BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedua keluarga telah mencapai resiliensi sebagaimana dilihat dari proses sejak peristiwa kekerasan seksual hingga kondisi terakhir peneliti mengambil data di lapangan. Terdapat perbedaan pada peristiwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak serta sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing keluarga, sehingga dinamika proses mencapai resiliensi pada masing-masing keluarga memiliki faktor risiko dan protektifnya yang berbeda pula. Selain itu, proses resiliensi keluarga dari anak korban kekerasan seksual yang menempuh proses hukum akan lebih cepat terbangun apabila didukung faktor protektif ekternal dibanding dengan internal. Apabila diltinjau dari hasil pembahasan sebelumnya, dinamika proses resiliensi pada keluarga dari anak korban kekerasan seksual terdiri atas beberapa tahap yakni: 1. Keluarga mengetahui peristiwa kekerasan seksual pada anak a. Respon dan tindakan yang diambil oleh keluarga Setiap keluarga memiliki respon dan tindakan yang berbeda ketika berhadapan dengan kejadian anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini sangat bergantung pada kondisi keluarga seperti faktor pendidikan, status ekonomi, karakter kepribadian, budaya di masyarakat, dan sebagainya. b. Menempuh proses hukum 149 150 Keluarga pada penelitian ini memilih untuk menempuh proses hukum sebagai bagian dari solusi atas kejadian kekerasan seksual yang dialami oleh anak. 2. Faktor-faktor risiko yang dapat memperburuk kondisi keluarga dan dampak negatif yang muncul. Faktor-faktor risiko antara lain sebagai berikut: status sosial (single parent atau keluarga utuh), kondisi finansial, kondisi anak belum diterapi, karakteristik kepribadian, potensi kecerdasan anak dibawah rata-rata. Sedangkan dampak-dampak negatif yang muncul adalah: kondisi fisik, mental, dan perilaku anak, kondisi mental anggota keluarga, muncul reaksi-reaksi psikologis, dan membatasi diri dari lingkungan. 3. Proses adaptasi (melibatkan serangkaian dukungan faktor-faktor protektif untuk meminimalisir faktor risiko yang ada). Faktor-faktor protektif yang menjadi temuan dalam penelitian ini antara lain: a. Faktor protektif internal Merupakan faktor-faktor pendukung dari dalam diri individu pada masing-masing anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut antara lain: strategi spiritualitas, koping, komunikasi, karakteristik empati, kepribadian, ritual ibadah, tanggung jawab, manajemen waktu, dan self efficacy b. Faktor protektif eksternal Merupakan faktor-faktor pendukung yang berasal dari luar diri masing-masing anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut antara lain: dukungan sosial dari instansi terkait, dukungan sosial dari keluarga besar dan kerabat, dukungan sosial dari lingkungan 151 tempat tinggal, kebersamaan dan kedekatan dalam keluarga, ritual ibadah dalam keluarga, pendidikan, kondisi ekonomi yang mendukung, adanya aturan yang jelas dan dipatuhi bersama dalam keluarga, adanya peran yang jelas dalam keluarga, dan pendekatan budaya. 4. Reframing; membingkai kembali makna atas peristiwa kekerasan seksual, terdiri atas penerimaan diri atas kejadian kekerasan seksual pada anak, mampu membangun harapan-harapan baru dalam keluarga, dan mampu mengambil hikmah atas kejadian. 5. Hasil positif sebagai wujud kondisi keluarga yang resilien, terdiri atas: kesadaran anggota keluarga untuk menjaga diri dan saling menjaga, komunikasi sesama anggota keluarga menjadi lebih positif, membaiknya kondisi psikis, perubahan perilaku pada anak ke arah positif, dan ketenangan dalam keluarga. B. Saran Beberapa hal yang menjadi perhatian khusus atas temuan penelitian ini sehingga dapat dijadikan saran antara lain sebagai berikut: a. Hati-hati ketika membawa keluarga korban anak kekerasan seksual ke ranah hukum, pihak-pihak terkait hendaknya memahami betul agar protective effort tidak berubah menjadi risk factors. b. Bahwa setiap keluarga memiliki pola dinamika resiliensi yang berbeda, oleh karena itu penanganan atas kasus-kasus kekerasan seksual (ke dalam ranah hukum) tidak dapat disamakan. 