Bab III Konstruksi Kebebasan Berekspresi dalam Regulasi Isi Media A. Kebebasan Bereskpresi sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia Media sarana di Indonesia demokrasi kehidupan yang berkembang menyentuh masyarakat. diwujudkan dengan menjadi setiap Eksistensi perannya selalu lini media menyertai setiap perkembangan kehidupan masyarakat di dunia dan di Indonesia pada khususnya. Media memang menjadi sarana mutakhir untuk menyebarluaskan semua informasi sehingga dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuan warga masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, secara historis, media didengungkan memberikan sebagai penghargaan sarana kepada hak untuk asasi manusia. Oleh karena media merupakan sarana, maka yang lantas harus dimengerti adalah bahwa yang disalurkan oleh media diantaranya mengenai kepentingan hak asasi manusia. Di samping itu, informasi yang disebarkan juga memuat begitu banyak kepentingan lain di dalamnya. Keadaan inilah kemudian diperlukan tatanan dalam suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang 131 tepat tanpa mengebiri manifestasi hak asasi manusia itu sendiri. Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia, di Indonesia konstruksi hukumnya dielaborasi dari sumber-sumber hukum internasional. Pijakan utamanya tetap berasal dari Universal Declaration of Human Rights (1948) yang menitikberatkan sebagaimana pada telah Article 19. diterangkan Selanjutnya pada bab-bab sebelumnya, kebebasan berekspresi yang tercantum dalam UDHR tersebut mendapatkan penegasanpenegasan di internasional dalam lainnya yang konvensi-konvensi diadakan demi penghargaan terhadap kebebasan manusia. 1. Pengakuan Kebebasan Berekspresi di dalam Konstitusi Tentang kebebasan berekspresi, perjalanannya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hak asasi manusia secara universal. Kebebasan berekspresi menjadi satu bagian diantara bagian-bagian lain dari hak asasi manusia, yang kemudian sejarah pemikiran dan perkembangannya berjalan beriringan. Kebebasan berekspresi sebagai hak yang penting dan diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Sebagai sebuah pengakuan atas keberadaan hak kebebasan 132 berekspresi, maka ratifikasi yang dilakukan dapat menjadi acuan peraturan muatan dasar dalam perundang-undangan yang internasional sesuai yang prinsip-prinsip dituangkan dengan universal. hak dalam asasi pembentukan yang prinsip-prinsip Pengakuan manusia berbagai memiliki produk atas tersebut hukum ratifikasi dalam beberapa ketentuan perundangundangan di Indoneisa. UDHR diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sedangkan ICCPR diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik). Di samping itu, ada beberapa konvensi- konvensi lain yang memuat mengenai kepentingan kebebasan berekspresi sebagai hak, yang kemudian menjadi acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena kebebasan berekspresi dipahami sebagai bagian dari eksistensi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi berdiri diantara jenis-jenis hak asasi manusia yang lain. Hal ini menegaskan bahwa di dalam kerangka hak asasi manusia, kebebasan berekspresi juga menopang keberadaan jenis hak asasi manusia. 133 Konvensi-konvensi tersebut juga mendorong pembentukan sistem hukum media massa di Indonesia, yang akan berlaku efektif bilamana mencakup persoalan kepemilikan media (media ownership) dan peran serta masyarakat madani (civil society). Ratifikasi-ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah (baca: negara) Indonesia, menimbulkan letak dasar yang fundamental bagi pembentukan peraturan perundang-undangan bagi kebebasan berekspresi. Demikian halnya sehingga konsepkonsep mengenai kebebasan berekspresi dan perkembangannya di dunia, baik langsung maupun tidak langsung, menginspirasi para pembentuk undang-undang untuk memberikan perhatian yang komprehensif terhadap makna hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi. Pada titik inilah, tatanan hukum Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari arus perkembangan hak asasi manusia di dunia, yang penghargaan sejalan terhadap dengan kepentingan upaya-upaya masyarakat dunia. Instrumen-instrumen tersebut, memberikan hukum cakupan internasional kebebasan berekspresi pada tiga hal utama: kebebasan untuk mencari informasi, kebebasan untuk menerima informasi, dan kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat. 134 Konstitusi sebagai landasan berbangsa dan bernegara, memuat segala hal yang berkaitan dengan kehidupan negara yang diaturnya. Prinsipprinsip hak asasi manusia juga diakomodasi di dalam dasar negara tersebut. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diamandemen beberapa kali, memberikan arahanarahan tentang kehidupan berbangsa yang menghargai hak asasi manusia. Di dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen telah disebutkan secara jelas bahwa: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28). Di samping itu, Pasal 28E ayat (3) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal ini mengindikasikan bahwa ada penghargaan kepada warga negara untuk bebas merdeka berpendapat, yang kemudian ditegaskan sekali lagi dalam Pasal 28F: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Era pengakuan di dalam konstitusi, membuat kehidupan masyarakat semakin berkembang dan 135 dikenal sebagai era kebebasan media. Berlandaskan pada Pasal 28F UUD 1945 Amandemen, maka pemahaman warga negara tentang kebebasan berubah. Dari yang terintervensi secara sistematis melalui kebijakan politis, menjadi berpeluang berpendapat sejak secara regulatif diakui sebagai hak konstitusional. Bahkan, sebagai warga negara, mereka diperkenankan (secara konstitusional pula) untuk memperoleh informasi dari berbagai saluran. Adanya perlindungan dan jaminan hukum terhadap kebebasan berekspresi peraturan-perundang-undangan, di tidak berbagai melulu menjadi sumber perlindungan secara teknis, namun yang perlu dilihat adalah bagaimana hukum dasar (baca: konstitusi) memberikan jaminan yang paling mendasar landasan dan substansial. hukum Meskipun konstitusional, bukan sebagai berarti bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga tidak dibatasi. Secara substansial, kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia juga dibatasi dalam prasyarat otentik yang ditentukan dalam UUD 1945 juga.109 109 Sehubungan dengan adanya Putusan MK No.132/PUU-VII/2009, oleh Mahkamah Konstitusi ditegaskan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia yakni bahwa dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, maka seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi (Pasal 28J UUD 1945) sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Disamping itu berdasarkan penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. 136 Konstitusi juga memerintahkan adanya peraturan dan pembatasan dari hak-hak asasi manusia dalam suatu undang-undang dalam beberapa pasal: a. Pasal 28I ayat (5): “Untuk menegakkan dan melindungi dengan hak asasi prinsip manusia negara sesuai hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” b. Pasal 28J ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” c. Pasal 28J ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, tunduk kepada setiap orang pembatasan wajib yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan memenuhi dengan orang tuntutan pertimbangan lain yang dan untuk adil sesuai moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar, yakni sebanyak empat kali, dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan 137 dan keinginan masyarakat khususnya mengenai persoalan hak asasi manusia yang tertuang di dalam Pasal 28. Bahwa kemerdekaan atau kebebasan media harus dijamin oleh negara yang dilaksanakan dengan tetap mengingat manfaatnya untuk tetap menjaga integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata kesejahteraan susila, serta umum, kehidupan bangsa. kebebasan juga dan Dalam harus memajukan mencerdaskan konteks ini dilaksanakan pula, secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Representasi Kebebasan Berekspresi sebagai Isi yang diatur di dalam Peraturan Perundangundangan Dengan diakuinya kebebasan berekspresi sebagai bagian penting bagi hak asasi manusia di dalam konstitusi, maka tetap saja dibutuhkan adanya pembentukan undang-undang yang secara khusus mengimplementasikan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara komprehensif dan berlaku sebagai payung hukum hak asasi manusia yang utama di Indonesia (umbrella act). Oleh karena itu, kemudian disusun dan diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 138 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini pula yang menjiwai pembentukan peraturan perundang-undangan tentang media di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut, dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak memperhatikan ketertiban, bangsa. maupun elektronik nilai-nilai agama, kepentingan Dengan umum, demikian, dengan kesusilaan, dan keutuhan secara aplikatif, ketentuan di dalam Pasal 28 UUD 1945 telah diwujudkan dalam suatu undang-undang tertentu tentang hak asasi manusia, dan khususnya tentang hak atas kebebasan berekspresi. Di Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan media, yang juga mendorong perkembangan bisnis media. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Berkaitan dengan eksistensi kebebasan berekspresi mengatur pula, mengenai undang-undang substansi disebarkan. Masing-masing menyebarkan informasi atau yang tersebut hendak undang-undang konten melalui 139 medianya masing-masing. Hanya saja kemudian apakah ada singgungan kesepahaman kebebasan yang dan sama, berekspresi atau yakni bahkan bagaimana dikonstruksikan dalam wujud isi media yang memenuhi ekspektasi hak asasi manusia. a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Salah satu embrio kebebasan berekspresi pada tataran teknis peraturan adalah dengan perundang-undangan disahkannya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi seluruh adresaat-nya untuk bebas untuk mengaktualisasikan diri, melalui media pers, cetak maupun non-cetak. Undang-undang ini dibentuk sebagai respon atas upaya untuk melaksanakan prinsip demokrasi khususnya dan keadilan menjadi di upaya bidang hukum, pengejawantahan perlindungan kebebasan setelah dirubahnya UUD 1945 pada era reformasi. Undang-undang ini juga menggantikan Nomor 21 kedudukan Tahun 1982 Undang-Undang yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers. Di samping itu UU No. 40 Tahun 1999 dianggap sebagai produk hukum yang merupakan hasil dari lembaga perwakilan rakyat yang demokratis. Pada bagian 140 konsideran undang-undang ini menyebutkan latar belakang kelahirannya, yaitu: a. Kemerdekaan perwujudan unsur pers, merupakan kedaulatan penting dalam rakyat dan kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat Pasal 28 UUD 1945; b. Kemerdekaan pers, perwujudan yang dan merupakan kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan pendapat, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan; d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang harus mengharuskan dicabut, adanya karena SIUPP, menghambat kebebasan pers.110 Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka 110 Terdapat persamaan antara UU No. 40/1999 dengan UU No. 11/1966 dimana keduanya lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Adapun prinsip dasar dalam kedua undang-undang tentang pers tersebut menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang sebelumnya mendera kehidupan pers. Ketentuan-ketentuan yang identik diantaranya: sensor dan pembredelan pers, ketentuan tentang SIT dan SUPP, perlindungan terhadap tugas jurnalistik, dan pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis. Lihat Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia. PT. Grasindo; Jakarta, 2005. Hal.56-57. 141 dimulailah era baru kebebasan pers, telah membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di Indonesia.111 Bagi insan media, dengan adanyanya undang-undang baru ini memberikan mendapatkan peluang keragaman baru untuk informasi yang bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman kepemilikan media. Selain memberikan peluang bagi munculnya berbagai lembaga pers baru, UU No. 40 Tahun 1999 juga memberikan dampak lain yang signifikan. Kemerdekaan dan keterbukaan para pelaku media pers semakin terlindungi dalam yakni hal menjalankan mencari, menyimpan, aktivitas jurnalistik, memperoleh, mengilah dan memiliki, menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia. Disamping tonggak itu, baru undang-undang sejarah ini kebebasan menjadi pers yang kemudian dikenal sebagai kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers sebagai konsep yang diperkenalkan bermaksud melalui untuk undang-undang memberikan jaminan ini, hak asasu manusia yang merupakan salah satu ujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang 111 Indikator awal meningkatnya jumlah penerbitan lembaga pers. Data Direktorat Pembinaan Pers pada 23 September 1999, menyatakan bahwa jumlah penerbitan media cetak di Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin mencapai 1.687 buah. Padahal pada tahun 1997 hanya 289 media, yang menunjukkan bahwa hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan media setelah terbitnya UU No. 40 Tahun 1999. 142 sangat penting menciptakan kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin.112 Selain itu, dinyatakan pula dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan prinsip rakyat yang demokrasi, berasaskan keadilan dan diatur secara prinsip- supremasi hukum. Hal-hal yang berbeda dibanding dengan peraturan perundangan yang sebelumnya113 adalah pers dan kebebasan pers yang diakui sebagai kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2). Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 A1). Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 Ayat 2). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 Ayat 3). Serta dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan 112 Lihat konsideran UU No. 40 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. 113 143 hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (Pasal 4 Ayat 4). Undang-Undang ini mengandung materi yang memberikan jaminan atas kebebasan pers sebagai hak asasi dan sebagai wujud atas adanya kedaulatan rakyat. Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas yang menolak ancaman eksternal terhadap kebebasan pers seperti: a. penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, Pasal 4 ayat (2); b. tindakan yang menghambat menyebarluaskan atau gagasan dan informasi, Pasal 4 ayat (3); c. kepada siapa ancaman saja yang terhadap melakukan kebebasan pers dapat dipidana, Pasal 18 ayat (1); dan, d. pelanggaran-pelanggaran kewajiban penghormatan norma-norma masyarakat bersalah terhadap agama, serta (Pasal ras asas 5 terhadap ayat kesusilaan praduga (1)), tak dapat diancam pidana, Pasal 18 ayat (2). Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut mendorong agar kegiatan pers yang bebas dan dilindungi oleh undang-undang, tidak diintervensi oleh pihak manapun, sekaligus juga memberikan pengakuan bahwa kebebasan pers atau 144 yang kemudian disebut sebagai kemerdekaan pers (seharusnya) dapat dilaksanakan secara bertanggungjawab. Asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik penikmat media, juga dimuat oleh karena pers memiliki potensi melakukan kekeliruan dalam melaksanakan aktivitasnya. Kekeliruan dapat berdampak negatif pada aspek kepentingan orang atau sekelompok orang, baik langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, diperlukan mekanisme pertanggungjawaban pers atas tindakan Mekanisme negatif tanggung dimunculkan dalam maksud bahwa karena aktivitas yang jawab dilakukannya. pers kemudian undang-undang, persoalan yang pers sudah dengan timbul oleh selayaknya diselesaikan melalui pertanggung jawaban pers yang diperuntukkan pers sendiri. Karya pers jurnalistik yang bermasalah mempunyai mekanisme tanggungjawabnya sendiri. Terkait dengan muatan pers, yang kemudian diatur di dalam UU No. 40 Tahun 1999, secara khusus terdapat pada Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan ras kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal ini menjadi satu-satunya ketentuan di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang memberikan pernyataan bahwa muatan di dalam 145 pers harus memiliki syarat prakondisi tertentu. Pasal ini juga menjadi satu-satunya ketentuan yang secara eksplisit menyatakan kewajiban atas sesuatu muatan pers yang hendak disebarluaskan. Hal menarik berikutnya adalah bahwa dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999 ini, dipertegas adanya suatu lembaga yakni Dewan Pers yang dimaksudkan untuk menjadi pelindung kebebasan pers, yang tidak lagi menjadi penasihat Pemerintah.114 b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Isu pertama yang didengungkan ketika undang-undang ini disusun dan disahkan adalah undang-undang ini tidak ditandatangani oleh Presiden RI pada waktu itu, Megawati Soekarnoputri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 memang merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat pada masa itu kemudian tidak mendapatkan tanda tangan Presiden sebagai bentuk pengesahan. Oleh karena tidak ditandatangani oleh Presiden, maka undang114 Dewan Pers pertama kali dibentuk pada tahun 1968 berdasarkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tentang Pers, dan disahkan oleh Presiden Soekarno tanggal 12 Desember 1966. Fungsi awalnya adalah sebagai pendamping pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Adapun ketua Dewan Pers pertama kali adalah Menteri Penerangan. Seiring perkembangannya, Dewan Pers tidak banyak perubahan pada masa orde baru, dengan adanya UU No. 21 Tahun 1982. 146 undang tersebut tetap menjadi produk hukum yang mengikat bagi penyelenggaraan kegiatan penyiaran radio dan penyiaran televisi. Urgensi dari undang-undang ini adalah untuk mengembangkan demokrasi yang sekaligus memecah yang cengkeraman selama ini sekelompok mengangkangi pemodal keberadaan lembaga penyiaran di Indonesia. Undang-Undang Penyiaran adalah regulasi dengan visi menyerahkan regulasi penyiaran kepada publik (yang direpresentasikan dengan dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia), serta mendorong adanya keragaman kepemilikan menciptakan keragaman Undang-undang untuk muatan.115 ini juga hendak mendorong terbentuknya sistem penyiaran di Indonesia yang demokratis, dengan bertumpu pada dua hal: diversity of content dan diversity of ownership. Dua hal inilah yang menjadi isu sentral dalam kajian peraturan perundang- undangan tentang penyiaran. Semangat yang hendak dibangun melalui isu sentral itu adalah bahwa tersedianya informasi dapat menunjang kepentingan publik (public interest) untuk menuju kebaikan publik (public good). Dalam kerangka pembentukan peraturan perundang-undangan beberapa 115 aspek tentang yang penyiaran, ada dipertimbangkan dan Judhariksawan. Hukum Penyiaran.Rajawali Press; Jakarta, 2010. Hal. 92. 147 menjadi bahasan. Aspek-aspek itu adalah: persoalan teknikal atau aspek teknologi (technology aspect), aspek hukum perizinan, aspek hukum program siaran, dan aspek hukum pidana dalam penyiaran. Aspek teknologi berkaitan dengan teknik operasional lembaga penyiaran, yakni penggunaan spektrum frekuesnsi sampai dengan digitalisasi penyiaran, dimana ada keterkaitan antara pranata hukum nasional dan hukum internasional. Aspek hukum memaparkan perizinan tentang penyiaran, kelembagaan dan mekanisme perizinan penyiaran di Indonesia, baik berdasarkan maupun undang-undang peraturan penyiaran pelaksanaannnya. Aspek hukum program siaran meliputi aturan tentang boleh dan tidak boleh suatu program disiarkan, standar program dan isi siaran, serta aturan hukum lain yang harus dipatuhi oleh praktisi penyiaran. Aspek-aspek memberikan tersebut pertimbangan sekaligus bagi pembentuk undang-undang, khususnya pada aspek program siaran yang Penyiaran mendorong memiliki muatan Undang-Undang tertentu yang mengakomodasi kepentingan akan kebebasan berekspresi. Di dalam undang-undang kemudia dicantumkan tetantang isi siaran yang harus sesuai dengan Pasal 2 yang menyatakan bahwa 148 diselenggarakan berdasar Pancasila dan UUD 1945 dengan asas-asasnya: manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Sedang isi siaran harus sesuai dengan Pasal 3 yakni bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Isi siaran sesuai amanat Pasal 4 adalah sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Artinya bahwa dengan demikian isi siaran sekaligus mewujudkan fungsi penyiaran, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi kebudayaan. Di sisi lain isi siaran juga harus diarahkan pada hal-hal yang terurai pada Pasal 5. Arah penyelenggaraan penyiaran tersebut harus mengedepankan prinsip perlindungan hak asasi oleh negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik dalam kerangka diversity of ownership dan diversity of content. 