BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Etika merupakan refleksi atas moralitas. Akan tetapi, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, etika bukan sekedar refleksi tetapi refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk.1 Oleh karena itu, yang menjadi pusat penelitiannya bukan hanya prinsip-prinsip dan patokan-patokan moral semata, tetapi manusialah yang menjadi inti penelitiannya.2 Tetapi apakah yang menjadi dasar dalam meneliti manusia tersebut? Norma menjadi pegangan di dalam menilai tingkah laku ataupun moral dari manusia tersebut. Norma menjadi tolok ukur bagi setiap pengambilan keputusan etis. norma-norma yang dibentuk oleh masyarakat menjadi pembimbing bagi para pengikutnya untuk menjalankan kehidupan mereka dengan baik. Dan memang seringkali norma yang ada dibentuk dengan tujuan untuk mengatur kehidupan para anggota komunitasnya agar dapat berinteraksi dengan baik. Norma itu jugalah yang mengatur kehidupan moral di dalam mana masyarakat itu tinggal dan menetap. Etika bukanlah merupakan ilmu yang statis saja yang hanya berdiri sebagai satu-satunya ilmu yang meneliti tingkah laku atau sifat dari manusia. Dalam memahami ataupun meneliti suatu tingkah laku atau kebiaasaan di dalam masyarakat, etika juga membutuhkan dialog dengan disiplin ilmu yang lain demi memfokuskan diri terhadap penelitiannya tersebut. Begitu juga dengan apa yang seharusnya dilakukan di dalam etika sendiri. Suatu norma yang menjadi titik tolak ataupun pegangan dari para etikus untuk mengambil suatu keputusan etis untuk menilai baik-buruknya tingkah laku ataupun kebiasaan yang dinilai tersebut juga dapat dinilai berdasarkan pertemuan dialogal antara etika dengan ilmu-ilmu sekular. Akan tetapi, penulis melihat bahwa di dalam masyarakat sering terdapat kelompok-kelompok yang cenderung fanatik terhadap hukum-hukum yang ada pada mereka sehingga membentuk sikap moral yang tertutup. Norma-norma yang ada pada mereka tidak dapat diganggu-gugat dan 1 K. Bertens,ETIKA, (Jakarta, 2007), p.25 Verne H. Fletcher, LIHATLAH SANG MANUSIA! ; Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar, (Jakarta, 2007), p.20-21 2 1 jika sampai dikritisi maka akan mendapatkan sangsi yang berat. Norma-norma yang dibentuk oleh kelompok tersebut seakan-akan menjadi lebih tinggi derajatnya daripada manusia-manusia yang membentuknya. Terlalu mengagungkan norma-norma yang ada di dalam masyarakat membuat suatu komunitas itu menjadi tertutup. Hal inilah yang menjadi perhatian dari penulis mengapa bisa terjadi hal yang demikian. Penulis melihat hal ini di berbagai daerah di Indonesia tidak jarang ditemukan kelompok-kelompok dengan moral tertutup. Biasanya kelompokkelompok dengan moral yang tertutup ini banyak terdapat pada kelompok-kelompok agama yang terkadang mengancam keutuhan umat beragama lain untuk berelasi dengan saudara-saudaranya yang berbeda keyakinan dengan mereka. Sebagai sebuah refleksi, etika tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang tertentu. Hal tersebut berlaku juga untuk Etika Kristen. Etika Kristen tidak bisa dilepaskan dari asumsi-asumsi dasar iman Kristiani. Meskipun demikian berdasarkan pengamatan sekilas, penulis melihat bahwa agaknya Etika Kristen tidaklah sedemikian berbeda dengan etika-etika lainnya sehingga tidak bisa didialogkan. Menurut Eka Darmaputera bahwa Etika Kristen, seharusnya terbuka dan dinamis bergerak dalam ruang maupun waktu oleh karena ia pertama-tama adalah etika.3 Kemudian Darmaputera menyarankan bahwa dalam melakukan analisa etisnya, etika Kristen harus merupakan interaksi antar disiplin ilmu dan selalu berorientasi kepada hal-hal yang konkret yang terjadi di dalam masyarakat.4 Etika Kristen harus terlibat aktif berdialog dengan etika lainnya untuk ikut memecahkan persoalan yang ada di dalam masyarakat. Jelas bahwa etika Kristen ada oleh karena diilhami.oleh asumsi-asumsi dasar iman Kristiani. Tetapi Etika Kristen ada dan terbuka untuk semua masing-masing etika dari agama lain maupun aliran etika lain. Namun seringkali etika Kekristenan cenderung bersikap eksklusif dan terkadang menjadi etika yang tertutup. Etika Kristen tidak lagi merupakan ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan etika-etika lain tetapi malah berubah menjadi suatu hukum yang kaku. Sering ada anggapan dari kalangan orang-orang Kristen bahwa etika yang tidak diilhami oleh iman Kristen dianggap tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi persoalan-persoalan etis yang terjadi di masyarakat. Bahkan seringkali etika Kristen dijadikan tameng oleh sebagian pengikutnya sebagai ajang untuk berdebat dengan etika agama-agama lain bukan untuk memberi saran pengambilan keputusan etis yang tepat berdasarkan asumsi-asumsi dasar imannya tetapi untuk membuktikan siapa yang paling benar. 