BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin
para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di
sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam
proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan
kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat
bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam
motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan
bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan,
sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan.
Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan
manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal.
Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan
terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) melihat kepemimpinan
sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih
berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting
bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka),
sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan
secara luas menurut Robbins (2002) yaitu sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian
12
(1995) kepemimpinan merupakan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung, maupun tidak
langsung dengan maksud untuk menggerakan orang-orang tersebut agar dengan
penuh pengertian dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak
pemimpin tersebut. Menurut Stoner, et al (1995) kepemimpinan didefinisikan
sebagai proses pengarahan dan memepengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan
tugas dari para anggota kelompok. Berdasarkan uraian tentang definisi
kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito, 2001 (dalam Marcian, 2008) dapat
disimpulkan bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki
seseorang dan akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi.
Kemampuan mempengaruhi adalah yang dominan dari kepemimpinan, dan
keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa memotivasi dan
menginspirasi orang lain. Teori-teori kepemimpinan dengan demikian dapat
diterapkan pada manajer. Dalam hal ini manajemen dapat kita anggap sebagai
kepemimpinan dalam perusahaan. Menurut Munandar (2001) kepemimpinan
merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang
berisi:
a.
Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk
memimpin.
b.
Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas
mereka masing-masing.
c.
Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan
bawahannya.
13
Efektifitas kepemimpinan biasanya dipertimbangkan dari segi tercapainya
suatu tujuan. Orang memandang kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif dari
segi kepuasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan seluruhnya. Penerimaan
dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin sebagian besar tergantung dari
harapan para bawahannya, apabila mereka menanggapinya secara baik, maka akan
mendapatkan hasil yang menarik. Pemimpin yang baik harus memiliki empat
macam kualitas yaitu kejujuran, pandangan ke depan, mengilhami pengikutnya,
dan kompeten. Pemimpin yang tidak jujur tidak akan dipercaya dan akhirnya tidak
mendapat dukungan dari pengikutnya. Pemimpin yang memiliki pandangan ke
depan adalah pemimpin yang memiliki ke depan lebih baik. Pemimpin yang baik
juga harus mampu mengilhami pengikutnya dengan penuh antusiasme dan
optimisme. Pemimpin yang baik juga harus memiliki kompetensi dalam
menjalankan tugas secara efektif, mengerti kekuatannya, dan menjadi pembelajar
terus-menerus (Tampubolon, 2007). Selain itu, pemimpin yang efektif adalah
yang (1) bersikap luwes, (2) sadar mengenai diri, kelompok, dan situasi, (3)
memberi tahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai
dan bijak menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawasan
umum di mana bawahan tersebut mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas
waktu yang ditentukan, (5) selalu ingat masalah mendesak, baik keefektifan
jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak, (6)
memastikan bahwa keputuan yang dibuat sesuai dan tepat waktu baik secara
individu maupun kelompok, (7) selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin
membicarakan masalah dan pemimpin menunjukan minat dalam setiap
gagasannya, (8) menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani
14
keluhan, dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelitbelit serta (9) memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme
pekerjaan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan
seminimal mungkin.
2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan
Bila berbicara mengenai kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus
membahas teori-teori kepemimpinan. Robbins (1996) membagi teori mengenai
kepemimpinan ke dalam empat kategori, yaitu :
1. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership Characteristic theory)
Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang mencari ciri kepribadian,
sosial, fisik, atau intelektual yang memperbedakan pemimpin dari bukan
pemimpin. Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan secara
konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri yang cenderung membedakan
pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk
memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan, dan
pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, riset baru-baru ini
memberikan bukti kuat bahwa orang-orang yang mempunyai sifat pemantauan
diri yang tinggi artinya sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku mereka dalam
situasi yang berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai
pemimpin dalam kelompok-kelompok ketimbang yang pemantauan dirinya
rendah.
15
2. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership)
Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan
bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun
teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku Kepemimpinan adalah:
a. Studi-studi Kepemimpinan Ohio State
Menurut Yukl (1994) kuesioner penelitian tentang perilaku kepemimpinan
yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari kepemimpinan dari Ohio
State University. Sebuah sasaran utama untuk mengidentifikasi perilaku
kepemimpinan yang efektif. Analisis faktor dari jawaban kuesioner memberi
indikasi bahwa para bawahan memandang perilaku atasannya pertama-tama
dalam kaitannya dengan dua dimensi atau kategori arti dari perilaku, yang
kemudian disebut sebagai “consideration” dan “initiating structure”.
Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri
atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik.
Consideration adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak
dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap
bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya termasuk
melakukan
kebaikan
kepada
bawahan,
mempunyai
waktu
untuk
mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk
seorang bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting
sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan
memperlakukan bawahan sebagai sesamanya.
Initiating structure (struktur memprakarasai) adalah tingkat sejauh mana
seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran
16
dari para bawahan kearah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok.
Contohnya termasuk memberi kritik kepada pekerjaan yang jelek,
menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan,
mempertahankan standar-standar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk
mengikuti prosedur-prosedur standar, menawarkan pendekatan baru terhadap
masalah, mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa
bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya.
b. Telaah Universitas Michigan
Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Survei dan Survei
Universitas Michigan mempunyai riset yang serupa dengan riset yang
dilakukan di Ohio yaitu melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang
tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan
juga membagi perilaku pemimpin ke dalam dua dimensi yaitu pemimpin
berorientasi karyawan dan pemimpin berorientasi produksi. Pemimpin yang
berorientasi karyawan (employee oriented leader) menekankan pada hubungan
antarpribadi, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan
dam menerima perbedaan individual di antara para anggota. Sebaliknya
pemimpin yang berorientasi produksi (production oriented leader) cenderung
menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan tertentu, perhatian utama
mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggotaanggota kelompok adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu.
c. Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia
Suatu penggambaran grafis dari pandangan dua dimensi terhadap gaya
kepemimpinan
dikembangkan
oleh
17
Blake
dan
Mouton.
