serta
ada dalam pikiran manusia yang digunakan hanya ketika bertindak. 69 Struktur
dikonsepsikan sebagai aturan ‘rules’ dan sumber daya ‘resources’ yang
memungkinkan praktek sosial terjadi di sepanjang ruang dan waktu.70 Artinya
struktur hanya akan terwujud dengan adanya aturan dan sumber daya.
Menurut Giddens, struktur adalah aturan dan sumber daya yang terbentuk
dari dan memediasi perulangan praktek sosial. Dualitas struktur terletak pada proses
69
H. Andersen and L.B. Kaspersen, (Ed.), Classical and Modern Sosial
Theory,(Oxford: Blackwell, 2000), hlm. 381.
70
Anthony Giddens, op. cit., hlm. 17.
29
outcome dan menjadi sarana medium parktek sosial. Artinya dualitas agen dan
struktur terletak dalam fakta bahwa suatu struktur yang menjadi prinsip praktekpraktek sosial di berbagai tempat dan waktu merupakan suatu hasil perulangan dan
terus menerus dari praktek sosial, dan struktur menjadi medium bagi
berlangsungnya praktek sosial.71
Melalui dualitas struktur, hubungan antara agen dan struktur dapat terlihat.
Agen dengan jangkauan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadikan struktur
sebagai acuan dalam bertindak dan mengubah serta memproduksi struktur melalui
praktek sosial. Agen dan struktur melakukan interaksi saling mempengaruhi satu
sama lain.
Struktur dalam kehidupan sosial diidentifikasikan ke dalam dua aspek yakni,
sebagai aturan dan sumber daya. Aspek pertama, sebagai aturan, struktur adalah
suatu prosedur yang dijadikan sebagai pedoman oleh agen dalam menjalankan
kehidupan sosialnya. Terkadang interpretasi aturan dituliskan dalam bentuk hukum
atau aturan birokratis. Demikian pula, aturan structural dapat direproduksi oleh
agen dalam suatu masyarakat, atau dapat diubah melalui perkembangan pola baru
dari suatu interaksi. Aspek kedua dari struktur adalah sumber daya, yang juga
terjadi melalui praktek sosial, dan dapat diubah atau dipertahankan oleh agen.
Struktur sebagai sumber daya dibedakan sumber daya alokatif (allocative) dan
sumber daya kewenangan (authoritative). Sumber daya alokatif (allocative) adalah
kegunaan gambaran materi dan benda-benda untuk mengontrol serta menggerakkan
pola interaksi, mencakup bahan mentah, tanah, teknologi, alat-alat produksi,
pendapatan, dan harta benda. Sumber daya kewenangan (authoritative) adalah
71
B. Herri Priyono, op. cit., hlm 22.
30
kemampuan untuk mengontrol dan mengarahkan pola-pola interaksi, mencakup
ketrampilan, pengetahuan/keahlian, posisi di lembaga atau organisasi, dominasi dan
legitimasi. Dengan kata lain, mereka menggunakan kemampuan yang dimiliki
untuk membuat orang lain menuruti dan melakukan keinginan atau perintahnya.
Berdasarkan konsep Gidden tiga gugus struktur dalam penelitian ini dapat
dilihat sebagai berikut. Pertama struktur signifikansi yang menyangkut skemata
simbolik atau pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Dalam hal ini nama boekhandel
atau penerbitan menunjuk pada sebuah bisnis gagasan, bisnis ide-ide, dan wacana
pemikiran melalui buku-buku oleh Tan Khoen Swie. Kedua struktur dominasi yang
mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi), dalam
hal ini seperti kebijakan perbukuan (pemerintah Belanda, Jepang, dan Indonesia),
kebijakan di bidang pendidikan dan bahasa yang merupakan bentuk dominasi
pemerintah. Ketiga struktur legitimasi yang menyangkut skemata normatif yang
terungkap dalam undang-undang. Dalam hal ini seperti undang-undang pers dan
undang-undang penerbitan yang mengatur kehidupan pers, dan penerbitan bukubuku bacaan. Ketiga gugus tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam
perjalanan aktivitas Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri.
