BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan selalu berinteraksi dengan orang lain, entah itu dengan keluarga, sahabat, teman sekolah, rekan kerja, tetangga, maupun orang yang tidak dikenalnya. Terkadang hubungan yang dekat dengan seseorang itulah yang menjadi sumber timbulnya perasaan spesial terhadap orang tersebut. Semakin lama berinteraksi, semakin mengenal lalu berkembang dari sebuah persahabatan (friendship) sehingga lama-kelamaan akan mempunyai hubungan pacaran. Papalia dan Olds (2007) mengemukakan bahwa proses membentuk dan membangun hubungan personal dengan lawan jenis dapat berlangsung melalui apa yang biasa disebut sebagai hubungan romantis. Bagi individu dewasa yang belum menikah, hal ini termasuk dalam konsep pacaran. Berpacaran atau pacaran merupakan suatu proses pemilihan pasangan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2003), yaitu membina hubungan intim dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan spesifik bagi individu dewasa muda. Selain itu, hubungan pacaran juga merupakan suatu tahapan penting karena hal ini berhubungan dengan proses pemilihan pasangan hidup secara sadar. Begitupun juga dengan apa yang dikatakan Havighurst (dalam Mappiare, 1983), salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah menemukan pasangan hidup yang sesuai dengan 1 dirinya untuk kemudian memulai hidup berkeluarga. Sehingga ketika individu dewasa muda telah menemukan seseorang yang tepat, kemungkinan akan adanya usaha untuk mempertahankan hubungannya hingga pada jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Kehidupan tidak akan selamanya berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, setiap pasangan dalam suatu hubungan pacaran pun pasti akan selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Hubungan yang memiliki permasalahan merupakan suatu hal yang wajar, tapi terkadang ada permasalahan dan konflik yang rumit sehingga hubungan itu tidak berjalan dengan lancar. Beragam konflik yang sering dialami dalam suatu hubungan adalah keegoisan atau kurangnya rasa pengertian pasangan, hingga masalah kecemburuan dengan ada atau tidak adanya kehadiran orang ketiga dalam hubungan romantis atau percintaan mereka (Wicaksono, 2008). Kecemburuan adalah salah satu hal yang melanda para individu dewasa awal, dan ini menjadi suatu permasalahan yang dapat menyebabkan berakhirnya suatu hubungan. Salovey (1991) berpendapat bahwa kecemburuan adalah emosi yang dialami ketika seseorang merasa hubungan dengan pasangannya terancam dan dapat mengakibatkan hilangnya kepemilikan, biasanya ini akan timbul apabila ada pihak ketiga dalam hubungan tersebut. Sebenarnya cemburu merupakan suatu perasaan yang normal, namun cemburu bisa menjadi suatu ekspresi egoisme dalam berpacaran. Ketika seseorang dilanda cemburu, terkadang pikirannya menjadi tidak rasional bahkan sampai bisa melakukan tindakan kriminal (Pfeiffer & Wong, 1989) yang bisa berdampak pada kematian. Seperti salah satu contoh yang terjadi kepada seorang wanita bernama Maryatun (27 tahun) yang meninggal karena dijerat lehernya dengan 2 ikat pinggang oleh kekasihnya sendiri Dapri (28 tahun) hingga tewas. Mayatnya ditemukan pada tanggal 28 Oktober 2009 tepatnya di Rawa Lele, Jakarta. Pelaku tega membunuh pacarnya sendiri karena terbakar api cemburu. Ia meyakini bahwa korban menjalin asmara dengan pria lain. Kejadian itu berlangsung pada saat pelaku sedang berpacaran dengan si korban, yang ternyata tiba-tiba menerima telepon dari pria lain (Jayadi, 2009). Hal ini menandakan bahwa kecemburuan yang berlebihan juga dapat sampai menghilangkan nyawa seseorang. Hubungan berpacaran juga terbentuk melalui proses attachment, yang merupakan ikatan emosional yang dialami oleh anak ketika berinteraksi dengan figur tertentu, dimana anak menginginkan kedekatan dengan figur tersebut dalam situasi-situasi tertentu seperti ketika ketakutan dan kelelahan (Bowlby dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Menurut Hazan dan Shaver (dalam Feeney & Noller, 1996), ikatan emosional yang berkembang pada hubungan romantis di masa