BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konfusianisme Baru merupakan sebuah filosofi dan budaya politik pembaharuan yang muncul sebagai sebuah kebangkitan dari filosofi Konfusianisme.1 Konfusianisme Baru bersumber dari filosofi Timur yang mulai berkembang di Cina pada sekitar abad ke-9. Embrio pemikiran intelektual ini kemudian terbentuk secara riil melalui kemunculan mahzab Neo-Konfusian (Neo-Confucian School) dengan tokohtokohnya seperti Chou Tun I, Chang Tsai, Che’ng Hao, dan Che’ng I.2 Filosofi ini memuat fusi ataupun sintesis kompleksitas inti ajaran-ajaran teologis dari Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme yang diinterpretasikan kembali dan dikombinasikan dengan pemikiran Barat. Selain memuat inti dari spiritualitas itu sendiri, Konfusianisme Baru juga memuat pemikiran intelektual dan etika politik yang sarat dengan ide-ide moralitas yang menekankan pada kemanusiaan, harmoni, serta pemaknaan yang simultan terhadap keberlanjutan pembaharuan. Konfusianisme Baru mendedikasikan diri untuk memodifikasi Konfusianisme dan menjembatani antara tradisionalitas dalam Konfusianisme klasik dan rasionalitas dalam pemikiran Barat3, 1 John Hugh Berthrong, ‘Neo-Confucian Philosophy’, Internet Encyclopedia of Philosophy (online), <http://www.iep.utm.edu/neo-conf/>, diakses 28 Mei 2013. 2 Michael C. Kalton, Neo-Confucianism (online), <http://faculty.washington.edu/mkalton/NeoConfucianism.htm>, diakses 29 November 2013. 3 Chai Wenhua & Yang Xu, ‘Traditional Confucianism in Modern China’, Frontiers of Philosophy in China, Vol. 1, No. 3, September 2006, p. 366, <http://www.jstor.org/stable/30209977>, diakses 4 1 serta meletakkan perhatian yang cukup besar pada persoalan sosial dan politikpemerintahan. Dalam konteks kontemporer sekalipun, tidak dapat dipungkiri bahwa Konfusianisme telah dan masih menjadi landasan kultur serta struktur sosial maupun politik di kawasan Asia Timur. Partai politik, karakter pemerintahan dan kepemimpinan, serta sistem pemerintahan yang khas di kawasan ini menjadi karakter politik khusus yang layak untuk diamati perkembangannya. Meskipun demikian, pengaruh pemikiran Barat yang demikian massif masuk ke Asia Timur juga tidak dapat dinafikan. Dengan demikian, posisi Konfusianisme dalam tatanan sosio-politik di Asia Timur seringkali dipertanyakan, meskipun tulisan ini meyakini bahwa etika Konfusianisme dalam bentuk yang baru masih menjadi nilai yang melebur dalam kehidupan sosio-politik di kawasan itu. Tetapi, infiltrasi dan perkembangan etika Konfusianisme Baru dalam ranah politis setiap negara di Asia Timur tentu berbedabeda karena perkembangan pemikiran lain dan pengaruhnya terhadap kebijakan politik-pemerintahan yang berbeda pula. Fenomena perkembangan Konfusianisme Baru di Asia Timur akan menjadi fokus penelitian tesis ini. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena kajian-kajian yang dilakukan terhadap Konfusianisme selama ini umumnya hanya melihat ajaran pokok atau prinsip-prinsip seperti xiao (bakti), ren (kemanusiaan), li (ritual), yi (kebenaran/keadilan), zhong (loyalitas) yang diaplikasikan ke dalam etika politik secara umum dan cenderung berfokus pada bagaimana hal tersebut diterapkan di Cina. Desember 2013. 2 Namun dalam penelitian ini justru akan melihat sejauh mana prinsip-prinsip tersebut masih relevan dalam politik-pemerintahan kontemporer di Asia Timur dengan menunjuk kasus-kasus di tiga negara, yaitu Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, penelitian ini juga berupaya untuk meninjau ulang karakter politik di Asia Timur, terutama pasca krisis finansial Asia 1997 untuk mengetahui seberapa jauh karakter politik telah berubah haluan dari pedoman tata sosio-politik dalam Konfusianisme klasik dengan menggunakan Konfusianisme Baru sebagai suatu prinsip nilai baru. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian secara ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam disiplin ilmu hubungan internasional. Secara spesifik, penelitian ini diarahkan untuk meninjau karakter politik di kawasan Asia Timur dari sudut pandang etika Konfusianisme Baru dengan membandingkan beberapa paham ataupun aliran politik yang diadopsi oleh negara-negara di kawasan itu, yang dalam penelitian ini akan dipersempit pada kajian komparatif di tiga negara yaitu Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Karakter politik yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada perilaku politik yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya politik, sistem kepartaian, dan gerakan intelektual. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dikaji lebih lanjut dalam tesis ini ialah: 1. Mengapa etika Konfusianisme Baru masih relevan dalam melihat karakter politik kontemporer di Asia Timur? 3 2. Sejauh mana etika Konfusianisme Baru memengaruhi politik kontemporer di kawasan Asia Timur, khususnya di Cina, Jepang, dan Korea Selatan? C. Reviu Literatur Kemunculan, perkembangan, serta runtuhnya suatu sistem, baik politik, ekonomi, sosial, maupun kepercayaan sejatinya berkaitan erat dengan aspek kultural dan historis dari aktor dan lingkungan yang mengondisikannya. Ini pula yang terjadi dalam Konfusianisme Baru. Namun demikian, kedua aspek ini seringkali ditolak untuk menjelaskan ataupun menganalisis kegagalan maupun keberhasilan suatu sistem. Selig S. Harrison dalam Korean Endgame menjelaskan pentingnya kedua aspek ini dalam menjelaskan keberlanjutan suatu sistem. Warisan Konfusianisme, seperti hierarki, kepatuhan, kepemimpinan politik, serta resiprositas antara pemimpin dan rakyat tidak dapat dielakkan telah menjadi landasan dan memiliki pengaruh terhadap praktik sosiopolitik negara.4 Terdapat dua kubu yang memiliki pandangan berseberangan mengenai relevansi Konfusianisme dengan kehidupan politik kontemporer di Asia Timur. Kubu pertama berasumsi bahwa Konfusianisme sudah tidak lagi relevan untuk menjelaskan elemen-elemen kehidupan bernegara, baik kondisi politik, ekonomi, maupun sosial yang ada di Asia Timur, meskipun telah bermetamorfosis menjadi Konfusianisme Baru. Ini disebabkan “keyakinan” negara-negara di Asia Timur telah bergeser ke paham lain, 4 Selig S. Harrison, Korean Endgame: A Strategy for Reunification and U.S. Disengagement, Princeton University Press, Princeton, 2003, p. 21. 4 seperti liberalisme-kapitalisme ataupun sosialisme-komunisme. Sementara itu, kubu lain memandang bahwa Konfusianisme masih relevan dalam melihat kehidupan politik kontemporer di Asia Timur dan oleh karenanya muncul istilah Konfusianisme Baru dengan asumsi bahwa Konfusianisme mampu mengadaptasikan diri terhadap persoalan-persoalan kekinian, meskipun tidak semua nilainya dapat diadopsi dalam kehidupan politik kontemporer. Tulisan ini berpandangan serupa dengan kubu kedua dan berupaya untuk mengelaborasikannya lebih dalam pada pembahasan berikutnya. Herrlee Glessner Creel dalam Confucius: The Man and The Myth memaparkan bahwa Konfusianisme merupakan konsep filosofi Timur yang sejatinya dapat dikatakan ideal dalam politik. Christian Wolff, filsuf kenamaan Inggris, menyatakan bahwa etika tersebut merepresentasikan seni pemerintahan dengan nilai yang tinggi. Leibniz mendukung pandangan ini dengan mengungkapkan bahwa praktik filosofis dalam tradisi pemikiran itu berbeda dengan apa yang pada masa itu ditawarkan oleh pemikiran-pemikiran saintifik Barat yang lebih positivis. Praktik filosofis yang disertai oleh konsep-konsep etika dan politik yang diinginkan untuk membentuk code of conduct serta mencapai tujuan kemanfaatan dalam kehidupan individu maupun sosial ada dalam tradisi Konfusian Baru ini.5 Bertitik tolak dari proposisi ini, dapat dilihat bahwa Konfusianisme Baru menawarkan pendekatan yang berbeda, dalam artian lebih moralis sekaligus relativistik, serta bagaimana pendekatan tersebut harus diwujudkan dalam sikap politik yang menentukan bagi kepentingan banyak orang. 