Tugas Review Mata Kuliah Kajian Luar Negeri Cina Oleh : Hani Sulastri NPM : 0706291294 Sumber Bacaan : Andrew J. Nathan, China’s Transition, (New York, Colombia University Press,1997), hal.247-252. Westernisasi Human Rights Sebagai Usaha Penegakan HAM di Cina Sebagai negara besar (great power) baik dalam kuantitas penduduk dan wilayah maupun potensi dan pengaruhnya yang strategis dalam politik internasional, maka setiap trend perkembangan yang terjadi di Cina layak menyedot perhatian negara manapun. Selama hampir empat dekade periode Perang Dingin, Cina telah membuktikan kepada dunia bagaimana negeri itu memerankan posisi sebagai balancer yang strategis dalam perimbangan kekuatan internasional. Dan kini, dengan pertumbuhan ekonomi yang meroket tajam, dengan penguasaan teknologi yang kian canggih, dengan kapabilitas diplomasi yang bertambah elegan, Cina menjadi salah satu unit politik dalam hubungan internasional yang sangat penting dan kian mustahil untuk diabaikan. Namun, kebangkitan Cina menjadi tantangan tersendiri bagi politik luar negeri negaranegara Barat dan Jepang, terutama Amerika Serikat. Sebagai negara yang memiliki perhatian utama pada permasalahan hak asasi manusia, proliferasi senjata, hak cipta intelektual serta masalah Taiwan. Amerika Serikat memiliki perhatian tersendiri pada perkembangan Cina yng dinilai telah melakukan berbagai macam pelanggaran terhadap masalah HAM. Pelanggaran HAM ini diperparah dengan adanya kenyataan bahwa pelakunya ialah pemerintah dan diperkuat dengan adanya peraturan atau undang-undang Cina yang mendukung pelanggaran HAM tersebut untuk dilakukan. Pelanggaran HAM di Cina sebenarnya sudah berlangsung sejak berdirinya komunis Cina pada tahun 1949 dengan adanya penanganan yang cepat dan keras terhadap usaha-usaha untuk mendirikan ikatan yang disinyalir mengandung bahaya inheren lintas kelas, lintas nasionalitas dan lintas asosiasi-asosisi regional. Misalnya pembasmian Falun Gong 1999, pembasmian Gerakan Anti Rightist Campaign tahun 1957, Pemberontakan Revolusi Kebudayaan 1967-1968, dan Gerakan Democracy Wall dan Tinanmen Massacre 4 Juni 1989.1 Meski demikian, dunia internasional baru memberikan sorotan khusus pada masalah HAM di Cina sejak peristiwa berdarah Tiananmen Massacre 1989, yaitu peristiwa pembantaian ribuan mahasiswa yang sedang berdemonstrasi di lapangan Tiananmen pada tanggal 4 Juni Andre J. Nathm, “China and The International Humat Right Regime” dalam Elizabeth Economy dan Michael Oksenberg (eds.), China Joins the World, Progress and Prospect, (New York: Council on Foreig Relation Press, 1999), hal. 146. 1 1 1989. Semenjak peristiwa ini catatan pelanggaran HAM di Cina terus dipantau oleh dunia internasional. Peristiwa Tiananmen Square telah menarik perhatian dunia internasional, terutama Amerika Serikat di mana Pemerintah Cina benar-benar telah melanggar HAM dengan melakukan penembakana terhadap para demonstran yang menuntut demokrasi di Cina sehingga memakan korban yang cukup banyak. Banyak negara yang merespon peristiwa tersebut dengan melakukan penekanan terhadap Cina yang pada akhirnya mempengaruhi hubungan luar negeri Cina dengan negara-negara lainnya. Bahkan masalah pelanggaran HAM di Cina berdampak pada perdagangan Cina itu sendiri akibat sangsi-sangsi yang dikeluarkan oleh berbagai negara sebagai respon terhadap tindakan pelanggaran Cina. Pemerintah AS bahkan secara khusus membahas masalah HAM ini dalam Undang-Undang Perbaikan HAM