Tindakan Tan Khoen Swie dipengaruhi oleh karakteristik struktural
masyarakat Tionghoa, pada saat yang sama ia mencoba untuk menciptakan (dan
juga sampai batas tertentu mengubah) karakteristik struktural dalam tindakannya.
Dalam hal ini tindakan Tan Khoen Swie dalam menerbitkan buku-buku tidak dapat
terlepas dari masyarakat tempat ia berada yaitu di Jawa (Indonesia), namun disisi
lain tindakannya tersebut merupakan suatu bentuk kesadaran yang tercipta dari
dalam dirinya sendiri.
31
Dalam konteks aktivitas Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri, tindakan
individu yang dalam hal ini adalah pembaca/pembeli buku-buku Tan Khoen Swie
mempengaruhi tindakan sosial agen dalam paraktik sosialnya, sementara agen
(penerbit/pengarang) memiliki kemampuan dalam menciptakan perbedaan sosial di
dunia sosialnya.
Agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah,
karena
keduanya
diibaratkan
dua
sisi
mata
uang.72
Teori
strukturasi
mengintegrasikan agen dan struktur, serta menjelaskan dualitas dan hubungan
dialektika antara agen dan struktur. Struktur tidak menentukan agen, dan sebaliknya
agen juga tidak menentukan struktur, namun sesungguhnya baik struktur maupun
agen tidak akan ada tanpa kehadiran pihak lainnya. Oleh karena itu, hubungan
antara keduanya harus dilihat sebagai sebuah sejarah, proses, dan dinamis.
Teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi
struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang
teratur tidak diwujudkan oleh actor-aktor individual, melainkan terus menerus
diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri
sebagai actor. Melalui aktivitasnya, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang
memungkinkan aktivitas-aktivitasnya. Ia bertindak sesuai aturan dan mereproduksi
aturan itu. Aturan yang mengikat tersebut menjadikan masyarakat di sekitarnya
turut melembagakan kekangan, walaupun pada akhirnya ia mampu menembus
peraturan yang mereka buat sendiri.
72
Paul Bagguley, “Reflexivity Contra Structuration”, dalam The Canadian
Journal of Sociology, Vol. 28, No.2, 2003, hlm. 133-152.
32
F. Metode dan Sumber Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi empat
kegiatan pokok, yaitu (1) heuristik, kegiatan mengimpun jejak-jejak masa lampau,
(2) kritik, menyelidiki apakah jejak-jejak tersebut asli, baik bentuk maupun isinya,
(3) Interpretasi, menetapkan saling hubungan antarfakta yang diperoleh, (4)
Penyajian, menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam satu bentuk kisah
sejarah.73
Kegiatan pertama penelitian ini yaitu penelusuran dan mengumpulkan
sumber-sumber tertulis.
Perhatian utama dalam tahapan ini ialah mendasarkan
pada sumber-sumber tertulis dalam spasial wilayah Kediri Jawa Timur. Sumbersumber yang berupa naskah-naskah terbitan Tan Khoen Swie dapat diperoleh dari
ruang penerbitan Tan Khoen Swie di Jalan Dhoho Kediri. Kekurangannya dapat
ditelusuri pada lembaga-lembaga penyimpanan naskah baik di Perpustakaan
Nasional dan Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beberapa koleksi
juga diperoleh dari beberapa perpustakaan di Yogyakarta, seperti Perpustakaan
Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Sono Budoyo, dan beberapa perpustakaan di
Surakarta, seperti Radyo Pustoko dan Rekso Pustoko. Beberapa sumber berupa
surat-surat penting diperoleh dari Ahli Waris (Yuriah Tanzil) Boekhandel Tan
Khoen Swie di Jakarta.
Dalam konteks pemahaman institusional, terbitan resmi pemerintah kolonial
Belanda berupa staatsblad, verslag, besluit, dan keputusan-keputusan rapat sangat
membantu memahami peran institusi dalam struktur. Sumber-sumber historis itu
73
G.J. Garraghan, A Guide to Historical Method, (New York: Fordam
University Press, 1957).
33
ditelusuri di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Perpustakaan Nasional
di Jakarta, Badan Arsip Propinsi Jawa Timur di Surabaya, Arsip Kota Surabaya,
dan Arsip-arsip kota-kota di wilayah Jawa Timur, perpustakaan-perpustakaan di
wilayah Jawa Timur, khususnya di Kediri.
