BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Coliform Coliform adalah bakteri yang termasuk dalam famili Enterobactericeae, dan terdiri dari empat genus yaitu: Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella. Bakteri Coliform merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang, bersifat motil dan nonmotil, berkapsul, tidak membentuk spora, aerobik dan anaerobik fakultatif, dapat memfermentasi laktosa dengan menghasilkan gas, serta mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit (Buckle et al., 1987). Golongan bakteri Coliform adalah kelompok bakteri intestinal yang banyak hidup di saluran pencernaan manusia maupun hewan berdarah panas. Bakteri Coliform digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu Coliform fekal dan nonfekal. Coliform fekal terdiri dari Escherichia coli dan biasanya berhubungan dengan feses yang berasal dari saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. Sedangkan Coliform nonfekal merupakana bakteri yang berasal dari hewan dan tanaman yang telah mati, kelompok bakteri ini terdiri dari Enterobacter aerogenes (Fardiaz, 1993). Bakteri Coliform lebih tepatnya bakteri Coliform fekal merupakan bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik dan lazim digunakan sebagai indikator untuk menentukan kualitas air, makanan dan susu telah tercemarnya oleh bakteri patogen (Widiyanti dan Ristianti, 2004). Penentuan Coliform fekal menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Bukan hanya itu adanya bakteri Coliform di dalam makanan atau minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan, karena hampir 90% dari bateri fekal Coliform terdiri dari strain E. coli (Jay, 1992). Pada media selektif eosin methylen 6 7 blue agar (EMBA) bakteri Coliform fekal yang tumbuh koloninya akan berwarna hijau metalik dengan titik gelap pada bagian tengahnya dengan diameter 0,5–1,5 mm dan koloni Coliform nonfekal akan berwarna merah muda sampai merah dan bagian tengahnya berwarna gelap dengan diameter 1,0 – 3,0 mm (Fardiaz, 1993; Mahon and Manuselis, 2000). 2.2 Bakteri Escherichia coli Escherichia coli termasuk ke dalam famili Enterobactericeae, ordo Eubacteriales dan klas Gamma Proteobacteria (Todar, 2008). Bakteri E. coli ditemukan pertamakali oleh Theodor von Escherich, seorang bakteriologis berkebangsaan Jerman yang berhasil melakukan isolasi bakteri ini pertama kali pada tahun 1885 (Andriani, 2005). E. coli merupakan bakteri berbentuk bantang pendek, Gram negatif, tidak membentuk spora, motil dengan flagella peritrichous, ukurannya 0,5x1,3 µm, berkapsul, bersifat anaerob fakulafif, mempermentasi laktosa dan tumbuh pada suhu 10–40oC dengan suhu optimum 37oC serta pH optimum 7,0–7,5 (Holt, 1994). Bakteri E. coli pada media EMBA dapat tumbuh dengan ciri koloni berwarna hijau metalik dengan titik tengah berwarna gelap, koloninya berbentuk bulat dengan permukaan cembung (Mahon dan Manuselis, 2000). Pada uji indol E. coli memberikan hasil positif ditandai dengan terbentuknya lapisan seperti cincin merah pada media yang mengandung tryphtone broth setelah ditambahkan pereagen Kovac. Hal ini dikarenakan bakteri ini dapat memecah asam amino triptofan menjadi suatu senyawa indole disamping asam pyrupate dan amonia, sehingga reaksi antara indole degan kandungan aldehyde pada pereagen memberikan warna merah. Pada uji methyl red E. coli memberikan hasil positif karena bakteri ini banyak memfermentasi dekstrosa menjadi asam, sehingga pada medium methyl red berubah warnanya menjadi 8 merah. Pada uji voges proskuer E. coli memberikan hasil negatif karena bakteri ini tidak mampu membentuk asetil methyl karbinol (asetoin), hasil negatif juga di dapatkan dari uji citrat karena bakteri ini tidak mampu menggunakan citrat sebagai sumber karbon (Jewets et al., 2001). Escherichia coli