152 c. Perlunya dilakukan asesmen sebelum memasuki ranah hukum. Hal yang harus diperhatikan adalah kesediaan (willingness) dan kesiapan (readiness) keluarga serta korban selama menempuh proses hukum nantinya. Beberapa saran yang dapat peneliti berikan kepada pihak-pihak terkait atas penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kepada keluarga dari anak korban kekerasan seksual Resiliesi keluarga yang terbangun hendaknya dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Hal ini karena anak yang menjadi korban kekerasan seksual membutuhkan pendampingan dan terapi jangka panjang dari lingkungan sekitar, tidak hanya setelah kejadian kekerasan seksual yang menimpanya. Pengasuhan positif dan perhatian dari seluruh anggota keluarga akan membantu proses pemulihan mental anak sehingga trauma jangka panjang pada anak dapat diminimalisir. 2. Kepada profesional kesehatan jiwa Melihat besarnya kebutuhan akan pendampingan psikologis bagi keluarga dengan anak korban kekerasan seksual ini, hendaknya profesional kesehatan jiwa (konselor, psikolog, pskiater, dsb) dapat semakin terpanggil jiwanya. Memperbanyak program-program preventif hingga intervensi yang konkrit dan tersistematisasi tentunya akan membantu mengurangi angka kejadian kekerasan seksual pada anak di Indonesia. 3. Kepada instansi terkait yang memiliki perhatian khusus terhadap kasus kekerasan seksual pada anak serta pemerintah daerah, beberapa masukan yang dapat peneliti berikan antara lain: 153 a. Penanganan korban kekerasan seksual masih terbentur oleh beberapa faktor yang menghambat. Dalam proses hukum, aparat hukum terkadang kesulitan menemukan bukti adanya kekerasan karena keluarga terlambat melapor, sehingga bukti kekerasan sudah hilang. Proses penyidikan atau pengambilan kesaksian korban hendaknya lebih memperhatikan kondisi psikologis korban. Proses hukum juga hendaknya sejalan dengan pendampingan psikologis agar tidak memperparah dampak psikologis korban. Selain itu, proses pencatatan perkara dari hasil pemeriksaan dan penyidikan hendaknya dikonsep dengan lebih konkrit sehingga jelas menggambarkan kasus dan kondisi korban yang sebenarnya. b. Mengoptimalkan peran dari tim-tim khusus yang telah dibentuk dalam penanganan kekerasan terhadap anak. Perlu dilakukan asesmen menyeluruh ketika keluarga c. Bersifat aktif dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual terhadap anak, tidak hanya menunggu datangnya klien yang melapor. Programprogram yang dibuat tidak hanya bersifat intervensi namun juga dapat berupa program preventif kepada masyarakat seperti seminar, pencegahan KSA melalui sekolah, komunitas, pelatihan, kampanye kesehatan mental, dsb. d. Bekerjasama dengan perguruan tinggi dan profesional dalam pelaksanaan program-program sosial masyarakat khususnya terkait sosialisasi tentang pencegahan kasus kekerasan seksual pada anak dan penelitian-penelitian lokal. 154 4. Kepada peneliti selanjutnya Pengambilan subjek dengan karakteristik situasi yang berbeda dapat menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya, misalnya dalam situasi keluarga korban yang tidak membawa kasus kekerasan seksual pada anaknya ke jalur hukum. Selain itu, permasalahan dalam penelitian dapat pula digali dengan mengambil subjek korban kekerasan seksual dari kasus yang berbeda seperti sodomi, incest, atau pada anak berkebutuhan khusus.