Tanpa memahami persoalan yang paling mendasar dan yang dialami
individu atau masyarakat pribumi di kampung, gejolak yang muncul dan
berpengaruh pada perkembangan budaya intelektual Jawa tidak dapat terdeteksi.
Oleh karenanya, Sartono Kartodirdjo sangat berharap tinjauan terhadap golongangolongan pada lokasi sosial politiknya, orientasi tujuan, dasar loyalitas, afiliasi,
orientasi normatif, nilai-nilai, ide-ide atau ideologi, sebagai produk budaya politik,74
itu semua merupakan fakta-fakta yang harus dipertimbangkan.75 Implikasinya faktafakta itu harus dicari di luar struktur, berupa koran-koran, pamphlet, karikatur,76
biografi, catatan harian, pengakuan, bahkan cerita rakyat. Lokasi pencarian di
samping di perpustakaan milik pemerintah, juga perpustakaan-perpustakaan pribadi,
berupa buku-buku, dokumen, catatan warisan para orang-orang tua terdahulu.
Sumber-sumber ini akan dilacak di berbagai wilayah di Jawa Timur dan khususnya
di Kediri.
74
Seseorang yang mengkaji kekuasaan harus menganalisa tidak hanya
struktur politik tapi juga budaya politik. Lihat Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial
(Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 114-115.
75
76
Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 168.
Lihat penjelasan Frank Palmeri," The Cartoon: The image as criticue",
dalam Sarah Barber and Corinna M.Peniston (Ed.), History Beyond The Text A
student's Guide to Apparoaching Alternative Sources (London: Routledge, 2009),
hlm.32.
34
Tahap kedua, hanya melakukan penilaian terhadap kredibilitas sumber.
Penilaian terutama terhadap beberapa surat-surat penting dalam tulisan tangan dan
juga terhadap beberapa keaslian atau otentisitas buku terbitan Tan Khoen Swie.
Langkah-langkah yang dilakukan dengan mengamati bahan kertas dan tinta yang
dipakai dalam mencetak buku.
Pada tahap ketiga, yaitu interpretasi. Sumber-sumber yang sudah selesai
diverifikasi, selanjutnya menjadi fakta pendukung yang kemudian diinterpretasi.
Fakta-fakta atau kekuatan-kekuatan serta institusi yang berperan di masa
lampau dicoba untuk diekstrapolasikan guna menghasilkan deskripsi analitis yang
tepat.77 Implikasi metodologinya mengharuskan penggunaan multidimensional
approach.78 Penggunaan pendekatan tersebut dalam studi ini guna mendapatkan
akurasi pemecahan persoalan yang lebih terfokus dalam suatu deskripsi yang
berdimensi, sehingga menghasilkan tulisan yang dapat dipertanggung jawabkan
secara akademik. Walaupun disadari bahwa tidak ada suatu restorasi menghasilkan
kembali suatu keadaan seperti aslinya.79 Oleh karena itu, fakta-fakta itu perlu diolah
dengan meminjam teori-teori, konsep-konsep ilmu sosial. Upaya ini dimaksudkan
untuk mendapatkan hasil yang ilmiah belaka. Manusia, baik secara individual
maupun secara kolektif, adalah kompleks. Studi mengenai manusia sebagai
77
Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994), him. 87.
78
79
Sartono Kartodirdjo, op. cit.,hlm. 35.
Henri Pirenne, "What Are Historians Trying to do ?", dalam Hans
Meyerhoff, The Philosophy of History in Our Time (New York: Doubleday Anchor
Books 8s Company, 1959), him. 90.
35
makhluk sosial mengharuskan penggunaan konsep-konsep dan teori ilmu sosial,
agar dapat dikaji secara entitas analitik.80 Tahapan terakhir adalah penulisan
laporan, yang merupakan sintesis dalam bentuk kisah sejarah.
