Indonesia dan Tragedi Kemanusiaan di Tibet

advertisement
Indonesia dan Tragedi Kemanusiaan di Tibet: Ketika Diam adalah Emas
Oleh:
Yanyan Mochamad Yani dan Anggalia Putri Permatasari
Belum lama ini, dunia dikejutkan oleh kerusuhan di Tibet yang melibalkan para biksu
dalam unjuk rasa damai menuntut penghapusan diskriminasi dan represi pemerinlah
China. Peristiwa itu
kemudian berubah menjadi adegan pembantaian yang
menewaskan belasan orang (versi pemerintah China) atau ratusan orang (versi Dalai
Lama yang tengah berada di pengasingan). Kejadian ini sanga! mengejutkan, bukan hanya
karena jumlah korban yang tewas, melainkan karena sebelumnya dunia telah menyaksikan
peristiwa serupa di Myanmar, Tragedi ini merefleksikan perjuangan sebuah entitas kullural
yang telah lama direpresi dan dihalangi aktualisasinya oleh pemerintah yang otoriter dan
represif, Untuk menggambarkan hal itu, Dalai Lama menyebut aksi pemerintah China di
Tibet sebagai 'pembantaian kultural' atau cultural genocide.
Bagaimana reaksi dunia terhadap tragedi kemanusiaan tersebut? Dunia lekas bereaksi.
Pemerintah AS dan negara-negara Uni Eropa langsung mengecam aksi China. Sementara
itu, masyarakat di berbagai negara di Eropa dan Asia turun ke jalan untuk mengutuk
pemerintah China. Pemerintah China sendiri sibuk menjustifikasi dan merasionalkan
aksinya dengan melemparkan berbagai tuduhan separatisme terhadap Dalai Lama,
Lalu, bagaimana tanggapan Indonesia terhadap peristiwa tersebut? Mengapa hingga
saat ini kita belum mendengar sikap tegas maupun pernyataan resmi dari pemerintah
Indonesia mengenai tragedi tersebut, lain halnya ketika yang menjadi objek pelanggaran
HAM adalah entitas politik berpenduduk mayoritas Islam seperli Irak atau Palestina? Hal ini
memunculkan pertanyaan, 'apakah karena pemeluk agama Budha di Indonesia bukanlah
mayoritas, Indonesia lantas dapat bersikap tak acuh?' Bagaimana dengan retorika HAM
yang telah menjadi norma dalam komunitas internasional? Bagaimana pula dengan amanat
pembukaan UUD 1945 yang secara eksplisit menekankan perikemanusiaan dan
perikeadilan? Mengapa Indonesia tidak bereaksi tegas terhadap aksi represif tersebut, atau
setidaknya mengeluarkan pernyataan bernada “tidak setuju yang halus”.
Terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia tidak dapat menjustifikasi sikap diamnya
dengan hal-hal di alas. Perlama, lokasi terjadinya tragedi tersebut tidak terlalu jauh dari
Indonesia, bahkan terhitung dekal (proximate) karena termasuk ke dalam satu kawasan,
yaitu kawasan Asia Pasifik yang semakin diperhitungkan sebagai sebuah kompleks
keamanan regional (regional security complex) tersendiri di mana keamanan dan stabilitas
satu negara terkait erat dengan keamanan dan stabilitas negara-negara lain di dalam
kawasan tersebut. Kedua, isu HAM telah menjadi isu global yang tidak lagi mengenal batasbatas negara dan nasionalitas. Jadi, dapat dikatakan bahwa tragedi kerusuhan di Tibet
berdampak pada dan bertalian erat dengan prinsip dan preferensi negara dan bangsa
lndonesia.