Mereka
mengemukakan Kisi Manajerial berdasarkan gaya “kepedulian akan orang”
dan “kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi
pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi
karyawan dan berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial itu sendiri
merupakan suatu matriks sembilan kali sembilan yang membagankan delapan
puluh satu gaya kepemimpinan yang berlainan.
Berdasarkan penemuan-penemuan Blake dan Mouton, para manajer
berkinerja paling baik pada gaya 9,9 dimana perhatiannya pada produksi
tinggi tetapi perhatiannya pada karyawan juga tinggi, jika dibandingkan
dengan gaya 9,1 (tipe otoritas) atau gaya 1,9 (tipe laissez-faire).
Studi skandinavia mengatakan premis dasar mereka adalah bahwa dalam
suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan
perilaku yang berorientasi pengembangan (orients expansion). Mereka adalah
para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta
membuat dan mengimplementasikan perubahan.
3. Teori Kontingensi (Contingency Theory)
Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong
pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa
keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi
kepemimpinan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang
termasuk ke dalam teori kontingensi adalah :
a. Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model)
Mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada
padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi
18
memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan
instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang
bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan.
Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC
yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah
hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpinanggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama
yang menentukan efekftivitas kepemimpinan.
b. Teori Situasional Hersey dan Blanchad
Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para
pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya
kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard
bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya.
Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan
kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak
pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan
bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah dimensi penting yang
kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan,
seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana
orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas
tertentu.
c. Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota
Menurut teori ini para pemimpin menciptakan kelompok-dalam dan
kelompok-luar,
dan
bawahan
dengan
19
status
kelompok-dalam
akan
mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan
yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka.
Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah
yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong
keputusan kategorisasi dari pemimpin.
d. Teori Jalur-Tujuan Robert House (House’s Path Goal Theory)
Merupakan teori bahwa perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh
bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber dari atau kepuasan
segera atau kepuasan masa depan. Hakikat teori ini adalah bahwa merupakan
tugas si pemimpin untuk membantu pengikutnya dalam mencapai tujuan
mereka dan untuk memberikan pengarahan yang perlu dan / atau dukungan
guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan dari
kelompok atau organisasi.
e. Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton
Merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan
untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif
dalam situasi-situasi yang berlainan.
4. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories)
Merupakan teori kepemimpinan yang menekankan simbolisme, daya tarik
emosional, dan komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang termasuk ke
dalam teori ini adalah
a. Teori Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership)
Teori Kepemimpinan Karismatik mengemukakan bahwa para pengikut
membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroic atau luar biasa
20
bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Kepemimpinan karismatik
mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan
yang tinggi. Mungkin paling tepat bila tugas dari pengikut memiliki suatu
komponen ideologis atau bila lingkungan melibatkan satu tingkat stress dan
ketidakpastian yang tinggi.
b. Teori Kepemimpinan Transformasional
Teori yang menyatakan bahwa pemimpin memberikan pertimbangan dan
ransangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.
c. Teori Kepemimpinan Transaksional
Merupakan teori yang menyatakan bahwa pemimpin memandu atau
memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan
memperjelas peran dan tuntutan tugas.
d. Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)
Teori dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk menciptakan dan
mengkomunikasikan visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik
mengenai masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi, yang tumbuh
dan menjadi semakin baik di masa sekarang.
2.1.3 Gaya Kepemimpinan
Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu
memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan
kepada pegawainya (Mulyadi dan Rivai, 2009). Stoner, et al. (1995) memberikan
definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai
oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul
21
Hersey dan K. H Blanchard, 1982 (dalam Marcian 2008) menyebutkan gaya
kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu
tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Menurut Umar (2004)
gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan
suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang
digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi
diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi
menjadi amat penting. Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh
sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain
seperti yang ia inginkan, menurut Miftah Thoha (1994), disebut gaya
kepemimpinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin,
dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama
(Abdilah, 2011).
2.1.4 Pemahaman Budaya
2.1.4.1 Budaya
Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda
dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya.
Cara-cara
menjalani
kehidupan
sekelompok
masyarakat
dapat
didefinisikansebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai
budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang
secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada
22
anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen, 1995). Di
lain sisi budaya menurut (Tyler dalam Mowen, 1995) merupakan “a complex
whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society”.
Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh
prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola
lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang
untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya
melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan
bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya
memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui
suatu proses belajar (Keyong, 2010)
Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani
hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya
dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi
tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi
budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu
masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.
Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya
semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke
generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses
difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat
bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari
negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar
23
dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya
mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi
budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar
menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap
budaya sendiri.
Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas
terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu
dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu
masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya
sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi
menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti
perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit
menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya
lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).
Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat
aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota
dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada
adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan
aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika
tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan
timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia
akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi
persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu
bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan
24
sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan,
menurut (Soemardjan, 2010) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi
dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata,
pakaian dan sebagainya.
