pengaruh modal sosial terhadap kinerja lembaga

advertisement
PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KINERJA LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO SYARI’AH (LKMS) DAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT PADA LKMS DI PONDOK PESANTREN AL ISLAH,
KEBUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
Ahmad Subaki, Imam Baehaqie & Faizal Ridwan Zamzany
[email protected]
UHAMKA
Abstrak
In connection with the influence of social capital on performance LKMS and
welfare, then this study will examine the relationship between social capital
relationships LKMS-performance on-welfare LKMS boarding school run by AlIslah, Cirebon, West Java, on the grounds (1) Kopontren Al -Islah is one
kopontren in West Java that has a very good development, good for West Java
and national levels, (2). BMT-Swamitra as one business unit Kopontren Al-Islah
has a very rapid development, and (3) Kopontren al-Islam has stood in a
relatively long time.
The results of this research is, the presence of Al-Ishlah BMT had an impact that
is felt by members of the TMB Al_Ishlah influenced by the role of the group, the
role of vertical networks, the role of networks, the role of norms, roles and role
keterpasuan vertical trust. And, to be especially helpful to their lives, as well as
related to organizational performance BMT Al-Ishlah.
PENDAHULUAN
Menurut Cohen & Prusak (2001) modal sosial adalah kumpulan
hubungan aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian, kesamaan
nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam jaringan kerja yang
memungkinkan adanya kerjasama. Narayan dan Pritchett (1999)
menemukan bahwa modal sosial dalam bentuk kepercayaan atau ikatan
sosial memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan.
Kemampuan ini dimungkinkan karena modal sosial dilahirkan dari bawah,
tidak bersifat hierarkhis dan berdasarkan pada interaksi saling
menguntungkan (Soeharto, 2005). Namun, modal sosial dapat ditingkatkan
atau dihancurkan melalui kebijakan publik (Cox, 1994; Onyx, 1996).
Salah satu kebijakan publik yang ditujukan untuk meningkatkan
aksesibilitas modal usaha masyarakat miskin adalah Lembaga Keuangan
Mikro (LKM). Lembaga-lembaga pembiayaan usaha mikro ini sebetulnya
telah tumbuh cukup lama di masyarakat. Namun, kesenjangan antara
permintaan dan penawaran masih cukup besar. Selain itu, fungsi
intermediasi keuangan LKM di tengah masyarakat miskin kerap lebih
dominan ketimbang fungsi intermediasi sosialnya. Padahal, proses
288
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
intermediasi sosial memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber
daya manusia dan kapasitas kelembagaan yang membuat kelompok
masyarakat miskin mempunyai kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam
lembaga intermediasi keuangan formal.
Situasi yang berbeda terjadi pada LKM-LKM yang berbasiskan pondok
pesantren. Sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan khas Indonesia,
pondok pesantren diyakini mempunyai kemampuan untuk meneguhkan
keterkaitan dan integrasi kelompok masyarakat (Choi, 2004). Secara umum,
aktivitas LKM berbasis pondok pesantren dilandasi prinsip-prinsip syari’ah,
sehingga dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS). Prinsip
syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam yang
antara lain mencakup prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun),
kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak
mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan obyek haram (Bank
Indonesia, 2007).
Relatif intensifnya interaksi sosial dalam pengelolaan LKMS ini
diyakini berpengaruh positif pada kinerja LKMS. Dalam hal ini, pengukuran
kinerja tersebut didasarkan atas/persepsi nasabah selaku pemanfaat LKMS
yang didasarkan pada (1) meningkatnya aktivitas ekonomi sebagai akibat
diterapkannya budaya organisasi dalam bentuk pelayanan syariah yang
berupa Siddiq (jujur), tabligh (komunikatif), amanah (dipercaya), dan
fathonah (professional); (2) kesejahteraan masyarakat baik dari sisi ekonomi
maupun sosial; dan (3) meningkatnya aksesibilitas terhadap sumber
pembiayaan.
Berkaitan dengan besarnya pengaruh modal sosial terhadap kinerja
LKMS dan kesejahteraan, maka penelitian ini akan mengkaji keterkaitan
hubungan antara modal sosial-kinerja LKMS-kesejahteraan pada LKMS yang
dikelola oleh pondok pesantren Al-Islah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
dengan alasan (1) Kopontren Al-Islah merupakan salah satu kopontren di
Jawa Barat yang mempunyai perkembangan sangat baik, baik untuk tingkat
Jawa Barat maupun nasional; (2). BMT-Swamitra sebagai salah satu unit
usaha Kopontren Al-Islah mempunyai perkembangan sangat pesat; dan (3)
Kopontren Al-Islam telah berdiri dalam waktu relative lama.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dilakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Lembaga
Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan Kesejahteraan Masyarakat pada LKMS
di Pondok Pesantren Al-Islah, Kebupaten Cirebon, Jawa Barat.”
289
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Urgensi Penelitian
Meskipun penelitian mengenai Lembaga Keuangan Mikro telah
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti (Ito 2003, Jain 1996, Van Bastelaer
2000, dan Ismawan 2000), namun penelitian mengenai kaitan LKMS yang
dikelola pondok pesantren dalam pembentukan modal sosial dan
pengaruhnya terhadap kinerja lembaga keuangan mikro dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum pernah dilakukan.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain adalah
sebagai berikut:
Pertama, modal sosial telah melekat dalam tatanan masyarakat
utamanya masyarakat perdesaan dan lingkungan pondok pesantren. Oleh
karena itu, dalam pengukuran modal sosial dimasukkan aspek budaya lokal
yang antara lain adalah norma, kepercayaan horisontal dan vertikal, jaringan
horinsotal dan vertikal, serta solidaritas horisontal dan vertikal yang mana
penelitian terdahulu hanya didasarkan pada norma, kepercayaan, dan
jaringan.