149 Berkaitan dengan isi siaran, maka dibuatlah program siaran yang dalam kerangka tersebut dapat diketahui tentang dua hal: bentuk ‘kewajiban’ dan ‘larangan’ terhadap isi siaran. Adapun dimuat bahwa lembaga penyiaran dalam menyampaikan program siarannya memiliki empat kewajiban, yakni: a. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan moral, intelektualitas, kemajuan, kekuatan watak, bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. b. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri. c. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. 150 d. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Sementara di dalam Pasal 36 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 dicantumkan hal sebagai berikut: (1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. (2) -... (3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (5) Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. (6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. 151 Pasal yang sama pula, dicantumkan pula tentang larangan-larangan tentang isi siaran. Larangan ini terkelompok dalam dua kategori, yakni yang pertama adalah kelompok isi siaran yang mengandung tindakan-tindakan pidana dan diskriminasi. Kandungan isi siaran yang dilarang adalah yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, aga-ma, ras, dan antar golongan. Sedang yang kedua adalah isi siaran yang mendiskreditkan norma-norma sosial serta interaksinya dalam hubungan internasional. Isi siaran ini dahkan, dilarang memperolokkan, melecehkan dan/atau meren- mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Undangundang ini juga mengatur hal-hal lain yang terkait dengan isi siaran, diantaranya tentang Bahasa Siaran, Relai dan Siaran Bersama, Ralat Siaran, Arsip Siaran, Siaran Iklan, serta Sensor Siaran. Hal-hal tersebut melekat pada content yang hendak disebarluaskan dalam rangka penyelenggaraan siaran. Di samping itu, perlindungan terhadap hak intelektual, nampak pada Pasal 43 tentang Hak Siar, 152 dimana persoalan hak cipta juga mendapatkan perhatian khusus. Korelasi yang nampak adalah hubungan antara Pasal 35 dengan Pasal 43 dimana ada penekanan mengenai ‘hak siar’. Adapun hak siar adalah hak yang dimiliki oleh lembaga penyiaran program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya. Bahkan secara teknis, Undang-Undang Penyiaran membentuk lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi isi siaran, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).116 Komisi inilah yang kemudian membuat suatu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).117 Di dalam ketentuan ini disebutkan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan panduan tentang batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan diperbolehkan dan berlangsung atau tidak dalam proses 116 KPI disebut sebagai lembaga negara independen (independent state body/agency), yang dalam struktur ketatanegaraan KPI diklasifikasikan sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh undang-undang (bukan konstitusi). Pembentukannya didasarkan atas pemikiran agar KPI berfungsi sebagai regulator di bidang penyiaran (self regulatory body) yakni untuk menjalankan prinsip diversity of ownership dan diversity of content dalam demokratisasi penyiaran. Lihat Masduki, Hukum Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. LKiS; Yogyakarta, 2007. Hal. 206-209. 117 Ditetapkan pertama kali melalui Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, tanggal 30 Agustus 2004 (selanjutnya disebut dengan Keputusan KPI No. 009/SK/KPI/8/2004). Berikutnya keputusan ini mengalami perkembangan dan kemudian beberapa kali dibentuk Peraturan KPI yang mengatur mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran, yakni dengan Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009. Di samping itu dibentuk pula Peraturan KPI Nomor: 03/P/KPI/12/2009 tentang Standar Program Siaran. 153 pembuatan program siaran, sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran.118 P3/SPS dibentuk dengan tujuan untuk mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia. Pedoman ini dibutuhkan oleh mereka penyiaran yang oleh berkepentingan di karena adanya dunia pemanfaatan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dan pemanfaatannya tersebut harus ditujukan demi kemaslahatan masyarakat baku ini yang sebesar-besarnya. menjadi pedoman bagi Standar lembaga penyiaran untuk terus menerus memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera.119 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah dasar Siaran untuk (SPS). penyusunan Keduanya Standar Program merupakan dua kerangka yang saling berkaitan satu dengan 118 119 Pasal 1angka 1 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009. Pasal 2 s.d 4 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009. 154 yang lainnya. Pedoman Perilaku Penyiaran mengatur hal-hal yang menyangkut penyusunan standar program siaran120: Tabel 3.1. P3 dan SPS Pedoman Perilaku Penyiaran vide Standar Program Siaran Penghormatan Perlindungan Pembatasan materi program siaran Tertentu - Terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antar golongan; - Terhadap norma kesopanan dan kesusilaan; - Terhadap hak privasi dan pribadi; - Terhadap hak-hak anak, remaja dan perempuan; - Terhadap hak-hak kelompok masyarakat minoritas dan marjinal; - Terhadap kepentingan publik; - Terkait kesusilaan; - Terkait kekerasan dan sadism; - Terkait narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), alcohol dan perjudian; - Penggolongan program siaran; - Prinsip jurnalistik; - Bahasa, bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan; - Sensor dalam program siaran; - Lembaga penyiaran berlangganan; - Siaran iklan; - Siaran asing; - Siaran lokal dalam sistem stasiun jaringan; - Siaran langsung; - Program siaran kuis, undian berhadiah, dan penggalangan dana; - Peliputan bencana alam; - Siaran pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah; - Narasumber; - Privasi; - Pembawa acara; - Siaran pembuka dan penutup; dan - Pengawasan, pengaduan dan penanggung jawab. Dengan melihat substansi dari peraturan teknis yang disusun dan ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator di bidang 120 Pasal 5 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009 vide Pasal 5 Peraturan KPI Nomor: 03/P/KPI/12/2009. 155 penyiaran, peraturan teknis tersebut, secara substantive dibuat dengan mengacu berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002. c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan oleh DPR-RI yang kemudian diundangkan secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 21 April 2008. Undang-undang ini lahir dari proses dirancangnya dua Naskah Akademik dan dua Rancangan Undang-Undang (RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Transaksi Elektronik).121 Bahwa kedua rancangan undangundang tersebut merupakan respon dari perkembangan dunia teknologi, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan teknologi jaringan/networking melalui internet. Dipahami juga bahwa perkembangan ini harus mendapatkan tempat untuk diperhatikan oleh negara, oleh karena implikasi teknologi ini dapat mempengaruhi dimensi-dimensi perekonomian, 121 RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun dan dibahas oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Tim Asistensi Institut Teknologi Bandung. Sedangkan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik disusun oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia yang dilakukan melalui jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 156 perdagangan, bahkan juga sampai pada kehidupan ekonomi dan sosial. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah merupakan pertama di undang-undang Indonesia yang yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan yang menggunakan sarana internet. Dua muatan besar yang diatur di dalam undang-undang ini sebenarnya hanya mengenai pengaturan transaksi elektronik dan tentang tindak pidana cyber. Materi muatan itu merupakan implementasi dari perkembangan global tentang penggunaan media internet sebagai sarana teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi dan kegiatan lainnya yang dapat dilakukan. Prinsip-prinsip di dalam instrumen hukum internasional yang menjadi referensi adalah UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Di dunia cyber, ekstrateritorial karena merupak dunia virtual negara, sehingga bagaimana diberlakukanlah asas jangkauan cyber yang perlu yurisdiksi yang bersifat lintas dipertimbangkan berlaku atas perbuatan atau tindakan yang menggunakan 157 cyber sebagai domainnya.122 Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut, baik yang berada di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan bersama.123 Adapun merugikan kepentingan yang dimaksud dengan Indonesia adalah meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kerugian yang ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum negara. Secara yurisdiksi, undang-undang ini juga menjangkau setiap perbuatan hukum tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun di luar wilayah Indonesia, dilakukan oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing, badan 122 Asas ekstrateritorial yang terdapat di UU ITE dikembangkan dari pemberlakuan asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif yang terdapat dalam KUHP. Bahwa asas tersebut merupakan prinsip-prinsip yang berlaku di undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga negara asing yang berada di dalam wilayah negara itu-baik yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah negara tersebut, baik wilayah darat maupun laut. Di dalam KUHP, asas territorial terdapat pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundangundangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Sedang perluasan dari asas ini sebagaimana terdapat pada Pasal 3 KUHP yang menyatakan ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara. 123 Lihat Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008. 158 hukum Indonesia maupun badan hukum asing, dimana perbuatan hukum tersebut memiliki akibat hukum di Indonesia, oleh karena pemanfaatan informasi teknologi intik informasi elektronik bersifat dan transaksi elektronik lintas territorial atau keberlakuan menjangkau universal.124 undang-undang semua orang dapat ini yang yang melakukan perbuatan hukum (khususnya tindak pidana) baik di dalam dan di wilayah negara Indonesia, memberikan ruang yang lebih luas bagi negara sendiri untuk perlindungan memastikan bagi bahwa perkembangan ada teknologi informasi yang bertanggung jawab. Dalam konsep ini diperluaslah makna prinsip universality: universal interest jurisdiction, dari dimana setiap orang berhak menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan, menjadi kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), genocide, pembajakan pesawat, dapat diperluas: internet privacy, hacking, cracking, viruses sepanjang termasuk very serious crime 124 Lihat Pasal 4 KUHP yang memuat asas nasionalitas pasif. Bahwa undangundang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Dan Pasal 5 KUHP dinyatakan bahwa perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Pasal ini mengandung dan memuat asas nasional aktif. 159 dikembangkan menjadi extra territorial jurisdiction.125 Pengembangan asas territorial menjadi asas ekstrateritorial dikarenakan bahwa asas territorial dirasa belumlah cukup untuk menjerat seseorang yang melakukan perbuatan hukum di luar wilayah perkembangan suatu teknologi berbasiskan dunia cyber negara untuk prinsip-prinsip negara. informasi yang mendorong banyak menambahkan atau Dengan asas-asas keberlakukan lain agar peraturan perundang-undangan tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas. Dunia cyber memerlukan asas ekstrateritorialitas karena pelaku perbuatan hukum belum tentu hadir dalam wilayah negara yang bersangkutan. Pasal 1 angka 1 UU ITE menyatakan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah 125 Sigid Suseno dalam Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar UndangUndang No, 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2008. Hal. 9. 160 diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Di UU ITE diberikan pengertian mengenai Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau Sistem didengar Elektronik, melalui Komputer termasuk tetapi atau tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Secara khusus, dapat dilihat bagaimana UU ITE mengatur tentang konten media, namun karakternya lebih kepada substansi media yang dilarang. Konten126 pada dasarnya merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.127 Oleh karena itu, konten perlu 126 Istilah “konten” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris: content yang diartikan sebagai adalah informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik. Konten ini dapat disampaikan melalui berbagai medium seperti internet, televisi, CD audio, bahkan acara langsung seperti konferensi dan pertunjukan panggung. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menguantifikasi beragam format dan genre informasi sebagai komponen nilai tambah media. Lihat: Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008. 127 Josua Sitompul. Cyberspaces, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Cet. Pertama. PT. Tatanusa; Ciputat, 2012. Hal.149. 161 diatur karena alasan penting, yakni pertama, perlunya perlindungan perlindungan diberikan seperti dalam hukum perlindungan dunia nyata atau seperti yang fisik (realspace). Meskipun di dunia virtual, faktanya adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik dan ada dampak dari semua jenis transaksi elektronik via dunia virtual (cyber) tersebut yang dirasakan secara nyata. Sedangkan alasan yang kedua adalah bahwa dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Misalnya saja pengguna internet seringkali menggunakan nama alias atau anonym. Konten yang disebarkan (apapun akibatnya), dapat berasal dari subyek-subyek yang belum tentu bisa diketahu identitas aslinya.128 Di dalam UU ITE ada perbuatan-perbuatan yang dilakukan subyek pengguna media teknologi informasi, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut berkaitan erat dengan substansi atau isi media, yakni yang disebut sebagai kontenkonten yang dilarang, beberapa pasal berikut: 128 Josua Sitompul, ibid. Hal. 148-149. 162 diantaranya dalam Tabel 3.2. Ketentuan tentang Isi dalam UU ITE Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (2) Pasal 27 ayat (3) Pasal 27 ayat (4) Pasal 28 ayat (1) Pasal 28 ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 163 Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal-pasal dalam UU ITE tersebut pada dasarnya memuat konteks larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Artinya bahwa implementasi atas kebebasan berekspresi pada UU ITE mengarah pada bentuk-bentuk larangan terhadap perbuatan yang dianggap menciderai kebebasan berekspresi pada beberapa hal yang terkait, yakni: (a) kesusilaan, (b) perjudian, (c) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, (d) pemerasan dan/atau pengancaman, (e) kerugian konsumen, (f) rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan (g) ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. d. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Undang-undang respon terhadap Indonesia, 164 yang ini dibentuk perkembangan kemudian harus sebagai film di direspon secara akomodatif. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan aktivitas film di Indonesia. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman disusun sebagai peraturan yang dengan maksud merespon adanya reformasi di bidang politik dan kebudayaan, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terciptanya paradigma baru, khususnya mengenai film. Dalam undangundang ini pula, aspek-aspek yang menjadi perhatian adalah perlindungan hukum terhadap aktivitas perfilman, sensor dan/atau penyensoran film, serta peran serta masyarakat luas di bidang perfilman yang difasilitasi negara. Sebagai karya seni kebudayaan, film dapat ditampilkan dengan atau tanpa suara yang mengandung arti bahwa film menjadi media komunikasi massa yang dapat menyampaikan pesan dan gagasan kepada publik. Film juga menjadi fungsi bentuk ekspresi pendidikan, yang hiburan, mempunyai informasi, dan pendorong karya kreatif. Oleh karena fungsi tersebut, maka film dapat berfungsi ekonomi yang mampu masyarakat memajukan dengan kesejahteraan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Film menyentuh berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 165 Undang-undang segala aktivitas ini di hendak dunia mengatur film, yang diselenggarakan di Indonesia. Baik aspek tata kelola, produksi, pemasaran, pembuatan dan aktivitas-aktivitas stakeholders di bidang film di Indonesia. Film memang produk kesenian yang berbeda dengan produk seni yang lain, yang di dalamnya hampir memuat segala ekspektasi dari pembuatnya khalayak yang dan berasal ditujukan dari kepada berbagai latar belakang. Film memuat hal-hal yang merupakan wujud ekspresi pembuatnya (dan segala pihak yang terlibat) untuk mencapai suatu pesan tertentu yang hendak disampaikan kepada masyarakat penikmatnya. Film adalah bagian dari kebudayaan yang mampu menjadi sarana untuk tujuan-tujuan pencerdasan bangsa, sebagai pengembangan kualitas manusia yang berpotensi budaya, film juga dianggap dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dalam hal substansinya yang mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai asing yang bersifat negatif. Hal-hal tersebut menjadi latar belakang diterbitkannya alasan dibentuk undang-undang perfilman dan di Indonesia, selain karena alasan bahwa undangundang yang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan era global. 166 Film dapat diproduksi di dalam negeri dan dapat pula merupakan film-film yang diproduksi oleh pembuatnya di luar negeri. Maka dari itu film dapat diedarkan dari luar negeri ke dalam negeri. Pemerintah beredarnya sebagai film, pelindung harus mampu atas untuk memberikan perlindungan bagi peredaran film di Indonesia yang dimaksudkan untuk tetap dapat mewujudkan kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan. Film sebelum beredar dan dipertunjukkan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga khusus yakni lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi,penistaan, pelecehan penodaan agama pengaruh nilai-nilai negatif budaya dan/atau atau karena asing.129 Adapun mekanisme penyensoran dilaksanakan dengan 129 Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. 167 prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Sedangkan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor. Di dalam Nomor 33 memuat penjelasan Tahun bahwa 2009 peran Undang-Undang tentang strategis Perfilman perfilman, pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selain itu masyarakat wajib dilindungi dari masyarakat juga pengaruh diberi negatif film, kesempatan untuk berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Adanya latar belakang pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut dan diganti. Penyusunan UU Perfilman yang baru (UU No. 33 Tahun 2009) 168 dilakukan sesuai persyaratan penyusunan Undang-undang, dengan melibatkan seluruh elemen ataupun stake holder yang terlibat dalam dunia perfilman baik itu budayawan kemudian akademisi, praktisi-praktisi perfilman, para pengamat film dan kebudayaan, bahkan juga para artis serta pengusaha-pengusaha perfilman. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 secara substansial mengatur hal-hal yang berkaitan dengan film, yakni tentang bagaimana proses pembuatan film, mengatur tentang masalahmasalah yang berkenaan dengan pendidikan atau skill tentang perfilman, isi film, metode penayangan dan cara mengedarkan film. Pada undang-undang ini diperkenalkan kategorisasi film yang yang layak dikonsumsi oleh penikmatnya, yakni golongan umur tertentu, waktu tertentu. Tentang cara peredaran film juga diatur agar tidak terjadi monopoli oleh salah satu pihak tertentu saja. Berkaitan dengan isu kebebasan, maka undang-undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan isi dengan menghadirkan satu lembaga yang disebut dengan Lembaga Sensor Film yang peranannya diperkuat untuk mengukur atau menilai suatu substansi film. Isi film diawasi oleh lembaga ini dengan tujuan agar produk film dapat memenuhi standar169 standar kualitas tertentu yang ditetapkan agar tidak memberikan dampak negatif terhadap konsumennya. Satu hal yang menarik dalam undang-undang ini yang berkaitan dengan isi dalam kebebasan berekspresi adalah tentang adanya self sensor sebagai isu yang banyak dibahas. Pengguntingan film yang ditiadakan, dikarenakan para pembuat film dibebaskan untuk memproduksi filmnya sendiri untuk kemudian diajukan ke lembaga sensor. Lembaga sensor kemudian memberikan penilaian sesuai dengan kriteria. Bilamana tidak sesuai dengan kriteria, maka lembaga sensor mengembalikan film dimaksud kepada pembuatnya, disertai dengan permintaan untuk memperbaikinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self sensor. Mengembangkan kebebasan berekspresi di bidang perfilman, undang-undang mengatur mengenai isi film yang terdapat pada Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan penyalahgunaan perjudian narkotika, tropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi; 170 serta psiko- c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antar suku, antar ras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau mendoai nilai-nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau f. merendahkan harkat dan martabat manusia. Isi yang diatur di dalam perfilman juga menyangkut iklan dalam film yang disebut iklan film, yang pada dasarnya secara substansi tidak boleh bertentangan dengan Pasal 6 tersebut di atas. Secara otentik undang-undang menggunakan kalimat larangan, mengindikasikan ada ruang ini sehingga batasan bagi pelaksanaan isi film. Sejalan dengan itu, pada pasal-pasal lainnya juga dibatasi isi film yang berkaitan adanya dengan kewajiban mencegah beredarnya bagi masuknya film, yakni: pemerintah untuk film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa (Pasal 41). Tentang beredarnya film atau iklan film ini, juga harus mendapatkan dengan tanda lolos uji yang disebut dengan surat tanda lulus sensor dari lembaga sensor film (Pasal 57-58). 171 Ada yang menarik yang dapat menjadi perhatian juga, yakni bahwa pada Pasal 2 dan 3, pemerintah berkewajiban melindungi dan memfasilitasi setiap produksi film. Sedangkan pada Pasal 17 tertera bahwa pembuat film wajib melaporkan judul, isi, dan rencana produksi film kepada Kementerian Kebudayaan dan pariwisata sebelum memulai proses produksi. Jadi semenjak awal ada upaya untuk membuka ruang produksi film kepada pemerintah dengan maksud agar ada kejelasan tentang hal apa yang hendak dibuat (film). B. Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan Tentang Media di Indonesia Media berpijak pada ideologi yang berorientasi kepada massa, sehingga media menjadi sarana atau lembaga sosial yang memiliki pengaruh dalam perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini. Media dalam kerangka yang demikian memiliki beberapa fungsi yang antara lain130: 1. Fungsi informasi: bahwa media telah menjadi alat untuk mencari dan mendapatkan informasi bagi masyarakat. 2. Fungsi agenda: bahwa media menjadi agenda kerja 130 bagi masyarakat, dimana masyarakat Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2007. Hal. 60-62. 172 memiliki rencana-rencana oleh karena pengaruh media. 3. Fungsi penghubung orang: bahwa medi memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengetahui keadaan, posisi dan kegiatan orang lain di tempat lain, sehingga dengan demikian media menjadi alat untuk menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya. 4. Pendidikan: bahwa media memberikan pesan tentang pendidikan. 5. Fungsi membujuk: kekuatan untuk bahwa membujuk media atau memiliki merayu pendengar, penonton atau pembacanya demi melakukan sesuatu. 6. Fungsi menghibur: bahwa media memberikan hiburan melalui apa yang ditampilkan dan disebarkan olehnya. Sedangkan dalam kaitannya dengan isi dan jenis media, ada perbedaan antara jenis media yang satu dengan jenis media yang lain. Media meliputi media cetak dan media elektronik, yang di dalamnya terdapat pers cetak dan pers penyiaran. Pers menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kedua jenis media ini, karena pers yang kemudian menjiwai keberadaan media cetak dan penyiaran. Media setidaknya terdiri dari jenis media cetak dan media penyiaran. Media cetak isinya sebagian besar adalah karya jurnalistik, sedang 173 media penyiaran sebagian besar adalah bukan jurnalistik.131 karya Untuk mengatur media, dibentuklah hukum media yang menjadi sarana regulasi dan bertujuan untuk mengatur media massa. Disebut dengan hukum media, dikarenakan merupakan kumpulan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang media yang berbeda. Meskipun sebenarnya bila dilihat aspek-aspek pengaturannya memiliki kemiripan satu sama lain. Demikian sehingga hukum media mengenai sebagai hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur media massa, sebagai alat komunikasi massa. Hukum media sendiri meliputi hukum media cetak, hukum media penyiaran, film, hukum siber (cyber law), dan hukum pers (baik pers cetak, penyiaran maupun pers via dalamnya internet). adalah Ketentuan yang yang mengenai diatur isi di media, prosedur penggunaan media, kepemilikan media, dan sebagainya, yang kesemuanya melibatkan media sebagai obyek sentralnya. Pada situasi yang demikian, maka memunculkan konsepsi mendasar, yakni bahwa ada alasan-alasan penting mengapa kemudian media harus diatur. Bertolak dari kepentingan hak asasi manusia, maka ada beberapa hal yang menyebabkan media harus diatur. Pertama, pertimbangan kepentingan umum atau kepentingan 131 Ibid. Hal. 67. 174 publik. Bahwa pernyataan pendapat, apapun itu, berkaitan dengan keberadaan media sebagai alat untuk menyebarluaskan. Demikian maka media pada dasarnya menjadi alat untuk menyatakan pendapat secara masyarakat. luas Media yang digunakan kemudian menjadi oleh penting untuk diatur, dimana media harus mendapatkan perlindungan dari upaya-upaya pengekangan atau gangguan-gangguan terhadap pernyataan pendapat. Media diatur agar masyarakat hambatan-hambatan yang terhindar dari berakibat pada terganggunya hak asasi manusia. Di sisi lain, ada kepentingan bisnis yang menyertai hadirnya media. Pengelolaan media oleh subyek-subyek organisasi/lembaga, menyebabkan ada orientasi bisnis yang juga berpengaruh pada kepentingan ekonomi. berhadap-hadapan dimana dengan kepentingan berorientasi Kepentingan bisnis bisnis kepentingan privat ini bisnis, organisasi mempengaruhi yang aspek kepentingan umum. Demikian maka hukum media hendak menjembatani tiga unsur utama: media, kepentingan bisnis dan kepentingan umum.132 132 Pendapat Hari Wiryawan mengemukakan bahwa hukum media dibentuk dari tiga inti dasar: media, kepentingan umum dan kepentingan privat perusahaan. Hukum media hendak menjaga agar kepentingan umum dapat terjaga dari media, dan tetap menyadari bahwa media harus menghidupi dirinya sendiri. Lihat: Hari Wiryawan, op. cit. Hal. 134. 175 Bilamana media harus diatur di dalam hukum, maka yang harus dicermati dalam konteks ini adalah bagaimana kebebasan berekspresi diberikan ruang untuk ‘bebas’ dan ‘diatur’ olehnya. Kebebasan berekspresi, sekali lagi merupakan bagian dari hak asasi manusia, menggunakan media sebagai wadah untuk menegaskan eksistensinya. Media adalah salah satunya. Media dewasa ini menjadi saluran utama bagi upaya mengembangkan kebebasan berekspresi. Sejalan dengan hal tersebut, ada tujuh penyimpangan media yang dikemukakan oleh Paul Jhonson demikian133: Pertama, distorsi informasi, yakni praktek mengurangi hal penting atau malah menambahkan hal yang tidak rekonstruksi penting pemberitaan bagi publik terhadap (pola suatu pemberitaan). Kedua, dramatisasi fakta palsu, yang dilakukan dengan bertumpu pada kekuatan narasi dari narrator. Ketiga, mengganggu privasi, alibi demi kepentingan publik dengan cara memaksa nara sumber sesuatu yang untuk bersedia sifatnya menyampaikan privasi. Keempat, pembunuhan karakter, dengan mencari sisi gelap atau kesalahan seseorang yang dikemukakan dengan penuh tendensius. 133 Paul Jhonson dalam Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotaiment dalam Industri Televisi, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2013. Hal.38-40. 176 Kelima, eksploitasi memanfaatkan dikonstruksi seks, eksistensi secara dengan perempuan seksual, dari yang penggunaan kostum yang minim sampai dengan menonjolkan bagian-bagian Keenam, tertentu meracuni dari tubuh benak/pikiran perempuan. anak, yakni dengan mengeksploitasi kesadaran berpikir anak secara tidak normal padahal tidak mendidik (memaksa anak berperan dalam sebuah adegan agar tayangan seakan-akan layak dikonsumsi anak). Dan ketujuh, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana ada produksi opini dan mendistribusikannya sebagai wacana yang dapat membentuk dan menggiring opini publik lewat mass deception. Perkembangan media dan hukum media, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hak, khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Perlu diamati dan dikaji bagaimana kebebasan berekspresi yang dimaksud dalam pelbagai konsep yang universal tentang hak, untuk kemudian diakomodasi di peraturan perundang-undangan di bidang media. Berkaitan dengan tujuan atau orientasi pada bisnis media, maka setidak-tidaknya UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman dapat menggambarkan bagaimana isi media dapat ditampilkan secara bertanggung jawab. Masingmasing undang-undang memiliki muatan tersendiri mengenai isi yang hendak disampaikan kepada 177 khalayak. berbeda, Meskipun namun media pada yang titik digunakan tertentu terdapat identitas, yang notabene adalah implementasi dari kebebasan berekspresi, dalam kerangka prinsip yang identik. Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP) memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Akan tetapi ketiga undang-undang tersebut dalam penulisan ini tidak dapat dikaji secara mendalam, khususnya dalam hal isi media. UU Telekomunikasi, UU Pornografi dan UU KIP tidak mengatur mengenai isi media sebagai isu utama dalam dilihat, perkembangan memang bisnis UU media. Pornografi Bilamana mengatur bagaimana pornografi di media massa, namun perihal pornografi hanya menjadi sebagian kecil isu dalam kebebasan berekspresi. Pornografi bukanlah satu-satunya isu sentral di isi media yang diatur di dalam empat peraturan perundang-undangan yang menjadi norma dasar isi media di Indonesia. Sementara itu, UU Telekomunikasi mengatur hal teknis bagaimana bentuk 178 yang berbeda. telekomunikasi infrastruktur, Selain dibangun namun juga mengenai sebagai mengatur mengenai perkembangan teknologi informasi di Indonesia. UU Telekomunikasi juga mengatur mengenai tata cara penggunaan teknologi informasi yang tidak berhubungan erat dengan isi media secara langsung dan hanya mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Pengaturan tersebut menjadi tidak dapat dijadikan titik tolak dalam penulisan ini dikarenakan isu mengenai isi media tidak menjadi fokus utama, sehingga UU Telekomunikasi tidak mengatur secara detail. UU KIP perwujudan memang merupakan kebebasan salah berekspresi, satu yakni menekankan pada penyelenggaraan negara yang harus dilakukan secara terbuka atau transparan. Undang-undang ini juga menjamin setiap orang untuk memperoleh informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Implikasinya adalah bahwa masyarakat terlibat lebih banyak dalam penyelenggaraan negara, yakni dapat mengawasi serta terlibat saat proses penentuan kebijakan publik. akhirnya akan Keterlibatan menghasilkan tersebut pada penyeleggaraan negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu menghendaki adanya jaminan terhadap keterbukaan informasi publik. Berbeda dengan fokus pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai media, UU KIP menjadi landasan hukum bagi keberadaan masyarakat yang harus memiliki akses terhadap penyelenggaraan 179 negara yakni hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik, kewajiban setiap badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/ proporsional, dan dengan cara sederhana, serta informasi dengan pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas, sekaligus kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. Oleh karenanya, UU KIP hanya mempertegas eksistensi kebebasan berekspresi dalam rangka hubungan masyarakat dengan negara, yakni khusus mengenai penyelenggaraan negara yang bertanggungjawab. UU KIP tidak secara komprehensif memberikan landasan bagi isi media yang pada masa ini berkembang sebagai komoditas bisnis media. Demikian sehingga, UU Telekomunikasi, UU KIP dan UU Pornografi tidak menjadi landasan isi media yang merupakan representasi kebebasan berekspresi berdasarkan Pasal 28F UUD 1945 Amandemen. Meskipun demikian, secara substansial, dapat membentuk kerangka hukum media yang dapat mendukung implementasi keempat undang-undang tentang media di Indonesia. Kebebasan berekspresi hendak dilihat bagaimana cakupan dan batasannya yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang pasti menjadi perhatian adalah bagaimana undang180 undang tersebut mampu memberikan sarana perlindungan, secara otentik, maupun prakondisi yang dibentuk demi tujuan dan asas kebebasan berekspresi itu sendiri. Undang-undang selain memberikan pengakuan terhadap eksistensi hak, juga mempengaruhi bagaimana nantinya aktivitasaktivitas ekonomi dan bisnis di bidang media. Ruang lingkup penting dan manakala batasan bisnis menjadi media semakin berkembang, dikarenakan komoditas yang disebarluaskan adalah isi media itu sendiri. Isi media, baik isi pers, penyiaran, internet dan film, yang kemudian disebarluaskan, mengandung minimal dua sisi kepentingan. Isi media berdiri diantara kepentingan perlindungan hak asasi manusia dengan kepentingan bisnis media yang berkembang di lingkungan masyarakat. Pada sisi sebagai hak asasi adalah jelas, yakni bagaimana harus kebebasan dilindungi berekspresi negara, melalui sebagai hak seperangkat ketentuan dan kebijakan-kebijakan lainnya yang mendukung eksistensinya sebagai hak. Namun di sisi lain kebebasan berekspresi menjelma menjadi sebuah komoditas yang merupakan kunci dalam perkembangan bisnis media, yakni obyek untuk ditampilkan sekaligus ‘dijual’ demi mendapatkan keuntungan. berekspresi Dengan demikian, mempertemukan kebebasan (minimal) dua kepentingan yang saling bersinggungan, sehingga 181 perlu dicermati bagaimana bisnis media berkembang tanpa meninggalkan sisi perlindungan hukum atas hak. Diperlukan keseimbangan, untuk mengatur dan menempatkan aspek bisnis tanpa melukai aspek hak asasi manusia. 1. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Kebebasan Berekspresi dan Isi Media Mengatur peraturan penetrasi bisnis perundang-undangan khususnya mengenai apa media melalui tentang media, yang hendak disebarluaskan, menitik beratkan pada bagaimana ada keseimbangan antara aspek hukum dengan aspek bisnis. Pertemuan keduanya menentukan bagaimana perkembangan media sebagai bisnis sekaligus sebagai wujud kebebasan. Oleh karena itu, muatan pers, muatan penyiaran, muatan internet serta muatan film, dapat diatur dengan bijaksana. Setidak-tidaknya ada dua konvensi tentang hak asasi manusia yang dapat menjadi referensi utama dalam mengimplementasikan kebebasan berekspresi di dalam konstitusi negara-negara yang meratifikasinya. UDHR dan ICCPR menjadi rujukan utama. Khususnya mengenai muatan media yang berhubungan erat dengan kebebasan berekspresi, UDHR dan ICCPR memberikan nilai pengakuan sebagai hardlaw yang menginspirasi perkembangan hukum di bidang media. 182 adanya Salah satu kewajiban yang harus dilakukan bagi negara-negara yang telah meratifikasi konvensi, termasuk Indonesia, maka ada kewajiban untuk mengadopsi substansi konvensi dalam peraturan perundang-undangan dan atau bahkan melakukan upaya-upaya lain tang dapat memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak tersebut. Sebagai hak, maka kebebasan berekspresi yang dilindungi mendasar, di dalam Indonesia konvensi, secara telah berani mencantumkannya di dalam konstitusi. Di dalam UUD 1945 Amandemen (yang kedua), mencamtumkan ada tiga pasal yang secara khusus dan tegas memuat jaminan atas kebebasan berekspresi, yakni: Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28 E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Adapun di dalam UUD 1945 Amandemen, terdapat satu ketentuan di dalam Pasal 28F yang memberikan pernyataan yang menegaskan adanya hal khusus terkait jaminan terhadap proses perwujudan kebebasan berekspresi, demikian: 183 Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Keberadaan pasal-pasal tersebut telah membuat tegas bahwa negara di dalam konstitusi, memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi (apapun bentuk kalimatnya). Ketiga pasal tersebut menjadi dasar konstitusional yang (seharusnya) dijadikan acuan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan tentang media. Pertanyaan yang dapat diajukan dalam konsep hak berkaitan dengan yang tercantum di atas adalah apakah pasal-pasal tersebut mampu mengakomodasi dapat dikatakan prinsip-prinsip hukum internasional. Keberadaan Pasal 28 UUD 1945 pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari prinsipprinsip hukum internasional yang diakui di dalam UDHR dan ICCPR yang berkaitan dengan pengakuan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Akan tetapi perlu keterkaitan diperhatikan dan/atau pula, pengaruh apakah ada langsung dari prinsip hukum internasional yang menginspirasi adanya perubahan (melalui penambahan) Pasal 28 UUD 1945 Amandemen tersebut. 184 Pengakuan sebagai hak demokrasi, atas yang kebebasan penting sebelum di berekspresi dalam disahkannya ruang UDHR, pada sidang pertama PBB tahun 1946 sudah dinyatakan bahwa Resolusi PBB No. 59 (I) bahwa hak atas informasi merupakan hak asasi manusia fundamental dan standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB. Dengan meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, maka ada kewajiban bagi pemerintah untuk mengimplementasikan nilai-nilai universal dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan Amandemen dalam adalah Pasal jelas, 28 UUD bahwa 1945 ada segi pengakuan terhadap hak di dalam konstitusi. Hak yang tercantum dengan demikian dapat disebut sebagai hak konstitusional, yang berarti bahwa hak itu berasal dari undang-undang dasar. Berkaitan dengan isi media, maka di dalam UUD 1945 Amandemen tidak menyatakan ketegasan tentang apa yang dapat dimuat. Akan tetapi, dengan memberikan landasan konstitusi, maka implementasi soal isi (atau informasi dan pendapat) dapat disebarluaskan melalui berbagai cara dan sarana. Penjabaran terhadap Pasal 28 UUD 1945 ini menimbulkan Secara berbagai proporsional, macam akan ada muatan tarik politis. menarik, dinamis, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan stabilitas negara. Pembentukan hukum yang 185 berkaitan dengan Pasal 28 tersebut, diarahkan pada fungsi hukum sebagai pengontrol berbagai institusi kemasyarakatan dan kenegaraan. Fungsi ini menciptakan dua hal, preventif dan represif. Fungsi preventif sebagai bentuk pencegahan dalam berbagai aturan yang bersifat prevention regulation, yakni desain dari tiap tindakan yang akan dilakukan oleh masyarakat. Di sisi lain, ada fungsi represif yakni mengajukan penanggulangan sebagai penyelesaian sengketa atau pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya perencanaan tindakan tersebut.134 Kebebasan berekspresi sebagai hak yang kemudian harus diatur dan dikelola dengan tepat berkaitan dengan akomodasi peraturan perundangundangan nasional tentang media. Implikasi dari adanya peraturan perundang-undangan tentang media adalah bagaimana peraturan perundangundangan tersebut dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar kebebasan berekspresi dalam konvensi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka hubungan antara konvensi, UUD 1945 dan undangundang yang perlindungan dalam isi dibentuk terhadap media yang untuk kepentingan kebebasan berdasarkan berekspresi peraturan perundang-undangan, dapat dilihat dalam bagan berikut: 134 Samsul Wahidin, op.cit. Hal. 63-65. 