Budaya kerja biasanya didapatkan disekolah ketika kita remaja, sedangkan
budaya organisasi didapatkan pada tahap akhir setelah kita menjadi karyawan dari
sebuah perusahaan, biasanya pada saat dewasa. Dalam proses pembelajaran, nilai
dikembangkan lebih awal untuk memainkan peran dalam proses penyeleksian dan
nilai apa saja yang diterapkan (Frits, 2002). Menurut (Hofstede, 2005) budaya
dapat diterapkan dalam beberapa cara yaitu:
a.
Symbols merupakan kata-kata, gambar, gerak tubuh atau objek yang
membawa arti tertentu, hanya diakui oleh mereka yang berbagi budaya. Katakata dalam bahasa atau jargon termasuk dalam kategori ini. Simbol
dimasukkan ke dalam lapisan, terluar dangkal.
b.
Heroes, mengacu pada manusia, kematian, kenyataan atau imajiner, memiliki
karakter yang mulia dan sangat dipuji dalam suatu budaya dan dengan
demikian menjadi teladan dalam budaya tersebut.
c.
Rituals adalah kegiatan kolektif secara teknis berlebihan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan, tetapi yang dalam suatu budaya, dianggap sebagai
sosial penting misalnya tata cara berbicara dan menghormati orang lain.
d.
Value mengacu pada manifestasi terdalam, atau inti dari budaya. Nilai adalah
kecenderungan yang luas untuk memilih negara tertentu melebihi
25
kecenderungannya dengan negara lain. Mereka adalah hal pertama anak-anak
belajar tanpa disadari.
Dalam keanekaragaman budaya terjadi perbedaan karakter, nilai hidup, dll,
sehingga mengelola perbedaan merupakan hal penting galam berhubungan dengan
pihak lain. Mengelola perbedaan berarti memungkinkan semua karyawan untuk
mewujudkan potensi-potensinya secara maksimum. Hal itu menitikberatkan
kepada perubahan budaya dan infrastruktur organisasi sedemikian rupa sehingga
karyawan dapat memberikan hasil produktivitas karyawan yang maksimal. Dasar
pemikiran rasional untuk mengelola perbedaan terletak pada hasil legal, sosial,
dan moral. Secara sederhana, alasan utama untuk mengelola perbedaan adalah
kemampuan untuk membangun dan memelihara usaha dalam lingkungan yang
kompetitif. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya perusahaan untuk mengelola
perbedaan dengan pertama kali meninjau ulang trend demografi yang
menimbulkan adanya perbedaan diantara tenaga kerja. (Robert, 2005)
2.1.4.2 Budaya Nasional
Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk
memahami pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan pekerjaan serta harapan
karyawan untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara
bertindak tertentu lebih disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya
daripada yang lain. Bila praktek manajemen. Tidak sesuai dengan budaya nasional
yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas,
tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa tidak suka atau
terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budayanya. (Mas’ud, 2002).
26
Budaya merupakan sesuatu yang seharusnya dipelajari dan bukan untuk
diwariskan (Hofstede, 2005). Nilai yang mendalam akan mewakili perasaan yang
luas mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kejelekan, rasional dan
irrasional. Praktek yang diperkenalkan biasanya melalui manusia, misalnya
kebiasaan kolektif disajikan dalam sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa,
dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata cara pertemuan, gaya komunikasi,
dan banyak lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat lunak suatu budaya,
ada juga hardware dalam bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis kendaraan
yang mencerminkan karakteristik budaya.
Budaya
nasional
memiliki
komposisi
tingkat
nilai
lebih
tinggi
dibandingkan dengan tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi memiliki
tingkat praktek yang lebih beragam dibandingkan tingkat nilainya. Budaya
nasional adalah program yang pertama yang tertanam kedalam diri kita, nilai
merupakan komponen terdalam dari program tersebut. Pada saat kita dewasa
biasanya nilai-nilai sudah tertanam dengan baik sehingga sulit berubah.
Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan
abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan tiga
abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara
Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja, sehingga
mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak memiliki kekuatan
politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah kolonial ditentukan
oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk setempat. Oleh karena
itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat hisoris. Bentuk-bentuk asli
yang telah dikembangkan organisasi sosial, sebenarnya merupakan konsep
27
kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat, dan bukan untuk
bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan historisnya dikembangkan bahkan
bila dalam negara tersebut terdiri-dari kelompok yang berbeda, mereka akan
menjadi kelompok minoritas yang kurang terintergrasi. Dalam bangsa yang telah
ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang kuat terhadap intergrasi secara
berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa nasional yang dominan, media
massa umum, sistem pendidikan nasional, tentara nasional, sistem politik
nasional, representasi nasional di acara olahraga dengan simbolis yang kuat dan
emosional.
2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan
Budaya
Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas
petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua
prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari
pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis.
Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar
berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke,
1983:11).
Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua
karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan
golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem
kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip
produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang
berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional,
28
bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah
dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat,
tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme
diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme
diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.
Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari
mengolah tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan
teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi
pertanian, (4) memiliki hubungan dengan kota. Selain itu juga mengolah tanah
untuk tujuan subsistensi.
Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan
bagian masyarakat dari suatu budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar
dan pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih
memegang nilai tradisional. Sementara itu menurut Firth (Marzali, 1998:85),
sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan
dan pembagian kerja sederhana, memiliki keterbatasan akses ke pasar, alat
produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik, skala produsen
tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, dan perhatian
terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan daripada aspek materi.