merupakan flora normal yang hidup di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas dan banyak ditemukan didalam usus. E. coli merupakan salah satu agen zoonosis dan persifat patogen jika jumlahnya di dalam saluran pencernaan meingkat atau berada diluar usus. Andriani (2005) menambahkan bahwa E. coli memiliki sifat oportunistik, meskipun E. coli merupakan flora normal pada saluran pencernaan manusia, tetapi pada manusia yang memiliki sistem kekebalan yang rendah misalnya bayi, anakanak, manula serta orang yang sedang sakit dapat menyebabkan penyakit yang serius. E. coli menghasilkan toksin enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. Berdasarkan mekanisme infeksi dalam menimbulkan penyakit E. coli dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: Enteropathogenic E. coli (EPEC), Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), Enteroaggregative E. coli (EAEC) dan Enteroinvasive E. coli (EIEC) (Nataro dan Kaper, 1998) 2.3 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli O157:H7 adalah bakteri berbentuk batang pendek, Gram negatif (FDA, 2012). Bakteri ini pertama kali diidentifikasi patogen di manusia pada kejadian outbreak diare berdarah tahun 1982 di Amerika Serikat (Sanchez et al., 2002) dan bakteri ini merupakan salah satu strain E. coli yang dapat menyebabkan enterohaemorrhagic (EHEC) (Andriani, 2005). Pada tahun yang sama juga dinyatakan bahwa pada hewan ruminansia yang sehat terutama sapi, di dalam saluran pencernaannya merupakan reservoir bagi E. coli O157:H7. 9 Escherichia coli O157:H7 adalah salah satu bakteri patogen yang memiliki sifat zoonosis yang cukup membahayakan kesehatan manusia dan hewan. E. coli O157:H7 yang tumbuh dan berkembang di dalam saluran pencernaan manusia dapat menghasilkan verotoxin atau disebut sebagai shiga-liketoxin (SLT) (Andriani, 2005). Pada manusia E. coli O157:H7 dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan berupa diare, terkadang diare berdarah dan pada kasus yang serius dapat menyebabkan haemolytic uremic syndrome (HUS) dan gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian (Andriani, 2005; FDA 2012). E. coli O157:H7 pada sapi khususnya sapi muda dengan jumlah bakteri 1010CFU/g dapat menyebabkan gejala diare berlendir sampai diare berdarah (Dean-Nystrom et al., 1997). Penularan antar sapi diketahui dapat terjadi melalui kontak langsung dengan kulit hewan yang telah terinfeksi E. coli O157:H7 (McGee et al., 2004). Sapi merupakan reservoir utama dari Verocytotoxin-producing Eschericia coli (VTEC), sekaligus sebagai sumber penularan utama infeksi dari hewan ke manusia (Heuvelink et al., 1999). Menurut Andriani ( 2005) penularan penyakit yang disebabkan oleh E. coli O157:H7 pada manusia 52% berasal dari bahan makanan yang berasal dari ternak sapi. Hal ini berhubungan dengan terjadinya kontaminasi E. coli O157:H7 pada daging sapi maupun susu mentah (Sumiarto, 2002). Kudva et al. (1996) menyatakan bahwa kejadian infeksi E. coli pada ternak sapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor secara umum dapat berupa faktor pakan, stress, kondisi geografis, kepadatan ternak serta musim. Melliawati (2009) menambahkan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang bakteri memerlukan beberapa faktor yang sangat berpengaruh yakni kelembaban, suhu, dan pH yang optimum. Bakteri E. coli O157:H7 dapat hidup lama dalam feses sapi selama 42–29 hari pada suhu 37oC dengan kelembaban relatif 10%, atau 10 selama 49– 56 hari pada suhu 22oC dengan kelembaban relatif 10% (Wang et al., 1996). 