dan Sanksi-Sanksi terhadap Cina (The China Sanctions and Human Rights Advancement Act). Undang-undang ini antara lain menyatakan: Tidak memberikan visa bagi pelanggar HAM. Pemerintah AS melarang pemberian visa AS kepada pejabat tinggi Cina yang bekerja dalam organisasi yang bertanggung jawab atas larangan beragama atau pemaksaan keluarga berencana, ataupun atas keterlibatannya dalam Tiananmen Square Massacre 1989. Menghentikan bantuan pembangunan dan memotong subsidi pembayar pajak AS untuk Cina. Pemerintah AS meminta wakil-wakilnya di Bank Dunia, IMF dan Asian Development Bank untuk tidak memberikan suara mereka (vote) dalam semua pemberian pinjaman untuk Cina. Pada tahun 1996, AS mendukung pemberian pinjaman jangka panjang untuk Cina sebesar US $ 2,7 juta dari Bank Dunia dan US$ 2,8 juta dari Bank Pembangunan Asia. Lebih dari itu, bila sewaktu-waktu AS menghadapi masalah keamanan dan tantangan HAM dengan Cina, para pembayar pajak AS tidak akan melanjutkan subsidi pembangunan ekonomi Cina. Menargetkan sanksi-sanksi dan mempublikasikan daftar perusahaan Cina yang terikat dengan militer AS. Pemerintah AS mengecam akan melarang dua perusahan yang diketahui terikat dengan militer AS –China North Industries Group dan China Poly Group- dari aktivitas komersial di AS selama setahun jika Cina melakukan lagi pelanggran HAM berkala sebesar Tiananmen 1989. Ditambah lagi, pemerintah AS harus mempublikasikan daftar tahunan semua perusahaan yang diketahui dimiliki baik sebagian maupun seluruhnya oleh militer Cina dan yang mengekspor ke AS atau memiliki kantor di AS. `Pada tahun 1996, Amerika Serikat mengubah kebijakannya terhadap Cina dengan bersikap lebih lunak yakni melalui strategi dialog. Pergantian pendekatan terhadap Cina ini dilatarbelakangi oleh desakan pihak ekonomi (pengusah) Amerika Serikat untuk tidak 2 menghubungankan secara langsung masalah HAM dengan perdagangan. Namun, ternyata pendekatan ini tidak dapat mengatasi masalah HAM di Cina secara efektif. Ketika Amerika Serikat tidak menekan Cina secara keras, Pemerintah Cina kembali melakukan tindakan yang melanggar HAM yakni dengan memenjarakan aktivis demokrasi Wei Jingsheng selama 14 tahun dan juga Liu Xiaobo selama tiga tahun. Pemerintah Cina juga melakukan tindakantindakan keras kepada pemberontak-pemberontak di Cina yang menggangu pemerintahan Cina. Dalam bukunya China’s Transation, pada bab Human Rights and American China Policy, Andrew J. Nathan melihat bahwa kegagalan masalah HAM di Cina bukan karena sikap Cina yang keras kepala untuk mengubah kebijakan-kebijakannya yang tidak bertentangan dengan HAM. Dengan adanya desakan dari Amerika Serikat, Cina meresponnya dengan melepaskan 881 tahanan yang terkait dengan masalah Tiananmen, memberikan izin kepada Fang Lizhi yang merupakan aktivis Cina untuk pergi ke luar negeri, membebaskan tahanantahanan utama yang mengancam pemerintahan Cina antara lain Han Dongfang, Wang Hintao, dan Wei Jingshen. Selain itu, Cina juga menandatangani MOU dengan Amerika Serikat untuk membatasi ekspor produk-produk dari tenaga kerja yang berasal dari penjara. Cina juga mengirimkan wakil-wakilnya pada tahun 1991-1992 untuk berdialog dengan berbagai NGO dan pemerintah Cina juga mengeluarkan buku putih mengenai hak asasi manusia. Namun, kemajuan ini hanya terjadi jika Amerika Serikat terus mendesak Cina untuk mengeluarkan kebijakankebijkan yang menyangkut masalah HAM, ketika Amerika Serikat berpaling dari Cina maka