PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KINERJA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARI’AH (LKMS) DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PADA LKMS DI PONDOK PESANTREN AL ISLAH, KEBUPATEN CIREBON, JAWA BARAT Ahmad Subaki, Imam Baehaqie & Faizal Ridwan Zamzany [email protected] UHAMKA Abstrak In connection with the influence of social capital on performance LKMS and welfare, then this study will examine the relationship between social capital relationships LKMS-performance on-welfare LKMS boarding school run by AlIslah, Cirebon, West Java, on the grounds (1) Kopontren Al -Islah is one kopontren in West Java that has a very good development, good for West Java and national levels, (2). BMT-Swamitra as one business unit Kopontren Al-Islah has a very rapid development, and (3) Kopontren al-Islam has stood in a relatively long time. The results of this research is, the presence of Al-Ishlah BMT had an impact that is felt by members of the TMB Al_Ishlah influenced by the role of the group, the role of vertical networks, the role of networks, the role of norms, roles and role keterpasuan vertical trust. And, to be especially helpful to their lives, as well as related to organizational performance BMT Al-Ishlah. PENDAHULUAN Menurut Cohen & Prusak (2001) modal sosial adalah kumpulan hubungan aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam jaringan kerja yang memungkinkan adanya kerjasama. Narayan dan Pritchett (1999) menemukan bahwa modal sosial dalam bentuk kepercayaan atau ikatan sosial memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan. Kemampuan ini dimungkinkan karena modal sosial dilahirkan dari bawah, tidak bersifat hierarkhis dan berdasarkan pada interaksi saling menguntungkan (Soeharto, 2005). Namun, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan melalui kebijakan publik (Cox, 1994; Onyx, 1996). Salah satu kebijakan publik yang ditujukan untuk meningkatkan aksesibilitas modal usaha masyarakat miskin adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lembaga-lembaga pembiayaan usaha mikro ini sebetulnya telah tumbuh cukup lama di masyarakat. Namun, kesenjangan antara permintaan dan penawaran masih cukup besar. Selain itu, fungsi intermediasi keuangan LKM di tengah masyarakat miskin kerap lebih dominan ketimbang fungsi intermediasi sosialnya. Padahal, proses 288 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 intermediasi sosial memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan yang membuat kelompok masyarakat miskin mempunyai kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam lembaga intermediasi keuangan formal. Situasi yang berbeda terjadi pada LKM-LKM yang berbasiskan pondok pesantren. Sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan khas Indonesia, pondok pesantren diyakini mempunyai kemampuan untuk meneguhkan keterkaitan dan integrasi kelompok masyarakat (Choi, 2004). Secara umum, aktivitas LKM berbasis pondok pesantren dilandasi prinsip-prinsip syari’ah, sehingga dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS). Prinsip syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam yang antara lain mencakup prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan obyek haram (Bank Indonesia, 2007). Relatif intensifnya interaksi sosial dalam pengelolaan LKMS ini diyakini berpengaruh positif pada kinerja LKMS. Dalam hal ini, pengukuran kinerja tersebut didasarkan atas/persepsi nasabah selaku pemanfaat LKMS yang didasarkan pada (1) meningkatnya aktivitas ekonomi sebagai akibat diterapkannya budaya organisasi dalam bentuk pelayanan syariah yang berupa Siddiq (jujur), tabligh (komunikatif), amanah (dipercaya), dan fathonah (professional); (2) kesejahteraan masyarakat baik dari sisi ekonomi maupun sosial; dan (3) meningkatnya aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan. Berkaitan dengan besarnya pengaruh modal sosial terhadap kinerja LKMS dan kesejahteraan, maka penelitian ini akan mengkaji keterkaitan hubungan antara modal sosial-kinerja LKMS-kesejahteraan pada LKMS yang dikelola oleh pondok pesantren Al-Islah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dengan alasan (1) Kopontren Al-Islah merupakan salah satu kopontren di Jawa Barat yang mempunyai perkembangan sangat baik, baik untuk tingkat Jawa Barat maupun nasional; (2). BMT-Swamitra sebagai salah satu unit usaha Kopontren Al-Islah mempunyai perkembangan sangat pesat; dan (3) Kopontren Al-Islam telah berdiri dalam waktu relative lama. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan Kesejahteraan Masyarakat pada LKMS di Pondok Pesantren Al-Islah, Kebupaten Cirebon, Jawa Barat.” 289 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Urgensi Penelitian Meskipun penelitian mengenai Lembaga Keuangan Mikro telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti (Ito 2003, Jain 1996, Van Bastelaer 2000, dan Ismawan 2000), namun penelitian mengenai kaitan LKMS yang dikelola pondok pesantren dalam pembentukan modal sosial dan pengaruhnya terhadap kinerja lembaga keuangan mikro dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum pernah dilakukan. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain adalah sebagai berikut: Pertama, modal sosial telah melekat dalam tatanan masyarakat utamanya masyarakat perdesaan dan lingkungan pondok pesantren. Oleh karena itu, dalam pengukuran modal sosial dimasukkan aspek budaya lokal yang antara lain adalah norma, kepercayaan horisontal dan vertikal, jaringan horinsotal dan vertikal, serta solidaritas horisontal dan vertikal yang mana penelitian terdahulu hanya didasarkan pada norma, kepercayaan, dan jaringan. Kedua, Penelitian ini dilakukan mengingat LKMS merupakan lembaga keuangan yang diduga karakter usahanya sesuai dengan karakter usaha mikro masyarakat di lingkungan pondok pesantren dan pedesaan. Ketiga, pondok pesantren dengan modal sosialnya telah lama berkembang di Indonesia dan mempunyai peranan yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, penelitian ini dilakukan di LKMS Pondok Pesantren Al-Islam, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang secara relatif memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik Lembaga Keuangan Mikro di negara maju maupun berkembang lainnya. Penelitian ini akan memberi wacana bagi kalangan akademisi dan praktisi dalam mengembangkan kebijakan modal sosial dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang saat ini tumbuh dinamis di Indonesia, baik yang dikelola oleh pondok pesantren maupun non pesantren. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial Terdapat banyak definisi tentang modal sosial. Menurut Adler & Seok (2002), modal social adalah sebuah konsep yang rancu dan banyak definisinya. Ancok (2003) dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Psikhologi UGM, menawarkan pemahaman tentang modal social yang sangat banyak dan rancu itu dalam dua katagori. 290 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social network) yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas atau organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerjasama sinergistik yang merupakan modal sosial ini selanjutnya akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. Kelompok ini antara lain diwakili Brehm & Rahn (1997 : 999) yang berpendapat bahwa, modal sosial adalah jaringan kerjasama diantara warga yang memfasilitasi pencarian solusi permasalahan yang mereka hadapi. Pennar (1997:154) menyebutkan modal social sebagai jaringan hubungan social yang mempengaruhi perilaku individual dan pertumbuhan ekonomi. Woolcock (1998:153) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian informasi, rasa saling percaya dan norma timbal-balik dan melekat pada jejaring sosial. Cohen & Prusak (2001:3) berpendapat bahwa modal sosial adalah kumpulan hubungan aktif antar manusia: rasa percaya, pengertian, kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerja sama. Adapun kelompok kedua dalam katagori Ancok (2003) lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada individu manusia yang terlibat dalam interaksi social. Beberapa tokohnya antara lain: Fukuyama (1995:10) yang mendefinisikan modal sosial sebagai “the ability of people to work together for common purposes in groups and organizations”. Dengan bahasa lain Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama anggota masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Sejalan dengan Fukuyama, Bowles & Gintis (2000:2) mendefinisikan modal social sebagai “generally refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s community and topunish those who do not”. Aspek kognitif dalam penelitian ini adalah modal sosial yang terbentuk di dalam interaksi antara nasabah dengan LKMS yang berupa proses mental (internalisasi kesadaran) terhadap norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap atau perilaku (atitudes), keyakinan (beliefs), dan lainnya. Proses internalisasi tersebut akan mempengaruhi kualitas: kepercayaan, solidaritas, keterpaduan, kerjasama, kedermawanan, dan lainnya, yang disebut sebagai faktor dinamis. Output akhir dari proses 291 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 internalisasi tersebut adalah gagasan-gagasan atau harapan-harapan yang mengarah kepada perilaku kolektif guna menghasilkan keuntungan kolektif pula (mutually beneficial collective action, MBCA). Modal sosial secara kognisi mewujud dalam bentuk budaya sipil dan memiliki sifat mempengaruhi. Karena itu, modal sosial pada kategori ini biasa disebut predispose. Maksudnya, yang mempengaruhi mengapa orang-orang bersedia melakukan MBCA. Sifat lain dari modal sosial pada kategori ini adalah intrinsik (tidak dapat diamati) 1. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit pembayaran berbagai transaksi jasa serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Sementara Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Sedangkan bentuk lembaga keuangan mikro dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal lainnya. Menurut Bank Indonesia, LKM di Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank (Wijono, 2005) . LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya. 2. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) Lembaga Keuangan Mikro Syariah atau biasa disingkat LKMS adalah lembaga lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit, dan jasa pembayaran berbagai transaksi jasa yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil yang dalam pengelolaannya mengunakan prinsip-pronsip syari’ah. Perkembangan LKMS di Indonesia tergolong masih muda. Bank yang berazas syariah secara resmi baru berdiri 1992. Sejak keluarnya UU No.10/1998 perkembangan bank syariah semakin pesat. 292 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 3. 293 Berkembangnya bank syariah ini semakin cepat seiiring dengan ikut terjunnya bank yang dahulu beroperasi di wilayah perbankan konvensional kini juga membuka layanan perbankan syariah. Lembaga keuangan mikro berbentuk bank misalkan bank perkreditan syariah, sementara lembaga keuangan mikro syariah yang tidak berbentuk bank misalnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Baitul Maal wat Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan mikro yang menghimpun dan menyalurkan dana anggota/masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah yang bertujuan mencari keuntungan tanpa meninggalkan jiwa sosialnya (Sholahudin,2006). Kinerja Menurut Cash and Fischer (1987), kinerja diartikan sebagai performance atau result, yang artinya apa yang telah dihasilkan oleh karyawan atau lembaga dengan komponen-komponen kinerja yang terdiri dari ”organizational development, compensation plan, communication system, management style, organization structure, policies and procedure”. Sedangkan menurut Robbins (2003:27) kinerja adalah merupakan human output yang diukur dari productivity, absence, turnover, citizenship, dan satisfaction. Penelitian Kotter and Heskett (1992) menghasilkan empat faktor yang menjadi penentu perilaku kinerja dalam mengelola perusahaan yaitu: (i) budaya perusahaan; (ii) struktur, sistem, rencana, dan kebijakan formal; (iii) leadership (kepemimpinan); dan (iv) lingkungan yang kompetitif dan tertib. Hal ini menguatkan hasil penelitian Hickman dan Silva (1986) yang menyatakan bahwa: ”apabila suatu strategi ditambah dengan budaya organisasi (organization culture) akan menghasilkan keistimewaan”. Dengan demikian, keberhasilan atau kinerja suatu organisasi/perusahaan/lembaga dalam mencapai tujuannya, saat ini, bukan lagi dipengaruhi oleh keberhasilan lembaga/organisasi dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip manajemen tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik yaitu budaya organisasi. Pendapat ini juga didukung oleh Moelyono (2003) bahwa keunggulan organisasi ditentukan oleh keunggulan budaya organisasi yang dimiliki oleh suatu lembaga/organisasi. Pengukuran kinerja terhadap peningkatan kepercayaan sebagai akibat penerapan kode etik pelayanan berupa STAF sangat penting dilakukan karena pada pengelolaan LKMS, kejujuran, komunikasi, kepercayaan, dan profesionalitas merupakan hal penting untuk keberlanjutan usaha PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 4. LKMS. Hal ini dikarenakan usaha LKMS merupakan bentuk usaha jasa penyimpanan uang dan barang serta penyaluran dana nasabah untuk kegiatan pembiayaan membutuhkan dukungan kepercayaan yang tinggi dari nasabah. Oleh karena itu, dengan menerapkan kode etik pelayanan akan dapat meningkatkan kinerja LKMS. Modal Sosial, Lembaga Keuangan Mikro dan Kesejahteraan Penelitian mengenai kaitan pengaruh modal sosial terhadap kinerja lembaga keuangan mikro telah banyak dilakukan. Misalnya Ismawan (2000) melakukan penelitian mengenai kaitan antara intervensi ekonomi, modal sosial, lembaga keuangan mikro dan pengurangan kemiskinan. Hasil penelitiannya menginformasikan bahwa intervensi pemerintah dalam berbagai program khususnya intervensi pada pasar keuangan dapat memperkuat modal sosial masyarakat, melalui fasilitasi terbentuknya kelompok dan meningkatnya interaksi sosial masyarakat. Hasil penelitian ini juga menginformasikan bahwa lembaga keuangan mikro terbukti sebagai salah satu pendekatan untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan karena dapat memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin yang selama ini tidak dapat mengakses pasar kredit formal. Meskipun penelitian ini menghasilkan informasi yang berharga namun metodologi penelitiannya tidak diinformasikan secara jelas khususnya metodologi pengukuran modal sosial sehingga tidak mengetahui validitas dan realibiltas instrument penelitian yang digunakan. Grootaert (1999) melakukan penelitian mengenai kaitan antara modal sosial, kesejahteraan keluarga dan kemiskinan di Indonesia. Dengan menggunakan data dari 3 propinsi di Indonesia yaitu propinsi Jambi, propinsi Jawa Tengah dan propinsi Nusa Tenggara Timur serta dengan metode pengukuran modal sosial yang lengkap dan baku melaporkan bahwa modal sosial dapat memfasilitasi dalam meningkatkan akses kredit dan pendapatan atau kesejahteraan bagi penduduk miskin. Grootaert (1999) melaporkan bahwa keterlibatan dan keaktifan masyarakat di dalam dan di luar organisasi lokal mampu meningkatkan akses kredit. Menurut Grootaert temuan ini sejalan dengan temuan Sharma dan Zeller (1997) yang melaporkan bahwa meningkatnya modal sosial masyarakat di masyarakat Bangladesh mempunyai pengaruh spillover yang positif terhadap kinerja kelompok kreditnya. Meskipun penelitian Grootaert di Indonesia ini tergolong pioner dalam kaitannya dengan modal