Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Aset Tetap
Pada dasarnya tujuan utama setiap perusahaan adalah untuk mencapai laba
yang diinginkan dengan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki
perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut suatu perusahaan membutuhkan aset
tetap berwujud yang digunakan dalam menjalankan operasi perusahaan. Maka
dari itu perlakuan aset tetap dan cara penyajian aset tetap dalam laporan keuangan
menjadi sangat penting dan harus diperhitungkan secara matang. Akuntansi aset
tetap sangat berarti terhadap kelayakan laporan keuangan, kesalahan dalam
menilai aset tetap berwujud dapat mengakibatkan kesalahan yang cukup material
karena nilai investasi yang ditanamkan pada aset tetap relatif besar. Mengingat
pentingnya akuntansi aset tetap dalam laporan keuangan tersebut, maka
perlakuannya harus berdasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan (PSAK
No.16).
2.1.1
Definisi Aset Tetap
“Aset tetap merupakan aset berwujud yang masa manfaatnya lebih dari
satu tahun, digunakan dalam kegiatan perusahaan, dimiliki tidak untuk dijual
kembali
dalam
kegiatan
besar.”(Soemarso, 2005)
normal
perusahaan,
serta
nilainya
cukup
Sedangkan Kieso et al (2010) menyatakan bahwa “aset tetap merupakan
aset yang digunakan dalam kapasitas produktif yang memiliki substansi fisik,
relatif berumur panjang, dan memberikan manfaat masa depan yang mudah
diukur.”
Dari definisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa aset tetap merupakan aset
yang memiliki substansi fisik, digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan atau
digunakan dalam kegiatan lainnya yang diharapkan dapat memberikan manfaat dimasa
depan, dan diestimasi memiliki umur ekonomis lebih dari satu periode.
Klasifikasi suatu aset tetap bergantung pada bagaimana manajemen berniat
menggunakan aset tersebut. Sebagai contoh, tanah yang ditahan untuk tujuan investasi
jangka panjang bukanlah suatu aset operasi ; tanah yang ditahan untuk dijual kembali
dalam satu tahun juga bukan merupakan aset tetap melainkan aset lancar. (Stice et al,
2009)
2.1.2
Pengukuran Awal Aset Tetap
Mengenai pengukuran awal aset tetap, dalam PSAK No. 16 (SAK, 2009)
menyatakan bahwa “suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk diakui
sebagai aset tetap pada awalnya diukur sebesar biaya perolehan.”
Dalam PP. No. 71 Tahun 2010 pun dijelaskan bahwa “aset tetap dinilai
dengan biaya perolehan. Apabila penilaian aset tetap dengan menggunakan biaya
perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap didasarkan pada nilai wajar
pada saat perolehan.”
“Biaya perolehan adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau
nilai wajar dari imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada
saat perolehan atau konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang
diatribusikan ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan
tertentu dalam PSAK lain.” ( SAK, 2009 )
Semua biaya yang terjadi untuk memperoleh suatu aktiva sampai tiba
ditempat dan siap digunakan harus dimasukkan sebagai bagian dari harga
perolehan aktiva yang bersangkutan. ( Soemarso, 2005)
Namun pada saat perusahaan mengakui suatu aset tetap, perusahaan
tersebut harus mengetahui terlebih dahulu berapa besar biaya perolehan yang
dikeluarkan untuk mendapatkan atau memiliki aset tetap tersebut yang harus
diakui oleh perusahaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam
Lam dan Lau (2009) bahwa “biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset
jika dan hanya besar kemungkinan manfaat ekonomi masa depan berkenaan
dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas, dan biaya perolehan aset dapat
diukur secara andal.” Komponen biaya perolehan aset meliputi :
1) Harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak
boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potonganpotongan lainnya
2) Biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa
aset ke lokasi dan kondisi yang dinginkan agar aset siap digunakan sesuai
dengan keinginan dan maksud manajemen
3) Estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan
restorasi lokasi aset. Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset
tersebut diperoleh atau karena entitas menggunakan aset tersebut selama
periode tertentu untuk tujuan selain untuk menghasilkan persediaan.