Cina akan kembali lagi untuk tidak mementingkan masalah HAM dalam kebijakan mereka. Kegagalan penegakan HAM di Cina terjadi karena adanya tujuan lain yang bersifat politis dari negara-negara Barat terutama Amerika Serikat untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan ekonomi dibandingkan penegakan HAM itu sendiri. Selain itu, Andrew J. Nathan juga percaya bahwa Amerika Serikat akan sulit menegakkan HAM di Cina apabila ia hanya melakukannya dalam pendekatan bilateral. Hal ini dikarenakan, dalam melakukan penekanannya terhadap Cina, Amerika Serikat akan berpikir dua kali untuk tetap menjaga kestabilan wilayah Asia Timur yang saat ini Cina memiliki pengaruh yang cukup besar. Amerika Serikat akan takut apabila tekanan yang ia berikan akan memepengaruhi perdagangan dan investasi di Asia Timur. Selain itu, dikatakan pula bahwa Amerika Serikat tidak lagi memiliki perhatian besar terhadap isu HAM di Cina karena saat ini Amerika Serikat lebih tertarik dan fokus pada masalah semenanjung Korea, proliferasi senjata di Pakistan dan Iran, dan juga masalah defisit perdagangan. Hal tersebutlah yang membuat Andrew J. Nathan pesimis terhadap perkembangan HAM di Cina apabila Amerika Serikat hanya melakukan pendekatan secara bilaterla kepada Cina. 3 Oleh karena itu, dalam memberikan tekanan terhadap Cina untuk memperbaiki masalah HAM di negaranya, Andrew J. Nathan merekomendasikan adanya pendekataan multilateral yaitu pemberian tekanan kepada Cina tidak hanya dari Amerika Serikat namun juga negaranegara lain. Salah satu alasan untuk dilakukan pendekataan multilateral karena Cina merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Cina juga telah menandatangani Universal Declaration of Human Rights yang diadopsi dari Majelis Umum PBB pada tgl 10 Desember 48 yang menjadi dasar bagi hukum internasional mengenai masalah HAM. Sehingga dalam hal ini, Cina telah terikat dengan hukum internasional tersebut dan apabila ia melanggaranya ia sepatutnya mendapatkan sangsi dari dunia internasional. Dalam deklarasi tersebut dikatakan bahwa: “all human being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood” (Universal Declaration of Human Rights, Article 1) Terdapat beberapa bentuk pelanggaran yang selama ini Pemerintah Cina lakukan yakni, pertama, hukuman penjara (imprisonment) penahanan sewenang-sewenangan tanpa bukti yang jelas (arbitrary detention), atau pengasingan secara paksa (forced detention) kepada para pemberontak yang melakukan pergerakan demokrasi seperti menulis artikelartikel dan petisi mengenai National People’s Congress, mendukung kemerdekaan di Tibet, mendukung kebangkitan budaya di Mongol, mempublikasi informasi-informasi rahasia negara yang dinilai dapat menggangu kestabilan pemerintahan Cina. Kedua, tindakan represif terhadap keagamanan, salah satunya mematikan pergerakan Katolik dan Protestan, penahanan terhadap warga-warga Tibet yang melakukan ritual keagamaan, penangkapan terhadap anak berumur enam tahun yang diangkat oleh Dalai Lama sebagai reinkarnasi dari Panchen Lama. Ketiga, kekerasan yang bersangkutan dengan prosedur kriminal dimana polisi-polisi dapat melakukan penganiayaan kepada para narapidana karena adanya lack of procedural safeguards. Keempat, penyiksaan dan penganiayaan tahanan di penjara dan kamp-kamp kerja paksa. Kelima, pemindahan paksa hak tenaga kerja sehubungan dengan pekerjaan pada Three Georges Project. Dan keenam, pemaksaan aborsi dan sterilisasi sebagai bagian rencana pemerintah dalam menekan laju penduduk yang semakin banyak. Selain itu, terdapat beberapa masalah yang harus diberikan perhatian utama terhadap isu yang terjadi di Cina yang jelas-jelas telah melanggar hukum internasional. Masalahmasalah tersebut ialah hukuman mati; pengambilan organ tubuh para tahanan dengan melakukan transpalansi; penculikan, perdagangan, dan penyalahgunaan wanita dan anakanak; serta pengeksporan produk-produk yang berasal dari tahanan ke Amerika Serikat. 