3 4 Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk semua; perkenalan pertama, (Jakarta, 2001),p 96 Ibid, p.96 2 Etika Kristen memiliki ciri khas yang khusus karena mendasarkan etikanya pada perelasian antara manusia dengan Allah penciptanya. Etika Kristen mengalami kekonkretannya dengan mengacu pada ajaran dan tingkah laku dari Yesus yang diimani sebagai Anak Allah yang membawa dan mengajarkan kasih Allah akan dunia ini. Dapat dikatakan etika Kristen merupakan etika yang teologis. Akibat ciri khasnya yang teologis seringkali etika Kristen hanya berjalan di awang-awang dan malah cenderung menjadi dogmatis dogmatis. Hal inilah yang mengakibatkan sulitnya berdialog dengan etika yang lain khususnya etika yang filosofis. Etika theologis sering dituduh lebih mendasarkan diri pada ajaran-ajaran moral yang kaku sehingga kurang menghargai kemanusiaan sementara etika filosofis dianggap terlalu rasional dan antroposentris dan mampu membawa peserta dialog menjadi atheis. Hal inilah yang menjadi perdebatan yang kadang tidak jelas arah dan tujuannya dan diakui sangat sulit untuk mendamaikan etika Kristen dengan etika yang filosofis. I.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal di atas, penulis ingin berupaya menjembatani perbedaan tersebut dengan menghadirkan suatu dialog antara etika Kristen dengan etika filosofis.Mengacu pada hasil dialog tersebut penulis berupaya untuk menggali kembali apa dan bagaimanakah sebetulnya etika kristen itu? Dapatkah etika Kristen berdialog dengan etika agama-agama lain di dalam usaha untuk memperkaya penghayatan akan imannya? Apakah dasar dari etika Kristen untuk memulai dialog dengan etika agama lain? Berdasarkan hal tersebut, penulis membuat suatu dialog yang konkret antara Etika Kristen dengan salah satu ajaran etika yang ada di dalam konteks hidup penulis yaitu konteks Asia. Menurut penulis Etika Kristen bukanlah satu-satunya ajaran etika yang ada di dunia Asia. Sebagai penduduk Asia, penulis menemukan ada berbagai macam ajaran etika tidak hanya dari agama-agama besar saja, namun juga dari ajaran para filsuf timur. Oleh karena itu penulis ingin mendialogkan etika Kristen dengan etika yang dianut oleh para filsuf timur tersebut dengan harapan untuk dapat memperkaya pemahaman etika Kristen akan refleksi atas moralitas . Namun hal ini tidak berarti ajaran etika dari filsuf timur itu harus ditelan mentah-mentah tetapi perlu didialogkan secara kritis demi mendapatkan dialektiksitas antara Etika Kristen dengan Etika Timur 3 Dalam rumusan permasalahan ini, penulis akan mencoba mendialogkan Etika Kristen dengan Etika Konfusianisme. Seperti yang diutarakan di atas, bahwa etika merupakan ilmu yang concern terhadap tabiat dan tingkah laku manusia. Alasan penulis untuk memilih etika Konfusianisme sebagai partner dialog adalah karena Etika Konfusianisme dikenal dengan mendasarkan ajarannya pada penggalian tentang karakter kemanusiaan. Di dalam filsafatnya, Konfusius sebagai perintis dari Konfusianisme sangat menekankan hakekat dari kemanusiaan itu sendiri dalam upaya untuk mencapai kebahagiaan. Dengan penggalian karakter kemanusiaan tersebut maka diaharapkan manusia tersebut menjadi manusia yang bijaksana dan dapat berinteraksi dengan sesamanya. Dalam hal ini, penulis tidak akan membahas semua ajaran-ajaran yang tercakup di dalam Etika Konfusius dan Etika Kristen. Penulis hanya akan mendialogkan ajaran yang khas dari masingmasing etika tersebut. Karena begitu banyaknya unsur-unsur ysng terdapat di dalam Etika Konfusius, maka penulis memilih jen sebagai acuan penulis untuk mendialogkannya dengan unsur-unsur yang ada di dalam etika Kristen. Jen merupakan ajaran etika yang khas dari Konfusius. Untuk menjadi orang bijaksana yang dapat berinteraksi dengan sesamanya, maka jen harus dikembangkan di dalam diri manusia tersebut. Jen merupakan karakter khusus yang ada di dalam diri manusia yang dibawa dari interaksi manusia itu di dalam keluarga yang bertujuan