Kedua, Penelitian ini dilakukan mengingat LKMS merupakan lembaga
keuangan yang diduga karakter usahanya sesuai dengan karakter usaha
mikro masyarakat di lingkungan pondok pesantren dan pedesaan.
Ketiga, pondok pesantren dengan modal sosialnya telah lama
berkembang di Indonesia dan mempunyai peranan yang signifikan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, penelitian ini dilakukan di LKMS Pondok Pesantren Al-Islam,
Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang secara relatif memiliki
karakteristik yang berbeda dengan karakteristik Lembaga Keuangan Mikro di
negara maju maupun berkembang lainnya. Penelitian ini akan memberi
wacana bagi kalangan akademisi dan praktisi dalam mengembangkan
kebijakan modal sosial dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang saat ini
tumbuh dinamis di Indonesia, baik yang dikelola oleh pondok pesantren
maupun non pesantren.
TINJAUAN PUSTAKA
Modal Sosial
Terdapat banyak definisi tentang modal sosial. Menurut Adler & Seok
(2002), modal social adalah sebuah konsep yang rancu dan banyak
definisinya. Ancok (2003) dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar
Fakultas Psikhologi UGM, menawarkan pemahaman tentang modal social
yang sangat banyak dan rancu itu dalam dua katagori.
290
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial
(social network) yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling
memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan
kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau
organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal
komunitas atau organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar
komunitas/organisasi. Jaringan kerjasama sinergistik yang merupakan modal
sosial ini selanjutnya akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
bersama.
Kelompok ini antara lain diwakili Brehm & Rahn (1997 : 999) yang
berpendapat bahwa, modal sosial adalah jaringan kerjasama diantara warga
yang memfasilitasi pencarian solusi permasalahan yang mereka hadapi.
Pennar (1997:154) menyebutkan modal social sebagai jaringan hubungan
social yang mempengaruhi perilaku individual dan pertumbuhan ekonomi.
Woolcock (1998:153) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian
informasi, rasa saling percaya dan norma timbal-balik dan melekat pada
jejaring sosial. Cohen & Prusak (2001:3) berpendapat bahwa modal sosial
adalah kumpulan hubungan aktif antar manusia: rasa percaya, pengertian,
kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam jaringan kerja dan
komunitas yang memungkinkan adanya kerja sama.
Adapun kelompok kedua dalam katagori Ancok (2003) lebih
menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada
individu manusia yang terlibat dalam interaksi social. Beberapa tokohnya
antara lain: Fukuyama (1995:10) yang mendefinisikan modal sosial sebagai
“the ability of people to work together for common purposes in groups and
organizations”. Dengan bahasa lain Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa
modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki
bersama anggota masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di
antara mereka. Sejalan dengan Fukuyama, Bowles & Gintis (2000:2)
mendefinisikan modal social sebagai “generally refers to trust, concern for
one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s community and
topunish those who do not”.
Aspek kognitif dalam penelitian ini adalah modal sosial yang
terbentuk di dalam interaksi antara nasabah dengan LKMS yang berupa
proses mental (internalisasi kesadaran) terhadap norma-norma (norms),
nilai-nilai (values), sikap atau perilaku (atitudes), keyakinan (beliefs), dan
lainnya. Proses internalisasi tersebut akan mempengaruhi kualitas:
kepercayaan, solidaritas, keterpaduan, kerjasama, kedermawanan, dan
lainnya, yang disebut sebagai faktor dinamis. Output akhir dari proses
291
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
internalisasi tersebut adalah gagasan-gagasan atau harapan-harapan yang
mengarah kepada perilaku kolektif guna menghasilkan keuntungan kolektif
pula (mutually beneficial collective action, MBCA). Modal sosial secara kognisi
mewujud dalam bentuk budaya sipil dan memiliki sifat mempengaruhi.
Karena itu, modal sosial pada kategori ini biasa disebut predispose.
Maksudnya, yang mempengaruhi mengapa orang-orang bersedia melakukan
MBCA. Sifat lain dari modal sosial pada kategori ini adalah intrinsik (tidak
dapat diamati)
1.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro
adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit
pembayaran berbagai transaksi jasa serta money transfers yang
ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Sementara
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro
umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Sedangkan
bentuk lembaga keuangan mikro dapat berupa: (1) lembaga formal
misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya
organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal lainnya.
Menurut Bank Indonesia, LKM di Indonesia dibagi menjadi dua
kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank (Wijono,
2005) . LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD
(Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga
Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Baitul Maal wat Tamwil (BMT),
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan
Grameen, pola pembiayaan ASA, Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR
dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman
menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro
kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.
2.
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS)
Lembaga Keuangan Mikro Syariah atau biasa disingkat LKMS adalah
lembaga lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit, dan
jasa pembayaran berbagai transaksi jasa yang ditujukan bagi
masyarakat miskin dan pengusaha kecil yang dalam pengelolaannya
mengunakan prinsip-pronsip syari’ah.
Perkembangan LKMS di Indonesia tergolong masih muda. Bank yang
berazas syariah secara resmi baru berdiri 1992. Sejak keluarnya UU
No.10/1998 perkembangan bank syariah semakin pesat.
292
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
3.
293
Berkembangnya bank syariah ini semakin cepat seiiring dengan ikut
terjunnya bank yang dahulu beroperasi di wilayah perbankan
konvensional kini juga membuka layanan perbankan syariah.
Lembaga keuangan mikro berbentuk bank misalkan bank perkreditan
syariah, sementara lembaga keuangan mikro syariah yang tidak
berbentuk bank misalnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan mikro yang
menghimpun dan menyalurkan dana anggota/masyarakat dengan
menggunakan prinsip-prinsip syariah yang bertujuan mencari
keuntungan tanpa meninggalkan jiwa sosialnya (Sholahudin,2006).
