PowerPoint Template

advertisement
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi
Perubahan Iklim di Tingkat Global :
Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil
Climate Summit 2014 merupakan event penting dimana negara-negara PBB akan berkumpul
untuk membahas perihal perubahan iklim, serta memberikan pengumuman mengenai aksi-aksi
iklim yang akan dilakukan serta ambisi yang akan dicapai oleh masing-masing negara.
Type sub heading here
Berikut ini adalah pandangan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, sebagai hal-hal yang harus
dilakukan dengan segera dan terealisasikan secara konkrit dari para pemimpin global:
1. Negara-negara maju wajib menepati komitmen mereka kepada negara berkembang dalam hal
penyediaan pendanaan, transfer teknologi, dan juga peningkatan kapasitas bagi negara
berkembang, sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi Perubahan Iklim.
2. Negara-negara maju harus mengurangi emisi gas rumah kaca domestik secara drastis melalui
peningkatan efisiensi energi, dan pemanfaatan energi terbarukan dengan lebih masif.
3. Transfer teknologi yang diberikan kepada negara-negara berkembang seharusnya bukan
teknologi-teknologi generasi lampau, namun teknologi generasi-generasi baru.
4. Ketersediaan serta akses data dan informasi yang berhubungan dengan perubahan iklim, serta
peningkatan kualitas data-data iklim, bagi negara-negara berkembang.
1
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global
Institute for Essential Services Reform (IESR) versi 16 September 2014
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat
Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil1
Dampak Perubahan Iklim telah terjadi dan dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Panel Ahli perubahan Iklim (IPCC) melaporkan kenaikan temperatur global sebesar 1°C dan
diperkirakan akan naik menjadi 4°C sebelum akhir abad ini, jika tidak ada tindakan-tindakan
global yang drastis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pada tingkat negosiasi
perubahan iklim global, aksi-aksi nyata dan ambisius yang dilakukan negara-negara UNFCCC
untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata bumi agar tidak melebihi 2o C belum
signifikan, Negara-negara maju bahkan mengambil langkah mundur dari komitmen mereka
sebelumnya untuk mengurangi tingkat laju emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menarik diri
dari Protokol Kyoto.
Setelah kesepakatan iklim global terancam di COP-15 Copenhagen, harapan terhadap rejim
perubahan iklim global mendapatkan momentumnya kembali di COP 17 Durban di tahun
2011. Disepakati di sana bahwa pada tahun 2015 akan ada kesepakatan global baru yang
akan mulai diimplementasikan di tahun 2020. Kesepakatan COP 18 Warsawa tahun 2013
menyatakan bahwa masing-masing negara harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi
sebagai interpretasi dari prinsip "Applicable to all Parties".
Untuk meningkatkan dukungan politik dari berbagai negara terhadap kesepakatan global
perubahan iklim, Sekretaris Jenderal PBB mengundang pemimpin tertinggi dari negaranegara anggota PBB untuk membahas sejumlah isu perubahan iklim di Climate Summit 2014
pada tanggal 23 September 2014 mendatang. Walaupun pembahasan ini bukan merupakan
bagian dari negosiasi perubahan iklim di bawah UNFCCC, namun harapan terbesar adalah
forum ini dapat menjadi katalis untuk pencapaian tujuan tertinggi dari Konvensi Perubahan
Iklim. Untuk pencapaiannya, upaya-upaya domestik perlu ditingkatkan dan secara
berkesinambungan perlu dikaitkan dengan kerangka internasional melalui penyediaan
insentif. Kombinasi ini diharapkan akan mempercepat pencapaian tujuan tertinggi Konvensi
Perubahan Iklim.
Beberapa kelompok masyarakat sipil Indonesia memandang penting untuk memberikan
gambaran mengenai hal-hal penting yang terjadi di Indonesia terkait dengan isu perubahan
iklim, dan selayaknya dibawa ke Climate Summit 2014 mendatang.
