FENOMENA STRES DI SEKOLAH BERBASIS BOARDING SCHOOL Oleh: Aty Mulyani Latar Belakang Lembaga pendidikan sekolah formal merupakan salah satu lembaga yang dipercaya oleh para orang tua dan masyarakat umumnya, serta memberikan kepercayaan penuh kepada lembaga tersebut, dapat memberikan pendidikan, bimbingan, pengasuhan, dan bantuan yang sifatnya pedagogis kepada putra putri mereka. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, harus mampu memenuhi harapan para orang tua dan masyarakat. Harus menjadi suatu wahana yang menyenangkan bagi seluruh siswa dalam beraktifitas pada proses pembelajaran yang berlangsung, di bawah bimbingan para guru dan pada proses pembelajaran secara mandiri. Berdasarkan pengamatan penulis selama ini, terhadap perilaku siswa yang berada pada sekolah yang menerapkan sistem boarding school, jelas sekali bahwa mereka mengalami stres. Masa-masa awal masuk sekolah bagi siswa adalah suatu problem baru yang tidak dikehendaki. Problem baru ini berkaitan dengan keadaan lingkungan sekolah yang baru, iklim pembelajaran baru, teman baru, guru baru, hubungan baru dan sebagainya, memicu stres bagi siswa. Sekolah yang menerapkan sistem boarding school, atau sekolah berasrama juga memicu stres bagi siswa. Terutama masa-masa awal pembelajaran yang menerapkan masa isolasi dengan kurun waktu yang lama sekitar satu bulan lebih, atau sekitar dua bulan. Home sick adalah salah satu penyebab munculnya stres. Kebiasaan baru, adaptasi baru, dan suasana lingkungan mengakibatkan stres bagi mereka, ulangan harian, ujian kenaikan kelas dan ujian kelulusan. Mata pelajaran tertentu, oleh sebagian besar siswa adalah suatu mata pelajaran yang tidak menarik sama sekali bagi sebagian siswa, sehingga dianggap sebagai momok yang menakutkan dan menimbulkan stres tersendiri pada saat proses pembelajaran. Agar 1 proses pembelajaran dapat berlangsung menyenangkan maka, pembelajaran harus dilakukan dengan menggunakan metode-metode yang merangsang pemikiran dan kecerdasan siswa menjadi lebih berkembang. Guru juga harus mempertimbangkan siswa dari segi mentalitas dan psikologisnya, yaitu kesiapan untuk belajar dari dalam diri sendiri. Minat dan motivasi belajar pada siswa penting untuk ditumbuhkan dan dibangkitkan agar siswa menyadari kebutuhannya sebagai mahkluk hidup yang menganggap penting bahwa belajar itu kebutuhan hidup. Belajar adalah untuk menyelesaikan masalah hidupnya, bagi dirinya sendiri, bahkan orang lain. Adakalanya dalam perkembangan pembelajaran, semua yang terjadi tidak selamanya mulus. Hambatan dan rintangan, yang dapat dikelompokkan ke dalam dua ranah besar, yaitu hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal, adalah hambatan dari dalam dirinya sendiri. Hambatan eksternal adalah hambatan yang datang dari luar diri siswa atau dari lingkungan. Secara eksternal, baik dari alam sebagai tempat, atau zona pembelajaran, berupa benda tak hidup, bisa juga berupa perilaku manusia yang ada di lingkungan tersebut. Hambatan internal maupun eksternal, adalah bentuk-bentuk permasalahan yang sering terjadi pada siswa. Permasalahan ini jika dibiarkan tanpa penanganan yang baik dari siswa itu sendiri, maka akan menjadi penyebab hambatan prestasi belajar siswa. Menyebabkan munculnya kemalasan, dan keengganan untuk belajar, sehingga berefek kepada memicunya stres pada siswa dan kegagalan dalam studi. A. Stres di Sekolah Stres menurut Santrock (2007: 24) adalah suatu respon terhadap segala sesuatu yang berasal dari stresor baik situasi atau kondisi yang mengancam dan melebihi kemampuan copying mereka. Stres dipengaruhi oleh faktor-faktor kognitif, 2 peristiwa sehari-hari, dan juga berhubungan dengan faktor-faktor sosiokultural. Respon yang diterima dan muncul dari adanya rangsangan yang datang dari lingkungan, membuat mereka tertekan secara psikis. Faktor kognitif menurut Lazarus (Santrock, 2007: 24), menjelaskan bahwa sebuah kejadian dinilai dalam dua langkah, yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Penilaian primer (Primery Appraisal), adalah anggapan dari siswa di dalam menghadapi masalah yang datang, dianggap sebagai bahaya dan kehilangan yang telah terjadi, atau suatu tantangan yang harus diatasi. Penilaian sekunder (Secondary Appraisal), adalah angapan dari siswa, apakah