Kinerja
Menurut Cash and Fischer (1987), kinerja diartikan sebagai
performance atau result, yang artinya apa yang telah dihasilkan oleh
karyawan atau lembaga dengan komponen-komponen kinerja yang
terdiri dari ”organizational development, compensation plan,
communication system, management style, organization structure,
policies and procedure”. Sedangkan menurut Robbins (2003:27)
kinerja adalah merupakan human output yang diukur dari
productivity, absence, turnover, citizenship, dan satisfaction.
Penelitian Kotter and Heskett (1992) menghasilkan empat faktor
yang menjadi penentu perilaku kinerja dalam mengelola perusahaan
yaitu: (i) budaya perusahaan; (ii) struktur, sistem, rencana, dan
kebijakan formal; (iii) leadership (kepemimpinan); dan (iv)
lingkungan yang kompetitif dan tertib. Hal ini menguatkan hasil
penelitian Hickman dan Silva (1986) yang menyatakan bahwa:
”apabila suatu strategi ditambah dengan budaya organisasi
(organization culture) akan menghasilkan keistimewaan”. Dengan
demikian,
keberhasilan
atau
kinerja
suatu
organisasi/perusahaan/lembaga dalam mencapai tujuannya, saat ini,
bukan lagi dipengaruhi oleh keberhasilan lembaga/organisasi dalam
mengimplementasikan prinsip-prinsip manajemen tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik yaitu budaya organisasi.
Pendapat ini juga didukung oleh Moelyono (2003) bahwa keunggulan
organisasi ditentukan oleh keunggulan budaya organisasi yang
dimiliki oleh suatu lembaga/organisasi.
Pengukuran kinerja terhadap peningkatan kepercayaan sebagai akibat
penerapan kode etik pelayanan berupa STAF sangat penting dilakukan
karena pada pengelolaan LKMS, kejujuran, komunikasi, kepercayaan,
dan profesionalitas merupakan hal penting untuk keberlanjutan usaha
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
4.
LKMS. Hal ini dikarenakan usaha LKMS merupakan bentuk usaha jasa
penyimpanan uang dan barang serta penyaluran dana nasabah untuk
kegiatan pembiayaan membutuhkan dukungan kepercayaan yang
tinggi dari nasabah. Oleh karena itu, dengan menerapkan kode etik
pelayanan akan dapat meningkatkan kinerja LKMS.
Modal Sosial, Lembaga Keuangan Mikro dan Kesejahteraan
Penelitian mengenai kaitan pengaruh modal sosial terhadap kinerja
lembaga keuangan mikro telah banyak dilakukan. Misalnya Ismawan
(2000) melakukan penelitian mengenai kaitan antara intervensi
ekonomi, modal sosial, lembaga keuangan mikro dan pengurangan
kemiskinan. Hasil penelitiannya menginformasikan bahwa intervensi
pemerintah dalam berbagai program khususnya intervensi pada pasar
keuangan dapat memperkuat modal sosial masyarakat, melalui
fasilitasi terbentuknya kelompok dan meningkatnya interaksi sosial
masyarakat. Hasil penelitian ini juga menginformasikan bahwa
lembaga keuangan mikro terbukti sebagai salah satu pendekatan
untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan karena dapat
memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin yang
selama ini tidak dapat mengakses pasar kredit formal. Meskipun
penelitian ini menghasilkan informasi yang berharga namun
metodologi penelitiannya tidak diinformasikan secara jelas khususnya
metodologi pengukuran modal sosial sehingga tidak mengetahui
validitas dan realibiltas instrument penelitian yang digunakan.
Grootaert (1999) melakukan penelitian mengenai kaitan antara modal
sosial, kesejahteraan keluarga dan kemiskinan di Indonesia. Dengan
menggunakan data dari 3 propinsi di Indonesia yaitu propinsi Jambi,
propinsi Jawa Tengah dan propinsi Nusa Tenggara Timur serta
dengan metode pengukuran modal sosial yang lengkap dan baku
melaporkan bahwa modal sosial dapat memfasilitasi dalam
meningkatkan akses kredit dan pendapatan atau kesejahteraan bagi
penduduk miskin. Grootaert (1999) melaporkan bahwa keterlibatan
dan keaktifan masyarakat di dalam dan di luar organisasi lokal
mampu meningkatkan akses kredit. Menurut Grootaert temuan ini
sejalan dengan temuan Sharma dan Zeller (1997) yang melaporkan
bahwa meningkatnya modal sosial masyarakat di masyarakat
Bangladesh mempunyai pengaruh spillover yang positif terhadap
kinerja kelompok kreditnya. Meskipun penelitian Grootaert di
Indonesia ini tergolong pioner dalam kaitannya dengan modal sosial
namun hasilnya dirasakan kurang memuaskan. Lawang (2004)
294
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
menyangsikan hasilnya khususnya dalam konteks di Nusa Tenggara
Timur mengingat data BPS dan Podes menunjukkan bahwa kondisi
sosial ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Timur termasuk dalam
tiga propinsi termiskin di Indonesia. Menurut Lawang, ini berarti
kemiskinan di NTT tidak berkurang. Lepas dari kesangsian ini, hasil
penelitian Grootaert ini memberikan entry point bagi penelitian yang
mendalam tentang modal sosial di Indonesia. Berbeda dengan
penelitian Grootaert (1999) yang menfokuskan modal sosial pada
tingkat individu dan masyarakat umum, penelitian ini akan melihat
secara spesifik modal sosial komunitas pondok pesantren mengingat
menurut Billah (1985) dan Geertz (1960), komunitas ini memiliki
kekhasan peran, fungsi, dan struktur sosialnya dalam masyarakat
Indonesia.