Prinsip yang sama juga digunakan pada aset yang dibangun sendiri.
Pengakuan terhadap biaya-biaya dalam jumlah tercatat suatu aset tetap dihentikan
ketika aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap
digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen.
Dalam hal pengeluaran setelah perolehan awal dalam PP. No. 71 Tahun
2010 dijelaskan “suatu aset tetap yang memperpanjang masa manfaat atau yang
kemungkinan besar memberi manfaat ekonomi di masa yang akan datang dalam
bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja, harus
dikapitalisasi pada nilai tercatat aset yang bersangkutan.”
Namun keputusan dari kapitalisasi suatu aset tetap merupakan suatu hal
yang sulit untuk diukur karena banyak pengeluaran yang memiliki beberapa
kemungkinan untuk menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan, tapi ada
ketidakpastian dalam manfaat tersebut. Contohnya pengeluaran untuk penelitian
dan pengembangan. Perusahaan mengeluarkan uang untuk penelitian dan
pengembangan karena diharapkan memberikan manfaat di masa depan. Namun,
tidak ada jaminan bahwa manfaatnya akan besar.
Dalam aset yang dibeli secara gabungan, pengukuran lebih menggunakan
nilai wajar. Seperti yang dinyatakan dalam PP. No. 71 Tahun 2010, bahwa
“biaya perolehan dari masing-masing aset tetap yang diperoleh secara gabungan
ditentukan dengan mengalokasikan harga gabungan tersebut berdasarkan
perbandingan nilai wajar masing-masing aset yang bersangkutan.”
2.1.3 Pengukuran Setelah Pengakuan Awal
Dalam PSAK No. 16 (SAK, 2009) dijelaskan bahwa “suatu entitas harus
memilih model biaya dalam paragraf 30 atau model revaluasi dalam paragraf 31
sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan terhadap seluruh aset
tetap dalam kelompok yang sama.”
2.1.3.1 Model Biaya
Jika perusahaan menggunakan model biaya. Maka setelah diakui sebagai
aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi
penyusutan dan akumulasi rugi penururnan nilai aset. ( Lam dan Lau, 2009)
2.1.3.2 Model revaluasi
Jika perusahaan menggunakan model revaluasi. Maka setelah diakui
sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus
dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi
akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah
tanggal revaluasi. ( Lam dan Lau, 2009)
Menurut IAS 16 dalam Lam dan Lau (2009) dijelaskan bahwa nilai
wajar didefinisikan sebagai ”Jumlah aktiva yang dapat dipertukarkan antara pihak
yang memahami dan berkeinginan dalam transaksi yang wajar.”
Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar
karena sifat dari aset tetap khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai
bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai
wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah
disusutkan.
Shamkuts (2010) pun menjelaskan bahwa harga pasar dalam pasar aktif
adalah bukti terbaik dari nilai wajar dan harus digunakan sejauh mungkin untuk
mengukur instrumen keuangan. Jika pasar untuk instrumen keuangan tidak aktif
atau tidak likuid, maka nilai wajar ditetapkan dengan menggunakan teknik
penilaian yang konsisten dengan pendekatan pasar, pendekatan pendapatan atau
pendekatan biaya. Aspek utama dari pendekatan-pendekatan tersebut, antara lain :
1) Pendekatan pasar menggunakan harga dan informasi terkait lainnya yang
dihasilkan oleh transaksi pasar yang melibatkan aset identik atau
camparable atau kewajiban. Penilaian tecniques konsisten dengan
pendekatan pasar termasuk harga matriks.
2) Pendekatan pendapatan menggunakan teknik penilaian untuk mengubah
jumlah masa depan untuk jumlah yang tunggal. Pengukuran nilai wajar
ditentukan berdasarkan nilai yang ditunjukkan oleh ekspektasi pasar saat
ini tentang manfaat aset di masa depan. Teknik penilaian meliputi teknik
nilai sekarang, dan pilihan model harga.