4 Namun, dalam tulisan ini dikatakan bahwa dalam melakukan intervensi mengenai HAM di Cina dilakukan dalam tujuan penegakan HAM bukan dengan tujuan lainnya seperti halnya demokratisasi. Hal ini akan membuat usaha untuk memperbaiki masalah HAM di Cina menjadi sia-sia karena pada dasarnya Cina melakukan perbaikan HAM untuk menjaga kredibilitasnya di mata dunia internasional. Namun, apabila dunia internasional mencoba mengubah ideologi Cina dan tatanan sosial politik Cina, maka Cina akan menjauh. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi negara-negara Barat karena Cina memiliki pengaruhi yang cukup besar di dalam hubungan internasional terutama kawasan Asia Timur. Namun, tekanan dari negara-negara Barat terutama Amerika Serikat terlihat hanya bertujuan politik saja. Sejak Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat memiliki ambisi untuk mendemokrasikan negara-negara di dunia untuk kepentingan nasional mereka dan para sekutunya. Cina merupakan negara yang strategis untuk dilakuakan perubahan pada perpolitikannya karena ia memiliki power dan pengaruh yang besar di kawasan Asia Timur dan juga kekuatan ekonominya yang semakin meningkat tajam. Dalam bukunya, Andrew J. Nathan mengungkapkan beberapa hal yang menjadi tujuan Amerika Serikat dibalik usaha penegakan HAM di Cina. Pertama, adanya usaha demokratisasi di Cina. Hal tersebut sejalan dengan democratic peace yang dianut oleh pihak Barat untuk mengurangi ancaman bagi mereka. Selain itu, apabila Cina menjadi negara demokratis, maka akan mempermudah perdamaian antara Taiwan dan Cina serta kebebesan berbicara di Hong Kong. Hal ini menjadi signifikan karena isu Taiwan merupakan national interest bagi Amerika Serikat dan Amerika Serikat memiliki komitmen untuk memberikan sebuah perdamaian di Taiwan. Kedua, kebangkitan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Cina menarik perhatian negara-negara Barat. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan Henry Kissinger, Sekertaris Negara, dan Richard Nixon, presiden pertama Amerika Serikat yang melakukan kunjungan pertama di negara komunis. Negara Barat melihat bahwa kemajuan ekonomi Cina sangat mempengaruhi perdagangan global sehingga lebih baik pemerintahannya lebih terbuka dan tidak hanya dikuasai oleh satu partai untuk adanya check and balance apabila pemerintah melakukan tindakan korupsi atau merugikan negara. Hal tersebut sangat berpengaruh apabila Cina menjadi tidak stabil dan ketidakstabilan itu mempengruhi perdagangan global. Ketiga, negara-negara Barat berkeyakinan bahwa kekerasan terhadap HAM akan berpengaruh pada perdagangan dan pembangunan ekonomi. Tetapai pada kenyataanya, bagi Cina, kebijakan yang mereka ambil yang bersifat keras dilakukan untuk terciptanya kestabilan yang memiliki dampak yang baik pada pembangunan ekonomi. Hal itu dikarenakan, selama ini kebebasan berbicara dan aksi-aksi politik hanya dapat menimbulkan dampak negatif pada kestabilan 5 negara yang juga