Penelitian serupa juga banyak dilakukan di luar negeri seperti yang
dilakukan Ito (2003) di beberapa Bank Grameen di Bangladesh. Ito
(2003) menemukan adanya pengaruh positif modal sosial dengan
kinerja Bank Grameen, dimana interaksi sosial yang kuat antara staff
Bank dengan nasabah memungkinkan dapat menurunkan default
pinjaman dari nasabah. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Jain
(1996) yang menemukan bahwa salah satu kunci keberhasilan kinerja
keuangan Bank Grameen adalah budaya manajemen yang salah
satunya adalah intensifnya interaksi sosial antara pengurus dan
nasabah yang memfasilitasi untuk meningkatkan motivasi nasabah
untuk membayar pinjamannya. Van Bastelaer (2000) menelaah
secara lengkap hasil penelitian yang berkaitan antara modal sosial
dengan kinerja program pemberian kredit di negara sedang
berkembang. Dalam kesimpulan telaah penelitiannya Van Basteleer
mengatakan bahwa salah satu penentu utama dari keberhasilan
program pemberian kredit di banyak negara sedang berkembang
adalah hubungan dekat antara peminjam dengan sumber dana (staf)
lembaga keuangan mikro.
Ketika pemberi kredit mempunyai
hubungan yang dekat dengan peminjam, peranan ikatan interpersonal
ini merupakan elemen penting dalam menjamin terbayarnya
pinjaman. Dari hasil telaah penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
faktor social capital (interaksi sosial dalam konteks literatur ini)
berperanan penting dalam keberhasilan program pemberian kredit.
Berangkat dari temuan ini, penelitian ini akan mencoba melihat kaitan
antara modal sosial yang dimiliki masyarakat pondok pesantren
dengan keberhasilan lembaga keuangan mikro.
295
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Adapun pengaruh modal sosial terhadap kinerja ekonomi atau
kesejahteraan masyarakat antara lain dikaji Knack and Keefer (1997)
melalui penelitian lintas negara menemukan bahwa meningkatnya
12 persen trust masyarakat akan mempu meningkatkan pertumbuhan
pendapatan per kapita 1 persen. Sementara itu meningkatnya 7
persen tingkat trust mampu meningkatkan 1 persen share investasi
dari GDP.
Terutama argumen-argumen utama bagaimana modal sosial dapat
mempengaruhi kinerja ekonomi , dengan entry point bahwa modal
sosial dapat mempengaruhi pendapatan melalui pengaruhnya lewat
peningkatan total produktivitas faktor atau akumulasi tenaga kerja
atau akumulasi modal fisik atau akumulasi sumberdaya manusia.
Untuk mempermudah telaah ini akan di klasifikasikan pengaruh
modal sosial pada berbagai faktor. Pertama, modal sosial dapat
meningkatkan jumlah perdagangan yang saling menguntungkan;
kedua, modal sosial dapat menyelesaikan masalah collective action:
ketiga, modal sosial dapat mengurangi biaya transaksi; keempat,
modal sosial dapat meningkatkan aliran informasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Teknik pengolahan data dilakukan dengan bantuan program software
biplot add-ins dari Microsoft Excel yang bertujuan untuk mendeskripsikan
posisi relative objek dengan objek, objek dengan peubah dan peubah dengan
peubah. Teknik pengidentifikasian dalam penelitian ini digunakan analisis
biplot.
Biplot merupakan suatu alat statistika yang menyajikan posisi relatif
obyek pengamatan (n) dengan peubah (p) secara simultan (bersama-sama)
dalam dua dimensi. Dengan menggunakan biplot akan diperoleh visualisasi
dari segugus obyek dan peubah dalam grafik bidang datar secara simultan.
Selain akan menghasilkan gambaran posisi relatif obyek terhadap peubah,
analisis ini juga dapat melihat penciri setiap obyek. Analisis biplot dapat
diterapkan pada data yang memiliki skala pengukuran interval. Namun
bukan berarti tidak dapat diterapkan pada data ordinal karena hasil dari
penerapan untuk data ordinal ternyata telah cukup memuaskan. Hal tersebut
dapat diartikan bahwa analisis biplot ini mampu mewakili keadaan
sebenarnya.
Data yang digunakan dalam analisis ini berupa matriks data X dengan
n pengamatan dan p peubah yang dikoreksi terhadap nilai rataannya,
berpangkat r sebagai berikut :
296
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
X = ULA’ ............................ (1)
Dengan matrik U dan A masing-masing berukuran nxr dan pxr
sehingga UU’ = Ir dan A’A = Ir. Sedangkan L adalah matriks diagonal dengan
unsur diagonal √λ1>√λ2>…>√λr
Dengan √λi adalah akar ciri terbesar ke-i dari matriks X’X atau XX’ dan
r adalah pangkat matrik X. Unsur-unsur diagonal ini disebut nilai singular
matrik X.
Lajur-lajur matriks A disebut vektor singular yang merupakan landasan
otogonal baris-baris matrik X dalam ruang berdimensi p. Lajur-lajur matrik U
disebut vektor singular lajur yang merupakan landasan ortogonal lajur-lajur
matrik X dalam ruang berdimensi n.
Menurut Jollife (1986), misalnya G = ULα dan H= L1-αA’, dengan α
adalah nilai faktorisasi yang besarnya, maka persamaan (1) menjadi
X = GH’ .................. (2)
Atau
xij =gi’hj ....................(3)
dengan gi dan hj masing-masing merupakan baris-baris matriks G dan H. Jika
X berpangkat dua, maka vektor pengaruh baris gi dan vektor pengaruh lajur
hj dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua. Jika X berpangkat lebih
dari dua, biasanya didekati dengan matriks perpangkat dua dan persamaan
dua menjadi :
2xij =
gi*’hj’ ...................... (4)
dengan 2xij merupakan unsur pendekatan matriks X pada dimensi dua,
sedangkan gi*’dan hj’ masing-masing unsurnya terdiri dari komponen
pertama dan kedua G dan H.