5 Herrlee Glessner Creel, Confucius: The Man and the Myth, The John Day Company, New York, 1949, p. 256. 5 Sementara itu, Daniel A. Bell dalam China’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society juga menjelaskan mengenai aspek transformasi dalam Konfusianisme. Mayoritas orang seringkali mengidentikkan Konfusianisme dalam politik dengan konservatisme. Penerapan tradisi Konfusian dalam politik karenanya seringkali disalahpahami sebagai sikap kuno dan tertutup terhadap perubahan. Padahal, bukan ini yang ingin dicapai para intelektual Konfusian. Mereka justru ingin mencapai perubahan yang lebih baik untuk kehidupan sosial dan mencapai esensi perdamaian dengan dua hal, yakni mengikuti kecenderungan empiris, sekaligus tetap berkaca pada peristiwa-peristiwa di masa lampau yang memberikan pelajaran berarti bagi pembangunan ke depan.6 Hal ini pulalah yang barangkali menjadi titik balik perubahan bagi terminologi Konfusianisme menjadi Neo-Konfusianisme, kemudian menjadi Konfusianisme Baru yang lebih sesuai antara prinsip dasar dengan praktik-praktik kekiniannya. Dengan demikian, esensi dari nilai-nilai Konfusianisme pada hakikatnya terus berkembang secara adaptif mengikuti perkembangan zaman. Konfusianisme Baru mengadopsi adaptivitas ini dan membentuk implementasi konsep pragmatis dalam praktik nyata politik di Asia Timur. Bukti yang sangat jelas dan faktual dari adanya nilai pragmatis di Asia Timur dapat dilihat dari aspek ekonomi politik. Model pembangunan Asia Timur yang dikenal sebagai developmental state ataupun East Asian Model menjadi karakteristik khusus pembangunan yang dimiliki oleh negara- 6 Daniel A. Bell, China’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society, Princeton University Press, Princeton, 2008, pp. 157-158. 6 negara di Asia Timur (kecuali Korea Utara) yang diadopsi secara simultan dengan menyerap nilai-nilai baru yang berlaku meluas dalam masyarakat internasional ke dalam sistem lokal masyarakat. Konsepsi pragmatis sendiri menurut William James dalam Titus, Smith, dan Nolan memiliki tiga poin kunci, yakni keberhasilan (workability), kepuasan (satisfaction), serta konsekuensi dan hasil (result). 7 Dalam konteks Asia Timur, ini menjadikan Konfusianisme Baru sebagai semacam instrumen untuk membantu menghadapi situasi, termasuk situasi internasional yang dinamis dan terus berubah. Moralitas akan tidak bersifat tetap, namun bersifat relatif dan terus berkembang karena situasi kehidupan. Oleh karena itu, pembaharuan merupakan hal yang wajar. Hal ini membuktikan bahwa Konfusianisme masih menjadi tata nilai yang relevan untuk menjelaskan karakter politik di Asia Timur karena aliran tersebut mengadopsi unsur kebaharuan dan pembaharuan. Selanjutnya, mengenai karakter politik itu sendiri dapat dimaknai sebagai ciri spesifik yang terdapat di entitas tertentu. John Eugene Ho dalam East Asia Philosophy: With Historical Background and Present Influence memaparkan beberapa ciri politik spesifik yang terdapat dalam masyarakat ataupun negara yang menganut Konfusianisme. Berdasarkan beberapa ciri tersebut, pseudo-demokrasi atau dalam konteks Asia Timur ialah demokrasi multipartai dengan sedikit partai dominan menjadi 7 Harold H. Titus, Marilyn S. Smith & Richard T. Nolan, Living Issues in Philosophy, edisi terjemahan Bahasa Indonesia Persoalan-persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 344. 7 karakter politik riil yang tampak dalam kehidupan sosio-politik di kawasan itu. 8 Karakter ini tampak dalam negara-negara di Asia Timur, namun dalam derajat yang berbeda. Ini menjadi poin-poin yang memperkuat argumentasi yang akan dibangun dalam tulisan ini. Sri Poedjiastoeti dalam tesisnya Konsep Bakti menurut Konfusianisme dan Implementasinya dalam Negara menyebutkan bahwa nilai-nilai Konfusianisme menjadi pedoman kehidupan sosial dan negara yang harmonis dan teratur dilandaskan pada konsep xiao (bakti). Bakti dalam konteks politik berarti loyalitas/kesetiaan pada negara. 