2.4 Patogenitas Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu kelompok dari enterohaemoragic E. coli (EHEC). Kelompok EHEC memiliki daya invasi yang biasa, yang diperankan oleh fimbrie, namun bakteri ini tidak menyerang mukosa sel seperti bakteri yang lainnya tetapi menghasilkan toksin untuk menyerang inangnya yang dikenal dengan verotoxin atau Shigatoxin. Verotoksin sangat berperan pada kejadian colitis haemoragic dan haemolitic uremic syndrome (HUS) karena toksin ini mampu menghambat sintesis protein dalam sel eukariotik. Shigatoxin yang dihasilkan oleh bakteri ini dapat menimbulkan bahaya yang cukup fatal terutama pada anak-anak dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi (Acheson, 2000). 2.5 Sapi Bali Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan bangsa sapi yang masuk ke dalam family Bovidae, dan genus Bos (Williamson and Payne, 1993). Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi asli Indonesia yang memiliki habitat di Pulau Bali dan merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Ciri khas sapi bali adalah warna bulunya yakni ketika baru lahir berwarna merah bata hampir pada seluruh tubuhnya baik pada yang jantan maupun yang betina, kecuali bagian kaki dibawah lutut dan bagian pantatnya berwarna putih, bulu ekor dan sepanjang garis punggung (dari pundak sampai pangkal ekor), kaca hidung, tanduk dan kukunya berwaran hitam, bulut telinga bagian dalam berwarna putih. Setelah mencapai dewasa kelamin sekitar 10 bulan, pedet jantan mulai mengalami perubahan warna menjadi hitam (kecuali bagian kaki dan pantatnya yang berwaran putih) secara 11 bertahap selama 10 bulan mulai dari bagian kepala menuju ke belakang, sedangkan pedet betina warnanya tetap merah bata samapi akhir masa hidupnya. Warna hutam pada sapi jantan dewasa akan tetap sampai akhir masa hidupnya tetapi apabila dikastrasi maka warnanya akan berubah kembali menjadi merah bata secara bertahap mulai dari belakang menuju kedepan, hal ini terkait dengan aktifitas produksi hormon testosteron yang dihasilkan sapi jantan (PKSB UNUD, 2012) Sapi bali telah lama menyebar ke berbagai penjuru nusantara, sehingga kemampuan adaptasi terhadap iklim dan lingkungan tropis sangat bagus. Sapi bali merupakan ternak primadona di Bali, dan banyak dipelihara oleh masyarakat Bali. Di samping karena kualitas dagingnya yang baik, sapi bali juga memiliki persentase karkas yang tinggi 56-58%, bila dibandingkan dengan ternak yang lainnya (Guntoro, 2004). Sapi bali juga mempunyai banyak keistimewaan, salah satunya adalah mudah beradaptasi baik terhadap lingkungan maupun pakan serta dapat digunakan sebagai tenaga kerja. Keunikan lain dari sapi bali sekaligus kelebihannya yaitu tingkat kesuburannya tinggi, dan lebih lanjut Martojo (1988) menambahkan bahwa tingkat angka kelahiran sapi bali adalah 40% - 85%. 2.6 Kondisi Geografis Kuta Selatan Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu kecamatan yang berada di selatan Kabupaten Badung Provinsi Bali, tepatnya antara 8o46’58.7”LS dan 115o05’00”–115o10’41.3”BT. Kecamatan ini memiliki enam desa/kelurahan yang sebagian besar wilayahnya adalah daerah bukit kapur dengan luas 101,13 km2 yang terletak di pesisir pantai sehingga salah satu sektor pendapatannya adalah dari bidang jasa yakni pariwisata. Kuta selatan merupakan salah satu destinasi pariwisata unggulan di Kabupaten Badung yang sangat padat dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain pariwisata sektor pendapatan 12 utama kecamatan ini adalah di bidang peternakan. Tercatat dari hasil sensus pertanian 2013, kecamatan ini memiliki populasi ternak sapi 11.752 ekor yang tersebar di enam desa/kelurahan yang merupakan populasi terbanyak di kabupaten Badung. Secara goografis Kecamatan Kuta Selatan terletak pada ketinggian 28 meter diatas permukaan laut (BPS Kab. Badung, 2013). Menurut data yang diperoleh pada tahun 2009 sampai tahun 2013 curah hujan pada kecamatan ini berkisar 115–209 milimeter, suhu rata-rata berkisar 27–28oC dengan kelembaban rata-rata sekitar 80–84% (BMKG Wilayah III Denpasar, 2014).