Eksklusivitas Golongan dan Konflik Sosial Ganda Setya Gunawan

advertisement
Dialektika Edisi 08 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Eksklusivitas Golongan dan Konflik Sosial
Ganda Setya Gunawan
Menurut teori yang dikemukakan oleh Simmel berkenaan dengan konflik sosial yang ada di
masyarakat. Bahwasanya, teori sosial memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak
mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang
mencakup berbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan,
namun dapat dibedakan dalam analisa. Benar apa yang dikatakan Simmel, dalam kehidupan
manusia terutama dalam berkomunitas, manusia tidak akan terlepas dari konflik dan
pertikaian yang ada. Hal ini dikarenakan pada kecenderungan lain dari manusia , selain
bekerja-sama manusia juga mempunyai keinginan untuk lebih baik dari manusia yang lain,
maka timbulah apa yang disebut persaingan dalam kehidupannya.
Pada hakikatnya, manusia diciptakan bukan hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi sebagai
Homo Socious yang lebih utama daripada hanya sekedar berpikir dan bertindak untuk
dirinya sendiri. Manusia cenderung untuk bersosialisasi dengan manusia lain di sekitarnya
dan membentuk komunitas-komunitas. Akan tetapi, terkadang jika hubungan ke-sosial-an
yang ada melanggar batas-batas interaksi sosial dalam berkomunitas, akan timbul sebuah
sikap dalam interaksi komunitas sosial yang ada. Menganggap komunitasnya lebih baik, jika
dibandingkan dengan komunitas atau kelompok yang lain (Primordialisme). Dengan asumsi
seperti itu, maka golongan manusia tertentu akan mengaggap golongannya yang paling
istimewa (Exclussive), sehingga kepentingan dan kebutuhan golongannya harus dinomorsatukan. Hal ini akan menimbulkan kesenjangan sosial, dimana akan tercipta masyarakat
kelas (stratifikasi) yang berakibat pada kecemburuan sosial dan berujung pada konflik antar
kelas.
Kemajemukan yang ada pada bangsa Indonesia, di satu pihak bila disikapi secara arif dan
bijaksana merupakan modal dasar sumber daya manusia. Di lain pihak dapat pula
menimbulkan kerawanan sosial. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini
merupakan suatu tragedi yang timbul karena adanya kemajemukan yang tidak disikapi
secara arif, sehingga menimbulkan jarak sosial yang menjadi potensi konflik serta dapat
mememicu adanya disintegrasi sosial. Kerusuhan-kerusuhan tersebut sebagian besar
korbannya adalah etnis keturunan Cina. Bahkan dalam berbagai kerusuhan yang terjadi di
berbagai tempat, etnis keturunan Cina selalu menjadi sasaran amuk massa, sebagaimana
terjadi di Surakarta pada tanggal 14 – 15 Mei 1998.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 1
Dialektika Edisi 08 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Solo The Spirit of Java itulah branding sebuah nama kota yang sedang bergeliat menata
kembali kehidupan sosial masyarakatnya.. Tentu kita mengetahui, bagaimana kondisi kota
Surakarta di era menjelang transisi rezim tahun 1998. Di mana pada saat itu, terjadi gesekan
fisik antar etnis yang menyebabkan terjadinya konflik sosial yang sangat parah. Terlepas
dari konspirasi politik pada saat itu, kerusuhan yang mendeskreditkan golongan tertentu di
kota tersebut telah membawa luka yang mendalam bagi para korbannya.
Kemudian hal apa yang melatarbelakangi masalah sosial tersebut? Dan sejauh mana
pengaruh eksklusivitas golongan sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya konflik sosial
yang ada di kota Surakarta ? Menurut penelitan yang kami lakukan memang eksklusifitas
golongan merupakan salah satu faktor pemicu konflik sosial di Surakarta. Hal ini dikuatkan
dengan beberapa faktor yang menjadi pemicunya. Pertama, sejarah selisihan antara
masyarakat keturunan “cina” dengan pribumi memang sudah lama terjadi mulai dari tahun
1946-1999 dengan puncakanya kerusuhan mei 1998 berbagai pembakaran, penjarahan dan
pemerkosaan terhadap masyarakat tiong hoa. Kedua, budaya golongan yang terkesan
tertutup, tidak membaur, apriori, sombong, suka mengadu domba, pelit yang dimiliki oleh
orang keturunan cina meruapakan kemumgkinan besar menjadi sebuah ekslusivitas yang
bisa memicu terjadinya konflik lagi.
Ketiga, ekonomi dan kesenjangan sosial, yang disebabkan karena dominasi keturunan cina
dalam menguasai sektor perekonomian, Beralihnya fungsi pasar-pasar tradisional ke pasar
modern seperti swalayan dan Mall mengakibatkan dampak yang signifikan sektor ekonomi
dikuasai oleh cina dan masyarakat pribumi menjadi terpinggirkan. Keempat,politik menjadi
sebuah saksi bisu terhadap apa yang telah menimpa kota surakarta saat dilanda kerusuhan
yang dahsyat. Berbagai peihak-pihak yang berkepentingan saling memperebutkan
kekuasaan dengan cara memanfaatkan situasi agar tecipta sebuah kerusuhan. Kaum
intelktual menjadi aktor dibalik kerusuhan, menprovokasi masyarakat untuk menyerang dan
membakar apa-apa yang menjadi milik warga keturunan cina. Kelima, kenangan buruk masa
lalu yang secara langsung mendeskreditkan golongan Tionghoa di kota Surakarta, secara
tidak langsung hal ini terekam kuat oleh mental dan psikologis dan berdampak pada sifat
apriori yang berlebihan dan trauma warga etnis keturunan terhadap warga bumi putra.
Keenam, ketakutan warga etnis keturunan tersebut juga direspon secara berlebihan dengan
mendirikan kawasan-kawasan perumahan tertentu yang terkesan elit dan meng-kotakkotakkan. Hal itu ditambah dengan design rumah dengan pagar-pagar tinggi yang menjulang
2-4 meter tingginya.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 2
Dialektika Edisi 08 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Surakarta bisa dikatakan sebagai barometer konflik yang sangat rentan dengan isu-isu
perbedaan khususnya yang berkenaan dengan isu-isu kesenjangan sosial dan SARA, oleh
karena itu potensi konflik di sana sangatlah tinggi. Untuk menekan potensi-potensi konflik
yang sudah mengakar kuat dan sewaktu-waktu bisa meledak tersebut dibutuhkan
rekonsiliasi sebagai tawaran harga mati, dan perdamaian akan tercipta jika ada keadilan
tentunya.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 3
Dialektika Edisi 08 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 4
Download