akan berdampak buruk pada pembangunan ekonomi. Selain itu, kebijakan pembatasan populasi dengan menekan kelahiran dengan bentuk kekerasan dilakukan dengan tujuan agar populasi Cina tidak meningkat sehingga akan mempermudah pembangunan ekonomi. Apabila populasi penduduk Cina semakin meningkat di mana saat ini mencapai angka yang sangat tinggi, Pemerintah Cina akan memiliki beban yang sangat besar untuk menghidupi rakyatnya. Alasan yang keempat ialah tekanan yang dilakukan Barat terutama Amerika Serikat dilakukan hanyalah untuk mendapatkan keuntungan bagi perekonomian mereka. Kejadian Tiananmen membuat Cina memiliki posisi tawar yang lemah di dunia internasional. Hal tersebut digunakan negara-negara Barat untuk menekan Cina agar mereka mendapatkan keuntungan di saat Cina tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Pada akhirnya terlihat bahwa usaha-usaha yang dilakukan pihak Barat terutama Amerika Serikat untuk penegakan HAM di Cina hanyalah sebuah politik untuk mencapai national interest mereka di Cina. Oleh karena itu, dalam bukunya Andrew J. Nathan merekomendasikan untuk adanya perubahan pendekatan dalam usaha-usaha penegakan HAM di Cina untuk terhindar dari tujuan-tujuan yang hanya bersifat politik. Salah satunya ialah dengan melakukan pendekatan multilateral di mana tidak hanya satu negara yang memberikan tetapi organisasi-organisasi internasional di mana Cina menjadi anggota dalam organisasi tersebut, contohnya ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa, WTO, EU, dan lain-lain. Selain itu, Andrew J. Nathan juga menambahkan bahwa sebaiknya cara yang dilakukan untuk penegakan di Cina disesuaikn dengan national interest Cina itu sendiri. Ia mencotohkan bahwa selama ini Cina melakukan perubahan kebijakan yang lebih mendukung HAM dikarenakan adanya desakan dari dunia internasional.Cina sangat takut apabila dunia internasional memberikan sangsi-sangsi kepadanya karena itu berdampak buruk pada perekonomian negaranya. Sehingga apabila Cina melakukan tindakan yang melanggar HAM seharusnya dunia internasional atau organisasi internsional memberikan sangsi yang tegas terutama dalam ekonomi karena national interest Cina ialah pembangunan ekonomi. Andrew J. Nathan mengungkapkan apabila tujuan dari usaha penegakan HAM di Cina lebih pada usaha demokratisasi maka hal tersebut tidak akan berjalan secara efektif. Selain itu, Andrew J. Nathan juga mengungkapkan bahwa sebaiknya usaha-usaha yang dilakukan sebaiknya bertujuan untuk jangka panjang, tidak hanya pada pelanggaran tertentu saja. Oleh karena itu perlu adanya legal reform dan institution building di Cina, agar penegakan HAM dapat bersifat berkelanjutan. Namun, yang menjadi tantangan dalam penegakan HAM di Cina ialah kurangnya dukungan dari para pengusaha dunia di mana 6 mereka tidak mau masalah HAM berdampak pada perdagangan yang nantinya akan merugikan mereka. Dalam melihat perkembangan HAM di Cina, penulis setuju bahwa Cina merupakan negara yang memiliki track record yang buruk dalam masalah HAM. Penyelidik khusus PBB mengumumkan bahwa terdapat dugaan pengambilan organ praktisi Falun Gong untuk transplantasi yang sedang berlangsung di China sejak tahun 2000.2 Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa pengambilan organ tersebut terjadi kepada para praktisi Falun Gong yang ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Cina sehingga terbukti bahwa pemerintah terlibat pada aktivitas pelanggaran HAM ini. Cina