Saat ini, kerusuhan di Tibet mungkin dianggap tidak berdampak secara langsung pada
kedaulalan dan vitalitas ekonomi Indonesia. Namun, sebenarnya hal itu justru mengancam
nilai-nilai inti bangsa Indonesia yang sedang dibangun kembali, yakni nilai-nilai HAM dan
demokrasi. Selain itu, aksi pemerintah China juga tidak sejalan dengan tujuan nasional
indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu ikut serta dalam mewujudkan
ketertiban dunia yang antara lain didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Akan tetapi, pertimbangan ada atau tidak adanya kepentingan Indonesia saja belum
memadai untuk menjelaskan sikap diam Indonesia dalam kasus ini. Saat ini, dapat
dikatakan bahwa Indonesia tengah mengalami kesulitan dalam penyusunan prioritas tujuan
karena terdapat kepentingan dan tujuan nasional yang tidak kompatibel satu sarna lain.
Tujuan nasional lndonesia untuk mempromosikan HAM berkonflik dengan tujuan lain yang
tidak kalah penting, yaitu untuk memelihara hubungan baik dengan China yang posisinya
dalam sistem internasional dewasa ini semakin menguat serta hubungan multilateral
(dalam konteks ASEAN plus 3),
Tentunya, Indonesia yang memiliki kepentingan ekstensif dalam bidang ekonomi
(terutama ketika AS tengah dilanda resesi) tidak akan melakukan hal-hal yang dapat
merusak hubungan bilateralnya dengan China, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan
yang bernada mengecam (mungkin sehalus apapun).
Selaln itu, segala pertimbangan mengenai tujuan nasional yang dilandaskan pada nilainilai fundamental bangsa Indonesia seperti kemanusiaan, HAM, dan demokrasi siasia saja jika lidak ditopang oleh kepemilikan kapabilitas dan power yang
diperlukan unluk merealisasikannya. Sementara itu, kapabilitas Indonesia yang terdirl dari
faktor geografi, sumber daya alam, dan sosial-kultural belum dapat ditranslasikan menjadi
power karena manajemen yang kurang baik. Mungkin satu-satunya 'keunggulan' relatif
Indonesia dibandingkan China, yaitu sistem pemerintahan demokratis yang sedang dibangun
di tanah air. Jadi, secara relatif, dapat dikatakan bahwa dari segi power, Indonesia kalah jauh
dari China. Oleh karena itu, dari perspektif ini, adalah rasional bagi pemerintah Indonesia
untuk lidak mengeluarkan pernyataan yang bernada mengecam terhadap China atas aksinya
di Tibet, meskipun hal tersebut seakan memperkuat anggapan bahwa Indonesia tidak berani
mengambil sikap yang mencerminkan identitasnya.
Pada titik ini tampaknya yang perlu diperhatikan oieh pemerintah Indonesia adaiah
bagaimana mengkomunikasikan kebijakan tersebut kepada publik yang berminat dan
bersikap kritis terhadap tragedy kemuaniaan di Tibet. Pemerintah kiranya dapat
mendayagunakan berbagai saluran komunikasi polilik yang selama ini belum dimanfaatkan
secara optimal, misalnya meialui diplomasi publik, diskusi-diskusi akademik di berbagai
universitas, hingga komunikasi melalui situs resmi Deplu.
Dengan cara ini, pemerintah dapat menghadirkan dirinya dalam ranah masyarakat sipil
sembari mengimbangi debat kusir mengenai kebijakan luar negeri RI yang dapat
menimbulkan stigma negatif terhadap pemerintah. Pada gilirannya, pemerinlah dapat
menjaga kepercayaan masyarakat sekaligus mengedukasi publik mengenai kompleksitas
kebijakan luar negeri. Semua ini menjadi semakin penling di era globalisasi informasi dan
komunikasi yang di salu sisi berpotensi mengancam legitimasi pemerinlah, namun di sisi lain
menghadirkan peluang yang sangat baik untuk menciptakan masyarakat sipil yang berdaya,
atentif, dan partisipatif baik dalam kebijakan luar negeri negeri tercinta ini.***
________________________________________________________________________________
Yanyan Mochamad Yani dan Anggalia Putri Permatasari adalah Dosen dan Mahasiswa
Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran.
Download