BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir hingga lansia. Ketika memasuki usia dewasa awal tugas perkembangan individu antara lain adalah mencari pasangan hidup, menikah dan mengasuh anak (Santrock, 2002). Pernikahan tentunya pilihan hidup setiap manusia, pernikahan adalah salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Ketika individu telah memasuki kehidupan pernikahan maka bisa dikatakan individu tersebut telah siap untuk membina dan membentuk sebuah keluarga baru. Keluarga pada dasarnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Individu yang telah menikah biasanya akan timbul dorongan biologis untuk memiliki anak. Ketika tugas perkembangan seorang perempuan dewasa awal dalam tahap kehamilan diperlukan proses adaptasi. Saat mengandung anak pertama atau kehamilan pertama, calon ibu akan merasakan perasaan bahagia penuh harapan sekaligus khawatir mengenai apa yang akan dialaminya selama kehamilan. Selama kehamilan ibu hamil dituntut untuk selalu dalam keadaan sehat dan prima, menjaga kesehatan selama kehamilan merupakan salah satu persiapan ibu hamil untuk melahirkan bayi yang sehat pula. Sehat adalah suatu kondisi seimbang yang dinamis sebagai dampak dari keberhasilan mengatasi stresor (Mubarak dan Chayatin, 2009). Kehamilan yang terjadi pada seorang perempuan dapat menimbulkan ketidak seimbangan psikologis, secara umum hal tersebut dilihat dari segi emosi, adanya perasaan bimbang, tertekan dan cemas. Banyak hal yang menjadi faktor munculnya kecemasan pada ibu hamil pertama, terkait proses melahirkan, kesehatan diri serta kesehatan bayi yang dikandung. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa kehamilan pertama merupakan salah satu periode krisis pada perempuan dalam menjalani kehidupannya. Peran ganda perempuan dalam rumah tangga sebagai istri sekaligus ibu akan memuat banyak tantangan yang membutuhkan ketangguhan diri (resiliensi) agar peran 1 2 menjadi istri dan ibu berjalan optimal. Resiliensi adalah cara dan kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat dari kesulitan akan perubahan yang dialaminya (Grotberg, 1999). Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi pondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, yaitu: adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Masten & Coatsworth, 1998). Ibu hamil yang beresiliensi akan bertahan serta melewati keadaan dengan banyak melakukan regulasi emosi dan menggunakan emosi positifnya untuk menggantikan emosi-emosi negatif yang seringkali muncul manakala mereka tengah menghadapi situasi sulit atau kondisi yang menekan. Resiliensi dibutuhkan saat hamil agar ibu dengan kehamilan normal maupun berisiko agar dapat mengurangi perasaan negatif seperti stres, cemas, dan resiliensi dapat mencegah maupun mengurangi risiko lainnya. Banyak hal yang perlu dipersiapkan secara matang pada kehamilan pertama, banyaknya informasi yang terkadang membuat ibu was-was, dan aktifitas yang harus dibatasi memicu timbulnya stres. Stres pada ibu hamil dapat membahayakan calon anak yang sedang dalam kandungan, antara lain meningkatkan risiko bayi mengalami alergi, meningkatkan risiko keguguran, sistem kekebalan tubuh bayi akan berkurang, serta bayi terlahir dengan berat badan kurang (kesehatan.kompasiana.com, 2014). Seorang dokter menegaskan bahwa jika ibu hamil mengalami stres, takut, dan khawatir, hormon-hormon stres yang ada di dalam tubuhnya akan keluar dan masuk keseluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah yang menghubungkan (plasenta) ketubuh bayi yang sedang dikandungnya (Chopra, 2013 dalam artikelduniawanita.com). Baby blues syndrome merupakan salah satu dampak negatif kehamilan pada wanita yang sedang mengandung untuk pertama kalinya namun tidak berusaha untuk menjalaninya dengan positif (Waldan, 2014 dalam TabloidNova.com). Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa masih banyak perempuan dengan kehamilan pertama belum memiliki resiliensi yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari 3 masih banyak wanita dengan kehamilan yang berisiko atau bermasalah, ternyata salah satu faktor penyebab kehamilan dinyatakan berisiko atau bermasalah adalah resiliensi ibu hamil yang kurang. Peneliti berkesempatan melakukan wawancara singkat kepada dua perempuan dengan kehamilan pertama yang berada di lingkungan peneliti, berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kehamilan pertama calon ibu merasa lelah dan tidak nyaman dengan kehamilannya, namun mereka sadar bahwa kehamilan ini harus dijalani