sosial namun hasilnya dirasakan kurang memuaskan. Lawang (2004) 294 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 menyangsikan hasilnya khususnya dalam konteks di Nusa Tenggara Timur mengingat data BPS dan Podes menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat Nusa Tenggara Timur termasuk dalam tiga propinsi termiskin di Indonesia. Menurut Lawang, ini berarti kemiskinan di NTT tidak berkurang. Lepas dari kesangsian ini, hasil penelitian Grootaert ini memberikan entry point bagi penelitian yang mendalam tentang modal sosial di Indonesia. Berbeda dengan penelitian Grootaert (1999) yang menfokuskan modal sosial pada tingkat individu dan masyarakat umum, penelitian ini akan melihat secara spesifik modal sosial komunitas pondok pesantren mengingat menurut Billah (1985) dan Geertz (1960), komunitas ini memiliki kekhasan peran, fungsi, dan struktur sosialnya dalam masyarakat Indonesia. Penelitian serupa juga banyak dilakukan di luar negeri seperti yang dilakukan Ito (2003) di beberapa Bank Grameen di Bangladesh. Ito (2003) menemukan adanya pengaruh positif modal sosial dengan kinerja Bank Grameen, dimana interaksi sosial yang kuat antara staff Bank dengan nasabah memungkinkan dapat menurunkan default pinjaman dari nasabah. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Jain (1996) yang menemukan bahwa salah satu kunci keberhasilan kinerja keuangan Bank Grameen adalah budaya manajemen yang salah satunya adalah intensifnya interaksi sosial antara pengurus dan nasabah yang memfasilitasi untuk meningkatkan motivasi nasabah untuk membayar pinjamannya. Van Bastelaer (2000) menelaah secara lengkap hasil penelitian yang berkaitan antara modal sosial dengan kinerja program pemberian kredit di negara sedang berkembang. Dalam kesimpulan telaah penelitiannya Van Basteleer mengatakan bahwa salah satu penentu utama dari keberhasilan program pemberian kredit di banyak negara sedang berkembang adalah hubungan dekat antara peminjam dengan sumber dana (staf) lembaga keuangan mikro. Ketika pemberi kredit mempunyai hubungan yang dekat dengan peminjam, peranan ikatan interpersonal ini merupakan elemen penting dalam menjamin terbayarnya pinjaman. Dari hasil telaah penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor social capital (interaksi sosial dalam konteks literatur ini) berperanan penting dalam keberhasilan program pemberian kredit. Berangkat dari temuan ini, penelitian ini akan mencoba melihat kaitan antara modal sosial yang dimiliki masyarakat pondok pesantren dengan keberhasilan lembaga keuangan mikro. 295 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Adapun pengaruh modal sosial terhadap kinerja ekonomi atau kesejahteraan masyarakat antara lain dikaji Knack and Keefer (1997) melalui penelitian lintas negara menemukan bahwa meningkatnya 12 persen trust masyarakat akan mempu meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita 1 persen. Sementara itu meningkatnya 7 persen tingkat trust mampu meningkatkan 1 persen share investasi dari GDP. Terutama argumen-argumen utama bagaimana modal sosial dapat mempengaruhi kinerja ekonomi , dengan entry point bahwa modal sosial dapat mempengaruhi pendapatan melalui pengaruhnya lewat peningkatan total produktivitas faktor atau akumulasi tenaga kerja atau akumulasi modal fisik atau akumulasi sumberdaya manusia. Untuk mempermudah telaah ini akan di klasifikasikan pengaruh modal sosial pada berbagai faktor. Pertama, modal sosial dapat meningkatkan jumlah perdagangan yang saling menguntungkan; kedua, modal sosial dapat menyelesaikan masalah collective action: ketiga, modal sosial dapat mengurangi biaya transaksi; keempat, modal sosial dapat meningkatkan aliran informasi. METODOLOGI PENELITIAN Teknik pengolahan data dilakukan dengan bantuan program software biplot add-ins dari Microsoft Excel yang bertujuan untuk mendeskripsikan posisi relative objek dengan objek, objek dengan peubah dan peubah dengan peubah. Teknik pengidentifikasian dalam penelitian ini digunakan analisis biplot. Biplot merupakan suatu alat statistika yang menyajikan posisi relatif obyek pengamatan (n) dengan peubah (p) secara simultan (bersama-sama) dalam dua dimensi. Dengan menggunakan biplot akan diperoleh visualisasi dari segugus obyek dan peubah dalam grafik bidang datar secara simultan. Selain akan menghasilkan gambaran posisi relatif obyek terhadap peubah, analisis ini juga dapat melihat penciri setiap obyek. Analisis biplot dapat diterapkan pada data yang memiliki skala pengukuran interval. Namun bukan berarti tidak dapat diterapkan pada data ordinal karena hasil dari penerapan untuk data ordinal ternyata telah cukup memuaskan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa analisis biplot ini mampu mewakili keadaan sebenarnya. Data yang digunakan dalam analisis ini berupa matriks data X dengan n pengamatan dan p peubah yang dikoreksi terhadap nilai rataannya, berpangkat r sebagai berikut : 296 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 X = ULA’ ............................ (1) Dengan matrik U dan A masing-masing berukuran nxr dan pxr sehingga UU’ = Ir dan A’A = Ir. Sedangkan L adalah matriks diagonal dengan unsur diagonal √λ1>√λ2>…>√λr Dengan √λi adalah akar ciri terbesar ke-i dari matriks X’X atau XX’ dan r adalah pangkat matrik X. Unsur-unsur diagonal ini disebut nilai singular matrik X. Lajur-lajur matriks A disebut vektor singular yang merupakan landasan otogonal baris-baris matrik X dalam ruang berdimensi p. Lajur-lajur matrik U disebut vektor singular lajur yang merupakan landasan ortogonal lajur-lajur matrik X dalam ruang berdimensi n. Menurut Jollife (1986), misalnya G = ULα dan H= L1-αA’, dengan α adalah nilai faktorisasi yang besarnya, maka persamaan (1) menjadi X = GH’ .................. (2) Atau xij =gi’hj ....................(3) dengan gi dan hj masing-masing merupakan baris-baris matriks G dan H. Jika X berpangkat dua, maka vektor pengaruh baris gi dan vektor pengaruh lajur hj dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua. Jika X berpangkat lebih dari dua, biasanya didekati dengan matriks perpangkat dua dan persamaan dua menjadi : 2xij = gi*’hj’ ...................... (4) dengan 2xij merupakan unsur pendekatan matriks X pada dimensi dua, sedangkan gi*’dan hj’ masing-masing unsurnya terdiri dari komponen pertama dan kedua G dan H. Meskipun faktorisasi X = GH’ tidak khas, tetapi pengambilan nilai α = 0 berguna bagi interpretasi biplot. Pengambilan nilai ini menghasilkan G=U dan H=LA’ sehingga diperoleh : X’X = (GH’)(GH’)’ = HH’ ..................... (5) Karena X’X = HH’ = (n-1)S, maka hasil kali hj’hk akan sama dengan (n-1) kali peragam Sjk dan hk’hk menggambarkan keragaman peubah ke-k, sedangkan korelasi peubah ke-j dan ke-k sama dengan nilai kosinus sudut antar vektor hj dan hk. Hasil penelitian dari analisis biplot berupa suatu grafik. Dari grafik yang dihasilkan tersebut, peneliti dapat menjelaskan mengenai hubungan yang terjadi pada suatu peristiwa yang sedang dianalisis, yaitu: 297 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Menjelaskan hubungan antara objek pengamatan dengan objek pengamatan. Hubungan ini dapat dilihat dari letak objek pengamatan yang diteliti. Jika ada 2 atau lebih jumlah objek pengamatan menempati letak yang sama, yaitu terletak diantara 4 kuadran pada gambar maka objek pengamatan tersebut memiliki hubungan atau sifat yang sama. 2. Menjelaskan hubungan antara objek pengamatan dengan peubah. Hubungan tersebut dapat dilihat dari kedekatan garis vektor yang membentuk para peubahnya dengan objek pengamatan. Semakin dekat garis vektor peubah tersebut dengan objek pengamatan, maka semakin dekat pula hubungan yang terjadi antara objek pengamatan dengan peubah. 3. Menjelaskan hubungan antar peubah dengan peubah. Hubungan ini dapat dilihat dari besarnya sudut yang terbentuk antara garis vektor peubah yang satu dengan garis vektor peubah lainya dan kemudian dihitung dari nilai kosinus sudut antara peubah tersebut. Hubungan antar peubah ini dapat dibedakan menjadi 5, yaitu: 1. Hubungan atau korelasi yang sangat tinggi, yaitu sudut yang terbentuk antara 0o sampai dengan 37o (0o < x < 37o) atau dengan kata lain nilai kosinus sudut antara 1 sampai dengan 0,8. Nilai tersebut artinya menunjukkan bahwa peubah yang satu memiliki hubungan yang sangat tinggi dengan peubah yang lainnya. 2. Hubungan atau korelasi yang tinggi, yaitu sudut yang terbentuk antara 37o sampai dengan 53o (37o < x < 53o) atau dengan kata lain nilai kosinus sudut antara 0,6 sampai dengan 0,8. Nilai tersebut artinya menunjukkan bahwa peubah yang satu memiliki hubungan yang tinggi dengan peubah yang lainnya. 3. Hubungan atau korelasi sedang, yaitu membentuk sudut sebesar 53o sampai dengan 66o (53o ≤ x ≤ 66o) atau nilai kosinus dari sudut yang terbentuk harus kurang dari sama dengan 0,4 dan lebih besar sama dengan 0,6. Nilai tersebut memiliki arti bahwa peubah yang satu memiliki hubungan yang sedang dengan peubah yang lain. 4. Hubungan atau korelasi rendah, yaitu sudut yang terbentuk lebih besar dari 66o dan kurang dari 78o (66o < x < 78o) atau nilai kosinus yang terbentuk antara 0,2 sampai dengan 0,4. Nilai tersebut memiliki artinya peubah yang satu memiliki hubungan yang rendah dengan peubah yang lain. 5. Hubungan atau korelasi sangat rendah, yaitu sudut yang terbentuk lebih besar dari 78o sampai dengan 90o (66o < x < 90o) atau nilai 1. 298 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 kosinus yang terbentuk antara 0 sampai dengan 0,2. Nilai tersebut memiliki artinya peubah yang satu memiliki hubungan yang sangat rendah dengan peubah yang lain. HASIL PENELITIAN Profil Pondok Pesantren Al Islah Berawal dari aktivitas Da’wah yang dilakukan oleh Ulama asal Banten dan Cirebon tepatnya Desa Bobos, dengan membuka kawasan perkampungan dan PONDOK PESANTREN tahun 1850, oleh Bapak K. Adro’i bin Kalamuddin, Bapak Iyoh, Bapak Kuwu SAJIM dan H. Idris bin K. Adro’i, dan dilanjutkan oleh generasi penerusnya yang merupakan ahli waris atau keturunan dan murid dari tokoh - tokoh pendiri tersebut. Tepat tahun 1970 berdirinya Lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah pertama dikabupaten Cirebon, menunjukan peran Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam dunia pendidikan di Kabupaten Cirebon dan empat tahun berselang yaitu tahun 1974. Berdirinya Madrasah Aliyah pertama di kabupaten Cirebon dan berdirinya YAYASAN ISLAM