1. ENERGI. Indonesia merupakan salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di
dunia, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, namun pada saat yang
bersamaan Indonesia masih mengalami kemiskinan energi. Sekitar 20% rumah tangga di
Indonesia (12 juta rumah tangga atau sekitar 55 juta orang) belum memperoleh akses
listrik. Adapun konsumsi listrik per kapita Indonesia, sebesar 700 kWh/kapita, merupakan
salah satu yang terendah di kawasan Asia Tenggara, jika dibandingkan dengan negara lain
yang setara. Untuk menunjang pertumbahan ekonomi diatas 7%, maka Indonesia harus
mampu mengamankan pasokan energi yang cukup. Pengembangan energi terbarukan serta
konservasi energi di Indonesia merupakan strategi untuk mengatasi gap demand-supply
energy saat ini, sekaligus antisipasi di masa depan saat sumber-sumber energi konvensional
semakin berkurang sumber daya dan kemampuan pasokannya untuk sistem energi kita.
Pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi memerlukan kerangka regulasi
yang stabil dan kokoh, dan dukungan pendanaan publik, serta insentif untuk investasi
swasta.
2
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global
Institute for Essential Services Reform (IESR) versi 16 September 2014
2. PERKOTAAN. Dampak perubahan iklim bagi wilayah perkotaan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu. Ancaman-ancaman seperti kenaikan temperatur, heat stress, keadaan
cuaca ekstrim, dan lain-lain, semakin meningkatkan kerentanan kota yang memiliki
dinamika populasi yang cukup tinggi. Pada saat yang bersamaan, perkotaan juga memiliki
potensi mitigasi emisi gas rumah kaca yang tinggi, apalagi di negara-negara berkembang
yang memiliki pertumbuhan pesat serta negara-negara industri. Sebuah studi 2 menyatakan
bahwa tanpa adanya aksi mitigasi, maka climate departure kota Jakarta akan berlangsung
pada tahun 2029, dan Manokwari di tahun 2020. Namun, apabila terdapat aksi mitigasi yang
dilakukan secara global, maka climate departure Jakarta akan mundur di tahun 2042,
sedangkan Manokwari di tahun 2025. Itu sebabnya, penting untuk aksi mitigasi dilakukan
secara global. Bukan hanya itu, namun perubahan iklim dalam konteks perkotaan dapat
memberikan kesempatan untuk kelangsungan transformasi ekonomi.
3. ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM. Adaptasi perubahan iklim seringkali menjadi isu yang
termarjinalkan di dunia negosiasi perubahan iklim. Padahal, Stern Review di tahun 2006
dengan jelas menyatakan bahwa adanya penundaan langkah adaptasi dapat mengakibatkan
pembengkakan biaya penanggulangan dampak perubahan iklim hingga 5-20% dari GDP
global, sedangkan laporan ADB di tahun 2013 telah memperkirakan akan adanya penurunan
GDP sebesar 6,7% di tahun 2100. Bappenas mencatat bahwa kerugian banjir di Jakarta pada
tahun 2002 mencapai 1,5 triliun rupiah, sedangkan banjir di tahun 2007 mencapai 2 triliun
rupiah. Di kurun waktu 1981-1990 produksi padi telah hilang sebesar 100.000
ton/tahun/kabupaten, dan di tahun 2050 telah diperkirakan akan terjadi defisit gabah kering
sebesar 60 juta ton. Permasalahan adaptasi juga bukan hanya terletak pada dampak yang
akan terjadi, namun juga dalam perencanaan pembangunan. Data-data yang diperlukan
untuk membuat vulnerability assessment yang akurat masih belum memungkinkan, lantaran
data-data yang diperlukan sulit untuk diakses dan juga rentang waktu pengambilan data
yang lebihpanjang, ketimbang yang seharusnya (tiap 1 tahunsekali).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka beberapa hal berikut ini harus dilakukan
dengan segera dan mendapatkan bukti konkrit dari para pemimpin global:
1. Negara maju wajib menepati komitmen mereka kepada negara berkembang
dalam hal penyediaan pendanaan, transfer teknologi, dan juga peningkatan
kapasitas bagi negara berkembang, sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi
Perubahan Iklim. Kesepakatan pendanaan yang dihasilkan di Copenhagen sebesar
US$ 100 milyar seharusnya bukan hanya sebuah pernyataan politik, namun merupakan
sebuah komitmen yang terealisasi dengan memadai dan tepat waktu, transparan dan
melebihi komitmen ODA yang seharusnya (sebesar 0,7% dari GNP), sebagaimana telah
disepakati di KTT Bumi. Tolak ukur atas konsistensi pelaksanaan komitmen ini dapat diukur
pada operasionalisasi Green Climate Fund (GCF) dan mekanisme pendanaan lain di bawah
UNFCCC serta arus bantuan bilateral dari negara maju ke negara berkembang paska UN
Summit.