Menurut Wolf (1983:2), peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan
berternak di daerah pedesaan. Usaha tani tersebut tidak dilakukannya sebagai
petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural enterpreneur) karena tidak
dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun
dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumah tangga.
29
Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan
kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Diaz (1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic
harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang
masyarakat. Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan
pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian
utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya. Di
dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan
dengan produksi usaha tani yang dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya
dengan teknologi non-industri dan bertumpu pada rumah tangga (household
based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix).
Menurut Scott (1981:7), usaha subsistensi adalah usaha tani yang mengutamakan
keamanan (safety first). Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu
selalu menjaga relasi antarrumah tangga dan memelihara keseimbangan antara
kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan
masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini
upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit sosial dan relasi di
antara sesama warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat
mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya. Sebagai produsen
pertanian berskala kecil, tindakan dan pilihan petani selalu dikaitkan dengan
sumber daya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari. Dengan demikian
peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis (Weizt (1971:19).
Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula prosedur
dalam melakukan usaha tani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat
30
berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Dalam pandangan
peasant, perubahan teknologi sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi
yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian (Weitz,
1971:9).
Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang
berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first
demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) menemukan bahwa etika
subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara merupakan akibat dari kehidupan
petani yang dekat dengan garis batas yang merupakan garis antara keamanan dan
risiko Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi
petani, peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.
Soekartawi (2003:173) mengemukakan bahwa agribisnis terdiri dari petani
yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan
sumber daya yang terbatas. Adapun cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi
sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki
derajat kosmopolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko
dalam berusaha tani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba
teknologi baru yang ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Slamet (2003:16)
mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan
pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani perlu mengadopsi
teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah
petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara
yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk
meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).
31
Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa seorang usahawan agribisnis
merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide
kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat
dipasarkan dengan keuntungan yang memadai. Selain sebagai petani komersial
berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern.
Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang urban memiliki
indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping itu, sebagian
besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun
ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi
penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi,
sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi
secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggung jawab.
Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan
berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi,
perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam
kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian
untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antarmanusia bersifat individual,
sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara
produktif. Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat
dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi
nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas
budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.
32
A. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck
Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini
terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas,
dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Dimensi pertama adalah
orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini,
manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang
merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan
alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan.
Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat
berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat
terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang
menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau
yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat,
orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat
dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus
pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh
karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi
pada capaian hasil. Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional
terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena
cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme
atau kolektivisme.
Kluckholn dan Strodtbeck (1961) membandingkan budaya berdasarkan
atas beberapa dimensi sebagai berikut :
33
1. Nature of People (Karakter dasar manusia)
Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia
menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat,
umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan
masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang manusia memiliki sifat baik
atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti
dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi
dengan orang lain.
2. Relationship to The Environment (Hubungan dengan alam lingkungan)
Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia
memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli
lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan (subjugate)
lingkungannya.
Masyarakat
Barat
berpendirian
bahwa
mereka
dapat
mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam (misalnya badai, banjir).
Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan
lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan
mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda,
kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.
3. Activity Orientation (Orientasi Aktivitas)
Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia
terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi
“melakukan” (doing), misalnya masyarakat Amerika dan Jerman, mereka lebih
menekankan kepada aktivitas atau kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi,
dan pencapaian tujuan. Selain itu ada masyarakat yang berorientasi “menjadi”
34
(being). Orang mmelakukan berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan
kesenangan,
dan
menunjukkan
spontanitasnya
sebagai
ekspresi
kepribadiannya. Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang
berorientasi kepada “the being –in-becoming” (yang menjadi). Masyarakat ini
lebih tertarik kepada kehidupan spiritual daripada kehidupan material.
4. Time Orientation (Orientasi waktu)
Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia terhadap
waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini, atau masa
yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada masa yang akan
datang (future). Mereka menganggap bahwa waktu sebagai sesuatu yang harus
dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan secara efektif. Sebaliknya,
masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada masa lalu (past) dan tradisi.
Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi keluarga yang kuat (misalnya
masyarakat Jepang dan Cina). Masyarakat yang berorientasi pada waktu
sekarang (present), percaya bahwa waktu sangat berarti. Orang Filipina,
Meksiko, dan Amerika Latin pada umumnya berorientasi pada waktu saat ini.
5. Focus of Responsibility (Fokus tanggung jawab)
Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang
sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling
membedakan anatara budaya Barat dengan budaya Timur. Kluckhohn &
Strodtbeck, 1961, dalam Reisinger (2009: 130) menyebutkan tiga jenis
orientasi terhadap orang lain: (1) individualistik (tujuan-tujuan individu
mengatasi tujuan-tujuan kelompok); (2) collateral (individu merupakan bagian
dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang diperluas
35
secara menyamping (laterally); dan (3) linear (mengutamakan keberlanjutan
kelompok melalui penggantian waktu).
6. Conception of Space (Konsepsi tentang ruang)
Konsepsi keruangan menurut kerangka Kluchkohn dan Strodtbeck
berhubungan dengan kepemilikan ruang. Beberapa budaya menganggap bahwa
tempat atau ruang harus tetap dijaga sebagai milik pribadi, sementara
kebudayaan lain menganggap bahwa sebuah ruang/tempat sangat terbuka
bahkan sangat dianjurkan untuk mengembangkan bisnis di publik. Beberapa
kelompok masyarakat menggabungkan antara publik dan privat.