juga melakukan tindakan kekerasan kepada para warga Tibet yang melakukan ritual kegiatan keagaamaan. Selain itu, Cina memiliki kebijakan “Strike Hard” yang merupakan kampanye anti kejahatan atau kabijkan Pemerintah Cina untuk menumpas segala gerakan demonstrasi, pengacau keamanan dan semangat nasionalisme dan separatisme di seluruh Cina. Kebijakan Strike Hard telah dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 1983. Kebijakan ini secara periodik, setiap tahun diperbaharui. Pada awalnya kebijakan ini ditunjukan untuk menumpas kejahatan terorganisir, namun kemudian meluas sasarannya, yang antara lain mencangkup gerakan-gerakan separatis etnis dan mereka yang melakukan praktek-praktek keagamana yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.3 Mulai Oktober, 1991, Pemerintah Cina menekankan pentingnya pelaksanaan kebijakan “Strike Hard” di Xuar untuk memberantas semua aktivis separatisme di seluruh Cin termasuk XUAR. Dalam kebijakan ini Pemerintah Cinta anatara lain menyatakan larangan beribadah bagi pemeluk agama Islam di Xuar.4 Secara tegas Pemerintah Cina juga menyatakan bahwa gerakan separatisme Uighur di Xuar, khusunya di perbatasan Barat Daya Cina merupakan ancaman stabilitas keamanan negara sehingga perlu ditumpas dengan sungguh-sungguh. Selama bertahun-tahun negara-negara Barat menuduh Cina melakukan pelanggaran HAM mulai dari tekanan terhadap aktivitas keagamaan di Tibet, hingga pemenjaraan aktivis politik tanpa proses yang semestinya. Laporan-laporan tentang banyaknya kasus penahanan yang tidak berdasar muncul secara berkala di berbagai media. Sebagai respons, Cina melancarkan proses menentang tuduhan-tuduhan tersebut, yang dianggapanya sebagai campur tangan terhadap masalah dalam negeri sekaligus ancaman terhadap kedaulatan Cina. 5 Memang 2 ___, CIPFG Investigation Reveals that the Chinese Communist Party Continues to Harvest Organs from Living Falun Gong Practitioners, diakses dari http://www.clearwisdom.net/emh/articles/2007/11/4/91083.html, pada tanggal 2 Mei 2010, pk. 01.54. 3 Dru C. Gldney, “China: The Prospect For The Uighur People in The Chinese National State History, Culturan Survival, and the Future”, Country Papers, Writer net Paper No. 15/1999. 4 Ibid. 5 Loi Vai lo, “China’s Dialogue with The West on Human Rights: Is Tehre Any Common Grounds?”, EAI Backgrounder Brief No. 58, Singapore, 8 March 20000, hal.i. 7 selalu terdapat perbedaan definisi HAM itu sendiri yang disesuaikan dengan tingkat budaya, etis, sosial, sejarah, dan ekonomi yang bersangkutan. Barat cenderung berfokus pada hak-hak individu seperi kebebasan beragama, berekspresi, dan berasosiasi sedangkan Cina cenderung berfokus pada hak bersama seperti hak untuk hidup layak, hak atas pembangunan dan emansipsi, serta bebasa dan feodalisme, imperialisme dan hegemoni. Dalam mencermati HAM Cina, Barat cenderung berkonsentrasi pada kasus-ksus yang terjadi setelah keterbukaan Cina pda akhir 1970-an. Sebaliknya, Cina menyoroti apa saja yang sudah dilakukannya dalam rangka tunduk pda konvensi internasional. Hal tersebut terlihat pada kasus pertemuan Presiden Amerika Serikat, George Bush, dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet pada tanggal 16 Oktober 2007. Pertemuan ini merupakan ketiga kalinya semenjak tahun 2001.6 Presiden Bush meminta Pemerintah Cina untuk menempatkan Dalai Lama sebagai pemimpin keagamaan dan tokoh yang menginginkan perdamaian. Namun hal tersebut, menimbulkan kemarahan