3) Pendekatan biaya mencerminkan jumlah yang saat ini akan diperlukan
untuk mengganti kapasitas pelayanan aset. Dari perspektif peserta pasar
(penjual), harga akan diterima untuk aset didasarkan pada biaya
dikeluarkan oleh peserta pasar (pembeli) untuk memperoleh atau
membangun utilitas aset pengganti yang sebanding, disesuaikan dengan
usang. Pendekatan biaya penggantian saat ini umumnya untuk mengukur
nilai wajar aset berwujud menggunakan penilaian premis karena pelaku
pasar tidak akan membayar lebih untuk aset dari jumlah yang bisa
menggantikan kapasitas pelayanan aset itu.
Revaluasi tidak harus dilakukan setiap periode. Namun revaluasi
dilakukan tergantung pada perubahan nilai wajar dari aset yang direvaluasi. Jika
nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah
tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap
mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu
direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan tidak perlu dilakukan apabila
perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin
perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.
Dalam PSAK No. 16 (SAK, 2009) dijelaskan jika aset tetap direvaluasi,
maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Suatu
kelompok aset tetap adalah pengelompokan aset memiliki sifat dan kegunaan
yang serupa dalam operasi normal entitas. Berikut contoh dari kelompok aset
yang terpisah :
1) Tanah
2) Tanah dan bangunan
3) Mesin
4) Kapal
5) Pesawat udara
6) Kendaraan bermotor
7) Perabotan
8) Relatan kantor
Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara
bersamaan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya
biaya perolehan dan nilai lainnya pad saat yang berbeda-beda. Namun suatu
kelompok aset dapat direvaluasi secara bergantian sepanjang revaluasi dari
kelompok aset tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang
singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.
Dalam PSAK No. 16 ( SAK, 2009 ) dijelaskan apabila suatu aset tetap
direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi diperlakukan dengan
salah satu cara berikut ini :
1) Disajikan kembali secara proporsional dengan perubahan dalam jumlah
tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama
dengan jumlah revaluasian.
2) Dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat
neto setelah dieliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari
aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.
Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut
langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan
tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan
nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.
Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui
dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut
langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan
tersebut melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.
Surplus revaluasi aset tetap yang telah disajikan dalam ekuitas dapat
dipindahkan langsung ke saldo laba pada saat aset tersebut dihentikan
pengakuannya. Hal ini meliputi pemindahan sekaligus surplus revaluasi pada saat
penghentian atau pelepasan aset tersebut. Namun, sebagian surplus revaluasi
tersebut dapat dipindahkan sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas. Dalam
hal ini, surplus revaluasi yang dipindahkan ke saldo laba adalah sebesar perbedaan
antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasi aset dengan jumlah
penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Pemindahan surplus
revaluasi ke saldo laba tidak dilakukan melalui laporan laba rugi.
PSAK 16 (SAK, 2009) juga mengatur periode transisi pada saat tahun
pertama penerapannya. Suatu entitas yang sebelum penerapan PSAK 16 (2007)
telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian memilih menggunakan model
biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetap maka nilai revaluasi aset
tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deem cost). PSAK ini juga
mengatur bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan sebagai biaya perolehan
adalah nilai revaluasi pada saat PSAK ini diterbitkan atau nilai revaluasi sebelum
tanggal 29 Mei 2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi aset tetap setelah tanggal
PSAK ini terbit sampai dengan tanggal 1 Januari 2008 atau tanggal penerapan
pertama kali pernyataan ini tidak boleh diakui sebagai biaya perolehan. Demikian
juga entitas yang mempunyai saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini
belum diterapkan maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus
mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo
laba. Namun jika entitas mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke
model revaluasi dalam pengukuran aset tetap, maka perubahan tersebut berlaku
prospektif.
2.1.4 Penyusutan
Menurut PP. No. 71 Tahun 2010, “Penyusutan adalah alokasi yang
sistematis atas nilai suatu aset tetap yang dapat disusutkan (depreciable assets)
selama masa manfaat aset yang bersangkutan.” Nilai penyusutan untuk masingmasing periode diakui sebagai pengurang nilai tercatat aset tetap dalam neraca dan
beban penyusutan dalam laporan operasional.