AL-ISHLAH resmi tercatat pada akta notaris Iskandar Wiramihardja, SH. No. 45 tahun 1974, dengan nama YAYASAN ISLAM AL-ISHLAH, sebagai induk kegiatan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Cirebon dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Visi Mencetak generasi muslim paripurna (Khoerulfard) yang sehat fisik, sehat akal, dan sehat hati menuju terciptanya masyarakat Idaman (Khoerulfard) Misi Mengelola lembaga Pendidikan, Sosial, Dakwah dan Ekonomi dari tingkat paling rendah (mikro) sampai tingkat paling tinggi (makro) sebagai pengejawantahan konsep Ishlah -Tsamaniyah yaitu Ishlah al-Aqidah, Ishlah al-Ibadah, Ishlah al-Muamalah, Ishlah Iqtisodiyah, Ishlah al-Ijtimaiyyah, Ishlah as-Siyasah, Ishlah al-Usroh dan Ishlah at-Tarbiyah. Kegiatan pemberdayaan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, baik dilingkungan pesantren maupun dilingkungan masyarakat sekitarnya, dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada pada lingkungan sekitar pesantren sehingga memberikan rangsangan terbentuknya usaha-usaha baru yang menguntungkan. Seperti pertanian, peternakan, penambangan batu alam, usaha simpan pinjam serta perdagangan barang dan jasa. Sedangkan usaha - usaha yang telah terbentuk yang dikelola pesantren dan dapat memberikan keuntungan ekonomi pada 299 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 masyarakat dan pesantren diantaranya; Penambangan batu alam, usaha simpan pinjam syariah dan konvensional, waserda serta wartel dan fotocopy, dan menyerap tenaga kerja dari lingkungan masyarakat pesantren Menghimpun seluruh potensi dan sumber daya (Pooling of Resources) yang di miliki oleh Koperasi dengan harapan dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang optimal serta benar-benar dapat di rasakan oleh masyarakat, khususnya anggota koperasi. Strategi Menjalin kemitraan dengan instansi atau lembaga melalui suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan dan sesuai dengan bidang, potensi, dan sumber daya yang di miliki oleh masing-masing pihak. Penerapan dan pengembangan konsep optimalisasi sumber daya melalui perekayasaan (perakitan) berbagai aspek sumber daya pada tingkatan Lokalita (kawasan). HASIL ANALISA 0.8 Kinerja Pembiayaan Kinerja Organisasi 0.6 Kelompok Kinerja dan dampak terhadap Anggota Kinerja SDM Norma Keterpaduan 0.4 Jaringan Vertikal Jaringan 0.2 Kepercayaan Vertikal 0 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 -0.2 Solidaritas Vertikal Solidaritas -0.4 Kharisma Kepercayaan -0.6 -0.8 Gambar 1 Garis Vector Keragaman Data Melihat hasil analisis biplot di atas, menunjukkan banyaknya keragaman data yang cukup tinggi bagi variabel peubahnya. Hal ini dapat diketahui dari panjangnya garis vector yang membentuk variabel peubah. Peubah-peubah dengan keragaman yang tinggi yaitu : Kelompok, Norma, Keterpaduan, Kepercayaan Vertikal, Solidaritas Vertikal, Kepercayaan, Kharisma, dan Solidaritas. Sedangkan peubah dengan keragaman data rendah adalah Jaringan dan Jaringan vertikal. 300 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 1. 2. 3. 301 Hubungan obyek dengan obyek Kedekatan atas letak atau posisi dua buah objek atau lebih dapat diartikan bahwa objek tersebut memiliki kemiripan sifat dari objek tersebut. Semakin dekat posisi antar objek tersebut maka sifat yang ditunjukkan oleh nilai peubahnya semakin mirip. Dalam gambar yang dihasilkan tersebut, keempat objek pengamatan (kinerja) dapat dibedakan menjadi dua objek yang memiliki kesamaaan sifat antar objek tersebut, yaitu objek pertama (kinerja dan dampak terhadap anggota, kinerja organisasi, dan kinerja pembiayaan) karena memiliki peubah yang sama yaitu kelompok, jaringan vertical, jaringan, norma, keterpaduan dan kepercayaan vertikal, dan objek kedua (kinerja SDM) yang tidak ditunjuk oleh peubah manapun. Hasil analisis Biplot menunjukkan bahwa kinerja dan dampak terhadap anggota, kinerja organisasi dan kinerja pembiayaan yang dilakukan BMT Al-Ishlah berada pada kuadran yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Kecamatan Dukupuntang tentang kinerja pembiayaan yang dilakukan oleh BMT Al-Ishlah dirasakan sangat membantu bagi kehidupan mereka, demikian juga halnya terkait dengan kinerja organisasi BMT Al-Ishlah, masyarakat memiliki respon yang positif. BMT Al-Ishlah juga memberikan dampak yang positif bagi masyarakat sekitar (kinerja dan dampak terhadap anggota). Berbeda halnya dengan ketiga obyek diatas, kinerja SDM BMT AlIshlah masing dirasakan kurang oleh masyarakat peminjam. Hubungan peubah dengan peubah Sedangkan hubungan yang terjadi antar variabel peubah dapat dilihat dari besar kecilnya sudut diantara variabel-variabel peubah tersebut. Dari hasil analisis yang didapatkan, dapat terlihat hubungan yang terjadi antar peubah sangatlah bervariasi yaitu ada yang memiliki hubungan yang tinggi, hubungan yang sedang serta hubungan yang rendah. Tabel di bawah ini adalah nilai sudut nilai korelasi, dan hubungan antar peubah yang didapatkan dari hasil analisis Biplot. Hubungan obyek dengan peubah Dari gambar yang dihasilkan analisis ini, menunjukkan bahwa peubah-peubah yaitu : kelompok, jaringan vertikal, jaringan, norma, keterpaduan dan kepercayaan vertikal berada