bagi Cina karena bagi Cina kegiatan yang dilakukan oleh Dalai Lama adalah kepentingan politik bukanlah keagaamaan yang dapat menggangu kestabilan pemerintahan Cina. Selain itu, pemerintah Cina menilai bahwa pertemuan Presiden Amerika Serikat dan Dalai Lama merupakan bentuk intervensi Amerika Serikat pada dinamika politik dalam negeri Cina yang akan berdampak memburuknya hubungan luar neegri Cina dan Amerika Serikat. Disini penulis melihat bahwa terdapat masalah utama dalam perbedaan pandangn dalam hubungan antara Barat dan pemerintaha Cina antara lain: 1. Perdebatan mengenai universalitas yang dianut Barat versus perdebatan relativisme budaya yang dianut Cina. 2. Antara pandangan Barat untuk mengintervensi versus protes Cina bahwa intervensi merupakan ancaman kedaulatan negara. 3. Usaha untuk menentukan urutan prioritas pandangan HAM barat yang menempatkan hak sipil dan politik diatas hak ekonomi, sosial dan kebudayaan, hak individu diatas hak bersma dan HAM Cina yang menempatkan hak ekonomi, sosial dan kebudayaan diatas hak sipil dan politik, hak bersama diatas hak individu. 4. Pandangan Barat yang mengacu pada hak warga negara dengan pandangan Cina yang mengacu pada kewajiban negara. Perbedaan pandangan negara Barat dengan Cina mengenai masalah HAM ini juga dilatarbelakangi oleh ajaran konfusianisme yang diyakini oleh masyarakat Cina. Kedudukan 6 ___, Presiden Bush temui Dalai Lama, diakses dari http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2007/10/071016_dalailamaus.shtml, pada tanggal 1 Mei 2010, pk. 12.34. 8 setiap individu yang merupakan nilai utama dari konsep HAM secara universal, tidak diakui dalam Konfusianisme karena Konfusianisme merupakan ajaran yang berbasis sistem moral inequality, ajaran yang melihat kedudukan manusia dari status sosialnya dalam masyarakat.7 Karena pemerintah dianggap memiliki kedudukan sosial lebih tinggi dari rakyat, rakyat harus patuh pada pemerintah dan tidak boleh melawan kehendak pemerintah; bahkan bila ternyata pemerintah itu menginjak-injak HAM rakyat, rakyat tetap harus patuh pada pemerintah. Selain itu, ajaran konfusianisme tidak pernah mengakui bahwa setiap individu/manusia memiliki hak, melainkan ajaran Konfusianisme justru menekankan bahwa setiap individu memiliki kewajiban. Setiap ajaran Konfusianisme menekankan perlu adanya kewajiban yang bersifat resiprokal antar setiap orang berdasarkan status sosial yang dimilikinya. Berbeda dengan ajaran Liberal Barat, ajaran Konfusianisme tidak menyebutkan adanya korelatif antara hak dan kewajiban (yaitu bahwa dalam setiap hak yang dimiliki ada kewajiban yang harus dilakukan), ajaran Konfusianisme mengatakan bahwa pikiran dan tingkah laku setiap individu ditentukan bukan oleh kesadaran dirinya sendiri, melainkan oleh keharusan melaksanakan kewajiban yang didapatnya dari status sosialnya.8 Ajaran Konfusianisme juga menekankan pada pentingnya unsur kolektif dibanding unsur individu, karena masyarakat lebih signifikan dari individu.9 Penulis juga setuju apabila penegakan HAM tidak akan efektif apabila terdapat tujuan dibelakangnya yang bersifat politik. Menurut penulis, gelombang demokratisasi dan liberalisme politik sulit untuk membongkar bangunan politik Cina. Mungkin demokratisasi akan mempengaruhi Cina, namun dalam kapasitas yang sangat sedikit hal ini disebabkan pada karakteristik Cina seperti democratic-centralism, diktator proletariat, sosialisme ala Cina yang akan tetap bertahan, walaupun