Dalam PSAK No. 16 ( SAK, 2009 ) dijelaskan bahwa setiap bagian dari
aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya
perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah. Beban penyusutan untuk
setiap periode harus diakui dalam laporan laba rugi, kecuali jika beban tersebut
dimasukkan dalam jumlah tercatat aset lainnya. Jumlah yang dapat disusutkan
dari suatu aset dialokasikan secara sistematis sepanjang umur manfaatnya.
Nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum
setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi
sebelumnya, maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan
estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih
untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan
Akuntansi.
PSAK No. 16 (SAK, 2009) juga mengatur jumlah yang dapat disusutkan
dari suatu aset adalah jumlah tercatatnya dikurangi dengan nilai residu aset yang
bersangkutan. Penyusutan aset dimulai pada saat aset siap digunakan, yaitu pada
saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap
digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari
suatu aset dihentikan lebih awal ketika : aset tersebut diklasifikasikan sebagaib
aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang
tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual,
dan aset tersebut dihentikan pengakuannya.
2.1.5 Penghentian Pengakuan Aset
Menurut PP. No. 71 Tahun 2010, “Suatu aset tetap dieliminasi dari neraca
ketika dilepaskan atau bila aset secara permanen dihentikan penggunaannya dan
tidak ada manfaat ekonomi masa yang akan datang.” Aset tetap yang secara
permanen dihentikan atau dilepas harus dieliminasi dari Neraca dan diungkapkan
dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Aset tetap yang dihentikan dari
penggunaan aktif pemerintah tidak memenuhi definisi aset tetap dan harus
dipindahkan ke pos aset lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya. Jika dalam suatu
entitas terdapat aset tetap yang tersedia untuk dijual, maka perlakuan akuntansi
untuk aset tersebut adalah sebagai berikut :
1) Diakui pada saat dilakukan penghentian operasi;
2) Diukur sebesar nilai yang lebih rendah dari jumlah tercatatnya
dibandingkan nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya-biaya
penjualan aset tersebut;
3) Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya
akan dipulihkan melalui transaksi penjualan dari penggunaan lebih
lanjut; dan
4) Diungkapkan dalam laporan keuangan dalam rangka revaluasi dampak
penghentian operasi dan pelepasan aset (aset tidak lancar)
Jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan,
dan tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan
atau pelepasannya.
2.1.6
Pengungkapan Aset Tetap Model Revaluasi
Dalam PSAK No. 16 (SAK, 2009) dijelaskan jika aset tetap disajikan
pada jumlah revaluasian, hal berikut harus diungkapkan :
1) Tanggal efektif revaluasi,
2) Apakah penilai independen dilibatkan
3) Metode dan asumsi signifikan yang digunakan dalam mengestimasi nilai
wajar aset
4) Penjelasan mengenai nilai wajar aset yang ditentukan secara langsung
berdasar harga yang dapat diobservasi dalam suatu pasar aktif atau
transaksi pasar terakhir yang wajar atau diestimasi menggunakan teknik
penilaian lainnya
5) Untuk setiap kelompok aset tetap, jumlah tercatat aset seandainya aset
tersebut dicatat dengan model biaya
6) Surplus revaluasi, yang menunjukkan perubahan selama periode dan
pembatasan-pembatasan distribusi kepada pemegang saham.
2.2
Teori Akuntansi Positif
Teori
akuntansi
Positif
menjelaskan
faktor-faktor
yang
mungkin
mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal
dengan tujuan tertentu.
Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang dapat digunakan
perusahaan tidaklah sama dengan yang lainnya, namun perusahaan harus diberi
kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk
meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Karena
ada kebebasan bagi manajer untuk memilih prosedur yang tersedia, maka menurut
Scott (2009) manajer mempunyai kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan
yang oleh teori akuntansi postif di namakan sebagai oportunitis. Tindakan
oportunitis dilakukan oleh manajer dalam memilih kebijakan akuntansi yang
menguntungkan dirinya atau memaksimalkan kepuasannya.