9 Adapun Yunie Herawati dalam tesisnya yang berjudul Konsep Kesadaran Moral dalam Filsafat Konfusianisme menekankan pada aspek etika pengembangan diri dalam Konfusianisme sebagai salah satu metode untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran moral yang penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari hal itu ialah membentuk manusia ideal atau “junxi” yang merupakan bentuk kesadaran manusia pada tingkat tertinggi ketika manusia tidak hanya memandang diri sebagai subjek hukum, namun juga sebagai pribadi yang harus dihormati.10 Berbeda dengan kedua tesis di atas yang mengulas konsep-konsep dalam Konfusianisme dari segi filosofis, tulisan ini akan diarahkan untuk membahas aspek- 8 John Eugene Ho, East Asian Philosophy: with Historical Background and Present Influence, Peter Lang, New York, 1992, p. 181. 9 Sri Poedjiastoeti & Prof. Dr. H. Lasiyo, MA, MM, Konsep Bakti menurut Konfusianisme dan Implementasinya dalam Negara, Tesis S-2 Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta, 1999. 10 Yunie Herawati & Prof. Dr. H. Lasiyo, MA, MM, Konsep Kesadaran Moral dalam Filsafat Konfusianisme, Tesis S-2 Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta, 1999. 8 aspek dalam politik-pemerintahan dari sudut pandang yang lebih politis. Seperti tesis Ilim Abdul Halim yang berjudul Confucianism and Political Participation: A Study of Confucians’ Participation in Political Parties in Legislative Election 2004 in Eastern Depok, West Java yang menganalisis mengenai dukungan aspek-aspek Konfusianisme dalam partai politik dan partisipasi politik, tulisan ini akan menganalisis politik dan pemerintahan11, namun dalam konteks yang lebih spesifik pada disiplin ilmu hubungan internasional dengan membandingkan perkembangan politik di Asia Timur dalam tinjauan Konfusianisme Baru dengan karakter yang berubah. Selain itu, Konfusianisme Baru yang dibahas di sini menjadi menarik untuk diangkat sebagai topik penelitian dan ditinjau lebih jauh karena melihat pada aspek pragmatisme sebagai karakter yang kian menonjol dalam praktik kekiniannya. Ini merupakan hal yang berbeda dan menarik untuk diulas karena kebanyakan karya tulis mengenai Konfusianisme dan NeoKonfusianisme hanya berfokus mengulas dan memberikan penafsiran tentang prinsipprinsip ajarannya dan menjadikan Cina sebagai fokus pembahasan. Adapun tesis ini berupaya menjelaskan relevansi Konfusianisme Baru dalam praktik politik modern di Asia Timur sekaligus mengulas pragmatisme dari karakter politiknya. Oleh karena itu, penekanan pada aspek kebaharuan dan pembaharuan inilah yang akan diuji lebih jauh sebagai kajian dalam penelitian ini. 11 Ilim Abdul Halim, Confucianism and Political Participation: A Study of Confucians’ Participation in Political Parties in Legislative Election 2004 in Eastern Depok, West Java, Tesis Program Pascasarjana Agama dan Lintas Budaya UGM, Yogyakarta, 2004. 9 D. Kerangka Konseptual Etika Konfusianisme Baru Konfusianisme Baru merupakan etika filosofis sekaligus politik pembaharuan yang kompleks yang merupakan peleburan dari ajaran-ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme dalam fase perkembangan pemikiran yang disebut dengan NeoKonfusianisme, juga turut mengadaptasikan diri terhadap perkembangan pemikiran Barat, sehingga memuat nilai-nilai etika yang dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Etika yang dimaksudkan di sini secara umum dapat dimaknai sebagai nilai atau asas tingkah laku manusia (human conduct). Bertrand E. Rollin dalam Science and Ethics memaknai etika sebagai serangkaian kepercayaan yang dimiliki dan diyakini oleh masyarakat maupun sub-kelompok dalam masyarakat dan individu mengenai kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan, serta