untuk menjadikan seseorang menjadi manusia yang ideal atau bajik (Chun Tzu). Jen ini termanifestasi lewat ajaran Golden Rule, “jangan melakukan sesuatu kepada orang lain yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Pernyataan Golden Rule tersebut dipertegas dengan perkataan Konfusius bahwa “manusia yang bajik adalah apabila karena ingin mengukuhkan kedudukannya, mengukuhkan kedudukan orang lain. apabila hendak memperoleh hasil akan berusaha membantu orang tersebut untuk memperoleh hasil tersebut, apabila ingin mengembangkan dirinya, mengembangkan orang lain juga. Jalan kebahagiaan sejati adalah menemukan prinsip perilaku terhadap orang-orang lain dalam keinginan hati kita sendiri5. Konfusius juga mengatakan bahwa perikemanusiaan terwujud dalam bentuk mengasihi manusia-manusia lain.6 Dari semua perkataan Konfusius ini, dia sangat menekankan hakekat dari kemanusiaan itu sendiri dan bertolak dari komunitas sosial masyarakat itu sendiri. 5 6 Analect VI.28 Ibid XII. 22 4 Begitu juga di dalam pembahasan mengenai etika Kristen, penulis tidak akan membahas keseluruhan ajaran yang ada di dalamnya. Penulis secara khusus akan membahas konsep mengasihi di dalam Perjanjian Baru dengan fokus pada Yohanes 13:34-35. Konsep mengasihi merupakan suatu norma yang khas dalam kekristenan. Konsep mengasihi sesama merupakan keteladanan yang diajarkan oleh Yesus (manusia ideal) kepada pengikutnya. Alasan penulis untuk memilih konsep mengasihi di dalam Yohanes 13:34-35 ini adalah karena mengasihi memiliki suatu ciri khas yang khusus yaitu sebagai perintah baru dari Yesus. Mengasihi bukanlah merupakan suatu konsep yang partikular di dalam agama Kristen saja tetapi di dalam setiap ajaran agama-agama dan ajaran humanis lainnya terdapat ajaran untuk mengasihi. Jadi bukan merupakan sebuah hal yang baru dan mengasihi itu merupakan konsep yang universal. Oleh karena itu penulis akan membahas kenapa mengasihi dikatakan sebagai perintah baru. Pada ayat 35, jika perintah saling mengasihi ini dilaksanakan maka yang melaksanakan kasih itu diproklamirkan sebagai murid Yesus. Siapakah yang menjadi murid-murid Yesus ini? Apakah orang Kristen saja atau memang kelompok yang berada di luar kekristenan juga? Setelah menggali kedua permasalahan tersebut penulis berupaya mendialogkannya demi mendapatkan pemahaman yang utuh dalam memahami etika Kristen sebagai etika yang diharapkan menjadi etika theologis yang berdialog. I.3. Tujuan Penulisan Untuk memperoleh gambaran mengenai apakah makna jen menurut Konfusius dan mengasihi di dalam Perjanjian Baru khususnya di dalam Injil Yohanes yang terdapat padaYohanes 13:34-35. Berdasarkan gambaran tersebut nantinya, penulis akan mendialogkan kedua hal tersebut untuk melihat sampai sejauh manakah kedua paham tersebut dapat berdialog satu sama lain dan mencari implikasinya bagi kehidupan kekristenan. I.4. Metode Penelitian dan penulisan Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian literatur. Penulis akan meneliti dan menganalisa bahan-bahan yang dianggap relevan dalam penulisan skripsi ini dan kemudian dituliskan secara deskriptif-analitis. Khusus untuk pemahaman tentang jen, penulis mendasarkan diri pada Analect yang dikompilasi oleh Arthur Walley. 5 I.5. Judul Skripsi : MENGASIHI DALAM KONSEP “JEN” DARI KONFUSIANISME DAN DALAM PERJANJIAN BARU I.6. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini, penulis akan memaparkan sistematika penulisan; Latar Belakang Permasalahan, Rumusan permasalahan, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, Judul dan Sistematika penulisan BAB II : JEN MENURUT KONFUSIUS Dalam bab ini penulis akan membahas makna jen menurut Konfusius dengan menelusuri ajaran etika dari Konfusius sendiri. BAB III : MENGASIHI DALAM YOHANES 13:34-35 Dalam bab ini, penulis membahas makna mengasihi di dalam Yohanes 13:34-35 dari sudut etika dan mencoba menelusurinya dari etika Yohanes BAB IV : DIALOG ANTARA JEN MENURUT KONFUSIUS DAN MENGASIHI DALAM YOHANES 13:34-35 Setelah memahami dan menganalisa makna jen menurut Konfusius dan mengasihi dalam Yohanes 13:34-35, dalam bab ini secara khusus penulis akan mendialogkan kedua ajaran etika tersebut dengan melihat perbedaan dan kesejajarannya. BAB V : KESIMPULAN Dalam bab ini, penulis akan membuat kesimpulan berdasarkan analisa terhadap dialog antara jen menurut Konfusius dan mengasihi di dalam Yohanes 13:34-35. 6