Table 2.1
Cultural Orientations and Dimensions
No.
Dimensi
I
Nature of
(karakter
manusia)
humans
dasar
II
Relationships among
people
/
focus
responsibility
(Hubungan
dengan
orang lain / fokus
tangungjawab)
III
Relation to broad
environment
(hubungan
dengan
lingkungan)
Indikator
 Good/Evil: The basic nature of people is essentially
good (lower score) or evil (higher score).
 Changeable/Unchangeable: The basic nature of
humans is changeable (higher score) from good to
 evil or vice versa, or not changeable (lower score).
 Individual: Our primary responsibility is to and for
ourselves as individuals, and next for our
immediate families.
 Collective: Our primary responsibility is to and for
a larger extended group of people, such as an
extended family or society.
 Hierarchical: Power and responsibility are naturally
unequally distributed throughout society; those
higher in the hierarchy have power over and
responsibility for those lower.
 Mastery: We should control, direct and change the
environment around us.
 Subjugation: We should not try to change the basic
direction of the broader environment around us,
and we should allow ourselves to be influenced by
a larger natural or supernatural element.
 Harmony: We should strive to maintain a balance
36
IV
Activity (aktivitas)



V
Time (waktu)



VI
Space (ruang)


among the elements of the environment, including
ourselves.
Doing: People should continually engage in activity
to accomplish tangible tasks.
Thinking: People should consider all aspects of a
situation carefully and rationally before taking
action.
Being: People should be spontaneous, and do
everything in its own time.
Past: Our decision criteria should be guided mostly
by tradition.
Present: Our decision criteria should be guided
mostly by immediate needs and circumstances.
Future: Our decision criteria should be guided by
predicted long term future needs and
circumstances.
Public: The space around someone belongs to
everyone and may be used by everyone.
Private: The space around someone belongs to
that person and cannot be used by anyone else
without permission.
Diadopsi dari Kluckholn and Strodbeck (1961) dalam See Lane et al. (2000)
B. Variabilitas Budaya Hofstede
Menurut Hofstede (1994:109), ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh
seorang anggota budaya dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan
melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke
dalam nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta
kemudian menuntun pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah
dipahami oleh masyarakat lainnya.
Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari
ketidakpastian memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu
yang sifatnya ambigu. Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki
kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain
itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau perilaku yang menyimpang dari
37
peraturan formal. Sementara itu, orang dari kelompok budaya yang memiliki
derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik
yang berlawanan dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam
menghindari ketidakpastian.
Dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72)
terkait dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran
jender. Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada
keberhasilan material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut,
dan berfokus pada kualitas hidup. Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi
mengemukakan bahwa pada kutub maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih
pendapatan yang tinggi, pengakuan layak yang berkaitan dengan prestasi,
kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi, serta memiliki tantangan
dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat relasi kerja yang
baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Suatu hal
lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah pada cara
atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya. Para
anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda atau materi,
kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi
nilai yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di
dalam kelompok, dan pemeliharaan hubungan.
C. Pola-pola Parsons
Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat
dipilih oleh seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks
situasinya. Pola ini terdiri dari afektivitas-netralitas afektif, universalisme-
38
partikularisme,
ketersebaran-keterkhususan,
askripsi-prestasi,
orientasi
instrumental-ekspresif (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Pertama, afektivitasnetralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat kepuasan yang dicari
oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang yang mencari kepuasan
segera dari situasi yang ada. Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi
universalistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek dalam konteks
referensi universal, sedangkan orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi
orang atau obyek secara spesifik. Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi
ini berfokus pada cara orang memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi
ketersebaran, respon holistik akan diberikan seseorang kepada orang lain,
sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan seseorang dengan memberi
respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus Keempat, askripsi-prestasi.
Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika orang tersebut memandang
orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang akan bertolak pada
prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain di dalam
kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara
orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka
prestasi yang dapat diraih orang lain. Kelima, orientasi instrumental-ekspresif.
Orientasi instrumental ditampakkan oleh orang dalam interaksinya dengan orang
lain jika interaksi itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan
orientasi ekspresif akan tampak pada orang yang interaksinya dengan orang lain
merupakan tujuannya.
Keketatan struktural merupakan dimensi yang berfokus pada norma,
aturan, dan batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya yang
39
longgar hanya menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku, sementara
di dalam budaya yang ketat aturan dan batasan perilaku, norma dan aturan budaya
cenderung jelas dan harus ditaati. Dalam budaya ketat, jika ada anggota
komunitas yang melanggar norma dan aturan budaya dikenakan sanksi.
Sebaliknya dalam komunitas budaya longgar, para anggota yang melanggarnya
tidak akan dikenai sanksi sekeras pada budaya ketat (Gudykunst dan Kim,
1997:81).
2.1.5 Kebudayaan Indonesia
Beragamnya budaya nasional di Indonesia secara otomatis mempengaruhi
gaya kepemimpinan lewat para pengikut. Pemimpin tidak dapat memilih gaya
kepemimpinan mereka, karena dikendalikan oleh kondisi budaya yang ternyata
diharapkan oleh pengikut mereka (Bowo, 2008). Untuk tipe kepemimpinan di
Indonesia, budaya nasional sangat kental diterapkan dalam gaya kepemimpinan
seseorang. Walaupun gaya kepemimpinan dari setiap suku atau budaya berbedabeda, namun demikian secara umum telah ada tipologi gaya kepemimpinan
nasional yang menunjukan adat ketimuran bangsa Indonesia (Bowo, 2008).