186 Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang UDHR (Article 19) + ICCPR (Article 19 Section 2) UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28F UU 39/1999 Pasal 23 Ayat (2) UU 40/1999 Pers UU 32/2002 Penyiaran UU 11/2008 ITE UU 33/2009 Perfilman Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR menjadi inspirasi bagi muatan materi di dalam konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan. Keberadaan Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang, yang kemudian ditimpali dengan Pasal 28F yang membebaskan segala saluran informasi, maka terbentuklah undang-undang tentang pers, penyiaran, internet dan film. Undang-undang tersebut tetap harus menjunjung tinggi pemaknaan terhadap hak asasi. Pada sisi yang lain, sebenarnya kebebasan berekspresi juga dilindungi di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni 187 pada Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan ketertiban, nilai-nilai kepentingan agama, umum, kesusilaan, dan keutuhan bangsa. Hal ini berarti bahwa undang-undang tentang hak landasan asasi hukum manusia sebagai juga memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi di dalam hukum nasional. 2. Menjamin Hak atas Kebebasan Berekspresi di dalam Hukum Nasional Memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi melalui peraturan perundang-undangan memberikan tantangan tersendiri pembentuk undang-undang. bagi Selain para harus memperhatikan struktur dan bentuk perlindungan, yang paling bagaimana harus substansi menjadi perhatian undang-undang adalah mampu secara komprehensif menjangkau semua prinsip nilai yang berkembang secara universal dan secara potensial dapat memenuhi ekspektasi perlindungan hukum bagi masyarakat adresaat, yakni warga negara Indonesia. 188 Dalam hal ini ada tiga konsepsi mendasar di dalam konvensi yang harus menjadi perhatian, yakni: pertama, pendapat tanpa hak untuk dibatasi. menyampaikan Kedua, hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan. Dan ketiga, jenis informasi dan gagasan yang dilindungi. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang media, terbagi atas undang-undang tentang pers, penyiaran, cyber, dan perfilman. Masing-masing mengatur secara tersendiri tentang bagaimana mengimplementasikan isi media. Mengenai muatan isi media, khususnya isi pers sendiri, sebenarnya ada prakondisi tertenty yang harus diciptakan pers, yaitu pertama informasi yang disampaikan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Artinya penyampaian informasinya memenuhi kebutuhan khalayak dan mencapai sasaran sesuai dengan kehendak penyaji informasi. Kedua, informasi yang disampaikan pers mampu melampaui fungsi pers yang sebenarnya. Artinya bahwa pers tidak hanya memberikan fakta, menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat dimengerti, bahasa tapi yang menerjemah-kannya dapat dimengerti, ke tapi dalam juga mmepromosikan sesuatu sehingga khalayak jadi 189 berpikir, yang pada gilirannya mampu bertindak memperbaiki hidupnya dari hari ke hari.135 Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi menjadi kunci dalam pelaksanaan perlindungan hak tersebut. Substansi dasar “Everyone shall have the right to freedom of expression” menyiratkan bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat dimuat dan diatur baik dalam konstitusi maupun di dalam undang-undang Kemerdekaan melalui untuk berbagai tentang media. mengeluarkan pendapat saluran yang tersedia, yang kemudian dijamin di dalam konstitusi dan undangundang, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Tentang pengakuan atas kebebasan berekspresi dapat dilihat dalam tabel berikut: 135 Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik. Cahaya Atma Pustaka; Yogyakarta, 2011. Hal. 39. 190 Tabel 3.3. Pengakuan Kebebasan Berekspresi sebagai Hak UDHR dan ICCPR Pengakuan “Everyone shall have the right to freedom of expression” UUD 1945 Dimuat dalam Pasal 28, dan terutama Pasal 28F UndangUndang UU Pers UU Penyiaran UU ITE UU Perfilman Pernyataan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yang berdasar prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. (Pasal 4) Dinyatakan dalam bagian “Menimbang” bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai wujud hak asasi manusia. Tidak ada dan tidak diatur. Tidak tegas diatur namun dinyatakan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan dengan berdasar kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya (Pasal 5) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi menekankan undang-undang adanya pertama kebebasan pers yang yang bertanggung jawab. Kebebasan adalah suatu yang bersifat asasi, pada umumnya dipahami bahwa kebebasan harus ada pada setiap insane manusia. Undang-undang ini juga memberi jaminan bahwa terhadap pers penyensoran, nasional tidak dikenakan pembredelan atau pelarangan 191 penyiaran. UU Pers menjamin tiga lingkup kegiatan dalam kebebasan mencari, berekspresi, memperoleh dan diantaranya: menyebarluaskan gagasan dan informasi. Hak tolak diperkenalkan sebagai hak yang dijamin oleh undang-undang, yang digunakan oleh wartawan untuk mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, disusun dan diterbitkan pula Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Salah satu isu utama dalam pembentukan undang-undang ini adalah mengenai diversity of content atau keberagaman media, disamping ownership. isu Bagi lain yakni kebebasan diversity of berekspresi, keberagaman media yang diatur di dalam UU Penyiaran penting untuk diamati, yakni bagaimana perlindungan dilakukan terhadap pengguna media termasuk kelompok minoritas agar dapar menerima gagasan dan informasi yang tersedia. Di sisi lain, perkembangan media massa modern juga menuntut negara untuk mencegah adanya monopoli dan menjamin adanya keberagaman media.136 Manifestasi kebebasan berekspresi di dalam UU Penyiaran, mengindikasikan karakter konsep perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di ranah penyiaran. 136 Lihat Putusan MK No. 78/PUU-IX/2011. 192 Dalam perkembangan penyiaran, beberapa hal menjadi perhatian, yakni bagaimana siaran dilakukan dan muatan-muatan siaran. Terdapat syarat-syarat tertentu yang secara konseptual, mendasari tentang muatan siaran. Salah satunya dalam kutipan berikut ARTICLE 19 memberikan gambaran: Furthermore, the public service remit of these broadcaster must be clearly set out in law and must include the following requirements: (1) provide quality, independent programming which contributes to a plurality of opinions and an informed public; (2) provide comprehensive news and current affairs programming which is impartial, accurate and balanced; (3) provide a wide range of broadcast material which strikes a balance between programming of wide appeal and specialized programmes that serve the needs of different audiences; (4) be universally accessible and serve all the people and regions of the country, including minority groups; (5) provide educational programmes and programmes directed towards children; and (6) promote local programme production, including through minimum quotas for original productions and material produced by independent producers.137 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran mengatur bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran yang sesuai dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan 137 Access to the Airwaves, note 31 on page 21, Principle 37. 193 Pasal 5 undang-undang tersebut. Asas dan arah tersebut penting untuk menjadi koridor utama bahwa penyiaran akan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan nasional yang terpengaruh oleh perkembangan penyiaran di Indonesia. Demokratisasi penyiaran yang menjadi isu utama sehingga perlu dibentuk undang-undang ini, tidak hanya mengeliminasi terpusatnya kekuatan monopoli ekonomi pada satu kelompok, tetapi juga dapat mencegah terjadinya pemusatan opini dan rekayasa sosial sesuai dengan yang dikehendaki oleh kelompok tertentu. Demokratisasi penyiaran juga memberikan peluang bagi adanya keterbukaan ruang publik yang jauh lebih luas, dengan keberagaman opini dan kemudahan akses bagi seluruh pihak.138 Pantas menjadi fokus apakah ketentuan di dalam undang-undang penyiaran, khususnya pada bagian ketentuan mengenai isi siaran, mampu menyediakan jaminan yang cukup bagi kebebasan berekspresi. otentik Perlu diperhatikan undang-undang bahwa penyiaran secara memuat mengenai hal-hal apa saja yang dapat disiarkan oleh lembaga-lembaga penyiaran. Isu yang sentral yang didengungkan tentang isi siaran adalah tentang diversity of content, dimana undang-undang ini mampu menjadi payung perlindungan akan 138 Judhariksawan. Op. cit. Hal. 93. 194 keberagaman isi. Kebebasan untuk mewujudkan hak kebebasan berekspresi pada beragamnya isi yang disiarkan (atau disebarluaskan) oleh lembagalembaga penyiaran, merupakan hak subyek media. Isu ini juga berkaitan erat dengan isi yang diatur di dalam Undang-Undang Perfilman, yakni bahwa secara memberikan substansial kebebasan ada usaha untuk kepada subyek untuk berkreasi, berinovasi, dan berkarya (lihat Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2009). Bagian yang sangat mendasar adalah bahwa menampilkan isi oleh pers, penyiaran dan perfilman sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan jaminan kebebasan untuk menuangkan segala hal tentang ekspresi subyek. Penekanan ini ada pada bagaimana titik tolak pengembangan prinsip konvensi yakni hak untuk menyampaikan pendapat tanpa dibatasi. Pers yang memiliki fungsi untuk media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, berbarengan dengan penyiaran yang memiliki fungsi sebagai penyedia saluran untuk mendapatkan informasi, dari sarana elektronik (radio, televisi) serta film yang sebagai produk kebudayaan yang disebarkan. Hal berbeda adalah bahwa UU ITE tidak menyatakan adanya pengakuan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak. UU ITE sendiri dilibatkan dalam konteks hukum media oleh karena UU ITE masih menjadi satu-satunya undang195 undang yang mengatur media internet di Indonesia. Substansinya sebenarnya perkembangan lalu-lintas mengacu pada perdagangan yang menggunakan media internet sebagai sarananya. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa ada muatan isi media yang diatur di dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29, yang memberikan batasan terhadap isi internet dalam bentuk informasi dan dokumen elektronik, dimana isi ini akan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat pengguna internet. 3. Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap Kebebasan Berekspresi Dibentuknya peraturan perundang-undangan tentang media, mempunyai implikasi yuridis yang berakibat pada pembentukan struktur di dalam bidang yang diatur. Struktur di bidang media muncul beriringan dengan situasi dan kondisi yang hendak dibentuk oleh negara. Pentingnya struktur ini dimaksudkan terutama untuk memberikan kontrol terhadap substansi media yang makin berkembang teknologi seiring media. dengan Struktur perkembangan berkaitan dengan keberadaan perangkat lembaga serta aparat yang memiliki tugas dan wewenang tertentu. Isi media yang menjadi kunci dalam implementasi kebebasan berekspresi, perlu diawasi oleh negara, sebagai pelindung hak. Mekanisme pengawasan 196 dapat dilakukan dengan metode preventif maupun represif. Metode-metode tersebut digunakan dengan menghadirkan lembaga tertentu yang dapat menjadi representasi negara untuk melaksanakan perlindungan hukum atas hak. Masing-masing membentuk lembaganya undang-undang sendiri (sesuai pula, bidang media) untuk sekaligus juga menjadi lembaga terdepan dalam menjamin perlindungan. Lembagalembaga ini dibentuk oleh undang-undang dengan maksud agar negara dapat dihadirkan secara fisik, yang secara etis dan norma memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap isi media. Berikut lembaga-lembaga dimaksud: Tabel 3.4. Lembaga Negara di Bidang Media Lembaga Tugas pokok terkait isi media Dewan Pers Dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Pers, yang pada pokoknya dimaksudkan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, yang bersifat independen. Salah satu fungsi penting lembaga ini adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Komisi Penyiaran Indonesia Dibentuk berdasarkan Pasal 7 UU Penyiaran, sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Dalam wewenangnya, KPI dapat menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sekaligus menjadi pengawas yang dapat memberikan sanksi pula terhadap para pelanggar peraturan KPI tersebut. 197 Lembaga Sensor Film Dibentuk berdasarkan Pasal 57-58 UU Perfilman. Lembaga ini bersifat tetap dan lembaga independen yang bertugas untuk melakukan penyensoran terhadap film berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film (vide Pasal 6 dan Pasal 7). Pembentukan tersebut lembaga-lembaga mengindikasikan bahwa khusus negara perlu memberikan pengawasan langsung secara mandiri, yang melibatkan peran serta subyek-subyek yang memiliki keahlian. Kompetensi lembaga menjadi penting karena obyek yang hendak diawasi adalah produk-produk media yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi khalayak. Berbeda dengan UU ITE yang tidak membentuk lembaga apapun dalam memberikan pengawasan terhadap konten-konten ITE. Oleh karena bilamana terjadi pelanggaran terhadap ketentuan di dalam UU ITE, maka dapat dilakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga-lembaga ini memiliki kesamaan tugas dan wewenang, yakni memberikan penilaian terhadap isi dilaksanakan media. Tugas dan dengan membentuk wewenang peraturan- peraturan teknis (yakni peraturan organik) yang memberikan ukuran-ukuran bagaimana isi media dapat ditampilkan dan disebarluaskan. Disamping itu, 198 lembaga-lembaga ini dimunculkan oleh peraturan perundang-undangan oleh karena alasan bahwa demi menjauhkan intervensi negara dalam aktivitas media (pers, penyiaran, internet) yang terlalu dalam, sehingga menciderai makna kebebasan itu sendiri. Pelibatan unsur masyarakat dan para ahli dalam lembaga ini dilakukan demi menjaga arus informasi yang terbuka dan tepat sasaran. Lembaga ini juga berperan sebagai self regulatory body untuk mengatur secara teknis perihal aktivitas di dunia media. KPI misalnya, di dunia penyiaran Indonesia, berperan utama untuk menjamin perlindungan isi dari materi siaran yang berdasarkan prinsip diversity of content dengan: membuat peraturan penyiaran untuk menjamin kebebasan publik untuk menggunakan media, seperti yang terdapat pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Disamping kebebasan dan itu KPI juga kemerdekaan mendukung pers yang bertanggung jawab, sesuai dengan Pasal 6 UU No. 40/1999 tentang Pers, yakni diantaranya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan 199 menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Bahkan dalam kontek yang lebih jauh, KPI juga harus mampu menjamin kebebasan berkarya dengan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai dan norma, serta budaya yang berkembang di Indonesia, sesuai dengan Pasal 3 UU No. 8/1992 tentang Perfilman139. Melalui UU No. 40/1999 dibentuklah lembaga yang disebut dengan Dewan Pers, yang memiliki fungsi dan tugas untuk menetapkan standar- standar tertentu bagi ‘rasa’ profesionalitas para insan pers. Dewan Pers menyusun sistem kerja berupa: (1) Kode Praktik bagi Media Pers, yang dimaksudkan sebagai upaya pengakuan kebebasan pers dengan fungsi menjamin berlakunya etika pers dan standar jurnalistik profesional serta media yang bertanggung jawab; (2) Standar Operasional, yang difungsikan sebagai landasan dalam memberikan penilaian dan rekomendasi menyangkut pelanggaran kode etik, penyalahgunaan profesi, dan kebebasan pers; dan (3) Etika Bisnis Pers, yang menekankan bahwa kebebasan pers sebagai institusi bisnis harus mengutamakan kepentingan publik, menghormati kode etik profesi, kejujuran 139 Pada saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan, masih berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang masih berlaku, sehingga KPI bertindak juga berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas yang diatur di undang-undang tersebut. 200 dan keadilan; mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan institusi dan perorangan, setia kepada profesi dan bidang tugasnya; serta 140 mengutamakan supremasi hukum. Dewan Pers dalam hubungan dengan isi media (khususnya media pers), menekankan pada hal-hal yang harus dilakukan oleh pembuat berita pers, bukan ditampilkan. kepada Bahwa muatan kemudian yang yang hendak dilindungi adalah kebebasan pers, Dewan Pers tidak serta merta turut campur memberikan batasan-batasan tentang isi pers. Berbeda dengan KPI yang membentuk standar-standar tentang isi program, Dewan Pers lebih kepada mengarahkan pelakupelaku pers untuk membuat berita yang bertanggungjawab. Yakni berita yang dibuat dengan etika dan standar jurnalistik para pelakunya. Hal ini juga menjadi masalah tersendiri karena Dewan Pers seharusnya mampu memfasilitasi dan mengatur distribusi media dan kesesuaian dengan segmen yang dituju sehingga mereka yang menjadi sasaran berita atau konsumen pers tidak mendapatkan dirinya sebagai korban. Sementara memberikan itu, undang-undang wewenang kepada perfilman LSF untuk memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan 140 Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2009. Hal. 100. 201 reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum ditiadakan karena dalam undang-undang yang baru pelaku usaha perfilman melakukan self sensor. LSF kemudian mengembalikan film yang mengandung tema, gambar adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki. Dewan Diantara Pers, Komisi eksistensi Penyiaran lembaga, yakni Indonesia dan Lembaga Sensor Film, hanya LSF yang memiliki jangkauan kewenangan yang dapat mengatur sampai ke dalam substansi isi media yang hendak disebarkan. LSF berwenang berdasarkan undang-undang, mengawasi isi film semenjak film tersebut hendak diproduksi sampai dengan film tersebut disebarluaskan. LSF juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat tanda lulus sensor, yang menjadi bentuk legalitas bahwa sebuah hasil dari produksi film dapat diedarkan dan disebarluaskan di Indonesia. Hanya saja pelaksanaan penyensoran ini berdasarkan prinsip dialog yang dimaksudkan agar LSF tidak ikut campur terlalu jauh dalam sebuah produksi film, khususnya dalam hal isi. Sebagai bagian dari struktur, lembaga- lembaga ini dimungkinkan untuk bertemu dalam satu waktu. Pertemuan kewenangan tersebut berada pada ranah publik (public sphere) yang 202 menyediakan fasilitas bagi masing-masing lembaga menunjukkan eksistensinya dalam mengatur isi media. Ranah publik menjadikan isi media menjadi bahan utama bagi Dewan Pers, KPI dan LSF untuk menyatakan bahwa isi media telah diawasi dan disebarluaskan dengan standar tertentu. Persinggungan yang terkait dengan kinerja lembaga-lembaga tersebut, yang disebabkan oleh saluran dan/atau sarana media yang digunakan untuk menyebarluaskan isi, adalah sarana yang sama. LSF dan KPI menerbitkan Memo Bersama Nomor 03/NK/KPI/X/2012 atau 2273/LSF/X/2012 yang mengatur tentang Penyensoran dan Kewajiban Pencantuman Klasifikasi Usia Penonton Film di Layar Televisi, yang menyatakan bahwa salah KPI dan satu klausulnya LSF menegaskan pemberlakuan ketentuan dan syarat bagi lembaga penyiaran televisi bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan film bagi jasa penyiaran televisi, sebagaimana ditetapkan peraturan perundang- undangan, wajib memperoleh tanda lulus sensor dari LSF. Disamping itu, KPI dan Dewan Pers juga senantiasa siaran bersinggungan yang seringkali dengan masalah melibatkan hasil isi dari kegiatan jurnalistik, yang dilakukan oleh jurnalis (wartawan), kemudian disiarkan melalui lembagalembaga penyiaran. Dua lembaga ini secara bersama-sama melakukan pengawasan agar isi 203 siaran, tunduk pada ketentuan pada UU Pers dan UU Penyiaran yang mengakomodasi kepentingan yang sama di bidang media, terutama dalam hal produk jurnalistik yang disebarluaskan melalui media penyiaran. 4. Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak, maka pembatasan tersebut berhadaphadapan dengan konsepsi hak kebebasan berekspresi sebagai derogable right dan inalienable right. Keterkaitannya sebagai hak, batasan menentukan kebebasan yang bagaimana berekspresi memadai, sah diberikan dan tidak mengintervensi terlalu jauh. Kebebasan sendiri memang bersifat asasi, namun tidak kemudian diartikan sebagai sebebas-bebasnya dalam artian yang deskriptif. Akan ada senantiasa pembatasan baik oleh kelemahan yang bersifat internal (psikis, moral) maupun oleh batasan yang bersifat eksternal seperti paksaan dan sejenisnya.141 Pada pembahasan di bab sebelumnya, dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batasan-batasan internasional. yang ditetapkan Batasan-batasan oleh hukum tersebut adalah batasan yang penting, baik oleh siapa batasan itu 141 Samsul Wahidin, Hukum Pers. Cet ke-1. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2006. Hal.55. 204 dibuat, konsekuensi, dan landasan yang paling sah untuk menetapkan batasan tersebut. John Stuart Mill142 memandang menyatakan bahwa penting “even hal ini, opinions dengan lose their immunity when the circumstances in which they are expressed are such as to constitute their expression a positive instigation to some mischievous act”. Pandangan tersebut bermaksud mengemukakan tentang tindakan kekerasan dapat muncul dengan dibiarkannya kebebasan berekspresi diwujudkan tanpa batas, yang justru menimbulkan efek negatif. Oleh karena kovenankovenan telah diratifikasi di Indonesia, maka batasan yang ditetapkan oleh hukum internasional sudah sepantasnya menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan tentang media di Indonesia agar sejalan dengan hukum internasional. Dalam perkembangan hak asasi manusia secara internasional, hak asasi manusia bisa dibatasi secara hati-hati. Kovenan sendiri mengakui bahwa hak atas kebebasan berekspresi menerbitkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Pada masa lalu di Indonesia dikenal adanya frasa “bebas yang bertanggung jawab”, dimana frasa ini menjadi isu yang khas. Akan tetapi, pada masa itu pula, 142 John Stuart Mill memberikan kata kunci ‘instigation’ atau ‘penghasutan’ yang tersirat dalam keadaan bebas berkata-kata, yang dapat mendorong timbulnya tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan jiwa. Lihat: John Stuart Mill, On Liberty, Chapter III, On Individuality, As One of The Element of Well Being. 1859. (http://www.utilitarianism.com/ol/three.html). 205 pembatasan yang demikian dengan kenyataan. pengekangan bertolak belakang Faktanya pada masa lalu, terhadap kebebasan cenderung represif. Berbagai mengenai persoalan “bebas berekspresi upaya yang pengertian bertanggung jawab” diakomodasi dalam hukum internasional sebagaimana tercantum dalam ICCPR tadi. Rumusan mengenai “kewajiban dan tanggung jawab khusus”, diurai di dalam Article 19 ICCPR.143 Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pembatasan terhadap wujudwujud kebebasan berhadap-hadapan berekspresi dengan public diantaranya order, public health, public moral, national security, public safety, dan rights and freedoms of others. Peraturan perundang-undangan media kemudian tentang harus memperhatikan hal-hal tersebut, bilamana aspek legalitas untuk melakukan pembatasan (prescribed by law) sebagai dasar, tanpa melukai makna kebebasan itu sendiri. ICCPR yang telah berlaku di Indonesia sejak diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, memperkenankan pembatasan hak asasi 143 dengan dilakukannya three part test.144 Dalam konteks yang lebih seimbang, kebebasan itu harus senantiasa dibarengi dengan tanggung jawab, bahkan bila diperhadapkan pada kebebasan dalam arti sosial. Kebebasan dalam arti sosial tersebut, mengharuskan seseorang untuk melakukan tindakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain yang juga mempunyai hal yang sama. Lihat Samsul Wahidin, op. cit. Hal. 56 144 Lihat Article 18 section 3 ICCPR yang naskah aslinya berbunyi: “Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are 206 Pertama, pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang. Kedua, pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Article 19 section 3 ICCPR. Ketiga, pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut. Dengan berpijak pada konsepsi tersebut, maka pembatasan terhadap kebebasan berekspresi (sebagai hak) tetap dapat dilakukan dengan prasyarat tertentu. Permasalahannya adalah bagaimana kerangka hukum nasional untuk memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan berekspresi, tanpa menciderai konsepsi pembatasan sebagaimana ditentukan di dalam instrumen hukum internasional. Tentang bentuk pembatasan ini, sebenarnya tiap-tiap negara dapat mengatur pembatasan dalam berbagai bentuk bidang hukum. Isi media yang dibatasi, dapat secara hukum diatur di bidangbidang hukum yang berlaku di negara tersebut. ARTICLE 19 Organization, menyatakan berikut: prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.” Oleh UU No. 12/2005 diterjemahkan sebagai: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Pernyataan tersebut menentukan bahwa ada kewajiban pembatasan yang dilakukan dengan berdasarkan hukum. 207 Different States organize their laws in different ways, and content restrictions may be found in all sorts of laws, such as criminal, civil, administrative an so on. In principle, international law does note prescribe any particular type of law for content restrictions in the domestic legal system, although the first part of the first part of three-part test does require such restrictions to be sufficiently accessible and clear. 145 Negara-negara internasional melakukan yang tersebut, meratifikasi tidak pembatasan konvensi dikekang untuk bentuk aturan dalam tertentu yang khusus yang membatasi kebebasan berekspresi, namun diberikan kebebasan untuk mengatur. Maksudnya adalah bahwa negara melalui bidang-bidang hukumnya, yang tersebar dan berlaku di negara tersebut, memberikan batasan terhadap konten media. Baik hukum pidana, administrasi, dan bidang hukum lainnya, yang pada pokoknya sebenarnya demi melegalisasi pembatasan oleh negara. Article tentang 19 ICCPR kewajiban memberikan negara perlindungan terhadap bersekspresi bagi untuk pelaksanaan setiap warga gambaran memberikan kebebasan negaranya. Kewajiban negara ini untuk menghormati hak asasi manusia (obligation to respect) yang mengacu pada tindakan 145 negara untuk tidak mengintervensi ARTICLE 19 dalam Asian Pocketbook on Freedom of Expression, op. cit. Hal. 117. Organisasi ini memberikan panduan bahwa three-past test harus dipenuhi sebagai bentuk perlindungan atas pembatasan itu sendiri agar tetap sah dan ditetapkan oleh negara, tanpa menciderai makna kebebasan berekspresi itu sendiri. 208 pelaksanaan hak asasi manusia. Di samping itu, negara harus (obligation melindungi to protect) hak yang asasi manusia menekankan pada tindakan-tindakan untuk menghadapi human rights abuse (pelanggaran hak asasi) yang dilakukan oleh pihak lain. Pemenuhan terhadap kewajiban- kewajiban tersebut adalah dengan menekankan adanya upaya-upaya positif negara melalui mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan (legislated), pengadilan yang efektif, dan/atau aspek administratif yang dilakukan untuk memberikan jaminan terhadap implementasi atau perwujudan hak asasi manusia sampai pada tingkat yang paling konkrit. Inilah kewajiban negara untuk memenuhi yang disebut obligation of fulfil. Tentang pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, berdasar pada ketentuan dalam Article 19 ICCPR, dapat dilihat pada dua hal berikut. a. Pembatasan berdasar ketentuan otentik Secara ratifikasi, otentik, di dicantumkan dalam tentang setelah dilakukannya konstitusi bagaimana Indonesia, pembatasan harus dilakukan dan pembatasan itu adalah sah. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi memang diperkenankan dengan syarat bahwa undang-undang mencantumkan secara tertulis, yang berarti ada landasan hukum yang jelas. 209 Sebagaimana temuat dalam Pasal 28J UUD 1945 Amandemen, yang pada pokoknya menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Disamping secara otentik pembatasan di dalam yang ditentukan konstitusi, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai payung hukum hak asasi manusia, memberikan pengaturan dalam beberapa pasal sebagai berikut: Pasal 70 Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 73 Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undangundang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan 210 penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Jangkauan pembatasan ini merupakan ketentuan normatif yang berhubungan erat dengan tujuan pembatasan sebagaimana termuat dalam Article 19 section (3) ICCPR. Bahwa konvensi tersebutlah yang memberikan klausul pembatasan hak, yang sejatinya tidak hanya diterapkan secara umum, namun penerapannya diatur hak per hak. Konstitusi dan UU HAM memang memberikan batasan serupa dengan maksud dalam Article 19 section (3) ICCPR pada dua hal yang penting, yakni bahwa pembatasan hak dilakukan dengan ditetapkan melalui undang-undang,146 dan dalam suatu masyarakat yang demokratis. Dua ketentuan ini layak menjadi inspirasi bagi pembatasan-pembatasan terhadap isi media, yakni bahwa peraturan perundang-undangan harus mampu memberikan batasan yang tepat. Demikian dapat dilihat perbandingan pembatasan yang dilakukan oleh masing-masing ketentuan sebagaimana dalam tabel berikut: 146 Lihat Article 19 ICCPR. 211 Tabel 3.5. Perbandingan Pembatasan ICCPR UUD 1945 UU No. 39/1999 ditetapkan oleh hukum/undang-undang dalam suatu masyarakat yang demokratis ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional dan keamanan publik, hak dan kebebasan orang lain, hak atau reputasi orang lain, kepentingan kehidupan pribadi orang lain yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan Dasar pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum perlindungan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, pertiumbangan moral, keamanan, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan bangsa terhadap hak atas kebebasan berekspresi tidak melulu berada pada ruang lingkup perwujudan hak yang sebebasbebasnya, namun juga membatasi implementasi hak yang dapat dianggap membahayakan. Terbukti bahwa secara otentik, masing-masing ketentuan yang menjadi acuan, memiliki kesamaan visi untuk memberikan ruang bagi adanya intervensi terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Klausul ketentuan-ketentuan pembatas di atas di ditujukan dalam pada pembatasan yang berbasiskan pada dua hal yang 212 sama, yakni bahwa secara normatif, pembatasan harus ditetapkan oleh hukum atau undang- undang, dan pembatasan itu dimungkinkan di adakan pada suatu lingkungan masyarakat yang demokratis. Perbedaan jangkauan konsepsi hanya pemahaman terletak terhadap pada makna kepentingan lain yang bersinggungan terhadap hak. Cakupan mengarah pada kepentingan dengan terhadap hak kepentingan eksistensi umum atas yang hak lain dan ini juga berhadap-hadapan kebebasan berekspresi. Permasalahannya adalah bagaimana peraturan perundang-undangan mampu mengimplementasikan apa yang sudah tertuang dalam konsep pembatasan yang diatur di dalam ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM. Materi muatan di dalam undang-undang yang teknis kemudian harus menyesuaikan dengan yang diatur oleh konvensi dan norma dasarnya. Hal ini secara sederhana dapat dilihat di masingmasing asas yang tercantum di masing-masing undang-undang. Di dalam tabel berikut dapat dilihat asas-asas yang mendasari peraturan: 213 Tabel 3.6. Asas dalam Undang-Undang Media UU Pers UU Penyiaran Pasal 2 dan 3 Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pasal 2 Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. UU ITE Pasal 3 Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. UU Perfilman Pasal 5 Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Asas-asas yang menjadi dasar di peraturan perundang-undangan tersebut, secara prinsip memberikan pembatasan yang tersirat. Bahwa kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan tetap melakukan penghormatan terhadap nilainilai yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat menjadi subyek yang mengontrol terhadap kebebasan berekspresi. 214 Asas tersebut berfungsi memberikan koridor terhadap ruang kebebasan berekspresi yang hendak diwujudkan dalam isi media. Terhadap isi pula, asas-asas ini adalah inspirasi, sehingga menunjukkan bagaimana peraturan perundangundangan menyerap prinsip-prinsip universal yang disediakan oleh konvensi-konvensi internasional. Keberadaan asas-asas ini di dalam undang- undang menjadi prinsip pembatasan pertama yang dapat dilihat. Implementasi dari maksud dalam frasa “…to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers..” menjadi inspirasi bahwa kebebasan berekspresi yang perundang-undangan terdapat pada tentang peraturan media, sejalan dengan maksud dari konvensi. Indikasinya dari cakupan asas-asas yang dimuat dan menjadi dasar pengembangan wujud kebebasan berekspresi di dalam undang-undang. Pembatasan yang dapat dilihat melalui asas, dapat diketahui dimana pers dan kemerdekaannya dibatasi oleh koridor prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum serta ada kewajibannya menjadi kontrol sosial. Penyiaran secara prinsip dibatasi oleh keamanan, etika dan tanggung jawab. ITE juga dibatasi oleh kehati-hatian dan itikad baik serta perfilman yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa. 215 Selain dari asas, terdapat batasan otentik yang lain ada pada pasal-pasal yang termuat di masing undang-undang tentang media. Maksudnya adalah bahwa isi media itu sendiri, secara implementatif, diberikan batasan oleh undang-undang. Baik berdasarkan pengertiannya maupun berdasarkan muatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Sekali lagi bahwa sebagai isi, maka berita atau informasi, siaran, internet dan film, menjadi komoditas dalam dunia bisnis yang tidak boleh dikembangkan secara luas tanpa ada batasan pengertian masing-masingnya. Segala saluran yang tersedia tidak diperkenankan menjadi sarana bagi isi media yang di luar batas. Pemaknaan terhadap isi media, adalah penting. Pada titik ini, makna ‘prescribed by law’ ditempatkan sebagai prinsip yang mendasari bahwa secara otentik, pembatasan harus jelas dan dapat dipahami.147 Dengan demikian, pembatasan tersebut maknanya juga harus jelas dan memiliki alasan yang sesuai. Menarik ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional pembredelan 147 tidak atau dikenakan pelarangan penyensoran, penyiaran. Untuk ‘prescribed by law’ sebagai prinsip dalam konvensi baik UDHR dan ICCPR dapat dikembangkan secara luas dalam beberapa softlaw seperti yang termuat dalam Siracausa Principle. Tentang ‘prescribed by law’ ada beberapa hal yang diperjelas, yakni bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan membentuk undang-undang yang konsisten dengan substansi konvensi (yang telah diratifikasi), dan dapat diterapkan pembatasan itu ketika undang-undang berlaku. 216 Ketentuan ini merupakan hal yang berbeda dengan undang-undang yang lain, dimana batasan menjadi hilang, oleh karena demi tujuan kemerdekaan pers, pada sisi isi pers, dibebaskan dari larangan-larangan. Dengan demikian, pers ini diberikan ruang yang sebebas-bebasnya agar pers secara positif dikembangkan oleh para pelakunya. Kebebasan itu juga dimaksudkan agar peristiwaperistiwa pers pada masa lalu, yang terkait dengan penyensoran yang ketat, pembredelan dan larangan-larangan tidak terjadi lagi. Pada Pasal 35 UU Penyiaran dinyatakan bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran, yang sebagaimana sudah tercantum pada pasal-pasal sebelumnya. Pasal ini mengindikasikan bahwa isi siaran harus berada di ruang atau koridor undang-undang yang memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi di bidang penyiaran. Isi siaran juga wajib mengandung substansi-substansi yang diperkenankan dalam Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2002. Diantaranya adalah kewajiban bagi isi siaran yang harus mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat. Di sisi lain harus wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, serta isi siaran bersifat netral. Isi siaran sendiri harus memiliki hak siar sebelum disebarluaskan melalui media penyiaran yang tersedia. Hak siar sendiri 217 masih menjadi problematika bagi pelaksanaan perwujudan kebebasan berekspresi. Berbeda dengan cara atau metode teknis yang dimuat di dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang memberikan batasan dengan mencantumkan larangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009 sendiri mencantumkan larangan-larangan pada substansi isi film yang bersifat negatif, yakni hal-hal yang dapat menstimulasi khalayak untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif dan mengancam diri sendiri serta orang lain. Sementara dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, pada Bab VII diatur tentang larangan-larangan muatan dalam informasi terhadap muatan- elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat merugikan. Di bidang perfilman sendiri, penyensoran film dan reklame film dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia. Penyensoran dimaksudkan untuk mencegah agar film dan reklame film tidak mendorong khalayak untuk: a. bersimpati bertentangan terhadap dengan ideologi Pancasila Undang-undang Dasar 1945; 218 yang dan b. melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan hal-hal yang bersifat amoral; c. melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lainnya; atau d. bersimpati terhadap sikap-sikap anti Tuhan dan anti agama, serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama. Penyensoran dimaksudkan pula sebagai sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui film dan reklame film dapat masuk pengaruhpengaruh budaya dan nilai-nilai negatif. Demikian diatur oleh negara, namun seharusnya tetap menyesuaikan dengan konsepsi tentang three-part test sebagaimana ditetapkan dalam Article 19 Section (3) ICCPR yang menjadi acuan dalam memberikan batasan. b. Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak Lain Pembatasan demi tujuan untuk melindungi kepentingan pemerintah umum untuk menjadi membatasi landasan bagi praktek-praktek 219 kebebasan berekspresi. Sementara berbagai putusan dan keputusan yang dikeluarkan oleh institusi internasional semacam International Commission of Human Rights (ICHR) dan European Commission of Human Rights (ECHR), memberikan dasar penjelasan bahwa pembatasan harus didasarkan pada dua hal, yakni tuduhan-tuduhan yang konkrit kebebasan tentang bagaimana berekspresi mengancam si kepentingan pelaksanaan tertuduh umum, (subyek) dan bahwa pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan umum. Meskipun hukum kemudian menyatakan bahwa kepentingan umum bisa terganggu, namun hukum diadakan untuk mengantisipasi keadaankeadaan yang secara efektif dapat mengancam atau menyerang ketertiban umum. Kewajiban untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip equality dan non-diskriminasi harus dilakukan oleh Pemerintah, khususnya dalam upaya melakukan pembatasan yang sesuai dengan ruang lingkup seperti dimengerti bersama dalam hukum internasional. Pembatasan memang layak dilakukan dengan sejumlah prasyarat, yang kemudian secara teknis dirinci dalam sejumlah prinsip hak asasi manusia. Secara normatif kemudian pembatasan harus diatur di dalam peraturan perundang-undangan 220 sebagaimana prinsip yang dianut semenjak diratifikasinya konvensi hak asasi manusia. Pembatasan melalui larangan-larangan tersebut di dalam peraturan perundang-undangan media, menyiratkan kepentingan lain yang harus diperhatikan. Article 19 Section 3 ICCPR menyatakan bahwa: The exercise of the rights provided for in paragraph 2148 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals. Dalam pernyataan tersebut ada situasi dimana kebebasan berekspresi berhadap-hadapan dengan hak lain yang eksis. Bahwa kebebasan berekspresi berhadapan dengan ‘rigths or reputations of others’ dan ‘national security or of public order (ordre public), or of public health or morals’.149 Pembatasan dalam Article 19 Section 3 148 Article 19 Section 2 berbunyi: Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. 