Watts dan Zimmerman (1986) membuat tiga hipotesis yang secara umum
dihubungkan dengan perilaku oportunistik manajemen, yaitu bonus plan
hypothesis, debt covenant hypothesis, dan political cost hypothesis.
2.2.1
Negosiasi Debt Contracts
Semakin dekat perusahaan pada penyimpangan atas perjanjian kontrak
berbasis akuntansi, lebih memungkinkan manajer untuk memilih prosedur
akuntansi yg menggeser laba laporan dari periode mendatang ke periode sekarang.
(Scott, 2009)
Perusahaan yang mempunyai kontrak utang lebih tinggi memungkinkan
manajer menggunakan prosedur akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan
atau aset perusahaan. Penggunaan variasi prosedur akuntansi lebih umum
digunakan dalam kontrak utang swasta dari pada kontrak utang publik hal ini di
karenakan perbedaan dalam biaya negosiasi ulang untuk dua jenis utang tersebut.
Utang swasta biasanya ditempatkan dengan perusahaan asuransi beberapa bank.
Pemberi pinjaman swasta diberikan informasi yang cukup dan biasanya siap untuk
menegosiasikan kembali kontrak jika terjadi pelanggaran teknis dalam situasi di
mana nilai aset perusahaan tidak di bawah nilai nominal utang.
Dua faktor utama negosiasi debt contracts yang dapat mempengaruhi
revaluasi aset tetap seperti yang dilakukan Seng and Su (2010) dalam penelitian
sebelumnya adalah tingkat leverage dan penurunan arus kas dari operasi. Selain itu
peneliti pun menambahkan tingkat utang jaminan yang juga merupakan negosiasi debt
contracts menurut Cotter dan Zimmer (1995).
2.2.1.1 Tingkat Leverage
Sumber pendanaan suatu perusahaan dibagi dalam dua jenis, yaitu dari
pendanaan internal dan pendanaan eksternal. Pendanaan internal diperoleh dari
modal saham perusahaan sedangkan pendanaan eksternal diperoleh dari pinjaman
kepada kreditur. Yang dimaksud dengan tingkat leverage dalam penelitian ini
adalah rasio leverage. Rasio leverage merupakan rasio yang mengukur seberapa
besar aset perusahaan dibiayai oleh pendanaan utang. (Brigham and Weston,
1994)
Rasio ini juga digunakan untuk mengukur keseimbangan proporsi antara
aktiva yang didanai oleh kreditor dan yang didanai oleh pemilik perusahaan
(ekuitas). Menurut Saharul dan Nizar dalam Linandarini (2010) dijelaskan
bahwa penggunaan hutang itu sendiri bagi perusahaan mengandung tiga dimensi:
1.
Pemberian kredit akan menitikberatkan pada besarnya jaminan atas
kredit yang diberikan.
2.
Dengan penggunaan hutang maka apabila perusahaan mendapatkan
keuntungan akan meningkat.
3.
Dengan menggunakan hutang maka pemilik memperoleh dana dan
tidak kehilangan kendali perusahaan. Para investor maupun kreditor
akan mendapatkan manfaat sepanjang laba atas hutang perusahaan
melebihi biaya bunga dan apabila terjadi kenaikan pada nilai pasar
sekuritas.
Menurut Mahdiyah dalam Sulyanti (2011) disebutkan bahwa tingkat
rasio leverage yang tinggi berarti perusahaan menggunakan hutang yang tinggi
pula dan ini berarti bahwa profitabilitas perusahaan akan meningkat. Namun di
sisi lain, hutang yang tinggi akan memiliki risiko kebangkrutan. Kreditur lebih
menyukai rasio ini bernilai rendah karena semakin rendah rasio ini, maka semakin
besar perlindungan terhadap kerugian dalam peristiwa likuidasi, sedangkan bagi
pemegang saham mengharapkan tingkat leverage yang besar dengan tujuan laba
akan dapat ditingkatkan.