Menurut Munandar (2001) di Indonesia kita kenal sebelas ciri pribadi yang
diharapkan oleh seorang pemimpin, antara lain:
a.
Takwa, menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha
Esa dan taat kepada segala perintah-Nya.
b.
Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemula, orang yang berada di depan,
selalu memberi suri teladan kepada yang dipimpinnya.
40
c.
Ing Madya Mangun Karsa, ditengah-tengah para anak buahnya ikut terjun
langsung bekerja sama bahu membahu, memberi dorongan, semangat.
d.
Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu memberi dorongan dam arahan
kepada apa yang diinginkan anak buahnya.
e.
Waspada Purba Wisesa, selalu berhati-hati dalam segala kondisi, meneliti
dan membuat perkiraan keadaan secara terus-menerus.
f.
Ambeg Para Maarta, pandai menentukan mana yang menurut ruang, waktu
dan keadaan patut didahulukan.
g.
Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana serta rendah hati dan correct.
h.
Satya, loyalitas timbal-balik dan bersikap hemat, tidak ceroboh serta
memelihara kondisi materiil dengan kecermatan.
i.
Gemi nastiti, hemat dan cermat, sadar dan mampu membatasi penggunaan
dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar diperlukan.
j.
Belaka, bersifat dan bersikap terbuka, jujur dan siap menerima segala kritik
yang
membangun,
selalu
mawas
diri
dan
selalu
siap
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
k.
Legawa, rela dan ikhlas untuk pada waktunya mengundurkan diri dari fungsi
kepemimpinannya dan diganti dengan suatu generasi baru yang telah
mewarisi kesepuluh ciri ini.
Ciri-ciri pribadi tersebut lebih berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang harus
dijalankan, sehingga mempunyai makna sebagai pedoman yang sifatnya normatif.
De Bono, 1986 (dalam Munandar, 2001) berdasarkan wawancaranya
dengan lima puluh pria dan wanita yang sangat berhasil dalam bidangnya masingmasing berkesimpulan bahwa ada empat macam faktor (dua ciri pribadi dan dua
41
lainnya merupakan faktor di luar dirinya) yang menentukan keberhasilan
seseorang atau sekelompok orang. Kedua ciri pribadi itu adalah:
a.
A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan
dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.
b.
Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang
tertentu.
c.
Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang
sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang
yang bekerja di bidang yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang
teknologi, khususnya komputer merupakan bidang yang cepat berkembang
dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat untuk berkembang.
d.
Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk
melakukan usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai
usahanya.
Selain itu, ciri kebudayaan pribadi bangsa Indonesia lainnya yang sangat
banyak berpengaruh dalam kehidupan berorganisasi adalah bermusyawarah
menuju mufakat, dan memutuskan segala sesuatu atas dasar konsensus diantara
seluruh kelompok organik, sekurang-kurangnya diantara kelompok seangkatan
pengalaman (peer group).
2.1.6 Kebudayaan Korea
Berdasarkan sudut pandang antropologis dan sosiologis, karakteristikkarakteristik kebudayaan tradisional Korea dengan fokus pada sistem keluarga
42
dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap gaya manajemen korea atau budaya
organisasi, adalah sebagai berikut (Cho, 1995).
1.
Keselarasan dan Stabilitas
Konfusianisme mengatur norma-norma perilaku bagi orang Korea yang telah
berlangsung selama 500 tahun Dinasti Chosun. Sampai saat ini pengaruh ajaran
konfusianisme masih besar peranannya dalam kehidupan keluarga dan sosial.
Menurut semangat dasar konfusianisme tradisional, loyalitas dan kewajiban antara
raja dan rakyatnya merupakan suatu keharusan, hubungan erat antara kedua orang
tua dan anakanak adalah penting dan perlu, peran-peran yang berbeda ada di
antara kaum tua dan kaum muda; dan harus ada keyakinan antara teman. Artinya
etika mengenai hubungan vertikal dan horisontal harus diamati agar bisa
menetapkan stabilitas dalam keluarga dan masyarakat melalui keselarasan (Hahn,
1988). Dengan demikian, konfusianisme memiliki pengaruh yang besar terhadap
ideologi manajemen, perilaku organisasi, sistem manajemen dan hubungan
manusia. Perusahaan Korea secara khas menekankan keselarasan, kesatuan dan
kerjasama, kreativitas dan pengembangan. Banyak sekali perusahaan mengaku
bahwa stabilitas sebagai tujuan utama karena latar belakang kultur (budaya)
manajemen, dimana keselarasan di kalangan para anggota dan pengembangan
keseluruhan organisasi yang stabil lebih disukai daripada moral progresif dan
pertumbuhan yang cepat. Sehubungan dengan latar belakang kebudayaan
tradisional tersebut maka orang korea lebih menekankan manajemen personalia
termasuk hubungan-hubungan manajemen tenaga kerja.
43
2.