Meskipun faktorisasi X = GH’ tidak khas, tetapi pengambilan nilai α = 0
berguna bagi interpretasi biplot. Pengambilan nilai ini menghasilkan G=U dan
H=LA’ sehingga diperoleh :
X’X = (GH’)(GH’)’ = HH’ ..................... (5)
Karena X’X = HH’ = (n-1)S, maka hasil kali hj’hk akan sama dengan (n-1) kali
peragam Sjk dan hk’hk menggambarkan keragaman peubah ke-k, sedangkan
korelasi peubah ke-j dan ke-k sama dengan nilai kosinus sudut antar vektor
hj dan hk.
Hasil penelitian dari analisis biplot berupa suatu grafik. Dari grafik
yang dihasilkan tersebut, peneliti dapat menjelaskan mengenai hubungan
yang terjadi pada suatu peristiwa yang sedang dianalisis, yaitu:
297
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Menjelaskan hubungan antara objek pengamatan dengan objek
pengamatan. Hubungan ini dapat dilihat dari letak objek pengamatan
yang diteliti. Jika ada 2 atau lebih jumlah objek pengamatan
menempati letak yang sama, yaitu terletak diantara 4 kuadran pada
gambar maka objek pengamatan tersebut memiliki hubungan atau
sifat yang sama.
2.
Menjelaskan hubungan antara objek pengamatan dengan peubah.
Hubungan tersebut dapat dilihat dari kedekatan garis vektor yang
membentuk para peubahnya dengan objek pengamatan. Semakin
dekat garis vektor peubah tersebut dengan objek pengamatan, maka
semakin dekat pula hubungan yang terjadi antara objek pengamatan
dengan peubah.
3.
Menjelaskan hubungan antar peubah dengan peubah. Hubungan ini
dapat dilihat dari besarnya sudut yang terbentuk antara garis vektor
peubah yang satu dengan garis vektor peubah lainya dan kemudian
dihitung dari nilai kosinus sudut antara peubah tersebut.
Hubungan antar peubah ini dapat dibedakan menjadi 5, yaitu:
1.
Hubungan atau korelasi yang sangat tinggi, yaitu sudut yang terbentuk
antara 0o sampai dengan 37o (0o < x < 37o) atau dengan kata lain nilai
kosinus sudut antara 1 sampai dengan 0,8. Nilai tersebut artinya
menunjukkan bahwa peubah yang satu memiliki hubungan yang
sangat tinggi dengan peubah yang lainnya.
2.
Hubungan atau korelasi yang tinggi, yaitu sudut yang terbentuk antara
37o sampai dengan 53o (37o < x < 53o) atau dengan kata lain nilai
kosinus sudut antara 0,6 sampai dengan 0,8. Nilai tersebut artinya
menunjukkan bahwa peubah yang satu memiliki hubungan yang tinggi
dengan peubah yang lainnya.
3.
Hubungan atau korelasi sedang, yaitu membentuk sudut sebesar 53o
sampai dengan 66o (53o ≤ x ≤ 66o) atau nilai kosinus dari sudut yang
terbentuk harus kurang dari sama dengan 0,4 dan lebih besar sama
dengan 0,6. Nilai tersebut memiliki arti bahwa peubah yang satu
memiliki hubungan yang sedang dengan peubah yang lain.
4.
Hubungan atau korelasi rendah, yaitu sudut yang terbentuk lebih
besar dari 66o dan kurang dari 78o (66o < x < 78o) atau nilai kosinus
yang terbentuk antara 0,2 sampai dengan 0,4. Nilai tersebut memiliki
artinya peubah yang satu memiliki hubungan yang rendah dengan
peubah yang lain.
5.
Hubungan atau korelasi sangat rendah, yaitu sudut yang terbentuk
lebih besar dari 78o sampai dengan 90o (66o < x < 90o) atau nilai
1.
298
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
kosinus yang terbentuk antara 0 sampai dengan 0,2. Nilai tersebut
memiliki artinya peubah yang satu memiliki hubungan yang sangat
rendah dengan peubah yang lain.
HASIL PENELITIAN
Profil Pondok Pesantren Al Islah
Berawal dari aktivitas Da’wah yang dilakukan oleh Ulama asal Banten
dan Cirebon tepatnya Desa Bobos, dengan membuka kawasan
perkampungan dan PONDOK PESANTREN tahun 1850, oleh Bapak K. Adro’i
bin Kalamuddin, Bapak Iyoh, Bapak Kuwu SAJIM dan H. Idris bin K. Adro’i, dan
dilanjutkan oleh generasi penerusnya yang merupakan ahli waris atau
keturunan dan murid dari tokoh - tokoh pendiri tersebut. Tepat tahun 1970
berdirinya Lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah pertama dikabupaten
Cirebon, menunjukan peran Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam dunia
pendidikan di Kabupaten Cirebon dan empat tahun berselang yaitu tahun
1974. Berdirinya Madrasah Aliyah pertama di kabupaten Cirebon dan
berdirinya YAYASAN ISLAM AL-ISHLAH resmi tercatat pada akta notaris
Iskandar Wiramihardja, SH. No. 45 tahun 1974, dengan nama YAYASAN
ISLAM AL-ISHLAH, sebagai induk kegiatan penyelenggaraan pendidikan di
Kabupaten Cirebon dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Visi
Mencetak generasi muslim paripurna (Khoerulfard) yang sehat fisik, sehat
akal, dan sehat hati menuju terciptanya masyarakat Idaman (Khoerulfard)
Misi
Mengelola lembaga Pendidikan, Sosial, Dakwah dan Ekonomi dari tingkat
paling rendah (mikro) sampai tingkat paling tinggi (makro) sebagai
pengejawantahan konsep Ishlah -Tsamaniyah yaitu Ishlah al-Aqidah, Ishlah
al-Ibadah, Ishlah al-Muamalah, Ishlah Iqtisodiyah, Ishlah al-Ijtimaiyyah,
Ishlah as-Siyasah, Ishlah al-Usroh dan Ishlah at-Tarbiyah.