sebagaimana mestinya. “Hamil itu memang proses yang berat dan susah apalagi dalam waktu yang lama 9 bulan, harus dikuat-kuatin menghadapinya walaupun sering mengeluh, tapi sebenarnya menyenangkan”. Penyebab stres pada ibu hamil berasal dari dua faktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang memicu stres dan berasal dari dalam diri ibu hamil seperti hormon, tiga hormon yang dapat naik secara signifikan ketika hamil adalah esterogen, progesterone, dan hormon gonadotropin (Bensa, 2014 dalam www.parenting.com). Faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar yang dapat menyebabkan stres pada ibu hamil adalah keadaan fisik yang sering merasa sakit dan nyeri, hubungan dengan suami kurang terjaga, terlalu banyak pikiran seperti memikirkan keadaan keuangan, saran dan juga larangan yang diberikan orang tua maupun mertua. Oleh karena itu ibu hamil diharapkan dapat mengelola keadaan emosinya dengan baik agar tidak berkembang menjadi stres yang berlebihan. Gejala emosional yang tampak ketika ibu hamil mengalami stres adalah ibu sering marah, khawatir, ketakutan, merasa terancam, tidak aman, mudah menagis, dan tidak bisa mengatasi masalah. Jika kondisi telah sangat buruk orang terdekatlah yang dapat memberikan dukungan pada kondisi seperti ini, mengkomunikasikan perasaan yang sesungguhnya dapat membantu menimbulkan perasaan sedikit tenang (www.bidanku.com). Waktu kehamilan dibagi menjadi tiga, yaitu trimester pertama (0-12minggu), trimester kedua (13-28minggu), dan trimester ketiga (29-40minggu), pada setiap trimester keadaan fisik maupun psikologis wanita hamil akan mengalami perubahan. Menurut Suririnah, 4 2004 (dalam www.infoibu.com) pada trimester pertama wanita hamil akan mengalami perubahan di tubuhnya yaitu seperti: pembesaran payudara yang disebabkan peningkatan hormon dan menimbulkan pelebaran pembuluh darah sehingga memberi nutrisi pada jaringan payudara, sering buang air kecil karena rahim yang tumbuh menekan kandung kencing, kontipasi yaitu sulit buang air besar, mual dan muntah (morning sickness) akan makanan dan hal lain juga disebabkan hormonal, merasa lelah, sakit kepala, pusing, kram perut, peningkatan berat badan, serta kondisi emosional sering tidak stabil. Pada trimester kedua dianggap sebagai masa kehamilan terbaik karena calon ibu sudah lebih merasa nyaman. Perubahan yang terjadi adalah: perut semakin membesar, nyeri di ulu hati yang dikarenakan asam lambung naik, sakit di bagian bawah perut yang disebabkan peregangan otot, terjadi pembengkakan karena hormon yang menahan cairan, dan calon ibu akan mulai merasakan gerakan pada bayi. Trimester ketiga adalah masa dimana calon ibu sudah memikirkan persiapan persalinan dan bayinya. Pada saat ini ibu akan merasakan perasaan emosional yang berbeda-beda. Beberapa perubahan yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga adalah: sakit punggung karena menopang berat badan, susah bernafas, tidur kurang karena adanya gerakan dalam rahim, kontraksi yang hilang timbul, hingga varises di kaki. Pada masa kehamilan beberapa perubahan secara psikologis dapat terjadi dari dalam diri calon ibu di antaranya: ibu merasa tidak sehat, khawatir kehilangan bentuk tubuh, merasa penerimaan keluarga terhadap kehamilannya kurang, ketidak stabilan emosi dan suasana hati, khawatir terhadap masa persalinan, khawatir terhadap anak yang akan lahir, sering merasa sakit tiba-tiba, cepat capek, nafsu makan berkurang, tidak berdaya, takut keluarga tidak memperhatikannya, dan berbagai macam pikiran negatif lainnya yang kadang dapat menyebabkan calon ibu mengalami stres dan ingin segera menyudahi kehamilannya. Calon ibu dengan kondisi yang rentan dan tidak dapat beresiliensi dengan baik, sebaiknya mendapatkan dukungan psikologis dari orang dan kerabat terdekatnya agar kondisi psikologis calon ibu kembali membaik dan siap dengan segala berubahan 5 yang terjadi. Dukungan (support) merupakan salah satu faktor penguat (reinforcing factor) yang dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku (Green,2006). Dr. Thomas Verny dalam Journal of Prenatal and Perinatal Psychology and Health (www.birthpsychology.com) mengungkapkan bahwa mental, dan juga kondisi fisik ibu hamil dipengaruhi hormon dan molekul-molekul yang sangat tergantung dengan keadaan emosi. Adapun emosi pada ibu hamil terbentuk dari bagaimana dia memandang kehamilannya, perencanaan kehamilannya, pernikahannya, pekerjaannya, kesehatannya, bahkan hingga lingkungan di sekitarnya. Dari penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa pada bayi yang lahir tidak sesuai yang diharapkan (seperti prematur, kurang berat badannya, hiperaktif, mudah teriritasi, hingga mudah sakit) selama kehamilan ibu mereka mengalami kondisi psikologis yang tidak baik/ stres. Sebaliknya, bayi-bayi yang sehat dan pintar adalah bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu yang selama masa kehamilannya dipenuhi dengan hal-hal positif seperti bahagia, keadaan lingkungan yang mendukung, tenang, nyaman, dan jauh dari stres. Kondisi psikologis yang baik (positive thinking) selama masa kehamilan bisa membentuk bayi dengan fisik yang sempurna dan juga mental yang sehat. Pernyataan diatas membuktikan resiliensi juga berpengaruh kuat terhadap perkembangan otak bayi yang ada di dalam rahim. Resiliensi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi resiliensi perempuan pada kehamilan pertama antara lain self esteem, self monitoring, self efficacy, penerimaan diri, pandangan positif terhadap diri sendiri, keterampilan komunikasi, regulasi emosi, problem solving, inteligensi, dan spiritual. Faktor eksternal yang berperan mempengaruhi resiliensi antara lain dukungan keluarga atau orang dewasa lainnya, role model, dan budaya. Perubahan emosi, kondisi fisik dan kebiasaan perempuan hamil sehingga menimbulkan kecemasan dan stres pada perempuan hamil tidak hanya dirasakan sendiri, tetapi seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu, selama proses kehamilan seorang perempuan hamil sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya terutama keluarga. Perempuan hamil dituntut untuk bisa menghadapi tantangan yang akan muncul. 6 Ketika akan mempunyai anak sering kali para calon orang tua mengalami penurunan kepuasan pernikahan, tetapi efek negatif ini dapat diatasi jika pasangan memiliki hubungan karib yang kuat dan saling mendukung (Shapiro & Gotman, 2000 dalam Baron & Bryne, 2005). Maka dari itu, dapat diketahui bahwa suami istri yang memiliki gaya kelekatan dewasa yang aman ditemukan paling mampu mengalami stres yang ditimbulkan oleh transisi menuju menjadi orang tua (Alexander, 2001 dalam Baron & Bryne, 2005). Dukungan agar perempuan pada kehamilan pertama dapat melewati kehamilannya dengan baik didapat dari lingkunganya. Keluarga, sahabat, suami, rekan kerja bahkan orang-orang yang baru dikenalnya bisa dijadikan sumber dukungan sosial. Tidak dapat dipungkiri setiap ibu hamil baik secara sadar maupun tidak sadar, membutuhkan dukungan sosial. Dukungan sosial berupa rasa nyaman, baik secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang sekitar kepada orang yang menghadapi kesulitan. Adanya dukungan sosial membuat individu merasa lebih baik dan dapat menghadapi stres yang dialaminya (Baron & Bryne, 2005). Salah satu orang terpenting yang selalu diharapkan calon ibu untuk memberikan dukungan adalah suami. Peran aktif suami dan keikut sertaan suami dalam mengambil keputusan, menemani, dan memberi perhatian kepada calon bayi adalah hal yang sangat penting. Seperti yang diungkapkan Notoatmodjo (dalam Mulyanti, 2010) bahwa suami merupakan orang yang dianggap penting bagi istri yang sedang mengandung, suami adalah orang yang dapat diharapkan dan diminta persetujuannya untuk mengambil tindakan atau diminta pendapatnya. Karena faktanya dukungan suami terhadap istri dalam masa kehamilan dapat meningkatkan kesiapan ibu dalam menghadapi masa kehamilannya (Mulyanti, 2010). Ibu hamil yang mendapatkan dukungan suami biasanya cenderung melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan dengan baik dan rutin. Pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk memantau perkembangan kehamilan serta mengenali secara dini adanya ketidak normalan atau komplikasi, mempersiapkan ibu dalam persalinan dan masa nifas. 7 Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana dukungan keluarga berhubungan dengan resiliensi perempuan pada kehamilan pertama. B. Tujuan Penelitian Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan resiliensi perempuan pada kehamilan pertama. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi illmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Perkembangan yang berkaitan dengan dukungan keluarga dan resiliensi perempuan kehamilan pertama. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan dan menambah informasi mengenai resiliensi perempuan pada kehamilan pertama yang dapat dimanfaatkan oleh ibu hamil, keluarga, profesi yang bergerak di bidang Psikologi Keluarga dan Psikologi Klinis, serta tenaga penyedia layanan kesehatan umum.