149 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 menerjemahkan bahwa ‘rigths or reputations of others’ sebagai menghormati hak atau nama baik orang lain; dan ‘protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals’ sebagai melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. 221 berkaitan erat dengan Article 20 ICCPR, yakni bahwa: (1) Any propaganda for war shall be prohibited by law. (2) Any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law. Pernyataan di dalam Article 19 Section (3) dan Article 20 ICCPR merupakan implementasi Article 19 UDHR150, dimana ketentuan tentang batasbatas kebebasan berekspresi menyangkut eksistensi hak lain. Hak lain ini yang pertama adalah penghormatan terhadap nama baik orang lain. Masing-masing undang-undang mengatur perlindungan terhadap nama baik orang lain dengan muatan dalam pasal yang bervariasi. Menarik untuk dilihat bagaimana arah kebebasan berekspresi, khususnya perundang-undangan keempat mengatur peraturan kepentingan- kepentingan dalam Article 19 ICCPR. Prinsip prescribed by law/conformity with the law secara diketemukan mandiri, dalam pengertiannya berbagai panduan dapat yang mengimplementasikan maksud dari Article 19. Menurut Siracusa Principle dan Johannesburg 150 Article 19 UDHR menyatakan: setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. 222 Principle, tentang hal tersebut dimengerti sebagai berikut151: (a) Pembatasan hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. (b) Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan hak asasi harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan ataupun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut. (c) Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individu melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak. Kebebasan berekspresi di Indonesia dibatasi secara normatif oleh keberadaan hak-hak lain yang dapat terancam. Setiap undang-undang mencantumkan hak-hak yang dapat terancam dengan perwujudan kebebasan berekspresi, diantaranya yang dimuat dalam beberapa muatan otentik berikut. Tabel 3.7. Larangan Muatan Isi Media UU Pers Dalam Pasal 5 dimuat bahwa pers berkewajiban untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Disamping itu, dalam Pasal 13 disinggung pula bahwa iklan dilarang memuat hal-hal yang merendahkan martabat agama dan/atau kelompok tertentu, 151 Tim ELSAM, Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet: Seri Internet dan HAM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Jakarta, 2012. Hal. 47. 223 minuman keras dan narkotika, serta eksistensi rokok. 224 UU Penyiaran Isi siaran termasuk di dalamnya adalah siaran iklan, terutama siaran iklan, dilarang untuk mempromosikan hal-hal yang berhubungan dengan ajaran suatu agama, baik dalam konteks menyinggung atau memaksakan ajaran agama tertentu. Di samping itu, iklan juga dilarang bertentangan dengan kesusilaan, nilai agama, dan bahkan eksploitasi anak di bawah umur. (Pasal 46-47). Secara teknis isi siaran juga diatur agar memenuhi standar tertentu yang ditetapkan KPI melalui P3/SPS yang menjadi acuan agar isi siaran tidak mengancam keberadaan hak lain. UU ITE Dalam UU ITE secara tegas diberikan larangan terhadap isi atau muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27). Berkaitan dengan konsumen dalam transaksi elektronik, muatan materi dalam informasi elektronik juga dilarang mengandung berita bohong dan menyesatkan secara sengaja (Pasal 28 ayat (1)). Dan bahkan dilarang juga secara sengaja ada muatan dalam informasi elektronik yang isinya ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan SARA. Ancaman kekerasan terhadap pribadi juga dilarang. UU Perfilman Pasal 6 menyatakan hal-hal yang dilarang untuk ditampilkan dalam isi film, diantaranya kekerasan dan perjudian, narkotikapsikotropika, pornografi, provokasi pada kelompok-kelompok tertentu, memperolok-olok nilai-nilai agama, merendahkan harkat dan martabat manusia. Pada umumnya, pembatasan akan sesuatu tindakan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan, selalu menggunakan kata “dilarang” sebagai bentuk wujud ketegasan batasan. Akan tetapi, makna lain yang dapat ditemukan adalah bahwa larangan tersebut menjadi pijakan utama bagi pelaku untuk tidak boleh menyinggung eksistensi hak-hak lain yang dimiliki oleh individu maupun anggota masyarakat lainnya. Laranganlarangan tersebut membatasi ruang gerak hak atas kebebasan berekspresi agar tidak merusak keberadaan hak lain yang diatur di dalam undangundang. Penghargaan terhadap nama baik di dalam UU Pers, tidak diatur dengan lugas. Yang menarik adalah bahwa pemberitaan (isi berita) bila dinilai telah mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang, pers selalu cenderung dibawa ke ranah pengadilan. Umumnya oleh pengadilan, pers dikenai pasal-pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) dikarenakan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak mengatur delik pencemaran nama baik. Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri mengatur penyelesaian delik pers melalui Hak Jawab.152 Hal ini berarti bahwa prinsip 152 Pasal 1 Angka 11 UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 225 ‘respect of the rights or reputation of others’ tidak secara tegas dimuat di dalam ketentuan undangundang pers. Penghormatan terhadap nama baik orang lain, dapat dimaknai secara meluas. Pemaknaan berbeda adalah dengan adanya persinggungan antara UU Pers dengan Pelaksanaan keduanya perlindungan terhadap UU yang nama Penyiaran. memberikan baik, tidak dicantumkan secara otentik. Kejelasan terhadap perlindungan nama baik menjadi penting oleh karena keberadaannya sebagai lex specialis dalam konteks kebebasan berekspresi. UU Pers dan UU Penyiaran bersinggungan, pada kenyataannya dikarenakan selalu kebebasan berekspresi selalu melibatkan kegiatan jurnalistik dan saluran yang sering digunakan adalah media atau lembaga-lembaga penyiaran. Pasal 18 UU Pers sendiri mengancam siapapun yang menghambat dan menghalangi kemerdekaan pers dengan ancaman hukum pidana penjara maksimal dua tahun dan pidana denda maksimal Rp 500 juta. Akan tetapi, klausul ini menjadi kontradiktif dikarenakan proses hukum terhadap sengketa pemberitaan pers lebih mengacu pada undangundang lain, khususnya KUHP yang memuat pasal 226 yang dapat menjerat pekerja pers dengan pasalpasal pidana.153 Pasal 54 UU Penyiaran menyatakan bahwa Pimpinan badan hukum bertanggungjawab lembaga secara penyiaran umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penangungjawab atas tiap-tiap program yang disiarkan. Ada persoalan tanggung jawab yang dibebankan kepada pimpinan lembaga penyiaran, terutama bilamana ada isi siaran yang melanggar Pasal 36 UU Penyiaran.154 Pertanggungjawaban ini pun diarahkan menjadi perbuatan yang merupakan tindak pidana karena pelanggaran Pasal 36 dapat dikenai pidana 5 tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah (untuk penyiaran radio), dan pidana penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak 10 miliar rupiah (untuk penyiaran televisi). Jadi, prinsip perlindungan terhadap nama baik dan reputasi orang lain, melalui UU Pers dan UU Penyiaran, diarahkan pada mekanisme ancaman pidana. 153 Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang berkaitan erat dengan pencemaran nama baik yang selama ini masih digunakan oleh hakim saat memutus perkara pers. Diantaranya Pasal 310 tentang pencemaran, Pasal 311 tentang fitnah, Pasal 315 tentang penghinaan ringan, Pasal 317 tentang pengaduan fitnah, Pasal 318 tentang persangkaan palsu, Pasal 320 tentang pencemaran nama baik orang mati, dan Pasal 321 tentang pencemaran nama baik orang mati dengan tulisan atau gambar. 154 Pasal 36 ayat 5 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Juga dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan. 227 Sejalan dengan konsep pemikiran yang sama, UU ITE melalui Pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, merupakan perbuatan yang dilarang. Pasal ini hanya merupakan salah satu pasal diantara pasal lain di dalam UU ITE yang memberikan larangan. Secara tegas, Pasal 27 ayat (3) menekankan pada ‘muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ yang dapat dituntut secara pidana. Bahwa pasal ini sebenarnya mengacu pada KUHP, khususnya Pasal 311 KUHP yang memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik. Esensinya adalah adanya tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat hal demikian, secara normatif tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Alasannya adalah penghinaan (atau delik penghinaan) harus bersifat subyektif, yakni perbuatan mentransmisikan diaksesnya 228 mendistribusikan dan/atau informasi dan/atau membuat elektronik dapat dan/atau dokumen elektronik dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud diketahui oleh umum. Ketentuan tentang penghormatan terhadap nama baik seseorang ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 14/PUU-VI/2008. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum internasional.155 hukum pidana Bilamana memberikan kemudian sanksi tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Pertimbangan MK terhadap sifat konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE antara lain: penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakantindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan/atau 155 Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 14/PUU-VI/2008, hal. 287. Putusan MK ini memutus perkara mengenai diajukannya pengujian terhadap Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP.MK berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal itu berfungsi untuk melindungi kehormatan sebagai salah satu fungsi hukum. Menurut MK hal itu merupakan argumentasi yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan konstitusionalitas norma. Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu. MK menyatakan bahwa pasal-pasaltersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. 229 pencemaran nama baik. Disamping itu masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Article 12 UDHR156, Article 17157 dan Article 19 ICCPR.158 Sementara itu di dalam UU Perfilman, tentang perlindungan undang ini terhadap nama baik, undang- bahkan tidak mencantumkan ketentuan yang tersendiri. Tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, hanya pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang (f) merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal ini menjadi satu-satunya pasal yang menentukan batasan bahwa isi film harus memperhatikan dan memperdulikan persoalan harkat dan martabat manusia, yang belum tentu juga didapat sebuah ketegasan bahwa ada persoalan nama baik termasuk di dalamnya. Penghargaan terhadap 156 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 157 (1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation. (2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 158 Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 hal. 82-83. Tentang hak atas reputasi, dilindungi pula di dalam Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR, kemudian diperjelas dalam Pasal 28G UUD 1945. Akan tetapi menjadi perdebatan tersendiri karena asumsi dasar hukum pidana apakah tepat untuk menjadi satu-satunya pendekatan hukum untuk melindungi hak atas reputasi oleh negara. 230 kehormatan nama baik seseorang di dalam UU Perfilman tidak nampak tegas diatur secara otentik. Akan tetapi, sebenarnya melalui ketentuan tentang isi film tersebut dapat ditarik pengertian bahwa cakupan isi yang diperkenankan adalah hal-hal yang secara teknis tidak boleh mengungkapkan ekspresi yang dapat mengganggu harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, pada Pasal 30 ayat (8) dinyatakan bahwa kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi harkat dan martabat manusia meliputi adegan visual, dialog dan/atau monolog yang melanggar hak asasi manusia. Peraturan ini mengatur hal yang sifatnya teknis dengan LSF sebagai lembaga terhadap isi. yang melakukan Persoalan yang dapat penilaian muncul, implementasi dari konteks hak asasi manusia yakni harkat dan martabat manusia menjadi luas, dapat beragam problematik persepsi. hukum Dengan tentang demikian, penghormatan tentang nama baik dan reputasi seseorang, diatur secara berbeda-beda. Implementasi dari kovensikonvensi internasional, khususnya yang terkait dengan Article 12 UDHR dan Article 19 ICCPR harus terus mendapat perhatian. 231 Keamanan nasional (national security) menjadi salah satu pertimbangan adanya pembatasan. Article 20 ICCPR menyatakan bahwa segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum. Dinyatakan juga bahwa Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Ketentuan ini berkaitan erat dengan Article 19 ICCPR, yakni menjadi tembok pembatas yang dapat digunakan untuk menangkal segala bentuk ekspresi, baik yang tertulis, gambar, audio, dan sebagainya yang ditujukan untuk melakukan propaganda perang. Selain itu, membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi yang mendorong adanya kebencian berdasar kebangsaan, ras, atau agama tertentu, yang merupakan bentuk hasutan untuk melakukan diskriminatif, kekerasan tindakan-tindakan dorongan termasuk untuk kekerasan yang melakukan terhadap kebebasan berpendapat (hate speech). Di Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang media, menjadi landasan bagi pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang berusaha memenuhi maksud dan tujuan kovenan-kovenan. Sebagai prinsip yang umum, kovenan perlu diperjelas dalam struktur yang lebih konkrit. Disinilah pentingnya softlaw untuk memberikan 232 gambaran yang lebih mudah dicerna oleh stakeholders.159 Tentang keamanan nasional atau national security definisinya dapat dilihat sebagaimana dinyatakan pada Siracusa Principle dalam kutipan160: 29. National security may be invoked to justify measures limiting certain rights only when they are taken to protect the existence of the nation or its territorial integrity or political independence against force or threat of force. 30. National security cannot be invoked as a reason for imposing limitations to prevent merely local or relatively isolated threats to law and order. Adapun Principle yang adalah ditekankan pembatasan oleh Siracusa dengan basis ‘national security’ dimana suatu negara memiliki yurisdiksi untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu (yang kebebasan sifatnya berekspresi membatasi) yang terhadap mengancam eksistensi negara, integritas atau kemerdekaan politik. Hal itu dapat dianggap sebagai ancaman 159 Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, lebih rinci mendefinisikan hal-hal yang berkaitan dengan implementasi pada Article 19 Section 3 yakni mengenai faktor-faktor penyebab kondisi darurat (emergency) seperti ancaman terhadap tatanan masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), moral publik (public morals), keselamatan nasional (national security) dan keselamatan publik (public safety). 160 Lihat Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights. 233 kekerasan atau tindakan kriminal terhadap wilayah negara. Tidak jauh Johannesburg berbeda, Principles On melalui National The Security, Freedom of Expression And Access to Information menyatakan bahwa kebebasan berekspresi atau berpendapat baru dapat dikenai pembatasan atau dapat dihukum sejauh merupakan ancaman terhadap keamanan nasional dan hanya ketika negara dapat menunjukkan bahwa penyampaian pendapat/ekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung penyampaian dan pendapat dekat dengan antara kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan.161 Namun Johannesburg Principle juga menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menjadi subyek pembatasan, pengurangan hak, dan sanksi, serta dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya. Isi media sebagai komoditas bisnis, perlu untuk diawasi melalui peraturan perundang- undangan media. Permasalahan yang layak untuk dilihat adalah bagaimana peraturan perundang161 Lihat The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information, Principle 6, yang bunyi aslinya: “…expression may be punished as a threat to national security unity only if a government can demonstrate that: (a) the expression is intended to incite imminent violence; (b) it is likely to incite such violence, and; (c) there is a direct and immediate connection between the expression and the likehood or occurrence of such violence.” 234 undangan tersebut mengakomodasi substansi dalam Article 19 Section 3 ICCPR, yakni dalam hal membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi khususnya yang berkaitan dengan keamanan nasional. Titik tolak utama dalam melakukan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi adalah Pasal 28J UUD 1945, Pasal 70 dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999.Konstruksi di dalam pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan media di Indonesia untuk membatasi secara sah penting adanya. Terkait dengan keamanan nasional, UU Pers sejatinya tidak mencantumkan secara terperinci bagaimana keamanan nasional dilindungi dari perwujudan kebebasan berekspresi yang berlebihan. memperjelas UU Pers bagaimana sendiri tidak ketentuan-ketentuan tentang isinya, memberikan batasan terhadap keamanan nasional. Baik UU Pers, UU Perfilman, UU Penyiaran dan UU ITE, tidak menggambarkan dengan jelas bagaimana keamanan nasional yang di dalam konvensi diletakkan sebagai hal yang dapat membatasi kebebasan berekspresi. Akan tetapi, bukan berarti keamanan nasional tidak menjadi bagian yang dilindungi oleh hukum media. UU ITE melakukan pembatasan terhadap kepentingan ini, dengan dasar melanggar kesusilaan yang merujuk pada ketentuan dalam hukum pidana. Melalui UU ITE khususnya pada 235 Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 dipandang dapat dimasukkan dalam klausul pembatas yang digunakan sebagai dasar pembatas hak atas kebebasan berekspresi, yaitu ketertiban umum dan menghormati hak atau nama baik orang lain serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Pendekatan hukum yang dilakukan yaitu mengatur nasional teknologi melalui yang instrumen terkait informasi162 hukum dengan positif pemanfaatan yang merupakan turunan dari UU ITE, yakni PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronika (PSTE) yang salah satunya adalah kebijakan dan regulasi di bidang keamanan informasi. Peraturan ini menggarisbawahi teknologi beragam, bahwa mendukung sehingga akses perlu perkembangan informasi dibatasi yang tentang informasi-informasi apa saja yang layak untuk dikonsumsi atau disebarluaskan. Di samping itu, peraturan tersebut dapat digunakan untuk membatasi akses ilegal. 162 Lihat Siaran Pers Kominfo NO. 83/PIH/KOMINFO/11/2013 tanggal 16 November 2013, tentang Ancaman Cyber Attack dan Urgensi Keamanan Informasi Nasional, yang mendorong pendekatan yang komprehensif, yakni People, Process dan Technology. People meliputi kesadaran dan kepedulian pengetahuan, keahlian dari sumber daya manusia. Process meliputi pembangunan dan penerapan Sistem manajemen keamanan Informasi yang sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dan technology merupakan tools untuk mewujudkan metodologi, strategi dan perencanaan terhadap sistem keamanan informasi nasional. 236 Keamanan nasional menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah dengan mengajukan pembentukan nasional163, undang-undang yang keamanan dimaksudkan agar secara spesifik mengatur hal-hal apa saja yang perlu diatur untuk memberikan perlindungan terhadap keamanan nasional. Melalui ketentuan ini pula, dimungkinkan adanya pembatasan (atau bahkan pengurangan) berbagai hak asasi, dengan prasyarat tertentu. Pemenuhan hak asasi manusia, harus dikompromikan dengan hal-hal lain yang dapat terganggu, misalnya gangguan keamanan yang mungkin terjadi. Sebagaimana dimaksud gangguan dalam Article 19 yakni terhadap “public order”, gangguan kesehatan dan keselamatan publik/masyarakat, masalah bencana alam, dan lain sebagainya. Pembatasan dengan prasyarat ditujukan untuk mencapai masyarakat demokratis dan demi terwujudnya kesejahteraan sosial (public goods). Di sisi lain, kepentingan umum adalah persoalan mengenai “the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals” (melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral 163 Sampai dengan saat ini masih dibahas mengenai penyusunan dan pembentukan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional di tingkat legislative. RUU ini menjadi salah satu upaya pembentukan hukum yang mengatur hal-hal apa saja yang dapat mengancam keamanan nasional di Indonesia. 