dirinya mampu mengatasi masalah, dengan mengevaluasi kemampuan dirinya (sumber daya) yang dimilikinya, dan menentukan apakah bisa menyelesaikan secara efektif atau tidak. Faktor kejadian dan masalah sehari-hari, adalah semua kejadian sehari-hari, yang biasa atau yang luar biasa, yang dialami oleh anak-anak dalam keluarga, bisa terakumulasi dan menjadi penyebab stres, sehingga mengganggu secara psikologis dan menjadi penyakit fisik (Santrock, 2007: 25). Faktor berikutnya adalah faktor sosiokultural yang berhubungan dengan akulturasi, dan kemiskinan. Sosiokultural yang akulturasi yaitu konsekuensi negatif dari perubahan budaya yang disebabkan persentuhan budaya yang berbeda dan berlangsung lama. Sosiokultural yang berhubungan dengan kemiskinan menjadi penyebab stres, akibat kerap mengalami kejadian yang mengancam dan tidak terkontrol. Siswa pernah mengalami kejadian yang mengancam, berupa lingkungan yang berbahaya yang tak memadai, terlalu banyak beban, dan ketidakpastian ekonomi (Santrock, 2007: 25-26). Stres di sekolah sepanjang pengamatan penulis, khususnya di sekolah yang menerapkan sistem pembelajaran yang kompetitif dan menerapkan sistem boarding school, memberikan dampak yang memaksa siswa harus menyesuaikan diri dengan sekolah secara psikologis, psikososial, dan fisiologis bahkan akademis. Stres sebagai 3 suatu problem di sekolah relatif dianggap masih baru dalam khazanah psikologi. Stress di sekolah menurut Desmita (2009: 291), adalah suatu perasaan yang tegang secara emosional, disebabkan peristiwa-peristiwa kehidupan di sekolah. Perasaan terancam keselamatannya, baik secara fisik, mental, harga diri, yang berakibat memunculkan reaksi-reaksi yang bersifat fisik, psikologis, dan perbuatan yang harus menyesuaikan secara psikologis dan akademis. Jadi jelaslah bahwa stres di sekolah muncul akibat adanya berbagai tekanantekanan yang tidak nyaman yang dirasakan oleh siswa, sehingga memicu ketegangan fisik maupun psikologis yang berakibat merubah perilaku dan mempengaruhi prestasi belajar siswa itu sendiri secara kognitif. Stres secara biologis juga memicu meningkatnya sekresi hormon tertentu, yang berimplikasi pada perkembangan biologis siswa, seperti munculnya jerawat, kelenjar minyak di bagaian tubuh tertentu bekerja lebih, dan telapak tangan berkeringat. a. Macam-macam stres Berbagai permasalahan yang terjadi di kehidupan, membuat seseorang mengalami stres, demikian juga permasalahan di sekolah, sangat memicu stres. Secara umum stres di sekolah dapat dibagi dalam dua (2) kelompok, sebagaimana dikutip oleh Desmita (2009: 297), dari Rice, dkk, yaitu: 1. Personal and social stressor , adalah stres yang bersumber dari diri sendiri dan lingkungan sosial. Stres pada kelompok ini meliputi isu-isu seperti transisi (menemukan teman baru, rasa kesepian, dan menangani hubungan romantis), lingkungan tempat tinggal, saudara dan teman lama. Memperkuat penjelasan tersebut, terdapat banyak stressor yang memicu stres sehubungan dengan isuisu hubungan lingkungan sosial yang baru, meliputi penolakan, disisihkan, dicurangi teman dekat, tidak diikut sertakan, kehamilan yang tidak dikehendaki, tekanan ujian, dan masalah keuangan, kematian orang tua, kematian orang 4 dekat, dan kehamilan yang tak dikehendaki. Dari semua stressor tersebut yang paling kuat membuat seseorang stres adalah kematian orang tua, kematian orang dekat, dan kehamilan yang tak dikehendaki. 2. Academic stressor, adalah stres yang bersumber dari dalam proses kegiatan belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar, yang bersifat kognitif, baik yang berupa tekanan kenaikan kelas, lama belajar, contek menyontek, tugas yang banyak, nilai ulangan, birokrasi, mendapatkan bantuan beasiswa, keputusan menentukan jurusan dan karier, serta kecemasan ujian dan menejemen waktu. B. Penyebab stres/sumber stres. Secara umum stress di sekolah pada diri siswa berasal dari dalam diri sendiri dan lingkungan sosial serta bersumber dari proses pembelajaran yang berlangsung yang berkaitan dengan kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa di sekolah. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tuntutan fisik Tuntutan fisik (Physical Demands) ini merupakan sumber stres siswa, yang berupa, iklim (suhu, pencahayaan dan penerangan) dalam ruang kelas, perlengkapan kelas, sebagai penunjang pendidikan, jadwal pelajaran, kebersihan dan kesehatan ruang kelas, keamanan dan penjagaan sekolah, dan seterusnya. 