Dengan dilakukannya revaluasi aset diharapkan rasio leverage perusahaan
akan menurun karena adanya aset perusahaan yang meningkat akibat revaluasi.
Rasio leverage yang menurun ini dapat menarik kepercayaan kreditur kembali
karena kreditur meyakini aset bersih perusahaan yang tinggi akan mampu
membayar kredit yang mereka berikan jika perusahaan dilikuidasi. Selain untuk
meningkatkan kepercayaan kreditur peningkatan aset bersih perusahaan pun dapat
digunakan untuk meningkatkan pendanaan eksternal perusahaan dikarenakan
penambahan nilai aset yang direvaluasi dapat dijadikan jaminan untuk
memperoleh kredit tambahan.
2.2.1.2 Tingkat Hutang Jaminan
Menurut Skousen et al. (2001), “Hutang adalah kewajiban untuk
membayar kas, pemindahan aset lain atau memberikan jasa-jasa ke orang lain.”
Sedangkan menurut Munawir (2004), “Hutang adalah kewajiban keuangan
perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana hutang ini
merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditur.”
Dalam hal memperoleh pendanaan perusahaan melalui hutang., revaluasi
aset tetap diharapkan dapat meningkatkan nilai wajar saat ini dari aset yang
dicatat oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan pemberi pinjaman mengharapkan
nilai wajar saat ini dari aset yang ditawarkan sebagai jaminan atas hutang tersebut.
2.2.1.3 Penurunan Arus Kas dari Aktivitas Operasi
Laporan arus kas dibagi dalam tiga aktivitas, yaitu aktivitas operasi,
aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan. Aktivitas operasi merupakan aktivitas
penghasil utama pendapatan entitas, sedangkan aktivitas investasi dan aktivitas
pendanaan bukan merupakan penghasil utama pendapatan entitas.
Dalam PSAK No. 2 (SAK, 2009) dijelaskan bahwa jumlah arus kas yang
berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator utama untuk menentukan
apakah operasi entitas dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi
pinjaman, memelihara kemampuan operasi entitas, membayar dividen, dan
melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar.
Informasi mengenai unsur tertentu arus kas historis bersama dengan informasi
lain, berguna dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. Arus kas dari
aktivitas operasi terutama diperoleh dari aktivitas penghasil utama pendapatan
entitas. Oleh karena itu, arus kas tersebut pada umumnya berasal dari transaksi
dan peristiwa lain yang mempengaruhi penetapan laba atau rugi bersih.
Seperti yang disebutkan diatas bahwa arus kas dari aktivitas operasi dapat
menentukan apakah perusahaan dapat melunasi pinjaman mereka kepada kreditur.
Maka dari itu jika arus kas dari aktivitas operasi perusahaan mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya akan menyebabkan kekhawatiran yang besar
oleh para kreditur dikarenakan semakin kecil arus kas dari aktivitas operasi
semakin kecil pula kemungkinan pengembalian utang yang diberikan kreditur.
Untuk meningkatkan kepercayaan kreditur perusahaan melakukan revaluasi aset
agar aset yang dimiliki perusahaan diharapkan dapat meningkat. Dengan
meningkatnya aset perusahaan maka kepercayaan kreditur akan meningkat
kembali karena adanya peningkatan aset perusahaan. Seperti yang diungkapkan
oleh Cotter dan Zimmer (1995) bahwa penilaian kembali atas aset tetap akan
memberikan nilai yang lebih tinggi pada aset jaminan perusahaan yang dapat
membantu untuk meyakinkan debtholders tentang kemampuan perusahaan untuk
membayar utang melalui potensi mewujudkan aset perusahaan lebih tinggi sesuai
nilai pasar, sehingga revaluasi aset
akan mengembalikan kapasitas pinjaman
perusahaan.
