Indonesia Melawan Kejahatan Seksual

advertisement
“Indonesia Melawan Kejahatan Seksual”
Oleh : Megawati Soekarnoputri
Assalamualaikum, Wr,Wb
Salam Sejahtera
Om Swastiyastu
Nama Budaya
Saudara-saudara yang saya cintai, hari-hari belakangan kita terus disuguhi pemberitaan
kekerasan seksual. Dari kasus pelecehan seksual, penyiksaan seksual, hingga perkosaan
yang disertai pembunuhan. Ironisnya pelaku tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak
dan remaja, yang melakukannya secara kolektif, seperti yang terjadi pada anak perempuan
berusia 14 tahun, bernama Yuyun.
Para pelaku datang dari keluarga miskin. Mereka anak-anak putus sekolah, dan sebagian
adalah pekerja anak di perkebunan. Ini bukan lagi kepribadiaan kita yang berbudi pekerti.
Kasus kekerasan seksual, sesungguhnya bagi saya, merupakan persoalan krusial yang tidak
memandang status ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan agama. Kekerasan seksual dapat
terjadi di mana saja, pada siapa saja, dan oleh siapa saja.
Tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain, termasuk negara
yang katanya merupakan negara maju, seperti di Amerika. Juga terjadi di Timur Tengah,
yang korbannya sebagian adalah saudara-saudara kita, kaum perempuan yang mengais
kehidupan sebagai buruh migran.
Saudara-saudara, bagi saya masalah kekerasan seksual adalah masalah moralitas, masalah
etika yang harus dipandang secara komprehensif. Salah satunya melalui pendekatan
keyakinan agama dan kepercayaan yang memberikan pencerahan dan kesadaran. Ajaran
agama dan kepercayaan yang mampu mempertebal keimanan dengan jalan mengasah dan
membatinkan, serta mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari prinsip-prinsip
kemanusiaan, toleransi, kasih sayang dan empati.
Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya, terutama bagi kaum perempuan, para ibu yang
saya banggakan, ijinkan saya untuk mengatakan, “jangan biarkan anak-anak kita tercerabut
dari nilai-nilai kearifan lokal yang mengajarkan kita untuk hidup dalam harmoni dengan alam
dan sesama manusia dalam konsep “asah, asih, asuh”. Anak-anak harus tegak dalam akar
kebudayaan kita sendiri.”
Saudara-saudara saya sangat memahami kemarahan publik terhadap pelaku kekerasan
seksual. Tetapi, menyikapi “Tragedi Yuyun” dan peristiwa serupa, tentu kita juga tidak bisa
hanya sekedar marah atau menghujat. Bahkan tidak cukup dengan mengungkapkan kesedihan
dan keprihatinan. Kesedihan, keprihatinan dan kemarahan tersebut sudah saatnya diorganisir
menjadi gerakan bersama. Gerakan kemanusiaan, gerakan menegakkan kebenaran dan
keadilan. Kita bangun gerakan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan seksual kepada
siapa pun, dan di manapun. Kita hentikan stigma terhadap para korban yang hanya membuat
korban semakin menjadi korban. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi lagi.
Membungkam korban, mengubur peristiwa kekerasan seksual, sama saja dengan membiarkan
semakin banyak korban jatuh dan semakin banyak pelaku. Kekerasan seksual membunuh
martabat kemanusiaan, menciptakan trauma dan masa depan yang gelap tidak hanya bagi
korban dan keluarganya, tapi sesungguhnya bagi pelaku dan keluarga, serta lingkungannya.
Intinya, setiap satu kekejian itu terjadi, artinya masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Kita
harus peduli. Ketidakpedulian hanya akan membuat bangsa ini terseret pada berbagai tragedi
kemanusiaan.
Saya berharap kita tidak melupakan Yuyun. Kita tidak boleh melupakan Yuyun. Tragedi 2
April 2016 yang menimpanya tidak boleh terulang lagi pada siapa pun. Dalam kesempatan ini
saya mengusulkan agar tanggal 2 April diperingati sebagai “Hari Anti Kekerasan Seksual” di
Indonesia.