2. Tuntutan tugas Tuntutan tugas (Task Demands), berupa tuntutan kurikulum, tugas siswa maupun kelompok, ulangan, kedisiplinan, penilaian, juga berbagai kegiatan 5 ekstrakurikuler, lainnya. Banyaknya tugas yang menumpuk dari guru, dan tekanan sistem pembelajaran menjadi penyebab stres pada siswa. 3. Tuntutan peran Tuntutan peran (Role Demands), berupa tuntutan peran yang harus dipikul oleh kepala sekolah, peran yang harus dipikul oleh siswa, peran dan tugas karyawan, peran guru, penjaga sekolah, di mana semua itu adalah peran menurut harapanharapan anggota lain dan siswa itu sendiri. Dari peran-peran inilah yang akan menghubungkan siswa dengan lingkungan sosialnya. Menuntut siswa beradaptasi secara sosial, dan memerankan status sosial, sesuai kondisi sosial setempat. 4. Tuntutan interpersonal Tuntutan interpersonal (Interpesonal demands), berupa tuntutan pencapaian interpretasi yang tinggi dan kesuksesan dalam berinteraksi secara sosial dengan baik. Ini berkaitan dengan kemampuan menjalin hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan para pelaku kependidikan, dan kemampuan penggunaan bahasa verbal maupun non verbal. Kemampuan ini berupa kemampuan membuka dan membina hubungan interpersonal. Kemampuan mendukung secara emosional, mengelola dan mengatasi konflik yang terjadi, yang mungkin timbul dalam hubungan interpersonal. Penjelasan ini sesuai dengan fakta di lapangan, sebagaimana dikutip dari Buhrmester, dkk, oleh Desmita (2009: 296). Berbagai tuntutan peran tersebut, jelas membuat siswa menjadi tertekan dan mengalami stres. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran di kelas dan di sekolah, hendaknya dilaksanakan dengan menerapkan sistem pembelajaran menyenangkan, untuk meminimalisir stres yang dialami siswa di sekolah. 6 yang C. Penanggulangan Stres Mengingat bahwa stres dapat berdampak negatif bagi siswa, dan menyebabkan menurunnya prestasi, atau menyebabkan kemandulan prestasi pada siswa, maka stres penting dipahami dan perlu ditanggulangi. Adapun bentuk penanggulangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Resiliensi Resiliensi adalah suatu istilah dalam psikologi yang berkaitan dengan penanganan stres. Resiliensi diperkenalkan oleh Redl pada tahun 1969, yang digunakan untuk mengambarkan adanya perbedaan positif pada diri setiap siswa di dalam menghadapi stres dan keadaan yang merugikan lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Smet (Desmita, 2009: 199). Selanjutnya dengan lebih tegas lagi Desmita, (2009: 201), menjelaskan bahwa resiliensi adalah proses di dalam diri seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dari kondisi yang tidak menyenangkan, dan tekanan dan sukses mengembangkan diri dalam berkompetisi sebagai makhluk sosial, akademis, dan vokasional, meskipun berada dalam kondisi stres hebat yang inheren dalam kehidupan di dunia dewasa ini. Resiliensi dengan demikian dapat dipahami sebagai suatu proses di dalam siswa, yang bersifat personal, yang dimiliki oleh siswa. Resiliensi berdaya guna untuk mengatasi stres yang dialaminya di dalam hidupnya. Proses ini kemampuan ini, berhubungan dengan keramahan, watak, dan bentuk fisik seseorang, namun bisa dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun. Adapun ciri-ciri atau karakter resiliensi pada diri seseorang yang dielaborasi dan dikolaborasi dari Bernard dan Wolins, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Social competence (Kompetensi Sosial), yaitu kemampuan merenspon dan mengadakan hubungan positif dengan orang lain, baik sebaya maupun orang dewasa. 7 2) Problem-Solving Skill/metacognition (Kemampuan pemecahan masalah/kognitif: yaitu kemampuan merencanakan sesuatu yang dapat mempermudah pengendalian diri dan memanfaatkan akal sehat untuk mencari bantuan orang lain. 3) Autonomy (Otonomi), yaitu suatu kemampuan kesadaran dalam diri sendiri untuk bertindak dan mengontrol lingkungan. 4) A sense of purpose and future (Kesadaran akan tujuan masa depan), yaitu kesadaran akan tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan (persistence), pengharapan dan kesadaran akan sesuatu masa depan yang cemerlang. 