keadilan dan ketidakadilan. Namun demikian, etika juga dapat dimaknai sebagai sebuah penjelasan logis, kritik, dan studi terhadap serangkaian kepercayaan itu.12 Etika dalam pengertian yang kedua ini seringkali disebut sebagai metaetika untuk membedakannya dengan etika dalam definisi pertama. Oleh karena itu penjelasan dan klarifikasi tentang etika Konfusianisme Baru sejatinya termasuk ke dalam wilayah kajian metaetika. Konfusianisme Baru memuat banyak ajaran etika yang memengaruhi konteks maupun karakter sosio-politik dalam masyarakat di Asia Timur. Sebelum memahami nilai-nilai etika dalam Konfusianisme Baru yang memengaruhi karakter sosio-politik 12 Bertrand E. Rollin, Science and Ethics, Cambridge University Press, Cambridge, 2006, p. 31. 10 tersebut, diperlukan pemahaman mengenai karakter Konfusianisme Baru itu sendiri. Konfusianisme Baru mewarisi lima prinsip dasar ajaran Konfusianisme klasik dan Neo-Konfusianisme yang menjadi karakter spesifik dari etika filosofi-politik tersebut, yaitu: hubungan antara raja dengan rakyat, hubungan antara ayah dan anak, hubungan antara suami dan istri, hubungan antara senior dan junior, serta hubungan antarteman.13 Hal ini memengaruhi karakter sosio-politik dan interaksi politik di Asia Timur. Dalam politik domestik negara-negara di Asia Timur, kecenderungan hierarki dalam sistem politik-pemerintahan memunculkan keunikan dalam politik-pemerintahan maupun kepemimpinan dan dalam tataran yang lebih besar menghasilkan varian demokrasi yang berbeda yang seringkali disebut sebagai Demokrasi Konfusian. Kihl Young Whan, akademisi dari Iowa State University, Amerika Serikat (AS) menjelaskan doktrin politik dan praktik Konfusianisme yang dicerminkan dalam tiga aspek, yaitu Konfusianisme sebagai ideologi politik, pergerakan politik, dan sistem politik dalam konteks Korea Selatan. 14 Menurutnya, ketiga aspek tersebut telah membentuk fusi dalam doktrin maupun praktik politik di Korea Selatan di masa lalu. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ketiga aspek ini masih dapat digunakan untuk menunjukkan perkembangan praktik politik modern di Asia Timur 13 Michael Keith Ralston, Ideas of Self and Self-Cultivation in Korean Neo-Confucianism, Ph.D Dissertation, The University of British Columbia, Vancouver, 2001, p. 7, <https://circle.ubc.ca/bitstream/id/32272/ubc_2002-732398.pdf>, diakses 29 November 2013. 14 Kihl Young Whan, ‘The Legacy of Confucian Culture and South Korean Politics and Economics: an Interpretation’, dalam International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS) & Pusat Studi Korea UGM, Politik dan Pemerintahan Korea, International Association of Korean Studies in Indonesia (INAKOS) & Pusat Studi Korea UGM, Yogyakarta, 2010, hal. 44-49. 11 yang tidak sekedar merepresentasikan etika politik Konfusianisme Baru di Korea Selatan, tetapi juga di Cina dan Jepang. Oleh sebab itu, ketiganya akan digunakan untuk menelaah dan memperbandingkan perkembangan politik tiga negara di Asia Timur dalam tulisan ini. Di sinilah letak urgensi meninjau ulang karakter politik kontemporer di kawasan Asia Timur melalui sudut pandang Konfusianisme Baru, sejauh mana kawasan itu telah bergeser dari ide-ide etika tradisional ke arah ide-ide modern a la Barat ataupun bagaimana mereka mengombinasikan keduanya. Aspek ini secara kasat mata dan dinafikan oleh banyak orang, justru telah mendorong kemajuan di masingmasing negara kawasan tersebut yang didasari oleh etos dan moralitas tradisional itu. Etos dan moralitas ini tetap menjadi karakteristik yang melekat (embedded) dalam masyarakat maupun politik beberapa negara di Asia Timur. Dialektika Pemikiran Dialektika pemikiran merupakan metode sekaligus sistem pengembangan logika berpikir melalui triade yang berasal dari ide pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Triade tersebut terdiri atas tesis, antitesis, dan sintesis