Kegiatan pemberdayaan ekonomi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan, baik dilingkungan pesantren maupun dilingkungan
masyarakat sekitarnya, dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya
yang ada pada lingkungan sekitar pesantren sehingga memberikan
rangsangan terbentuknya usaha-usaha baru yang menguntungkan. Seperti
pertanian, peternakan, penambangan batu alam, usaha simpan pinjam serta
perdagangan barang dan jasa. Sedangkan usaha - usaha yang telah terbentuk
yang dikelola pesantren dan dapat memberikan keuntungan ekonomi pada
299
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
masyarakat dan pesantren diantaranya; Penambangan batu alam, usaha
simpan pinjam syariah dan konvensional, waserda serta wartel dan fotocopy,
dan menyerap tenaga kerja dari lingkungan masyarakat pesantren
Menghimpun seluruh potensi dan sumber daya (Pooling of Resources)
yang di miliki oleh Koperasi dengan harapan dapat memberikan manfaat
ekonomi dan sosial yang optimal serta benar-benar dapat di rasakan oleh
masyarakat, khususnya anggota koperasi.
Strategi
Menjalin kemitraan dengan instansi atau lembaga melalui suatu sistem
kerjasama yang saling menguntungkan dan sesuai dengan bidang, potensi,
dan sumber daya yang di miliki oleh masing-masing pihak. Penerapan dan
pengembangan konsep optimalisasi sumber daya melalui perekayasaan
(perakitan) berbagai aspek sumber daya pada tingkatan Lokalita (kawasan).
HASIL ANALISA
0.8
Kinerja Pembiayaan
Kinerja Organisasi
0.6
Kelompok
Kinerja dan dampak terhadap
Anggota
Kinerja SDM
Norma
Keterpaduan
0.4
Jaringan Vertikal
Jaringan
0.2
Kepercayaan Vertikal
0
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
-0.2
Solidaritas Vertikal
Solidaritas
-0.4
Kharisma
Kepercayaan
-0.6
-0.8
Gambar 1
Garis Vector Keragaman Data
Melihat hasil analisis biplot di atas, menunjukkan banyaknya
keragaman data yang cukup tinggi bagi variabel peubahnya. Hal ini dapat
diketahui dari panjangnya garis vector yang membentuk variabel peubah.
Peubah-peubah dengan keragaman yang tinggi yaitu : Kelompok, Norma,
Keterpaduan, Kepercayaan Vertikal, Solidaritas Vertikal, Kepercayaan,
Kharisma, dan Solidaritas. Sedangkan peubah dengan keragaman data
rendah adalah Jaringan dan Jaringan vertikal.
300
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
1.
2.
3.
301
Hubungan obyek dengan obyek
Kedekatan atas letak atau posisi dua buah objek atau lebih dapat
diartikan bahwa objek tersebut memiliki kemiripan sifat dari objek
tersebut. Semakin dekat posisi antar objek tersebut maka sifat yang
ditunjukkan oleh nilai peubahnya semakin mirip. Dalam gambar yang
dihasilkan tersebut, keempat objek pengamatan (kinerja) dapat
dibedakan menjadi dua objek yang memiliki kesamaaan sifat antar
objek tersebut, yaitu objek pertama (kinerja dan dampak terhadap
anggota, kinerja organisasi, dan kinerja pembiayaan) karena memiliki
peubah yang sama yaitu kelompok, jaringan vertical, jaringan, norma,
keterpaduan dan kepercayaan vertikal, dan objek kedua (kinerja SDM)
yang tidak ditunjuk oleh peubah manapun.
Hasil analisis Biplot menunjukkan bahwa kinerja dan dampak
terhadap anggota, kinerja organisasi dan kinerja pembiayaan yang
dilakukan BMT Al-Ishlah berada pada kuadran yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Kecamatan Dukupuntang
tentang kinerja pembiayaan yang dilakukan oleh BMT Al-Ishlah
dirasakan sangat membantu bagi kehidupan mereka, demikian juga
halnya terkait dengan kinerja organisasi BMT Al-Ishlah, masyarakat
memiliki respon yang positif. BMT Al-Ishlah juga memberikan dampak
yang positif bagi masyarakat sekitar (kinerja dan dampak terhadap
anggota).
Berbeda halnya dengan ketiga obyek diatas, kinerja SDM BMT AlIshlah masing dirasakan kurang oleh masyarakat peminjam.
Hubungan peubah dengan peubah
Sedangkan hubungan yang terjadi antar variabel peubah dapat dilihat
dari besar kecilnya sudut diantara variabel-variabel peubah tersebut.
Dari hasil analisis yang didapatkan, dapat terlihat hubungan yang
terjadi antar peubah sangatlah bervariasi yaitu ada yang memiliki
hubungan yang tinggi, hubungan yang sedang serta hubungan yang
rendah. Tabel di bawah ini adalah nilai sudut nilai korelasi, dan
hubungan antar peubah yang didapatkan dari hasil analisis Biplot.
Hubungan obyek dengan peubah
Dari gambar yang dihasilkan analisis ini, menunjukkan bahwa
peubah-peubah yaitu : kelompok, jaringan vertikal, jaringan, norma,
keterpaduan dan kepercayaan vertikal berada dekat dengan obyek
kinerja organisasi, kinerja pembiayaan dan kinerja dan dampak
terhadap anggota yang dilakukan BMT Al-Ishlah.