dewasa memiliki fungsi yang sama dengan ikatan emosional antara anak dengan pengasuhnya. Bowlby (dalam Bartholomew & Horowitz, 1991) juga mengemukakan bahwa attachment menggambarkan seberapa erat ikatan kasih sayang seorang individu dengan pasangannya. Attachment itu sendiri terbagi menjadi beberapa macam pola. Pola attachment yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi cara mereka dalam berhubungan dengan orang lain termasuk dengan pasangannya. Hubungan seseorang dengan anggota keluarga, teman, orang asing dan juga dengan pasangan dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka dapatkan ketika kecil (Bowlby, dalam Baron & Byrne, 2004). 3 Attachment dan kecemburuan sangatlah berhubungan antara satu dengan yang lain. Untuk lebih dapat mudah memahaminya, kecemburuan adalah suatu perasaan yang muncul jika attachment relationship terancam oleh orang ketiga. Pola attachment juga pastinya berhubungan dengan ekspektasi-ekspektasi yang berbeda dalam setiap hubungan, oleh karena itu setiap pola attachment juga memiliki reaksi/respon yang berbeda terhadap ancaman pada hubungan mereka. Sharpsteen dan Kirkpatrick (1997) memaparkan karena hubungan romantis cenderung merupakan hubungan attachment, perbedaan individu dalam kecemburuan cenderung parallel dengan perbedaan individu dalam perilaku attachment. Sebenarnya sudah ada beberapa penelitian mengenai hubungan romantis antara adult attachment dengan kecemburuan. Salah satu penelitian tentang hubungan antara pola attachment dengan kecemburuan menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa perasaan kecemburuan lebih banyak dimiliki oleh orang yang berpola attachment insecure, akan tetapi beberapa studi lainnya mengatakan bahwa orang yang memiliki pola attachment secure lebih memperlihatkan kemarahan akan kecemburuan (Sharpsteen & Kirkpatrick, 1997). Individu yang memiliki pola attachment insecure dalam dirinya ternyata memiliki kecemburuan yang lebih tinggi dibandingkan pola attachment yang lain. Hal ini dikarenakan individu dengan pola attachment ini merasa tidak nyaman dengan diri mereka sendiri namun sangat peduli dengan hubungannya (Guerero, dalam Megawati, 2010). Radecky-Bush, Farrel dan Bush (dalam Megawati 2010) mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan pola attachment yang lain, individu 4 dengan pola attachment secure cenderung kurang memiliki kecemburuan, tekanan, ketakutan, marah, malu, dan rasa bersalah. Individu yang memiliki pola attachment secure dan preoccupied dikatakan memiliki kecemburuan yang ditampilkan dengan emosi yang lebih tinggi dan dengan tingkah laku. Individu yang memiliki pola attachment secure memiliki tingkatan yang tinggi untuk mengekspresikan rasa cemburunya, namun mereka juga berusaha untuk tetap mempertahankan hubungan yang mereka jalin. Individu dengan pola attachment preoccupied fokus pada perasaan sedih, lemah, takut, dan cenderung menahan ekspresi cemburunya. Hal ini dikarenakan individu dengan pola attachment ini rentan terhadap ancaman pada harga diri dan pada hubungan yang dijalin. Kecemburuan yang ditampilkan terutama muncul ketika individu khawatir pasangannya tidak peduli padanya atau akan meninggalkannya (Guerero, 1998, dalam Megawati, 2010). Sharpsteen dan Kirkpatrick (dalam Megawati, 2010) mengemukakan bahwa individu dengan dimensi attachment avoidance cenderung kurang dapat menahan rasa cemburu, mereka lebih cenderung menyalahkan dan memarahi pasangannya secara langsung. Hal ini merupakan salah satu yang biasa terjadi pada pasangan yang berpacaran. Teori attachment secara tidak langsung mempengaruhi kecenderungan dalam pengalaman kecemburuan pada setiap individu (Knoblock, Solomon dan Cruz, 2001). Bryson dan Wehmeyer (dalam Sharpsteen & Kirkpatrick 1997) mengatakan bahwa individu yang membayangkan dirinya berada dalam situasi yang dapat menimbulkan kecemburuan akan cenderung berpikir 5 untuk lebih mengambil langkah mempertahankan hubungan percintaan mereka dan mengabaikan perpisahan. Hal ini menunjukan bahwa secara umum, sistem attachment dan kecemburuan memiliki kesamaan