Uploaded by User31697

wagnild

advertisement
2.2.3 Komponen Resiliensi
Adapun komponen resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993;2010) adalah
sebagai berikut :
a. Meaningfulness (Kebermaknaan)
Meaningfulness merupakan suatu kesadaran hidup memiliki tujuan,
dimana diperlukan suatu usaha utuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010)
menambahkan bahwa kmponen ini adalah yang menjadi dasar dari keempat
komponen lainnya sekaligus mejadikan komponen komponen terpenting dari
resiliensi itu sendiri. Hal ini dikarenakan tanpa tujuan akan menjadi sia-sia dan
tidak bermakna. Menurutnya, akan sangat sulit untuk menjalani hidup tanpa
tujuan yang baik, karena tujuan tersebut yang akan membantu setiap individu
yang mengalami kesulitan ataupun mendorong untuk maju.
b. Equanimity (Ketenangan hati)
Equanimity merupakan suatu perspektif mengenai keseimbangan dan
harmony yang dimiliki individu yang berkaitan tentang hidup berdasarkan
pengalaman yang terjadi masa hidupnya. Para individu yang resilien menurut
wagnild (2010), telah memahami bahwa hidup bukanlah sebatas hal yang
baik dan buruk. Mereka mampu untuk memperluas perspektifnya sehingga
dapat lebih fokus pada aspek positif daripada negatif dari setiap kejadian
dalam hidupnya. Selain itu mereka pun telah belajar untuk tidak
menunjukkan respon yang ekstreem dan sikap tenang. Hal tersebut
menjadikan individu yang resilien sebagai individu yang optimis, karena
bahkan pada situasi yang sulit mereka mampu melihat kesempatan untuk
tidak menyerah dan menemukan jalan keluar. Baik pengalaman diri sendiri
maupun orang lain pun dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi
mereka. Terakhir, dalam komponen ini juga termasuk adanya humor pada
individu yang resilien. Mereka mampu menertawai diri sendiri maupun
lingkungannya ketika berada pada situasi yang relevan.
c. Perseverance (Ketekunan)
Perseverance
yaitu suatu tindakan untuk bertahan meskipun harus
menghadapi tantangan dan kesulitan. Selain itu, memiliki komponen
perseverance juga berarti bahwa seseorang bersedia untuk berjuang untuk
menyusun kembali hidupnya dan disiplin terhadap dirinya sendiri. Secara
umum, resiliensi melibatkan komponen perseverance karena pada dasarnya
konsep ini merupakan sebuah kemampuan untuk bangkit ketika seseorang telah
jatuh. (Wagnild, 2010). Dalam mencapai tujuan hidup, sering kali kta bertemu
dengan hambatan, kesulitan bahkan kegagalan. Kondisi ini sangat mendorong
seseorang untuk menyerah. Namun demikian, individu yang resilien akan terus
bertahan untuk terus berjuang sampai akhir. Salah satu cara untuk membangun
ketahanan ini adalah dengan menekuni rutinitas yang positif dan membuat
tujuan realistis dalam hidup.
d. Self-Reliance (Kemandirian)
Self-Reliance yaitu keyakinan individu terhadap diri serta kemampuan
yang ia miliki. Melaui berbagai pengalaman, baik itu kesuksesan maupun
kegagalan, individu yang resilien belajar untuk mengatasi masalahnya sendiri.
Keterampilan tersebut yang kemudian memunculkan rasa percaya akan
kemampuan dirinya sendiri. Mereka secara berkesinambungan menggunakan,
mengadaptasi,
memperkuat,
serta
memperbaiki
keterampilan
tersebut
sepanjang hidupnya. Selain itu, self reliance juga merupakan kemampuan
individu untuk bergantung pada dirinya serta mengenali kekuatan dan
keterbatasan yang ia miliki.
e. Existential aloneness (Eksistensial kesendirian)
Existential aloneness merupakan suatu kesadaran bahwa jalan hidup setiap
orang bersifat unik serta mampu mrnghargai keberadaan dirinya sendiri.
Individu yang resilien mampu berteman dengan dirinya sendiri dalam artian
merasa puas, nyaman, dan menghargai keunikan yang ada pada dirinya.
Komponen existential aloneness juga disebut “coming hme to your self” oleh
Wagnild (2010) yang menunjukkan bahwa individu yang resilien mampu untuk
merasa nyaman atas kondisi dirinya sendiri. Mereka menghargai dirinya dan
sadar penuh bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat dikontribusikan untuk
lingkungan sekitarnya. Mereka pun tidak merasakan tekanan untuk melakukan
konformitas dengan lingkungannya. Karakteristik existential aloneness bukan
berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan
orang lain, melainkan menerima diri sendiri apa adanya.
2.1.4 Pengukuran Resiliensi
Meskipun penelitian mengenai resiliensi ini tergolong baru, namun telah
banyak peneliti yang mengembangkan alat ukur atau skala untuk menilai
kemampuan seseorang dalam menghadapi bentuk-bentuk situasi yang menekan.
a. The Brief Resilience Scale
Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai
pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih
dari stress (Windle dalam Wardani, 2014). BRS yang terdiri dari enam item ini
dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai
kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber
resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith dalam Wardani,
2014).
b. Resiliency Quotient (RQ)
Reivich dan Shatte (2002) mengembangkan tes Resiliency Quotient (RQ) untuk
mengukur dimana individu berada pada tujuh faktor kemampuan resiliensi.
Menurutnya resiliensi bukanlah sifat. Resiliensi berada pada garis kontinum, tidak
peduli dimana individu terjatuh pada garis kontinum tersebut, maka ia dapat
menaikkan resiliensinya dengan meningkatkan kemampuan dalam menghadapin
tantangan hidup dengan tabah dan bersemangat.
c. The Connor-Davidson resilience Scale
Connor-Davidson
resilience
Scale
(CD-RISC)
dikembangkan
sebagai
penilaian singkat mengenai self-rated untuk membantu mengukur resiliensi
sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor &
Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya
dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan
penguatan stress, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman,
kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Tirta 2014).
d. Resilience Scale
Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young (1990). Tujuan
pengembangan dirancang untuk mengidentifikasi individu tangguh atau mereka
yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam perawatan, terdiri dari 25 item.
Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah
dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale
(RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif
yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan,
perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya (Wardani, 2014).
Download