dengan corak yang sedikit berbeda. Bagaimanapun, Cina memiliki tradisi sebagai bagsa yang jauh lebih panjang, lebih tua, dan lebih berpengalaman daripada bangsa-bangsa Barat. Kebanggaan ini tetap akan dipertahankan oleh siapapun yang memimpin atau berkuasa di Cina. Selain itu, faktor lain yang dapat membuat Cina bertahan dari hempasan gelombang demokratisasi dan lebiralisasi politik adalah sifat penduduk negeri ini yang homogen dan jumlahnya sangat besar. Sejak jaman para kaisar (dinasti), penduduk Cina tidak pernah mengenal cara-cara demokrasi seperti yang dikenal di Barat. Kepatuhan pada pemimpin dan orang-orang di atas adalah kabijikan yang sangat mereka banggakan. Sementara itu, demokrasi liberal juga dpandang kurang cocok diterapkan di engeri berpenduduk terbesar di dunia itu. Bagi Cina, hancurnya Uni Soviet merupakan akibat menjalankan demokrasi Barat 7 Y. C. Koo, et.all. Chinese Philosophy Vol. I, Confucianism and Other Schools. (Taiwan: Cina Academy, 1974), hal. 44. 8 Harro von Senger, “Chinese Culture and Human Rights”, dalam W. Schmale (ed.), Human Rights and Cultural Diversity. (Goldbach: Keip Publishing, 1993), hal. 318. 9 Gong Wenxiang. “The Legacy of Confucian Culture in Maoist Cina‟, Social Science Journal, hal. 372. 9 dan hal tersebut menjadi pelajaran bagi Cina untuk tetap menggunakan ideologi yang mereka yakini sejak lama. Oleh karena itu, disini penulis menilai bahwa dalam penegakan HAM di Cina dapat dilihat dari perspektif realis. Masalah HAM merupakan masalah moralitas suatu negara, dan dalam pandangan realisme, prinsip-prinsip moralitas hanya menempati efektifitas terbatas. Dalam realis, untuk tetap exist, semua negara harus menempatkan pertahanan dan keamanan di atas segala prioritas lainnya.10 Prinsip-prinsip moral universal tidak dapat diterapkan pada tindakan-tindakan praktis dan bukan moral. Permintaan-permintaan moralitas sering bertentangan dengan kepentingan nasional yang didefinisikan dalam konsep power.11 Kebanyakan tujuan-tujuan moral dapat dilakuakn selama tidak membahayakan kepentingan nasional. Dengan perspektif realis ini, kita dapat menyimpulkan bahwa masalah HAM sulit diterapkan oleh Cina karena pergerakan demokrasi, ritual keagamaan, sepratisme bagi Cina merupakan ancaman bagi pertahanan dan keamanan di atas segala prioritas lainny. Dan salah satu bentuk tindakan yang paling efektif pada suatu negara yang memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang banyak ialah dengan tindakan yang keras sehingga rakyatnya patuh. Namun, seperti yang diungkapakan oleh realis bahwa eksistensi dalam hubungan internasional merupakan suatu hal yang penting demi tercapainya national interest. Sehingga ketika dunia internasional mengecam dan menekan atas tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan Cina, Cina mengubah pendekatan menjaga pertahanan dan keamanannya lebih lunak. Namun, memasukan unsur moral dalam kebijakan Cina dapat terjadi hanya apabila desakan dan tuntutan yang diminta oleh dunia internasional tidak membahayakan keamanan nasional Cina. Sehingga apabila terdapat tujuan untuk melakukan demokratisasi di Cina dengan dalil penegakan HAM, maka usaha tersebut akan sia-sia karena bagi Cina tindakan tersebut merupakan intervensi terhadap politik dalam negeri Cina dan membahayakan keamanan nasional Cina. 10 Jack Donnely, International Human Rights Dillema in World Politics, (San Fransisco: Westview Press: 1993), hal.31. 11 Ibid, hal. 33. 10