fungsi, yaitu untuk mempertahankan hubungan serta perasaan aman dalam hubungan. Pada masa kanak-kanak, sang anak membutuhkan kehadiran dan kontak fisik dari pengasuhnya supaya merasa aman atau secure. Berbeda dengan orang dewasa, mereka merasa aman atau secure hanya dengan mengetahui bahwa pasangan mereka selalu ada untuk mereka saat dibutuhkan. Dari wujud attachment itulah orang dewasa jadi memiliki perasaan takut diabaikan atau kehilangan pasangannya, dan hal itulah yang memungkinkan munculnya rasa kecemburuan (Marazziti, Consoli, Albanese, Laquidara, Baroni, 2010). Berdasarkan penelitian yang diteliti oleh Marazziti, Consoli, Albanese, Laquidara dan Baroni (2010) terhadap 500 orang yang tinggal di kota Pisa, Italia. Orang-orang itu terdiri dari 186 pria dan 314 wanita dengan range usia 18-63 tahun (50% <25 tahun, 50% >25 tahun). Sebagian besar responden memiliki status single, dengan berbagai macam pekerjaan, serta tidak memiliki gangguan apapun berdasarkan hasil wawancaranya dengan para ahli psikiatri. Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa attachment dan kecemburuan itu sangat berhubungan antara pola attachment avoidance dengan tipe kecemburuan self esteem dan fear of loss, paranoid, sedangkan antara pola attachment anxiety berhubungan dengan masingmasing tipe kecemburuan (obsessionality, self esteem, fear of loss, paranoid, interpersonal sensitivity). 6 Peneliti melakukan penelitian yang mirip dengan penelitian Marazziti, Consoli, Albanese, Laquidara dan Baroni, akan tetapi peneliti hanya berfokus pada dewasa awal, karena sesuai dengan tugas perkembangan yang utama menurut Turner dan Helms (1995) yaitu untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Karena dalam masa dewasa awal ini pun mulai munculnya intimasi dengan arah yang lebih serius. Menurut Sharpsteen dan Kirkpatrick (dalam Guerrero, 1998), terdapat empat karakteristik attachment dan kecemburuan. Pertama, keduanya dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah proses untuk mempertahankan hubungan. Kedua, dipacu oleh perpisahan yang bersifat nyata atau kemungkinkan akan ditinggalkan oleh orang yang disayangi. Ketiga, sama-sama meliputi pengalaman emosional (emotional experiences), diantaranya perasaan marah, cemas, takut dan sedih. Keempat, diatur oleh model mental yang terdapat pada diri dan hubungan yang dijalin. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kecemburuan dengan attachment tersebut, maka dapat terlihat bahwa secara umum, attachment dan kecemburuan memiliki kesamaan fungsi, yaitu untuk mempertahankan dan memberikan kenyamanan dalam berhubungan. Karena pada saat situasi yang dapat menampilkan stimulus cemburu, maka individu akan bereaksi tidak hanya terhadap kemungkinan kehilangan pasangan namun juga kemungkinan akan kehilangan figure kelekatannya. Hal ini dijelaskan pula oleh Berscheid dan Fei (dalam Pfeiffer & Wong, 1989) bahwa semakin kuat ikatan kasih sayang antara individu dengan pasangannya, maka semakin besar pula perasaan takut akan gagalnya hubungan yang mereka jalin. 7 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, penulis telah merumuskan pokok permasalahannya, yaitu apakah ada hubungan antara kecemburuan dengan pola attachment pada dewasa awal yang berpacaran? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk melihat dan memastikan secara teoritis tentang hubungan antara kecemburuan dengan pola attachment pada usia dewasa awal yang berpacaran. 1.4 Manfaat Penelitian a) Manfaat teoritis Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan psikologi klinis yang khususnya dapat dimanfaatkan sebagai kajian bersama mengenai kecemburuan dan attachment. b) Manfaat praktis - Untuk dewasa muda, penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi, karena pada umumnya masalah ini dialami oleh orang di jenjang usia tersebut. - Untuk praktisi psikologi/psikolog, penelitian ini dapat bermanfaat untuk dapat memutuskan terapi yang tepat bila mendapat klien yang mengalami masalah yang serupa serta jika terdapat klien yang merasa memiliki rasa kecemburuan yang berlebihan. 8