237 umum) yang pada dasarnya cakupan maknanya sangat luas dan ukurannya relatif. Tentang hal ini, United Nations Committee menyatakan bahwa164: The Committee observed in general comment No. 22, that “the concept of morals derives from many social, philosophical and religious traditions; consequently, limitations... for the purpose of protecting morals must be based on principles not deriving exclusively from a single tradition”. Any such limitations must be understood in the light of universality of human rights and the principle of non-discrimination. Terkait dengan yang dimaksud dengan konsepsi moral, dalam pernyataan di atas, dapat berasal dari tradisi-tradisi yang hidup, baik sosial, filosofi dan religiusitas yang ada di dalam masyarakat. Namun, yang harus diperhatikan bahwa tidak boleh pembatasan itu didasarkan pada satu kepentingan saja. Prinsip dasar hak asasi manusia yang universal dan prinsip nondiskriminasi Pembatasan harus terhadap dijadikan landasan. kebebasan berekspresi adalah berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang sangat relatif. Aspek mekanisme pembatasan menjadi penting untuk dapat mengukur bahwa suatu perwujudan kebebasan berekspresi melukai nilai-nilai. 164 UN Human Rights Committee, General Comments No. 34 (CCPR/C/GC/34): Article 19 Freedom of Expression, issued 12 September 2011, point 32. 238 Mencantumkan kepentingan umum sebagai pembatas untuk berekspresi implementasi menjadi diperdebatkan. Definisi persoalan terhadap kebebasan yang dapat kepentingan umum menjadi sulit diperjelas, karena definisinya sangat relatif dan bergantung pada lingkungan masyarakat tempat hidupnya. Public order (ordre public), or of public health or morals atau diterjemahkan sebagai ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum165 juga tidak dapat diperjelas definisinya. Akan tetapi, Siracusa Principle dan Johannesburg Principle memberikan penjelasan tentang hal ini yang bilamana hendak digambarkan secara rinci, maka dapat dilihat dalam tabel berikut166: Tabel 3.8. Public Order, Public Health dan Public Moral public order (ketertiban umum) public health (kesehatan masyarakat) Dalam konteks ini harus diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat, selain itu tujuan suatu hak asasi tertentu, dimana negara (otoritas) membentuk norma yang menjamin berfungsinya masyarakat, dan negara dalam melaksanakan wewenangnya diawasi oleh badan yang kompeten Merupakan hal-hal yang digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun anggota 165 Menurut UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR. Disarikan dari pernyataan dari Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights dan The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information. Lihat pula Tim ELSAM, op. cit. Hal. 37-39. 166 239 public moral (moral publik) masyarakat, atau ancaman terhadap kesehatan populasi (atau anggota populasi). Akan tetapi, langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan dalam rangka menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit (dalam hal ini negara harus mengacu pada atuean kesehatan internasional dari Worl Health Organization). Berkaitan dengan eksistensi negara yang harus menunjukkan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi diupayakan untuk memlihara nilai-nilai mendasar dalam masyarakat. Alasan moral memang dapat dipergunakan untuk negara melakukan diskresi, namun harus tetap tunduk pada maksud dan tujuan konvensi, yakni membuktikan tujuan untuk menjaga penghormatan pada nilai-nilai fundamental dalam masyarakat. Permasalahan yang dapat diajukan adalah bagian mana tentang aturan isi media yang mengimplementasikan batasan-batasan tersebut di atas? Atau apa saja yang termasuk dalam public order, public health dan public moral di dalam pengaturan isi intepretatif Siracusa Principle, dan media di Indonesia? Principle, Camden Secara Johannesburg Principle memberikan gambaran mengenai ketiga hal tersebut di atas. UU Pers sendiri tidak secara pasti dan tegas memuat batasan isinya yang berkaitan dengan ketertiban umum. Pasal 5 dan Pasal 13 UU Pers hanya menyatakan memberitakan menghormati 240 peristiwa adanya dan norma-norma kewajiban opini agama dengan dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Disamping itu, ada larangan untuk isi yang merendahkan martabat agama, mengganggu kehidupan beragama, minuman keras dan obatobat berbahaya serta rokok. Agaknya di dalam UU Pers tidak memisahkan mana yang dapat disebut sebagai public order, public health dan public moral. Meskipun demikian, tersirat UU Pers hendak mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut dalam ketentuan yang umum. Berbeda dengan UU Penyiaran di Pasal 36 mewajibkan bagi isi siaran mengandung informasi, pendidikan, hiburan, pembentukan dan manfaat untuk watak, moral, intelektualitas, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, agama dan serta mengamalkan budaya Indonesia. nilai-nilai Sementara larangannya adalah isi yang fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; serta menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Terhadap pelanggaran ketentuan ini, subyek pelanggar dapat dikenakan sanksi administratif.167 Letak implementasi public order 167 Sanksi administratif berupa : (a) teguran tertulis; (b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu; (c) pembatasan durasi dan waktu siaran; (d) denda administratif; (e) pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; (f) tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; dan (g) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Lihat Pasal 55 UU Penyiaran. 241 dapat dilihat dari substansi yang mengupayakan persatuan dan kesatuan (baik dalam hal SARA maupun amalan terhadap nilai kebudayaan) serta mendorong penguatan karakter masyarakat. Melalui pasal ini pula, public health diperjuangkan dengan melarang adanya isi siaran yang memuat penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Sementara di undang-undang ini juga menetapkan nilai-nilai agama, perlindungan terhadap khalayak tertentu (khususnya anak-anak dan remaja), dan budaya Indonesia, tidak boleh diganggu gugat, yang dapat menjadi pembatasan oleh karena perlindungan terhadap public moral. Unsur moralitas yang ditekankan tidak melulu pada aspek kekerasan dan pornografi, namun juga pada pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan dan kekuatan bangsa. Sejalan dengan itu, UU ITE memberikan metode berbeda dengan memuat larangan- larangan, yang secara intepretatif menekan ruang kebebasan agar tunduk pada public order, public health dan public moral. Pasal 27 UU ITE oleh pembuat undang-undang, dijadikan patokan dasar perwujudan kebebasan berekspresi dalam muatan isinya. Public order tidak dapat dinyatakan secara tegas, karena hal yang dilarang adalah kesusilaan, perjudian, pengancaman. 242 defamation, dan pemerasan/ UU ITE cenderung menggunakan bahasa teknis secara tersirat untuk memastikan bahwa public order diberikan perlindungan hukum, yakni dengan melarang mengakses tindakan-tindakan komputer milik orang seperti lain atau informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tanpa ijin, merusak sistem keamanan, melakukan intersepsi untuk tujuan yang tidak diijinkan, melakukan tindakan yang merugikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik publik, sampai dan/atau merusak dokumen informasi elektronik elektronik yang bersifat rahasia sehingga menjadi tidak utuh.168 UU Perfilman menekankan poin penting dari kegiatan perfilman yang dilaksanakan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa (Pasal 5 UU Perfilman). Tujuan ini dapat dikaitkan dengan makna public order, public health dan public moral yang diamanatkan oleh konvensi. Arah kegiatan perfilman ini menjadi asas utama yang membatasi ruang gerak isi film. Salah satu yang paling terlihat untuk melindungi public order adalah isi film di Pasal 6 huruf e UU Perfilman, tidak diperkenankan mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum. 168 Lihat Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UU ITE. 243 Keempat undang-undang secara prinsip memandang public order, public health dan public moral dengan caranya sendiri-sendiri. Tentang public health bila diinterpretasikan sebagai perlindungan terhadap ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun anggota masyarakat, maka UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Perfilman hanya menyinggung hal yang berkaitan dengan larangan isi yang memuat tentang penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Muatan ini menjadi satu-satunya pembatasan terhadap isi media demi melindungi public health. Sedangkan yang morals, berkaitan masing-masing dengan public undang-undang selalu mencantumkan penegasan bahwa isi dilarang memuat hal-hal yang merendahkan harkat dan martabat manusia, melecehkan/mengabaikan nilai-nilai agama, mencederai rasa kesusilaan, serta bertentangan dengan masyarakat Indonesia. kebebasan berekspresi, melanggar public moral sosial Determinasi budaya hak atas tidak diperkenankan sebab masyarakatlah sebagai subyek yang mengerti dan memahami lingkungan hidupnya. Sehingga bilamana dirasa sesuatu hal (isi media) dirasa masyarakat tidak sesuai dengan lingkungannya, maka hak mereka untuk menolak. Demikian artinya bahwa isi media menjadi komoditas yang dipertaruhkan oleh para 244 anggota masyarakat karena akan mendorong pembentukan opini dan perubahan sosial. Inilah fungsi dari merupakan informasi salah satu yang bebas unsur itu, utama yang dalam kehidupan yang demokratis. Selain keterbukaan terhadap eksistensi hak, di sisi lain isi media memberikan akses kepada masyarakat untuk menikmati perkembangan teknologi dan pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Dengan pemenuhan uraian-uraian prinsip tersebut, kebebasan maka berekspresi di dalam peraturan tentang isi media, dapat dilihat dalam simpulan sederhana melalui tabel berikut: 245 Tabel 3.9. Pemenuhan Prinsip Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media Prinsip Konvensi UUD 1945 UU Pers UU Penyiaran UU ITE UU Perfilman Pengakuan: Kebebasan sebagai hak Dinyatakan: Kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melalui berbagai saluran yang tersedia pembatasan ditetapkan undangundang: pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis Dinyatakan: kemerdekaan pers Dinyatakan: dalam konsideran ‘menimbang’ Tidak diatur Berita (peristiwa dan opini) yang hormat pada norma agama, norma susila, asas praduga tak bersalah (akurat, benar) Siaran: rangkaian pesan (suara, gambar, suara & gambar, grafis, karakter interaktif atau tidak) yang dapat diterima oleh perangkat penyiaran. Informasi dan dokumen elektronik yang dimuat di media internet Tidak tegas diatur, hanya dinyatakan sebagai kebebasan berkreasi, berinovasi dan berkarya Film: pranata sosial dan media komunikasi massa berdasar kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, pelarangan penyiaran. Isi iklan dilarang: merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan antar umat, bertentangan norma susila, minuman keras, narkotika, psikotropika, zat aditif lainnya, rokok Dilarang memuat: fitnah, hasutan, sesat/bohong, kekerasan, cabul, perjudian, narkotika, obat terlarang, pertentangan SARA & golongan, memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai agama, martabat manusia Indonesia, merusak hubungan internasional Dilarang memuat: melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan/ pencemaran nama baik, pemerasan/ pengancaman, berita bohong, rasa kebencian individu/ kelompok/SARA, ancaman kekerasan terhadap pribadi Cakupan: “freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds,” dan “orally, writing or print, the form of art, or through any other media of his choice Pembatasan: prescribed by law, respect to reputations of others, national security, public order (ordre public), or of public health or morals, propaganda for war shall be prohibited by law; racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence Dilarang memuat: kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, zat adiktif, pornografi, provokasi (SARA, antarkelompok, dsb), serangan pada agama, tindakan melawan hukum, merendahkan harkat & martabat 246 C. Harmonisasi Pengaturan Isi Media Instrumen-instrumen menjadi sumber hukum untuk mengatur internasional isi media. Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi, memiliki kewajiban untuk menyesuaikan sistem hukumnya dengan substansi konvensi. Uniformitas hukum mendorong untuk dapat mempersatukan berbagai kepentingan, baik kepentingan internasional, regional, dan antar sektor kehidupan nasional. Perspektif tersebut dapat diimplementasikan dalam dua mekanisme perumusan, harmonisasi kebijakan formulasi dan harmonisasi materi. Indonesia menjadi negara pihak dalam konvensi, oleh karena melalui ratifikasi terhadap UDHR diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi dan ICCPR diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik), setidaknya ada dua konvensi yang dapat dijadikan acuan.168 168 Disamping itu, Indonesia telah meratifikasi instrumen hak asasi manusia lainnya, yakni International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights melalui UU No. 11 Tahun 2005; International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965) melalui UU No. 29 Tahun 1999; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1979) melalui UU No. 7 Tahun 1984; Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984) melalui UU No. 5 247 Menurut James W. Nickel negara memiliki kewajiban untuk memenuhi (to fulfil), yakni mengharuskan negara untuk mengambil tindakantindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang memadai guna memenuhi sepenuhnya manusia.169 menimbulkan atas Pelaksanaan hak-hak kewajiban persinggungan antara asasi tersebut hukum internasional dengan hukum nasional suatu negara. Implementasi hukum internasional melalui hukum nasional menjadi conditio sina quanon berlakunya hukum internasional pada yurisdiksi nasional suatu negara secara efektif. Persetujuan negara yang menyatakan untuk mengikatkan diri (consent to be bound) merupakan langkah pertama dalam proses transformasi, yakni untuk memberlakukan normanorma hukum hak asasi manusia internasional, ke dalam hukum positif di suatu negara. Peristiwa persinggungan awal ini menjadi prasyarat untuk memberlakukan prinsip-prinsip instrumen hukum internasional ke dalam hukum nasional. Terkait dengan transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional, J.G. Starke menyatakan bahwa hal tersebut bergantung pada dua hal pokok, yakni: (a) sifat dan ketentuanketentuan perjanjian internasional yang Tahun 1998; dan Convention on the Rights of the Child (1989) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. 169 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Teoritis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 1996. 248 bersangkutan, yakni terdapat beberapa perjanjian internasional tertentu merupakan perjanjian internasional yang self-operating atau self-executing dan tidak mensyaratkan implementasi legislatif; dan, (b) praktik konstitusional atau administrasi pada setiap negara itu sendiri dan implementasi pada level lokal di suatu negara. Terdapat juga perjanjian internasional struktural yang dari memerlukan kaidah yang transformasi ditetapkan dalam perjanjian internasional tersebut.170 Hal-hal inilah yang menjadi kewajiban utama bagi negara pihak. Baik secara forma maupun secara substansial, prinsip-prinsip dalam konvensi harus menyentuh sampai pada sistem hukum yang dibangun olehnya. Oleh karena itu, di dalam konteks melihat substansi konvensi, sebagai prinsip kebebasan berekspresi di Indonesia, khususnya yang terdapat pada peraturan perundang-undangan tentang media, maka harmonisasi mutlak diperlukan. Harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal menjadi upaya untuk muatan mengetahui peraturan tentang bagaimana materi perundang-undangan dengan konvensi/ perjanjian internasional. Adapun prinsip dalam konvensi harus tetap menjadi titik tolak untuk melihat bagaimana peraturan perundang-undangan mengadopsi kebebasan berekspresi secara komprehensif. Ratifikasi atas konvensi/perjanjian 170 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika; Jakarta, 2001. Hal. 249 internasional menjadi penyebab bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan muatan konvensi/perjanjian internasional yang telah diakui/diratifikasi. Di sisi lain harmonisasi vertikal juga berkaitan dengan konsepsi materi muatan peraturan Undang perundang-undangan Dasar. Peraturan dengan Undang- perundang-undangan tersebut harus diselaraskan dengan UUD, berkaitan dengan pasal-pasal tertentu, baik maupun dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Di sinilah kebebasan berekspresi menjadi isu yang wajib dilihat, bahwa peraturan perundangundangan secara vertikal tunduk pada konstitusi dan memperjelas hak atas kebebasan berekspresi. Harmonisasi horizontal diperlukan juga untuk mengetahui bagaimana substansi kebebasan berekspresi dimaknai sama antara satu undangundang dengan undang-undang yang lain. Kedudukannya yang sederajat, dapat mendorong pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki pemahaman yang sama tentang satu isu, yakni kebebasan bereskpresi. Karakter kebebasan berekspresi menjadi prinsip yang dapat diketahui melalui undang-undang yang mengatur mengenai media. Isi media yang diatur di dalam masing-masing undang-undang, mendeskripsikan bagaimana kebebasan berekspresi mampu dilindungi sekaligus diberikan batasan yang tepat, sebagaimana hak asasi dilindungi oleh konvensi maupun konstitusi. 250 Demikian dapat dilihat bahwa ada dua cara pandang untuk melihat harmonisasi kebebasan bereskpresi dalam peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi undang-undang dengan muatan kebebasan berekspresi dalam konvensi dan konstitusi, serta harmonisasi isi media. Keduanya bertitik tolak pada upaya harmonisasi vertikal dengan harmonisasi horizontal, untuk mendapatkan kesesuaian tentang prinsip kebebasan berekspresi dalam peraturan perundang-undangan tentang media. 