Suksesi yang Tidak Setara
Warisan kekayaan keluarga dalam sistem keluarga Korea berbentuk warisan
yang tidak setara di mana anak laki-laki tertua diberi perlakuan istimewa. Dalam
kehidupan keluarga Korea, ada sistem yang disebut keluarga utama yang akan
digantikan oleh anak-laki-laki tertua. Dari anak laki-laki kedua dan seterusnya ke
bawah, ada sistem yang disebut cabang dari keluarga tersebut. Pada waktu
tertentu, meskipun ada kekayaan yang cukup untuk didistribusikan secara merata
di kalangan anak laki-laki, lazimnya saham terbesar diberikan kepada anak lakilaki tertua. Pembagian warisan yang tidak setara ini memiliki makna yang penting
ketika diterapkan pada suksesi suatu perusahaan. Namun demikian, dalam banyak
perusahaan di Korea, tidak semua otoritas pendiri dipindahkan kepada
penerusnya. Meskipun si penerus tidak mewarisi posisi tersebut, kekuasaan
memerintah yang mutlak dan pengaruh yang dulu dimiliki si pendiri tidak secara
langsung diterima oleh para anggota organisasi dan kelompok-kelompok
kepentingan lainnya. Jika suksesi tidak setara diterapkan dalam perusahaan maka
sebaiknya para penerima warisan yang akan meneruskan kepemimpinan diberikan
pembelajaran terlebih dahulu. Artinya pembelajaran yang dimaksud adalah ikut
dilibatkan seseorang calon pewaris (si penerus) dalam melakukan pengelolaan
usaha, membuat keputusan usaha, dengan tujuan agar calon pewaris (si penerus)
tidak awam sama sekali pada usaha orang tuanya dan bisa melanjutkan usahanya.
3.
Eksklusivisme dan Sentralisasi Kekuasaan
Dalam kehidupan sosial tradisional Korea, pertalian darah dan status sosial
mengandung latar belakang sikap orang Korea yang menimbulkan suatu cara
berpikir yang eksklusif dan tertutup. Hal ini juga berlaku pada masyarakat Korea
44
secara umum di dalam kerangka kehidupan yang eksklusif dan tertutup yang
dipelihara tersebut, kekuasaan yang diperlukan untuk menjaga urutan keluarga
dikonsentrasikan pada kepala keluarga dan anggota keluarga yang tertua yang
membentuk suatu struktur otoritas kekuasaan yang tersentralisir. Dalam
melakukan ritus-ritus pengorbanan bagi pemujaan leluhur yang merupakan
perluasan dari ketaatan anak laki-laki atau perempuan, keluarga langsung
memiliki prioritas tersebut. Para kerabat dekat dan jauh, kaum manula dan kaum
muda semua dibedakan, begitu juga yang berhubungan darah dan yang tidak.
Bahkan di antara hubungan pribadi, orang-orang yang intim dan orang-orang yang
tidak intim juga dibedakan sehingga merangsang timbulnya fraksionalisme
(faham berdasarkan golongan). Prinsip tradisional sikap eksklusif dan sentralisasi
kekuasaan juga menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kekuasaan
dalam berbagai perusahaan bisnis Korea. Prinsip ini lebih jelas dipraktikkan oleh
individu atau kelompok yang memiliki hak kepemilikan atas perusahaan, ketika
mengamankan dan mempertahankan hak-hak pengelolaan.
4.
Prinsip Senioritas
Prinsip ini digunakan dalam organisasi manajemen Korea sebagai standar
yang digunakan untuk meningkatkan atau menaikkan gaji yang didasarkan pada
prinsip personal. Prinsip personal adalah suatu prinsip yang dapat digunakan
secara universal dan berlaku pada semua orang ketika mengevaluasi seseorang
dalam kehidupan sosial Korea. Pertimbangan khusus diberikan pada personal
yang telah berdinas lama dan mengundurkan diri untuk kesejahteraan hidup
mereka. Prinsip senioritas dapat penulis katakan sebagai penghargaan yang
diberikan oleh perusahaan pada karyawan senior, karena mereka sudah ikut
45
berjuang membesarkan perusahaan, dan pengorbanannya selama ini diakui oleh
perusahaan dengan cara memberikan tingkat kesejahteraan lebih tinggi
dibandingkan karyawan junior. Peran anggota-anggota keluarga juga ditentukan
menurut derajat. Banyak kelas dan urutan derajat sangat ketat dalam keluarga
dengan kepala keluarga sebagai pusat. Masing-masing individu melakukan
kewajibannya sendiri menurut urutannya dalam derajat: ayah, suami, istri dan
anak (Shin, 1984).
5.
Otoritas Patriarkal dan Keselarasan
Dalam kehidupan keluarga tradisional Korea, ayah memiliki hak sebagai
kepala keluarga dan hak sebagai ayah, sehingga ia menggunakan otoritas mutlak
dan sepihak (sistem patriarkal) untuk mengatur orang-orang di bawahnya guna
kesejahteraan keluarga. Namun demikian kepala keluarga tidak selalu
menggunakan otoritas sepihak, ia juga menekankan keselarasan, memperlakukan
keluarga dengan hangat, mengendalikan dan mendorong aktivitas anggota
keluarganya (dikendalikan juga oleh orang yang lebih tua) untuk memperoleh
kepatuhan mereka. Metode kontrol berdasarkan otoritas dan keselarasan dalam
kehidupan keluarga tradisional ini mempengaruhi kepemimpinan manajemen
dalam dua cara, yaitu: (1) para anggota perusahaan sadar bahwa otoritas
tradisional para senior dalam derajat ditetapkan secara luas; (2) dalam cara yang
sama, keselarasan sangat ditekankan dalam organisasi.
6.