2.2.2 Political Cost
Semakin besar biaya politik yg dihadapi perusahaan, lebih memungkinkan
manajer untuk memilih prosedur akuntansi yg menangguhkan pelaporan laba dari
periode sekarang ke periode mendatang. (Scott, 2009)
Pengaruh atas proses politik dapat menciptakan insentif bagi perusahaan
yang sensitif secara politis untuk memilih akuntansi yang menunda pelaporan
laba.
Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positif menyatakan
bahwa ukuran perusahaan digunakan sebagai pedoman biaya politik dan biaya
politik akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan risiko
perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar lebih sensitif secara politis dan
memiliki transfer kekayaan relatif lebih besar dikenakan pada mereka daripada
perusahaan-perusahaan kecil.
Maka dari itu terkait dengan biaya politik, ukuran perusahaan yang besar
relatif untuk mengurangi laba mereka agar biaya politik perusahaan berkurang.
Revaluasi aset tetap diharapkan dapat mengurangi laba kini perusahaan karena
revaluasi aset dapat meningkatkan nilai aset perusahaan sehingga dapat
meningkatkan biaya depresiasi dari perusahaan. Selain biaya depresiasi yang
bertambah dibutuhkan biaya penilaian aset jika perusahaan melakukan revaluasi
aset. Mengurangnya laba kini perusahaan diharapkan dapat mengurangi biaya
politik perusahaan, hal ini dikarenakan semakin besar perusahaan akan semakin di
awasi dan semakin menarik perhatian publik dan pemerintah. Jika perusahaan
besar memiliki laba yang kecil diharapkan akan mengurangi pengawasan serta
perhatian publik dan pemerintah.
2.2.2.1 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan
kapitalisasi pasar. Semakin besar total aset, penjualan dan kapitalisasi pasar maka
semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Ketiga variabel ini digunakan
untuk menentukan ukuran perusahaan karena dapat mewakili seberapa besar
perusahaan tersebut. Semakin besar aset maka semakin banyak modal yang
ditanam, semakin banyak modal yang ditanam maka semakin banyak perputaran
uang dan semakin besar kapitalisasi besar kapitalisasi pasar maka semakin besar
pula perusahaan dikenal oleh masyarakat. Dari ketiga variabel ini, nilai aktiva
relatif lebih stabil dibandingkan dengan nilai kapitalisasi pasar dan penjualan
dalam mengukur ukuran perusahaan. (Sudarmadji dan Sularto, 2007)
2.3
Hipotesis Penelitian
Menurut Arikunto (2004) yang dimaksud dengan hipotesis adalah suatu
jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai
terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
2.3.1 Pengaruh Tingkat Leverage terhadap Perusahaan untuk Melakukan
Revaluasi Aset Tetap
Dengan dilakukannya revaluasi aset tetap diharapkan rasio leverage
perusahaan akan menurun, karena adanya perusahaan yang meningkat akibat
revaluasi. Rasio leverage yang menurun ini dapat menarik kepercayaan kreditur
kembali karena kreditur meyakini aset bersih perusahaan yang tinggi akan mampu
membayar kredit yang mereka berikan jika perusahaan dilikuidasi.
Lin dan Peasnell dalam Seng dan Su (2009) yang melakukan studi
revaluasi di Inggris menggunakan dua sampel yang berbeda, dan hasil dari kedua
studi menyatakan bahwa ada hubungan positif antara tindakan upward
revaluation dengan perjanjian utang. Dengan demikian diharapkan bahwa
perusahaan dengan leverage yang tinggi cenderung menggunakan upward
revaluation untuk memperluas basis aset dan mengurangi rasio utang untuk
mengembalikan kapasitas pinjaman perusahaan.