2. Negara-negara maju harus mengurangi emisi gas rumah kaca domestik secara
drastis melalui peningkatan aksi efisiensi energi, dan pemanfaatan energi
terbarukan dengan lebih masif. Sebagai negara-negara yang telah memiliki kemampuan
untuk melakukan hal tersebut, baik secara pendanaan, kapasitas, dan teknologi, negaranegara maju harus memimpin dalam aksi pengurangan emisi gas rumah kaca. Pengurangan
ini harus dilakukan sebelum 2020 dan setelah 2020. Penggunaan bahan bakar fosil dalam
sistem energi di negara-negara maju sudah seharusnya dibatasi dan dihindari. Pengurangan
3
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global
Institute for Essential Services Reform (IESR) versi 16 September 2014
emisi secara drastis akan memberikan waktu yang cukup bagi negara-negara berkembang
untuk melakukan transformasi sistem energi menuju low carbon energy system dengan
batasan carbon budget yang ada hingga tahun 2050.
3. Transfer teknologi yang diberikan kepada negara-negara berkembang
seharusnya bukan teknologi-teknologi generasi lampau, namun teknologi generasigenerasi baru yang memungkinkan negara-negara berkembang untuk berkontribusi dalam
upaya-upaya mengatasi perubahan iklim, baik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan
peningkatan ketahanan (resilience) untuk mengantisipasi terjadinya dampak perubahan
iklim.
4. Ketersediaan serta akses data dan informasi yang berhubungan dengan iklim.
Hal ini tidak terbatas hanya pada akses data dan informasi, namun juga pada peningkatan
kualitas data iklim yang memiliki peran penting bagi negara-negara berkembang, dalam
penyusunan strategi adaptasi secara berkala. Kemampuan pengolahan data juga perlu
ditingkatkan di negara-negara berkembang, dimana diperlukan komitmen dari negaranegara maju, baik untuk pengadaan dampingan teknis (technical assistance) maupun
peningkatan kapasitas serta teknologi yang diperlukan untuk mendapatkan data-data yang
akurat.
Catatan kaki:
1. Organisasi masyarakat sipil yang memberikan masukan untuk perumusan naskah ini
adalah : Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia Climate Change
Center, Mercy Corps Indonesia, KEHATI, Dompet Dhuafa, World Vision Indonesia, WWF
Indonesia
2. Hasil temuan studi ini dipublikasikan di The Washington Post tanggal 9 Oktober 2013
4
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global
Institute for Essential Services Reform (IESR) versi 16 September 2014
Naskah ini diproduksi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui
dialog publik yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 2014 bertempat di
Hotel Grand Cemara. Dialog publik tersebut dihadiri oleh organisasi-organisasi
sebagai berikut : Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia
Climate Change Center, Mercy Corps Indonesia, Yayasan KEHATI, Dompet
Dhuafa, World Vision Indonesia, WWF Indonesia
Naskah ini dikompilasi oleh Institute of Essential Services Reform (IESR) sebagai
masukan dari kelompok masyarakat sipil untuk Climate Summit 2014.
INSTITUTE FOR ESSENTIAL SERVICES REFORM
IESR
Jl. Mampang Prapatan VIII No. R-13
Jakarta 12790
Tel./Fax. : +62-(0)21-7992945 / +62-(0)21-7996160
E-mail : [email protected]
website : www.iesr.or.id (Indonesia)
www.iesr.or.id/english/ (English)
Facebook/Twitter : IESR Indonesia/@IESR
Produksi IESR, 2014
5
Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global
Institute for Essential Services Reform (IESR) versi 16 September 2014
Download