5) Insight (Berwawasan), kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan dan penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau pada orang dewasa, yang ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan mengapa salah. 6) Humor , yaitu kemampuan mengungkapkan rasa humor pada suatu situasi yang tegang atau suasana yang beku. 7) Morality (Moralitas), yaitu kemampuan mempertimbangkan baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak secara integritas. Secara umum kemampuan resiliensi pada siswa dapat dikelompokkan kepada I HAVE, I AM, DAN I CAN. Yang dimaksud dengan I HAVE yaitu: karakteristik resiliensi yang bersumber dari pemaknaan siswa terhadap lingkungan dan sumber daya dari lingkungan sosial, ini penting bagi pembentukan resiliensi itu sendiri. Yang dimaksud dengan I AM yaitu, kekuatan karakteristik resiliensi yang bersumber dari kekuatan pribadi, merupakan penyumbang bagi pembentukan resiliensi itu sendiri. I CAN yaitu karakteristik resiliensi yang bersumber dari 8 apapun yang dilakukan oleh siswa sehubungan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial dan interpersonal siswa. 2. Inokulasi stres (stress inoculation training) Suatu terapi dan koseling yang diterapkan atas dasar stimulus-kognitif-respon yang saling berhubungan di dalam otak manusia, memberi dampak positif pada siswa untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kesanggupan-kesanggupan menghadapi stressfull yang rasional, meningkatkan ketrampilan-ketrampilan penyesuaian psikososial, sehingga mampu menjalani hubungan interpersonal secara memuaskan. Resiliensi dan inokulasi stres merupakan dua cara yang bisa diterapkan untuk mengatasi penomena stres di sekolah. Kedua cara ini bisa diterapkan oleh guru BK maupun guru mata pelajaran lainnya. Sehingga tingkat stres yang dialami siswa dapat dihindari dan diminimalisir. Membuat siswa betah belajar dan merasa gembira serta nyaman dalam menuntut ilmu dalam proses pembelajaran yang kondusif bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya. D. Dampak stres di sekolah Dampak stres di sekolah pada siswa dapat berakibat positif dan berakibat negatif. Stres berdampak secara psikologis dan psikososial, juga penyesuaian akademis (Santrock, 2007: 298). Cross dkk, mengungkapkan bahwa stres berdampak negatif pada siswa dalam bentuk-bentuk seperti menentang dan berbicara di belakang guru, keributan dan kelucuan di dalam kelas, sakit kepala dan perut. Prestasi belajar terganggu, perilaku adaptif dan maladaftif. Problem tingkah laku, tidak disukai teman, konsep diri yang buruk, serta sikap terhadap sekolah dan prestasi akademis yang rendah (Desmita, 2009: 289-299). Selanjutnya mengutip dari pendapat Selye, Emira , dkk, Desmita (2009: 299), menjelaskan bahwa stres juga berefek positif, yaitu apabila stres berupa eustress, 9 yang menimbulkan respon pada tubuh yang membangkitkan rasa puas dan secara optimal memfungsikan tubuh, baik fungsi fisik maupun fungsi psikis. Demikian juga stress yang berupa neustress yang merespon stres siswaal yang sifatnya netral, tidak berakibat negatif atau positif. Akan tetapi menyebabkan tubuh berada pada fungsi internal yang mantap, kondisinya homeostatis. Stres pada siswa, tidak mutlak berdampak negatif, akan tetapi dapat berdampak positif pada seseorang. Dampak positif atau negatif bergantung pada bentuk-bentuk stres yang dialami oleh seseorang dan apa yang ditimbulkan bagi indivisu tersebut, baik secara psikis maupun biologis, secara fisiologis. E. Kesimpulan Stres adalah respon dari adanya tekanan pada siswa, berupa kecemasan, ketakutan, dan keadaan tidak nyaman yang dirasakan oleh siswa dari lingkungan. Stres bisa terjadi dan dialami siswa di mana saja, kapan aja, termasuk stres di sekolah, yaitu adanya tekanan dari lingkungan sekolah berupa apapun yang memicu stres. Stres dapat mengakibatkan dampak negatif atau positif pada siswa. Stres di sekolah harus ditanggulangi, dengan cara menerapkan terapi Resiliensi dan Inokulasi stres. Dilakukan oleh guru BK, guru bidang studi, kepala sekolah, pegawai, atau ahli yang menangani permasalahan ini. Daftar Pustaka Santrock, J. W., & Santrock, J. W. 2007. Psikologi Pendidikan.Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya. 10