Sumber-sumber untuk kepentingan penelitian ini banyak menggunakan
sumber tertulis baik primer maupun sumber sekunder. Sumber tertulis yang
terpenting, diperoleh dari dua tempat. Pertama, arsip Boekhandel Tan Khoen Swie
di Kediri, berupa Buku Kiriman dan Penerimaan 1958, Buku Pesanan dan
Pembayaran, 1958, Buku Pesanan dan Pengiriman, 1958, Buku Register Tahun
1959, Daftar Buku Toko Tan Khoen Swie Kediri Tahun 1957, Daftar Buku/Barang,
per 31 Desember 1958, Daftar Kitab-kitab Kawedalaken Saha Kasade dening :
Toko Buku Tan Khoen Swie, 1941 dan 1953, Daftar Persekot Penerbit Tan Khoen
Swie Kediri per 31 Desember 1958, buku-buku dan majalah terbitan Boekhandel
Tan Khoen Swie Kediri, dan dokumen foto-foto keluarga. Kedua, arsip Yuriah
Tanzil di Jakarta, berupa surat-surat pembaca dan tawaran naskah dari masyarakat,
surat-surat penyerahan hak pengarang, dan beberapa dokumen foto-foto keluarga.
Informasi tentang Tan Khoen Swie juga dapat dibaca dari beberapa surat
kabar antara lain : De Indische courant, Soerabaijasch handelsblad, Nieuws en
advertentieblad, Staat en letterkundig nieuwsblad, Bataviaasch nieuwsblad, De
Sumatra Post.
80
Baca Robert F. Berkhofer, Jr, A Behavioral Approach to Historical
Analysis, 1971.
36
G. Sistematika Penulisan
Mengacu pada masalah yang hendak dicari jawabnya, maka sajian
pembahasan mengikuti sistematika sebagai berikut. Bab satu merupakan pengantar.
Pada bagian ini akan diuraikan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual dan analisis,
metode dan sumber penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab dua, membahas kebijakan perbukuan dan penerbitan pemerintah, dunia
pengarang, penerbit swasta, dan pembaca sastra Jawa. Pada bagian ini akan dibahas
mengenai kebijakan perbukuan dan penerbitan pemerintah, sejak masa kolonial
Belanda, masa Jepang, dan pemerintah RI, kemudian diuraikan mengenai dunia
pengarang sastra Jawa abad ke-19 dan 20, penerbit swasta, dan pembaca sastra
Jawa.
Selanjutnya dalam bab tiga, secara khusus akan membahas Tan Khoen Swie
: dari pedagang buku hingga usaha penerbitan. Bagian ini meliputi pembahasan Tan
Khoen Swie : masa pembelajaran di Surakarta, membuka toko buku : menjadi agen
buku pemerintah Hindia Belanda, Tan Khoen Swie dan pemikirannya di bidang
agama, sosial dan budaya, Tan Khoen Swie dan dunia organisasi ormas Tionghoa.
Bab empat, membahas aktivitas penerbitan Tan Khoen Swie periode 19151963. Pada bagian ini akan dibahas mengenai motif pendirian penerbitan dan
langkah-langkah memulainya, upaya menggaet pengarang, sistem pembayaran
naskah, karakter buku dan bentuk sampul, perkembangan penggunaan bahasa,
pembaca buku-buku Tan Khoen Swie, perkembangan penerbitan buku-buku, dan
penyebaran buku-buku Boekhandel Tan Khoen Swie.
37
Bab lima, sistem management baru pada periode Michael Tanzil (19531963), yang terdiri dari pembahasan, pembaharuan sistem administrasi masa
Michael Tanzil, terdiri dari pembahasan : penggunaan nama penerbit Interstars,
perubahan
bentuk cetakan, pembukuan dan pencatatan. Selanjutnya pelarangan
buku Aji Asmaragama, dan berakhirnya sebuah penerbitan besar.
Pada bab enam dibahas tentang merajut jaringan agen penulis, penerbit, dan
pedagang buku. Pembahasan pada bagian ini meliputi, terbentuknya kelompok
pembaca sebagai penulis baru,
jaringan penulis, jaringan penerbit : kerjasama
saling menguntungkan di antara penerbit, jaringan pedagang buku : peran pedagang
buku dan penyebaran buku-buku Boekhandel Tan Khoen Swie.
Bab tujuh merupakan kesimpulan. Pada bagian ini diberikan kesimpulan
yang merupakan jawaban atas permasalahan secara ringkas dan saran-saran.
Download