1. Harmonisasi Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan dengan Konvensi dan Konstitusi Indonesia telah ICCPR, sehingga untuk menyerap meratifikasi harus dan UDHR memenuhi dan kewajiban melaksanakan prinsip- prinsip konvensi. Freedom of the expression dan prinsip-prinsipnya harus pula menjadi perhatian dalam konteks harmonisasi. Kebebasan berekspresi di dalam konvensi dapat dilihat dari dua perspektif yakni: hak untuk mengakses, menerima dan menyebarkan informasi, dan hak untuk mengekspresikan diri melalui media apapun.171 Jadi di dalam konvensi setidaknya ada empat hal utama: pengakuan terhadap hak atas 171 Lihat Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR. 251 kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia, kebebasan memperoleh informasi dan/atau menyebarkan informasi, dan mengaktualisasikan diri (berekspresi) melalui media apapun, serta pembatasan terhadap implementasi hak atas kebebasan berekspresi. Bahwa kemudian terdapat kewajiban negara pihak (yang menandatangani dan/atau meratifikasi konvensi) harus memberikan jaminan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, maka perlu dicermati bagaimana peraturan perundangundangan memuat prinsip-prinsip. Undang- undang harus menjamin hak seseorang untuk memuat apa saja, melalui media apapun. Hal ini dipahami dengan hak untuk berekspresi apapun bentuknya (visual, audio, dan lain sebagainya), melalui media apapun. Media dalam konteks ini adalah media pers (baik cetak maupun elektronik), media siar, internet dan film. Disamping memberikan kebebasan itu, undang-undang batasan berekspresi, atas harus implementasi terkait dengan hak ruang lingkup hak tersebut. Pembatasan ini penting dengan maksud memberikan margin of appreciation to human rights atau tanggung jawab khusus untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Oleh karena itu, konvensi mendorong dua kepentingan: formil dan materiil untuk memberikan landasan terhadap 252 implementasi perlindungan sekaligus pembatasan hak. Harmonisasi yang menekankan pada proses untuk menuju harmoni, dimaksudkan untuk menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk suatu sistem. Di bidang hukum undangan, atau peraturan harmonisasi perundang- dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan menjadi bagian integral dari hukum suatu negara, peraturan perundang-undangan dapat saling terkait satu dengan yang lainnya secara utuh. Secara substansial pula, muatan masing-masing undangundang, harus memiliki kandungan makna yang sama bilamana mengatur sesuatu tertentu. Oleh karena itu, Indonesia yang telah meratifikasi konvensi, juga memiliki kewajiban untuk mengatur hak asasi dalam kerangka makna yang sama, baik berbentuk konstitusi, undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hak. Tugas dari pemerintah negara pihak, termasuk Indonesia, melaksanakan hal-hal utama, yakni memberikan sebagaimana pengakuan konvensi mengakui yang hak sama atas kebebasan berekspresi. Negara pihak juga harus memberikan jaminan kebebasan berekspresi warga negaranya, sekaligus juga mengatur ruang lingkup kebebasan berekspresi. Semua hal tersebut harus taat prinsip konvensi, sehingga kunci dari 253 harmonisasi bereskpresi dari di pengaturan dalam kebebasan peraturan perundang- undangan nasional adalah kesepahaman makna prinsip-prinsip konvensi dalam implementasinya di peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka di dalam konvensi dapat diketahui ada tiga pokok substansi utama yang seharusnya dipenuhi oleh negara pihak. Pertama, substansi yang berkaitan dengan pengakuan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak asasi. Kedua, ruang lingkup atau jangkauan implementasi atau perwujudan hak kebebasan berekspresi secara yuridis. Ketiga, mekanisme yuridis yang berkaitan dengan pembatasan-pembatasan atas hak kebebasan berekspresi. Ketiganya ini bertolak dari kewajiban umum negara pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ditetapkan konvensi. Di dalam kerangka harmonisasi, substansi konvensi yang kebebasan berkaitan berekspresi, dengan menjadi perwujudan sumber yang untuk melihat apakah keberadaan isi media yang diatur sesuai. Pada aras bagaimana peraturan memberikan pengakuan pertama adalah perundang-undangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Norma dasarnya, yakni UUD 1945 pada Pasal 28F telah menyatakan dengan tegas bahwa ada jaminan sekaligus pengakuan bahwa kebebasan berekspresi adalah 254 hak asasi yang harus dilindungi. Pasal ini menjadi rujukan utama untuk mengimplementasikan wujud kebebasan berekspresi. Dengan dimuat di dalam konstitusi, maka ada letak dasar pembentukan sistem hukum terhadap kebebasan berekspresi. Pemenuhan kewajiban terhadap konvensi, juga terwujud dengan adanya Pasal 28F UUD 1945, dalam dua hal: kewajiban umum sebagai negara pihak dan kewajiban substansial untuk memuat materi prinsip konvensi. Dengan demikian, prinsip kebebasan berekspresi menjadi kunci yang substansial pada upaya harmonisasi hukum media, khususnya pada konteks isi media. Baik di dalam norma dasar maupun pada tingkatan undang-undang yang dibentuk Harmonisasi berdasarkan adalah kata kunci konstitusi. mengetahui maksud dari undang-undang yang dibentuk oleh karena perintah dari konstitusi. Maka, peraturan perundang-undangan tentang media, yakni pers, penyiaran, internet dan perfilman, harus merupakan peraturan perundang-undangan yang mengimplementasikan substansi konstitusi. Harmonisasi dengan konstitusi adalah penting, yakni peraturan perundang-undangan menjadi bagian integral dari sistem hukum. UUD 1945 merupakan hukum dasar peraturan perundangundangan. UUD 1945 yang memuat hukum dasar negara adalah sumber hukum bagi pembentukan 255 peraturan perundang-undangan di bawah undangundang dasar. Artinya konstitusi menjadi landasan normatif yang paling fundamental bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian yang integral dari suatu sistem hukum, dimana harus memenuhi ciri-ciri yang sama antara undang-undang yang satu dengan undangundang yang lain. Selain itu, harus terdapat saling keterkaitan menjadi dan saling kebulatan berekspresi ketergantungan utuh. kemudian Muatan menjadi yang kebebasan pertimbangan, apakah secara vertikal, maupun secara horizontal, harmonisasi dapat ditemui dalam pembentukan sistem hukum media. Melalui keempat undangundang yang merujuk pada Pasal 28 UUD 1945 Amandemen, layak dilihat bagaimana kebebasan berekspresi diterjemahkan sebagai hak asasi dengan karakter yang serupa. Bertolak dari hal tersebut, UUD 1945 telah memasukkan muatan konvensi, yakni tentang konsep pengakuan terhadap freedom of expression di dalam Pasal 28 yang menjamin bahwa seseorang dapat mengeluarkan pikiran dengan lisan dan dengan substansi tulisan dan undang-undang. Pasal 28F sebagainya ditetapkan Ditambah yang lebih dengan spesifik menunjukkan ada ruang bebas untuk berekspresi, sebagaimana diakui konvensi, yakni bahwa setiap 256 orang berhak memperoleh untuk informasi berkomunikasi untuk dan mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, menyimpan, informasi memperoleh, mengolah, dengan dan memiliki, menyampaikan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Karena menjadi norma dasar, maka munculnya UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman adalah karena keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 ini. Baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman, secara lugas maupun tidak, menjadikan kebebasan berekspresi sebagai substansi yang tidak dapat diterjemahkan dalam satu tolakan. Masing-masing undang-undang mewujudkan kebebasan berekspresi di ketentuannya masingmasing tentang isi media. Meskipun demikian, ada maksud untuk memberikan pemahaman yang setara dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan bertanggung jawab. Undangundang menciptakan perlindungan sekaligus memberikan batasan yang dimungkinkan bagi perwujudan kebebasan berekspresi tersebut. 257 2. Harmonisasi Isi Media Terlepas dari kedudukan konstitusi, keberadaan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi di dalam konvensi tetap memberikan sumbangsih inspirasi terhadap pembentukan undang-undang. Pasal 28 dan Pasal 28F memang mendasari perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, namun diperlukan undang-undang yang mengatur lebih rinci. Kebebasan berekspresi menjadi isu yang paling utama, terkait dengan pengaturan terhadap isi. Muatan tentang kebebasan berekspresi sudah selayaknya dimaknai dengan derajat yang sama bilamana diatur dalam undangundang teknis. Jadi isi media menjadi kunci bagaimana kebebasan berekspresi dapat diwujudkan melalui pers, penyiaran, internet dan film. Perwujudan tersebut dilindungi undang- undang dan harus dapat selaras antara undangundang yang satu dengan undang-undang yang lain. Isi media yang diatur, berkaitan dengan cara pandang terhadap kebebasan berekspresi, yakni tentang hak untuk mengekspresikan diri melalui media apapun. Artinya dalam kerangka harmonisasi hukum, yang melihat pada tiga aspek yakni legal substance, legal structure, dan legal culture, maka ketentuan undang-undang yang mengatur tentang kebebasan berekspresi harus diuji. 258 Terbitnya tentang media, peraturan yang perundang-undangan diarahkan pada tujuan perlindungan terhadap akses dan sarana informasi yang digunakan oleh masyarakat, menimbulkan persoalan tersendiri. Pers, penyiaran, internet dan film adalah hal-hal yang paling mudah diakses dan menjadi sumber informasi bagi masyarakat di berbagai kalangan. Isi masing-masing media ini menjadi penentu, apakah isi tersebut menyiratkan kebutuhan atau hanya menjadi sensasi. Produksi isi, menimbulkan dua kepentingan, yakni kepentingan berekspresi dan kepentingan tujuan (atau manfaat) yang akan diperoleh. Pada sisi ini, undang-undang menyediakan perlindungan. Bagaimana undang-undang melindungi isi tanpa melukai hak subyek lain, ini yang harus diselaraskan. Mengingat bahwa pers, penyiaran, internet dan film pada satu titik akan bertemu, memiliki kepentingan masing-masing pada aspek bisnis dan non-bisnis, serta sekaligus menyinggung prioritas subyek. Mengatur tentang isi media, melalui berbagai undang-undang yang teknis, menyebabkan ada keharusan untuk menyelaraskan kepentingan yang sama, yakni tentang kebebasan berekspresi. Pelibatan substansi konvensi dalam harmonisasi vertikal dan horizontal tidak dapat dipisahkan dari upaya harmonisasi konvensi. Baik terhadap aturan tentang prinsip isi dalam pers, isi 259 penyiaran, isi internet (dokumen dan transaksi elektronik), dan isi film, mengindikasikan ada tidaknya keselarasan, keserasian tentang hal sama yang diatur: berbagai kebebasan bentuknya. bereskpresi Kebebasan dalam berekspresi kemudian menjadi bagian yang integral dari sistem hukum. Membandingkan perlakuan keempat undangundang tentang media, kebebasan berekspresi dapat dilihat dari makna “…an information and ideas of any kinds…” yang seharusnya muncul dalam ketentuan tentang isi. Masing-masing undang-undang mengatur dengan cara yang khas. Semenjak diakuinya kebebasan berekspresi sebagai hak asasi di dalam UUD 1945, yang kemudian diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka kebebasan berekspresi menjadi hak konstitusional yang harus dilindungi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat dianggap sebagai undangundang pertama pada era reformasi yang secara tegas meletakkan dasar kebebasan terhadap media (khususnya media pers). Undang-undang ini pula yang memuat tentang kemerdekaan pers sebagai bentuk perlindungan terhadap freedom of expression secara otentik. UU Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah utama adanya. Penegasan tersebut juga bermaksud agar terhadap pers nasional tidak 260 dikenakan penyensoran, pelarangan penyiaran. pembredelan Untuk atau menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pada perkembangannya, UU Pers dengan prinsip kemerdekaan pers yang dimilikinya, kemudian memberikan inspirasi bagi terbentuknya peraturan perundang-undangan yang lain di bidang media. Aspek kebebasan sebagai hak menjadi landasan fundamental bagi perwujudan kebebasan berekspresi. UU Pers telah memulai dengan membebaskan muatan materi pers secara bertanggung jawab. Setelah UU Pers, terbitlah UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman yang dalam kerangka harmonisasi hukum media, pada prinsipnya mengatur substansi yang sama. Jadi, UU Pers sudah mengatur demikian adanya, sehingga undang-undang yang lain juga berada pada konsep kebebasan berekspresi yang sama. Keserasian dan keselarasan substansi tentang isi media, sudah selayaknya memiliki karakter yang sama antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain. UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman sebenarnya berada pada satu mengimplementasikan frame, yakni kebebasan dalam berekspresi dengan situasi tanggung jawabnya. Terdapat dua hal yang harus dicermati, bahwa peraturan 261 perundang-undangan secara horizontal memiliki karakter mirip, sekaligus juga memuat prinsip konvensi di koridor yang sepaham. Hal ini diajukan sebagai cara untuk melihat apakah terdapat tumpah tindih aturan undang-undang saat memuat prinsip kebebasan berekspresi. Kerangka harmonisasi penyusunan cakupannya structure sistem ada menekankan hukum pada pada nasional, legal maka substance, legal dan legal culture. Aturan tentang isi media yang sudah dibentuk harus mencerminkan ketiga hal ini. Disandingkan dengan prinsip kebebasan berekspresi, maka isi media yang diatur harus dapat memuat substansi, struktur dan budaya. Sekalipun, UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman merupakan undang-undang dengan spesifikasi khusus, keempatnya sudah seharusnya berada pada karakter yang sama. Tentang legal substance, konvensi dan UUD 1945 telah mengakui adanya kebebasan berekspresi, ruang lingkup dan pembatasannya. Isi media yang diatur di UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE memiliki dan UU karakter Perfilman yang pada sama. prinsipnya Masing-masing mengatur mengenai tiga hal utama tentang isi, yakni: bentuk isi media (pers cetak atau elektronik, siaran, internet dan film), mekanisme perlindungannya, serta batasan-batasan isi. Pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa bermula 262 dari pengakuan atas kemerdekaan pers di UU Pers yang dijamin secara bebas, memberikan inspirasi kepada media lain untuk mewujudkan kebebasan berekspresi. Media mampu menjadi sarana yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, dengan standar konvensi. Penekanan utama pada keempat undang-undang dianggap ada pada penting, public sehingga order perlu yang diberikan perhatian. Public order juga menyiratkan satu kondisi yang mempertemukan kepentingan pers, penyiaran, internet dan film pada satu titik persinggungan. Terdapat tiga substansi pada kepentingan umum atau public order yang menjadi titik temu persinggungan dan/atau persamaan.172 Hal itu adalah kerukunan hidup antarumat beragama, kesusilaan, serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Persinggungan terjadi bilamana substansi isi sebagai informasi disebarluaskan melalui media pers, penyiaran, internet dan film pada waktu yang hampir bersamaan. Informasi tersebut dapat menjadi isu yang menggugah kepentingan umum. Bahkan UU Penyiaran memperluas makna kepentingan umum yang bisa menyangkut muatan yang dapat mengganggu hubungan internasional. 172 Dapat dilihat pada Pasal 13 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) dan (5) UU Penyiaran, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 6 UU Perfilman. Masing-masing mengatur bahwa ada keadaan yang dilindungi terkait kepentingan yang lebih luas, seperti SARA, kesusilaan dan kemanusiaan. 263 Harmonisasi tentang isi media menciptakan warna tersendiri ketika pers diberikan larangan terhadap iklan yang memperlihatkan penggunaan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya. Serentak, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur pula agar masyarakat terlindungi dari ancaman terhadap public health tersebut. Substansi isi media ini memperlihatkan ada pemahaman yang serupa antar undangundang tentang keberadaan ancaman terhadap public health, kemudian memuatnya secara lugas di dalam undang-undang. Pada kenyataannya, isu-isu substansial yang berkaitan dengan isi media, berada pada irisan pertemuan antar undang-undang. Misalnya, isu tertentu menjadi isi pers yang kemudian disiarkan secara luas melalui media penyiaran dan media internet. Maka perdebatan yang muncul adalah undang-undang yang mana yang akan menjadi lex specialis-nya. Hal ini sangat bergantung pada letak isu yang menjadi sentral dari semua permasalahan media yang muncul dan pertimbangan para pelaku. Ancaman terhadap kebebasan berekspresi, dapat mengenakan kebebasan pers, kebebasan penyiaran dan kebebasan internet sebagai sendiri, masing- wujudnya. Tentang masing structure undang-undang, membentuk 264 legal wadah terkecuali organisasi UU khusus ITE, (atau aparat) yang memiliki mengendalikan. Dengan wewenang membentuk untuk lembaga- lembaga khusus tersebut, peraturan perundangundangan tentang media berada pada konsepsi yang serupa, yakni bahwa wujud kebebasan berekspresi harus diawasi dan dikendalikan secara proporsional. Lembaga tersebut juga berwenang untuk memberikan perlindungan terhadap eksistensi hak lain yang cenderung dilukai oleh implementasi hak kebebasan berekspresi oleh subyek. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Lembaga Sensor Film, landasan undang-undang, tersebut melibatkan dibentuk dimana dengan organisasi subyek-subyek yang profesional di bidangnya. Aspek profesionalitas dipentingkan, oleh karena isi media perlu dinilai, apakah layak untuk dapat dikonsumsi khalayak. Kelayakan tersebut dan/atau standar diberikan label ijin diukur dengan tertentu, siar pedoman sehingga atau lolos dapat sensor. Lembaga-lembaga memberikan penilaian terhadap isi pers, isi penyiaran dan isi film. Bilamana struktur hukum merupakan upaya membentuk aparat yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali, maka Dewan Pers, KPI dan LSF adalah wujud organisasi organik yang mendorong keseimbangan antara pelaksanaan hak dengan dan pencegahannya agar tidak berlebihan. 265 Meskipun UU ITE tidak membentuk lembaga tertentu untuk menjadi pengendali, negara bertindak langsung maupun tidak langsung untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi melarang melalui media konten-konten internet, tertentu dengan yang dapat mengancam eksistensi hak lain. Negara di media internet bermutasi menjadi watch dog yang berbeda fungsi dengan Dewan Pers, KPI dan LSF, dimana negara bertindak langsung dan tidak langsung melalui hukum pidana. Dalam konteks harmonisasi, sebenarnya menjadi tidak selaras, bahwa internet yang merupakan sarana dengan tujuan yang sama dengan sarana informasi yang lain, namun eksistensi negara tampak lebih kuat. Jadi bilamana harmonisasi hukum secara horizontal, tentang legal culture, UU ITE berada pada sisi substansi yang berbeda. Sementara jika diharmonisasikan dengan muatan materi di dalam konvensi, maka pembentukan lembaga tertentu untuk mengawal kebebasan berekspresi, merupakan hal yang sangat intepretatif. Asumsi negara, apapun wujudnya, bisa diatur sesuai kebutuhan.173 lembaga, 173 UU Meskipun ITE tidak membentuk memperkenankan hadirnya Siracusa Principle menyatakan bahwa “state organs or agents responsible for the maintenance of public order (odre public) shall be subject to c ontrols in the exercise of their power through the parliament, courts, or other competent independent bodies.” Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa dipandang perlu untuk membentuk lembaga tertentu yang melaksanakan kontrol bagi pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa menciderai kepentingan publik. 266 negara melalui ketentuan hukum pidana untuk mengamankan amanat undang-undang. Tentang legal culture, peraturan perundangundangan tentang membentuk media lingkungan dirumuskan yang berbeda untuk dengan masa lalu. Sistem hukum media yang baru secara normatif hendak mendorong masyarakat untuk lebih terbuka terhadap informasi yang berkembang melalui saluran-saluran pengakuan sebagai terhadap hak, informasi. kebebasan mekanisme Baik berekspresi perolehan dan penyebaran informasi melalui media dan batasanbatasan terhadap kebebasan berekspresi, diajukan untuk membentuk masyarakat Indonesia untuk memberikan Legal culture penghargaan dan penghormatan. baru yang hendak dikembangkan dan menjadi tujuan normatif di dalam undangundang adalah untuk mendorong lingkungan media yang lebih terbuka dan ekspresif sekaligus transparan. Hal ini ditunjukkan dengan menempatkan upaya pemenuhan hak masyarakat atas informasi, penegakkan nilai-nilai dasar hak asasi manusia yang demokratis, bertanggung bahwa jawab. dan Isi pembentukan kebebasan media yang menjadi kehidupan kunci masyarakat dipengaruhi oleh informasi yang dimuatnya. Oleh karena itu lembaga-lembaga media memiliki tanggung jawab untuk mampu menjaga arus 267 informasi yang akurat, aman, serta kebenarannya sangat terbukti atau teruji. Pengolahan isi juga menyangkut representasi masyarakat pemakainya, sehingga masyarakat dapat turut berkembang seiring perkembangan pengetahuan dan informasi yang tersedia. Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi, yang turut serta meratifikasi Universal Declaration of Human Rights dan International Convenant on Civil and Political Rights, bermaksud untuk menjadi subyek internasional yang menghormati hak-hak universal. Kebebasan berekspresi yang menjelma sebagai hak yang berkembang secara masif pada beberapa dekade belakangan ini, perlu diantisipasi agar tetap terwujud namun penuh tanggung jawab. Makin bervariasinya sarana atau media untuk menjadi saluran, negara Indonesia sebagai negara demokratis, wajib memberikan perlindungan yang sama kepada warga negaranya maupun subyek lain di Indonesia. Ketiadaan batas untuk mendapatkan informasi, menyebabkan negara perlu membentuk aturan yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan. Aturan itulah yang secara harmonis dapat mewujudkan isi media yang bertanggung jawab, sebagai wujud transparan. 268 kebebasan berekspresi yang