yang merupakan fasefase dalam proses dialektika. Dialektika secara umum dapat dimaknai sebagai pertentangan antara segala sesuatu yang kemudian memiliki suatu titik temu sebagai penyeimbang keduanya yang berlangsung secara terus-menerus. Antitesis merupakan negasi atau kontradiksi dari tesis, dan dari proses tarik-menarik keduanya muncullah síntesis. Tesis dan antitesis menjadi aufgehoben dalam fase sintesis. Aufgehoben berarti diangkat atau dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga sintesis yang merupakan 12 fase ketiga dalam proses dialektika mendamaikan antara tesis dan antitesis yang bertentangan dan membentuk sistem yang lebih ideal.15 Dialektika pemikiran Hegel tersebut dapat digunakan untuk memetakan Konfusianisme Baru sebagai suatu pemikiran yang sejatinya menjembatani antara tesis dan antitesis. Tesis dalam konteks politik di Asia Timur ialah feodalisme ataupun tradisionalitas yang berasal dari sistem sosio-politik yang sudah diyakini jauh sebelum sistem monarki dimulai. Adapun antitesisnya ialah paham kapitalisme-liberalisme, sosialisme-komunisme, maupun paham lain yang masuk dari negara-negara Barat di masa setelahnya. Bertitik tolak dari penggabungan keduanya, negara-negara di Asia Timur dapat dinilai berhasil menciptakan suatu sintesis melalui penerapan Konfusianisme Baru sebagai suatu dialektika pemikiran yang khas. Pragmatisme Konsep pragmatis atau yang juga dikenal dengan konsep “this worldly” ini menggambarkan bentuk adaptasi negara-negara di Asia Timur dengan situasi global dengan mengadopsi nilai empiris yang berlaku universal sekaligus menggabungkannya dengan nilai konvensional yang sudah ada sebelumnya, yakni Konfusianisme Baru itu sendiri. Sikap pragmatis ini sejatinya diadopsi dari empirisisme a la Barat yang melihat kategori kebenaran berdasarkan fakta-fakta riil. 16 Seperti yang telah dijelaskan 15 Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran Filsafat dari Rasionalisme hingga Sekularisme, Alva Gracia, Bandung, 1987, hal. 40-41. 16 Harold H. Titus, Marilyn S. Smith & Richard T. Nolan, Living Issues in Philosophy, hal. 340. 13 sebelumnya, Konfusianisme Baru menjadi alat pemikiran politik yang membantu menghadapi situasi yang dinamis dan terus berubah. Dalam konteks Asia Timur hal ini dapat dilihat dari sistem sosio-ekonomi-politik baru seperti new developmental state yang membawa kawasan itu pada perkembangan kemajuan negara untuk menghadapi kompetisi global dengan cara spesifik melalui penggabungan metode Timur dan Barat. Dalam konteks politik, hal ini tercerminkan dalam sistem demokrasi Konfusian ataupun sistem politik yang bercirikan Konfusianisme Baru. E. Argumentasi Utama Etika Konfusianisme Baru masih menjadi tata nilai yang relevan dalam melihat karakter politik di Asia Timur karena menggabungkan metode dialektis dengan pragmatisme yang sesuai dengan konsep-konsep kekinian dan dimensi pembaharuan. Konfusianisme Baru sebagai sintesis yang lahir dari proses dialektika antara tradisionalitas Konfusianisme klasik dan rasionalitas pemikiran Barat dapat berjalan secara konsisten dengan karakter politik Asia Timur sendiri yang telah berubah menjadi lebih pragmatis dalam lebih dari satu dekade terakhir. Etika Konfusianisme Baru memengaruhi politik kontemporer di Asia Timur dalam konteks ideologi politik, pergerakan politik, dan sistem politik, namun dalam pengaruh yang berbeda-beda. Ketiganya secara khas mencerminkan proses dialektika, sehingga dapat dilihat melalui varian sistem demokrasi yang berbeda dengan negaranegara Barat ataupun anomali-anomali politik yang tidak dapat dilihat hanya dari kacamata Barat maupun Timur. 14 F. Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan membahas tentang perpolitikan di Asia Timur yang difokuskan pada tiga negara, yakni Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Korea Utara maupun Taiwan tidak dimasukkan sebagai salah satu fokus pembahasan karena merupakan kekecualian yang tidak relevan dengan praktik-praktik etika Konfusianisme Baru yang akan dipaparkan dalam penelitian ini. Praktik politik di Korea Utara masih mempertahankan nilai tradisional sosialis-komunis sebagai reaksi ekstrim ataupun radikal atas nilai-nilai pembaharuan dan modernitas yang dibawa oleh globalisasi a la Barat, sedangkan Taiwan justru terbawa dan mengadopsi nilai-nilai pembaharuan dan modernisasi a la Barat itu. Sementara itu, ketiga negara lainnya lebih mampu menggabungkan antara keduanya, sehingga lebih adaptif terhadap perkembangan era tanpa menggeser kedudukan dasar nilai-nilai tradisional, dalam hal ini ialah Konfusianisme Baru. Disamping itu, penelitian ini juga akan membatasi rentang waktu selama sekitar dua dekade dari tahun 1997 sampai tahun 2013 yang diwarnai oleh gerak dinamis interaksi sosio-politik dan ekonomi-politik di kawasan Asia Timur pasca krisis finansial Asia. Pasca tahun 1997, perubahan ekonomi turut berdampak pada transformasi rezim politik yang lebih terbuka dan liberal, namun tidak pernah melepaskan karakteristik dasar yang khas Asia Timur yang dianggap konvensional dan dituding menjadi salah satu penyebab krisis itu sendiri. Kendatipun demikian, model developmental state pasca krisis tidak mati ataupun hilang, namun justru bertransformasi menjadi new developmental state. Oleh karena itu, penelitian ini akan 15 difokuskan untuk membahas mengenai karakter politik di Asia Timur pada rentang waktu tersebut. G. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif berupa studi literatur. Dalam studi literatur ini, penelitian dibagi dalam tiga tahapan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan laporan penulisan. Pada tahap pengumpulan data akan ditetapkan batasan parameter data yang akan dikumpulkan dengan menyeleksi informasi yang diperoleh dari data sekunder. Pengumpulan data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini akan menggunakan sumber-sumber referensi tertulis dalam bentuk cetak seperti buku, jurnal, artikel, dan diktat kuliah. Selain itu, juga dilengkapi dengan data tertulis dalam bentuk elektronik seperti e-book dan website tentang konsep-konsep yang terkait dengan Konfusianisme Baru dan relevansinya dengan karakter serta perkembangan politik kontemporer di Asia Timur. Selanjutnya, pada tahap pengolahan data, informasi yang telah diidentifikasi kesesuaiannya akan diklasifikasikan dalam kategori sekaligus dianalisis, kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan ilmiah atau laporan penulisan. Tahap terakhir adalah dengan membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis yang kemudian ditambahkan dalam laporan penulisan. H. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan terdiri atas lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan menggambarkan etika Konfusianisme Baru sebagai bagian dari diskursus dalam 16 kajian politik, khususnya studi hubungan internasional. Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai perbedaan filosofis pemikiran Barat dan Timur dalam politik, posisi Konfusianisme Baru dalam diskursus ilmu pengetahuan tersebut, sehingga terbentuknya Konfusianisme Baru sesungguhnya merupakan suatu bentuk reaksi yang berbeda dengan apa yang terjadi di Barat pada abad Pencerahan. Selain itu, bab ini juga akan menjelaskan sejarah Neo-Konfusianisme dan metamorfosisnya menjadi Konfusianisme Baru di tiga negara yang diperbandingkan dalam tulisan ini. Bab Ketiga akan menganalisis relevansi antara etika politik Konfusianisme Baru dan karakter politik kontemporer di kawasan tersebut. Bab Keempat akan menjawab rumusan masalah mengenai pengaruh etika Konfusianisme Baru atas situasi politik kontemporer di Asia Timur, khususnya di Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini akan ditutup dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dari kasus yang diteliti. 17