Hadirin yang saya hormati,
Individualisme, pragmatisme dan hedonisme telah menggiring kehidupan yang tak lagi
menghargai semangat kebersamaan. Karena itu saya bangga dan sekaligus saya ucapkan
terima kasih kepada saudara semua dan perempuan-perempuan lain di pelosok tanah air yang
tak letih bergotong royong menyuarakan persoalan pentingnya kesadaran terhadap isu
kekerasan seksual. Sungguh saya mengapresiasi langkah-langkah yang telah dilakukan
termasuk oleh Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan, Jaringan muda melawan
kekerasan seksual, dan berbagai organisasi lainnya”, juga oleh para pekerja sosial
dalam mengadvokasi dan mendampingi para korban. Namun, kita juga menyadari apa yang
dilakukan warga masyarakat haruslah juga diimbangi dan diperkuat dengan kehadiran negara,
salah satunya melalui hadirnya undang-undang.
Pada saat saya menjadi Presiden, bersama Menteri Pemberdayaan Wanita, Ibu Sri Rejeki dan
Menteri Hukum dan HAM, Prof Yusril Ihza Mahendra, kami bekerja keras untuk
menggolkan beberapa Undang-undang, diantaranya UU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, terutama terhadap perempuan dan
anak. Namun karena waktu yang tidak memungkinkan, akhirnya saya memutuskan agar
didahulukan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ada catatan penting, perlu ada penanganan khusus terhadap pelaku anak-anak dari proses
hukum yang harus disertai pendampingan, hingga sistem lembaga pemasyarakatan khusus
anak-anak, yang tidak disatukan dengan narapidana dewasa. Sehingga saat mereka bebas, ada
kesiapan secara mental dan keterampilan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Contoh para pelaku pada kasus Yuyun, jika dikenakan sanksi penjara 10 tahun, saat bebas
masih dalam usia produktif.
Tahun lalu, pada peringatan Hari Perempuan se-Dunia, 8 Maret 2015, saya menegaskan
kembali tentang upaya kita bersama untuk segera melahirkan UU Penghapusan Kekerasan
Seksual. Saya sangat memimpikan Indonesia mempunyai UU yang melibatkan lembaga
negara dan warga masyarakat dalam melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual.
Undang-undang yang dapat menjadi landasan untuk mengorganisir tanggung jawab seluruh
elemen bangsa dalam ikatan kolektivisme.
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut hendaknya mampu secara jelas
mendefinisikan bentuk-bentuk kekerasan secara lebih luas. Selain itu idealnya undangundang ini juga menyertakan pembahasan mengenai perlindungan hak asasi korban, hak saksi
dan korban serta pemulihan korban.
Di dalamnya tentu diperlukan pasal pemidanaan yang secara spesifik mengatur ancaman
pidana yang berat terhadap pelaku kekerasan seksual yang dilakukan terutama terhadap anak,
orang dalam pengasuhan dan pengawasan pelaku, penyandang disabilitas, serta kaum rentan
lainnya, sehingga ada efek jera.
Sudara-saudara, saya mendapatkan kabar bahwa Pemerintah segera akan menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) untuk menyikapi masalah
kekerasan seksual.
Ini merupakan tindakan yang cepat untuk mengisi kekosongan hukum guna mencegah
tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut terjadi lagi. Menurut saya kehadiran
PERPPU tersebut dapat disinergikan dengan upaya kita untuk tetap mendorong lahirnya
undang-undang.
Saat ini RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk daftar Program Legislasi
Nasional yang disusun oleh Pemerintah dan DPR RI, tetapi belum menjadi Prioritas
2016. Saya dengar saudara-saudara telah menyusun draft Naskah Akademik dan draft RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual. Saya yakin saudara semua telah mengkajinya. Tahap awal
kita akan berupaya mendorongnya sebagai Prolegnas Prioritas tambahan yang harus
diselesaikan di tahun 2016 oleh DPR RI dan Pemerintah.
Hadirin yang saya hormati, aturan hukum baik berupa PERPPU maupun Undang-undang
tidaklah cukup. Kita tetap membutuhkan kesadaran nasional, semangat nasional, perjuangan
nasional untuk menghentikan segala bentuk kekerasan seksual. Kita nyatakan dan lakukan
terus menerus gerakan: “Indonesia Melawan Kekerasan Seksual”. Gerakan yang akan
melebarkan jalan keadilan dan kesetaraan menuju bangsa yang berperikemanusiaan dan
beradab.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Damai Sejahtera bagi kita semua
Jakarta, 12 Mei 2016
Megawati Soekarnoputri
Download