dekat dengan obyek kinerja organisasi, kinerja pembiayaan dan kinerja dan dampak terhadap anggota yang dilakukan BMT Al-Ishlah. PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Tabel 1 Nilai Sudut, Nilai Korelasi dan Hubungan antar Peubah Nama Peubah Kelompok dengan Jaringan Vertikal Kelompok dengan Jaringan Kelompok dengan Norma Kelompok dengan Keterpaduan Kelompok dengan Kepercayaan Vertikal Kelompok dengan Solidaritas Vertikal Kelompok dengan Kepercayaan Kelompok dengan Solidaritas Kelompok dengan Kharisma Jaringan Vertikal dengan Jaringan Jaringan Vertikal dengan Norma Jaringan Vertikal dengan Keterpaduan Jaringan Vertikal dengan Kepercayaan Vertikal Jaringan Vertikal dengan Solidaritas Vertikal Jaringan Vertikal dengan Kepercayaan Jaringan Vertikal dengan Solidaritas Jaringan Vertikal dengan Kharisma Jaringan dengan Norma Jaringan dengan Keterpaduan Jaringan dengan Kepercayaan Vertikal Jaringan dengan Solidaritas Vertikal Jaringan dengan Kepercayaan Jaringan dengan Solidaritas Jaringan dengan Kharisma Norma dengan Keterpaduan Norma dengan Kepercayaan Vertikal Norma dengan Solidaritas Vertikal Norma dengan Kepercayaan Norma dengan Solidaritas Norma dengan Kharisma Keterpaduan dengan Kepercayaan Vertikal Keterpaduan dengan Solidaritas Vertikal Keterpaduan dengan Kepercayaan Keterpaduan dengan Solidaritas Keterpaduan dengan Kharisma Kepercayaan Vertikal dengan Solidaritas Vertikal Kepercayaan Vertikal dengan Kepercayaan Kepercayaan Vertikal dengan Solidaritas Kepercayaan Vertikal dengan Kharisma Solidaritas Vertikal dengan Kepercayaan Solidaritas Vertikal dengan Solidaritas Solidaritas Vertikal dengan Kharisma Kepercayaan dengan Solidaritas Kepercayaan dengan Kharisma Solidaritas dengan Kharisma Sudut (o ) 12 23 Nilai korelasi 0.978148 0.920505 42 50 74 111 127 134 138 11 30 38 62 99 115 122 126 19 27 51 88 104 111 115 8 32 69 85 92 96 24 61 77 84 88 37 53 60 64 16 23 27 7 11 4 0.743145 0.642788 0.275637 -0.35837 -0.60182 -0.69466 -0.74314 0.981627 0.866025 0.788011 0.469472 -0.15643 -0.42262 -0.52992 -0.58779 0.945519 0.891007 0.62932 0.034899 -0.24192 -0.35837 -0.42262 0.990268 0.848048 0.358368 0.087156 -0.0349 -0.10453 0.913545 0.48481 0.224951 0.104528 0.034899 0.798636 0.601815 0.5 0.438371 0.961262 0.920505 0.891007 0.992546 0.981627 0.997564 Hubungan Sangat kuat Sangat kuat Kuat Kuat lemah lemah Kuat Kuat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Kuat Sedang Sangat Lemah Sedang Sedang Sedang Sangat Kuat Sangat Kuat Kuat Sangat Lemah Lemah Lemah Sedang Sangat Kuat Sangat Kuat Lemah Sangat Lemah Sangat Lemah Sangat Lemah Sangat Kuat Sedang Lemah Sangat Lemah Sangat Lemah Kuat Kuat Sedang Sedang Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat 302 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Dari kedekatan peubah dengan obyek dapat dikatakan berjalannya BMT Al-Ishlah baik kinerjanya secara organisasi, kinerja pembiayaan dan kinerja serta dampak yang dirasakan oleh anggota BMT Al_Ishlah dipengaruhi oleh peran kelompok, peran jaringan vertikal, peran jaringan, peran norma, peran keterpasuan dan peran kepercayaan vertical Sedangkan peubah yang lain : solidaritas, kepercayaan, kharisma dan solidaritas vertikal tidak berdekatan dengan obyek yang manapun. KESIMPULAN 1. BMT Al-Ishlah baik kinerjanya secara organisasi, kinerja pembiayaan dan kinerja serta dampak yang dirasakan oleh anggota BMT Al_Ishlah dipengaruhi oleh peran kelompok, peran jaringan vertikal, peran jaringan, peran norma, peran keterpasuan dan peran kepercayaan vertical. 2. Kinerja dan dampak terhadap anggota, kinerja organisasi dan kinerja pembiayaan yang dilakukan BMT Al-Ishlah berada pada kuadran yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Kecamatan Dukupuntang tentang kinerja pembiayaan yang dilakukan oleh BMT Al-Ishlah dirasakan sangat membantu bagi kehidupan mereka, demikian juga halnya terkait dengan kinerja organisasi BMT Al-Ishlah, masyarakat memiliki respon yang positif. BMT Al-Ishlah juga memberikan dampak yang positif bagi masyarakat sekitar (kinerja dan dampak terhadap anggota). DAFTAR PUSTAKA Adler, P.S. & Seok, W.K. ( 2002). Social Capital: Prospect for A new Concept. Academy of Management Review Vol. 27. No.1, 17-40. Ancok, D. (1997) Managing Change Through Leadership Development Program: Social Psychological Approach. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol 12, No.3 Bass, B.M.(1998). Transformational Leadership: Industrial, Military, and Educational Impact. London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher. Bourdieu, P. (1980). “Le Capital Social: Notes Provisoires”, Actes de La Recherche in Sciences Sociales, 31:2-3 303 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Bowles, S. & Gintis, H. Social capital and community governance. Paper for a symposium submitted to the Economic Journal. http://wwwunix. oit.umass.edu/bowles. Burt, R.S. (1997). The contingent value of social capital. Administrative Science Quarterly. Vol. 42, 339-365. Chirzin, H. M. (1988) “Agama dan Ilmu dalam Pesantren”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Cohen, Carl, (1971) Democracy, New York: Free Press Cohen, D. & Prusak, L. (2001). In Good Company, Boston: Harvard Business School Press Coleman, J. C. (1994). Foundations of Social Theory. Harvard University Press. Cambridge and London. Cunningham, I. (2002). Developing human and social capital in organizations. Industrial and Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94. Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES. Durkheim, Emile, (1988/1960), The Division of Labor in Society, Glencoe, IL: Free Press Fafchamps, Marcel dan Bart Minten. (1999). Social Capital and the Firm: Evidence from Agricultural Trade. Feldman, R.S. (1985). Social Psychology: Theory, Research, and Applications. New York: McGraw-Hill. Ferdinand, Augusty. (2000). ‘Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen’. Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Freud, Sigmund (1921), The Leader and His Crowd: Sigmund Freud’s Group Psychology and the Analysis od tge Ego”, dalam J.S. McClelland (ed). A History of Western Political Thought, London: Routledge. Fukuyama, F. (2000). The Great Depression: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. London: Profile Book. Fukuyama, F. (2001). Social Capital, Civil Society and Development. Third World Quarterly, Vol. 22/1, pp.7-20 304 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Geertz, Clifford. (1968). Peddlers and Princes: Social Change and Economic Modernisation in Two Indonesian Towns. Chicago University Press. Chicago. Geertz, Cliffort, (1983) Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya. Giddens, A. (1998) The Third Way: (terj.) Jakarta: Gramedia. Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. Goleman, D.(2002). The New Leaders: Transforming the Art of Leadership into the Science of Results. London: Little-Brown. Granovetter, M. (1973). The Strenght of the Weak Ties, American Journal of Sociology, Vol. 78/6, pp. 1360-1380 Grootaert, C dan T van Bastelaer. (2001). Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Social Hecter, M., and Kanazawa, S. (1997). Sociological Rational Choice Theory. Annual Review of Sociology, Vol. 23, pp. 191-214 Hefner, Robert W, eds, (2001) “Introduction: Multiculturalism and Ciizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia” in Robert W Hefner, The Polities of Multiculturalism, Honolulu: University of Hawai’s Press Lin, N. (1999). Social networks and Status Attainment. Annual Review of Sociology, Vol. 25, pp. 467-487 Marijan, Kacung, Quo Vadis NU, (1992), Erlangga, Surabaya. Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies. Jakarta: Mollering, G. (2001). The Nature of Trust: From Georg Simmel to a Theory of Expectation, Interpretation, and Suspension, Sociology, Vol. 35/2, pp. 403-420 Mulkan, Abdul Munir, (1992) Runtuhnya Mitos Politik santri, Rinneka SIPRESS, Yogyakarta. Nahapiet, J. & Ghosal, S. Social capital, intellectual capital and the organaizational advantage. Academic of Management Review, Vol. 23 305 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Narayan, D. (1999). Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. World bank. Washington D.C Prasojo, Imam B. (2007) Spirit Baru tentang Keshalihan Sosial, Yogyakarta; Suara Muhammadiyah, Oktober. Putnam, R.D (1993). The prosperous community: Social capital and public life. The American Prospect. Vol.4, no. 13. Putnam, R.D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster. Rahardjo, Dawam. (1988). “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Rotberg, Robert I. (eds. 2001) “Social Capital and Political Culture n Africa, America, Australia, and Europe” in Robert I. Rotberg, Pattern of Social Capitals Rothestein, B. (2000). Trust, Social Dilemmas, and Collective Memories, Journal of Theoretical Politics, Vol. 12/4, pp. 477-501 Scott, J. C. (1972). The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia. Journal of Asian Studies, Vol. XXXII/1, pp. 5-37 Scott, J. C. (1976). The Moral Economy of the Peasant. Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press. New Haven. Senge, P.M. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. New York: Double Day. Siraj, A.S. (2002). Visi Pesantren Masa Depan. Makalah. Seminar Nasional pada “MTQ Nasional V Telkom 2002”. Bandung, 23 April, 2002. Subejo. (2004). Peranan Social Capital dalam Pembangunan Ekonomi: Suau Pengantar untuk Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia. Majalah Agro Ekonomi Vol. 11 No.1 Juni 2004. Sujuthi. M. (2001). Politik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Jombang: Studi Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press. Wahid, Abdurrahman. (1988). “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. 306 PROSIDING dalam rangkaian SEMINAR INTERNASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “TOWARDS EXCELLENT SMALL BUSINESS” Yogyakarta, 27 April 2011 Woolcock, M. (1998). Social capital and economic development: Toward a theoretical synthesis and policy framework. Theory and Society, Vol. 27, 151-208. World Bank. (1998). ”The Initiative on Defining, monitoring and Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”. Social Capital Initiative Working Paper No. 2. Zulkifli. (2002). Sufism in Java; The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java. Jakarta: INIS. 307