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Tabel 1
Nilai Sudut, Nilai Korelasi dan Hubungan antar Peubah
Nama Peubah
Kelompok dengan Jaringan Vertikal
Kelompok dengan Jaringan
Kelompok dengan Norma
Kelompok dengan Keterpaduan
Kelompok dengan Kepercayaan Vertikal
Kelompok dengan Solidaritas Vertikal
Kelompok dengan Kepercayaan
Kelompok dengan Solidaritas
Kelompok dengan Kharisma
Jaringan Vertikal dengan Jaringan
Jaringan Vertikal dengan Norma
Jaringan Vertikal dengan Keterpaduan
Jaringan Vertikal dengan Kepercayaan Vertikal
Jaringan Vertikal dengan Solidaritas Vertikal
Jaringan Vertikal dengan Kepercayaan
Jaringan Vertikal dengan Solidaritas
Jaringan Vertikal dengan Kharisma
Jaringan dengan Norma
Jaringan dengan Keterpaduan
Jaringan dengan Kepercayaan Vertikal
Jaringan dengan Solidaritas Vertikal
Jaringan dengan Kepercayaan
Jaringan dengan Solidaritas
Jaringan dengan Kharisma
Norma dengan Keterpaduan
Norma dengan Kepercayaan Vertikal
Norma dengan Solidaritas Vertikal
Norma dengan Kepercayaan
Norma dengan Solidaritas
Norma dengan Kharisma
Keterpaduan dengan Kepercayaan Vertikal
Keterpaduan dengan Solidaritas Vertikal
Keterpaduan dengan Kepercayaan
Keterpaduan dengan Solidaritas
Keterpaduan dengan Kharisma
Kepercayaan Vertikal dengan Solidaritas Vertikal
Kepercayaan Vertikal dengan Kepercayaan
Kepercayaan Vertikal dengan Solidaritas
Kepercayaan Vertikal dengan Kharisma
Solidaritas Vertikal dengan Kepercayaan
Solidaritas Vertikal dengan Solidaritas
Solidaritas Vertikal dengan Kharisma
Kepercayaan dengan Solidaritas
Kepercayaan dengan Kharisma
Solidaritas dengan Kharisma
Sudut
(o )
12
23
Nilai
korelasi
0.978148
0.920505
42
50
74
111
127
134
138
11
30
38
62
99
115
122
126
19
27
51
88
104
111
115
8
32
69
85
92
96
24
61
77
84
88
37
53
60
64
16
23
27
7
11
4
0.743145
0.642788
0.275637
-0.35837
-0.60182
-0.69466
-0.74314
0.981627
0.866025
0.788011
0.469472
-0.15643
-0.42262
-0.52992
-0.58779
0.945519
0.891007
0.62932
0.034899
-0.24192
-0.35837
-0.42262
0.990268
0.848048
0.358368
0.087156
-0.0349
-0.10453
0.913545
0.48481
0.224951
0.104528
0.034899
0.798636
0.601815
0.5
0.438371
0.961262
0.920505
0.891007
0.992546
0.981627
0.997564
Hubungan
Sangat kuat
Sangat kuat
Kuat
Kuat
lemah
lemah
Kuat
Kuat
Kuat
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Kuat
Sedang
Sangat Lemah
Sedang
Sedang
Sedang
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Kuat
Sangat Lemah
Lemah
Lemah
Sedang
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Lemah
Sangat Lemah
Sangat Lemah
Sangat Lemah
Sangat Kuat
Sedang
Lemah
Sangat Lemah
Sangat Lemah
Kuat
Kuat
Sedang
Sedang
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Sangat Kuat
Sangat Kuat
302
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Dari kedekatan peubah dengan obyek dapat dikatakan berjalannya
BMT Al-Ishlah baik kinerjanya secara organisasi, kinerja pembiayaan
dan kinerja serta dampak yang dirasakan oleh anggota BMT Al_Ishlah
dipengaruhi oleh peran kelompok, peran jaringan vertikal, peran
jaringan, peran norma, peran keterpasuan dan peran kepercayaan
vertical
Sedangkan peubah yang lain : solidaritas, kepercayaan, kharisma dan
solidaritas vertikal tidak berdekatan dengan obyek yang manapun.
KESIMPULAN
1.
BMT Al-Ishlah baik kinerjanya secara organisasi, kinerja pembiayaan
dan kinerja serta dampak yang dirasakan oleh anggota BMT Al_Ishlah
dipengaruhi oleh peran kelompok, peran jaringan vertikal, peran
jaringan, peran norma, peran keterpasuan dan peran kepercayaan
vertical.
2.
Kinerja dan dampak terhadap anggota, kinerja organisasi dan kinerja
pembiayaan yang dilakukan BMT Al-Ishlah berada pada kuadran yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Kecamatan
Dukupuntang tentang kinerja pembiayaan yang dilakukan oleh BMT
Al-Ishlah dirasakan sangat membantu bagi kehidupan mereka,
demikian juga halnya terkait dengan kinerja organisasi BMT Al-Ishlah,
masyarakat memiliki respon yang positif. BMT Al-Ishlah juga
memberikan dampak yang positif bagi masyarakat sekitar (kinerja
dan dampak terhadap anggota).
DAFTAR PUSTAKA
Adler, P.S. & Seok, W.K. ( 2002). Social Capital: Prospect for A new Concept.
Academy of Management Review Vol. 27. No.1, 17-40.
Ancok, D. (1997) Managing Change Through Leadership Development
Program: Social Psychological Approach. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, vol 12, No.3
Bass, B.M.(1998). Transformational Leadership: Industrial, Military, and
Educational Impact. London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher.