2.3.2 Pengaruh Tingkat Hutang Jaminan terhadap Perusahaan untuk
Melakukan Revaluasi Aset Tetap
Perusahaan akan lebih mudah memperoleh dana pinjaman
ketika
pinjaman tersebut dijaminkan oleh aset perusahaan dan biaya pinjaman pun akan
lebih kecil dikeluarkan dibandingkan dengan pinjaman tanpa jaminan. Hal ini
dikarenakan pinjaman tanpa jaminan lebih beresiko bagi kreditur terutama ketika
perusahaan dilikuidasi dan ketika kreditur merasa perusahaan sulit untuk melunasi
pinjaman tersebut. Dalam menjaminkan aset untuk pinjaman, kreditur
mengharapkan bahwa aset yang dijaminkan tersebut telah dicatat sesuai dengan
nilai wajar yang berlaku saat ini. Hal ini disebabkan karena dengan pencatatan
nilai aset tersebut, kreditur dapat memperkirakan dengan lebih mudah batas
maksimum pinjaman yang dapat diberikan kepada perusahaan dengan aset yang
dijaminkan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Cotter dan Zimmer (1995) berpendapat
bahwa ketika aset ditawarkan sebagai jaminan atas hutang, pemberi pinjaman
mengharapkan nilai wajar saat ini dari aset yang ditawarkan sebagai jaminan atas
hutang tersebut telah dicatat dalam laporan keuangan audit perusahaan. Sehingga
revaluasi aset dapat meningkatkan kredibilitas jika aset tersebut termasuk dalam
laporan yang dipublikasikan perusahaan. Jika ini adalah tujuan dari revaluasi
tersebut, ada kemungkinan bahwa revaluasi tersebut dilakukan pada saat kenaikan
tingkat hutang yang dijamin dicatat dalam saldo yang telah diaudit untuk tahun
berjalan. Ini akan menjadi solusi kontrak yang efisien ketika biaya penilaian wajar
aset yang dijaminkan lebih kecil dari kenaikan biaya utang yang akan terjadi jika
hutang diperoleh tanpa jaminan.
2.3.3 Pengaruh Penurunan Arus Kas dari Aktivitas Operasi terhadap
Perusahaan untuk Melakukan Revaluasi Aset Tetap
Arus kas dari aktivitas operasi perusahaan mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya akan menyebabkan kekhawatiran yang besar oleh para kreditur
dikarenakan semakin kecil arus kas dari aktivitas operasi semakin kecil pula
kemungkinan pengembalian utang yang diberikan kreditur. Untuk meningkatkan
kepercayaan
kreditur perusahaan melakukan revaluasi aset agar aset yang
dimiliki perusahaan diharapkan dapat meningkat. Dengan meningkatnya aset
perusahaan maka kepercayaan kreditur akan meningkat kembali karena adanya
peningkatan aset perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Cotter dan Zimmer (1995) bahwa
penilaian kembali atas aset tetap akan memberikan nilai yang lebih tinggi pada
aset jaminan perusahaan yang dapat membantu untuk meyakinkan debtholders
tentang kemampuan perusahaan untuk membayar utang melalui potensi
mewujudkan aset perusahaan lebih tinggi sesuai nilai pasar, sehingga revaluasi
aset
akan mengembalikan kapasitas pinjaman perusahaan. Maka dari itu,
perusahaan yang mengalamin penurunan arus kas berpotensi lebih tinggi untuk
melakukan revaluasi aset mereka.
2.3.4 Pengaruh
Ukuran
Perusahaan
terhadap
Perusahaan
untuk
Melakukan Revaluasi Aset Tetap
Revaluasi aset tetap akan meningkatkan nilai aset perusahaan, semakin
tinggi nilai aset perusahaan maka akan semakin besar biaya depresiasinya, dengan
semakin besar biaya depresiasi maka akan menurunkan laba perusahaan. Dan juga
ditambah biaya implementasi untuk melakukan revaluasi akan semakin
mengurangi laba perusahaan.
Lin dan Peasnell dalam Seng dan Su (2009) menyatakan upward
revaluation dapat menjadi cara yang efektif untuk mengurangi keuntungan yang
dilaporkan melalui biaya penyusutan akibat peningkatan nilai aset yang
direvaluasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi tekanan politik yang
dihadapi oleh perusahaan-perusahaan besar dari pemerintah atau serikat buruh.
Oleh karena itu, diharapkan bahwa ada hubungan positif antara ukuran perusahaan
dengan keputusan revaluasi.
Download