Kepatuhan dan Ketundukan
Norma-norma perilaku masyarakat Korea didasarkan pada konsep kepatuhan
anak-anak pada orang tua (terlihat jelas pada hubungan ayah dengan anak lakilakinya). Dalam kehidupan sehari-hari orang harus berbicara dengan penuh
46
hormat, bersikap beradap terhadap orang lain di luar keluarga yang lebih tua atau
memiliki posisi lebih tinggi. Seseorang harus mengidentifikasi dirinya dalam
kelompok sosial tersebut (sense of belonging), dan menunjukkan rasa hormat
pada orang-orang di atasnya. Cara berpikir tradisional ini mempengaruhi
hubungan vertikal antara para majikan dan karyawan. Anggota perusahaan Korea
menganggap hubungan vertikal lebih penting daripada hubungan horisontal.
Penekanan pada hubungan vertikal menimbulkan komunikasi ke bawah secara
sepihak dan merupakan alasan bagi timbulnya konsentrasi pengambilan keputusan
pada tingkattingkat atas organisasi tersebut.
2.2. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian perihal kepemimpinan yang sudah dilakukan.
Akan tetapi, penelitian yang langsung meneliti model kepemimpinan seorang
pemimpin di suatu perusahaan, terutama perusahaan surat kabar, barulah sedikit.
Namun, untuk menambah khazanah keilmuan serta yang menjadi inspirasi saya
dalam melakukan penelitian tentang model kepemimpinan seorang pemimpin di
suatu perusahaan ini, maka saya akan menyebutkan beberapa penelitian bertema
kepemimpinan yang sudah pernah dilakukan, antara lain:
1. Vesa Suutari, Kusdi Raharjo, dan Timo Riikkila (2002)
Judul : The Chalenge of Cross-cultural Leadership Interaction: Finnish
expatriates in Indonesia
Meneliti interaksi kepemimpinan lintas budaya para manajer ekspatriat dari
Finlandia terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal dalam
perusahaan multi nasional dari Finlandia yang ada di Indonesia.
47
2. Lieh-Ching Chang (2002)
Judul : Cross-cultural Differences in Internasional Management Using
Kluckhohn-Strodtbeck Framework
Meneliti gaya kepemimpinan manajer internasional yang melakukan
pekerjaan di luar negerinya dan pentingnya bagi para manajer
internasional untuk mengetahui mengenai perbedaan budaya nasional di
masing-masing negara.
3. Yoo Keun Shin (1999)
Judul : The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean Companies
Meneliti gaya kepemimpinan para CEO di beberapa perusahaan Korea dan
mengidenttifikasi bagaimana pengikutnya menerima gaya kepemimpinan
tersebut..
4. Rachel K (2004)
Judul : Culture, Intercultural Communication Competence, and Sales
Negotiation: a Qualitative Research Approach
Meneiliti
perbedaan
kebudayaan
dalam
perusahaan,
kompetensi
komunikasi lintas budaya yang efektif dalam rangka meningkatkan
kualitas negosiasi antar karyawan baik di dalam perusahaan maupun ke
luar perusahaan untuk negosiasi penjualan.
5. Aya Fukushige dan David P. Spicer (2007)
Judul : Leadership Preference in Japan : An Exploratory Study
Meneliti
mengenai
preferensi
kepemimpinan
di
Jepang
dengan
menggunakan dimensi penilaian budaya Bass dan Avolio serta
mengidentifikasi para pengikut atau follower Jepang mengenai gaya
48
kepemimpinan kontemporer Jepang serta mengidentifikasi faktor-faktor
lain di luar dimensi Bass dan Avolio.
2.3. Kerangka Pikir
Adapun skema kerangka pikir teoretis dalam pandangan peneliti adalah
sebagai berikut:
Home
Country
Budaya
nasional
Korea
Korea
Dimensi Kluckholn &
Strodtbeck
 Nature of humans
 Focus responsibility
 Relation to broad
environment
 Activity
 Time
 space
Host
Country
Indonesia
Budaya
nasional
Indonesia
kepemimpin
an
Pola-pola Parson
 afektivitas-netralitas
afektif
 universalismepartikularisme
 ketersebaranketerkhususan
 askripsi-prestasi
 orientasi instrumentalekspresif
Proses
penerimaan
budaya
Bentuk
kepemimpin
an gaya
Korea di
Indonesia
followers
/pengikut
Sumber : Diadopsi dari Dimensi Budaya Kluckholn&Strodtbeck dan Pola-pola Parson, 2013
Perusahaan internasional Kukdong Corporation memiliki perluasan usaha
yang berada di Semarang Indonesia berupa perusahaan multi nasional PT.
Semarang Garment. Perusahaan tersebut menempatkan pimpinan serta jajaran
manajer ekspatriat yang berasal dari negaranya yaitu Korea Selatan. Para
49
pemimpin ini membawahi sejumlah karyawan yang merupakan penduduk lokal.
Dengan demikian, perbedaan budaya yang ada merupakan suatu tantangan bagi
perusahaan, khususnya jajaran manajer yang sebaiknya memiliki kemampuan
kepemimpinan lintas budaya secara efektif agar mampu mengembangkan
perusahaan dan berinteraksi dengan baik bersama bawahannya meskipun dengan
latar belakang budaya yang berbeda. Kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan
oleh manajer ekspatriat berkebudayaan Korea di perusahaan PT. Semarang
Garment dan bagaimana para pengikut lokal berkebudayaan Indonesia menerima
kepemimpinan tersebut merupakan fokus dari studi ini. Untuk mengidentifikasi
hal tersebut, penelitian ini akan dibatasi beberapa variabel budaya dari kerangka
Kluckholn& Strodtbeck serta pola-pola Parson.
50
Download
Study collections