Bourdieu, P. (1980). “Le Capital Social: Notes Provisoires”, Actes de La
Recherche in Sciences Sociales, 31:2-3
303
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Bowles, S. & Gintis, H. Social capital and community governance. Paper for a
symposium submitted to the Economic Journal. http://wwwunix.
oit.umass.edu/bowles.
Burt, R.S. (1997). The contingent value of social capital. Administrative
Science Quarterly. Vol. 42, 339-365.
Chirzin, H. M. (1988) “Agama dan Ilmu dalam Pesantren”, dalam Dawam
Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Cohen, Carl, (1971) Democracy, New York: Free Press
Cohen, D. & Prusak, L. (2001). In Good Company, Boston: Harvard Business
School Press
Coleman, J. C. (1994). Foundations of Social Theory. Harvard University
Press. Cambridge and London.
Cunningham, I. (2002). Developing human and social capital in organizations.
Industrial and Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94.
Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan
Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Durkheim, Emile, (1988/1960), The Division of Labor in Society, Glencoe, IL:
Free Press
Fafchamps, Marcel dan Bart Minten. (1999). Social Capital and the Firm:
Evidence from Agricultural Trade.
Feldman, R.S. (1985). Social Psychology: Theory, Research, and Applications.
New York: McGraw-Hill.
Ferdinand, Augusty. (2000). ‘Structural Equation Modeling Dalam Penelitian
Manajemen’. Badan Penerbit Universitas Diponogoro.
Freud, Sigmund (1921), The Leader and His Crowd: Sigmund Freud’s Group
Psychology and the Analysis od tge Ego”, dalam J.S. McClelland (ed). A
History of Western Political Thought, London: Routledge.
Fukuyama, F. (2000). The Great Depression: Human Nature and the
Reconstitution of Social Order. London: Profile Book.
Fukuyama, F. (2001). Social Capital, Civil Society and Development. Third
World Quarterly, Vol. 22/1, pp.7-20
304
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Geertz, Clifford. (1968). Peddlers and Princes: Social Change and Economic
Modernisation in Two Indonesian Towns. Chicago University Press.
Chicago.
Geertz, Cliffort, (1983) Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
Jakarta: Pustaka Jaya.
Giddens, A. (1998) The Third Way: (terj.) Jakarta: Gramedia.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Goleman, D.(2002). The New Leaders: Transforming the Art of Leadership into
the Science of Results. London: Little-Brown.
Granovetter, M. (1973). The Strenght of the Weak Ties, American Journal of
Sociology, Vol. 78/6, pp. 1360-1380
Grootaert, C dan T van Bastelaer. (2001). Understanding and Measuring
Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the
Social Capital Initiative. Social
Hecter, M., and Kanazawa, S. (1997). Sociological Rational Choice Theory.
Annual Review of Sociology, Vol. 23, pp. 191-214
Hefner, Robert W, eds, (2001) “Introduction: Multiculturalism and Ciizenship
in Malaysia, Singapore, and Indonesia” in Robert W Hefner, The
Polities of Multiculturalism, Honolulu: University of Hawai’s Press
Lin, N. (1999). Social networks and Status Attainment. Annual Review of
Sociology, Vol. 25, pp. 467-487
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU, (1992), Erlangga, Surabaya.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
Jakarta:
Mollering, G. (2001). The Nature of Trust: From Georg Simmel to a Theory of
Expectation, Interpretation, and Suspension, Sociology, Vol. 35/2, pp.
403-420
Mulkan, Abdul Munir, (1992) Runtuhnya Mitos Politik santri, Rinneka
SIPRESS, Yogyakarta.
Nahapiet, J. & Ghosal, S. Social capital, intellectual capital and the
organaizational advantage. Academic of Management Review, Vol. 23
305
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Narayan, D. (1999). Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. World
bank. Washington D.C
Prasojo, Imam B. (2007) Spirit Baru tentang Keshalihan Sosial, Yogyakarta;
Suara Muhammadiyah, Oktober.
Putnam, R.D (1993). The prosperous community: Social capital and public
life. The American Prospect. Vol.4, no. 13.
Putnam, R.D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community. New York: Simon and Schuster.
Rahardjo, Dawam. (1988). “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan”,
dalam Dawam Rahardjo (Ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta:
LP3ES.
Rotberg, Robert I. (eds. 2001) “Social Capital and Political Culture n Africa,
America, Australia, and Europe” in Robert I. Rotberg, Pattern of Social
Capitals
Rothestein, B. (2000). Trust, Social Dilemmas, and Collective Memories,
Journal of Theoretical Politics, Vol. 12/4, pp. 477-501
Scott, J. C. (1972). The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in
Rural Southeast Asia. Journal of Asian Studies, Vol. XXXII/1, pp. 5-37
Scott, J. C. (1976). The Moral Economy of the Peasant. Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press. New Haven.
Senge, P.M. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization. New York: Double Day.
Siraj, A.S. (2002). Visi Pesantren Masa Depan. Makalah. Seminar Nasional
pada “MTQ Nasional V Telkom 2002”. Bandung, 23 April, 2002.
Subejo. (2004). Peranan Social Capital dalam Pembangunan Ekonomi: Suau
Pengantar untuk Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia. Majalah
Agro Ekonomi Vol. 11 No.1 Juni 2004.
Sujuthi. M. (2001). Politik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Jombang: Studi
Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press.
Wahid, Abdurrahman. (1988). “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Dawam
Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
306
PROSIDING dalam rangkaian
SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS”
Yogyakarta, 27 April 2011
Woolcock, M. (1998). Social capital and economic development: Toward a
theoretical synthesis and policy framework. Theory and Society, Vol.
27, 151-208.
World Bank. (1998). ”The Initiative on Defining, monitoring and Measuring
Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”. Social Capital
Initiative Working Paper No. 2.
Zulkifli. (2002). Sufism in Java; The Role of the Pesantren in the Maintenance
of Sufism in Java. Jakarta: INIS.
307
Download