Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan Tentang Isi Media di

advertisement
Bab III
Konstruksi Kebebasan Berekspresi
dalam Regulasi Isi Media
A. Kebebasan Bereskpresi sebagai Hak Asasi
Manusia di Indonesia
Media
sarana
di
Indonesia
demokrasi
kehidupan
yang
berkembang
menyentuh
masyarakat.
diwujudkan
dengan
menjadi
setiap
Eksistensi
perannya
selalu
lini
media
menyertai
setiap perkembangan kehidupan masyarakat di
dunia dan di Indonesia pada khususnya. Media
memang
menjadi
sarana
mutakhir
untuk
menyebarluaskan semua informasi sehingga dapat
mengembangkan wawasan dan pengetahuan warga
masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, secara historis,
media
didengungkan
memberikan
sebagai
penghargaan
sarana
kepada
hak
untuk
asasi
manusia. Oleh karena media merupakan sarana,
maka yang lantas harus dimengerti adalah bahwa
yang disalurkan oleh media diantaranya mengenai
kepentingan hak asasi manusia. Di samping itu,
informasi yang disebarkan juga memuat begitu
banyak kepentingan lain di dalamnya. Keadaan
inilah kemudian diperlukan tatanan dalam suatu
sistem hukum yang memberikan perlindungan yang
131
tepat
tanpa
mengebiri
manifestasi
hak
asasi
manusia itu sendiri.
Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak
asasi manusia, di Indonesia konstruksi hukumnya
dielaborasi
dari
sumber-sumber
hukum
internasional. Pijakan utamanya tetap berasal dari
Universal Declaration of Human Rights (1948) yang
menitikberatkan
sebagaimana
pada
telah
Article
19.
diterangkan
Selanjutnya
pada
bab-bab
sebelumnya, kebebasan berekspresi yang tercantum
dalam UDHR tersebut mendapatkan penegasanpenegasan
di
internasional
dalam
lainnya
yang
konvensi-konvensi
diadakan
demi
penghargaan terhadap kebebasan manusia.
1. Pengakuan Kebebasan Berekspresi di dalam
Konstitusi
Tentang kebebasan berekspresi, perjalanannya
di
Indonesia
tidak
dapat
dilepaskan
dari
keberadaan hak asasi manusia secara universal.
Kebebasan
berekspresi
menjadi
satu
bagian
diantara bagian-bagian lain dari hak asasi manusia,
yang
kemudian
sejarah
pemikiran
dan
perkembangannya berjalan beriringan.
Kebebasan
berekspresi
sebagai
hak
yang
penting dan diakui secara universal dalam Universal
Declaration of
Human
Rights dan
International
Covenant on Civil and Political Rights. Sebagai
sebuah pengakuan atas keberadaan hak kebebasan
132
berekspresi, maka ratifikasi yang dilakukan dapat
menjadi
acuan
peraturan
muatan
dasar
dalam
perundang-undangan
yang
internasional
sesuai
yang
prinsip-prinsip
dituangkan
dengan
universal.
hak
dalam
asasi
pembentukan
yang
prinsip-prinsip
Pengakuan
manusia
berbagai
memiliki
produk
atas
tersebut
hukum
ratifikasi dalam beberapa ketentuan perundangundangan di Indoneisa. UDHR diratifikasi melalui
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia. Sedangkan ICCPR diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant On Civil
And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang
Hak-hak Sipil Dan Politik).
Di
samping
itu,
ada
beberapa
konvensi-
konvensi lain yang memuat mengenai kepentingan
kebebasan berekspresi sebagai hak, yang kemudian
menjadi
acuan
dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena
kebebasan berekspresi dipahami sebagai bagian
dari eksistensi hak asasi manusia, kebebasan
berekspresi berdiri diantara jenis-jenis hak asasi
manusia yang lain. Hal ini menegaskan bahwa di
dalam kerangka hak asasi manusia, kebebasan
berekspresi juga menopang keberadaan jenis hak
asasi manusia.
133
Konvensi-konvensi tersebut juga mendorong
pembentukan
sistem
hukum
media
massa
di
Indonesia, yang akan berlaku efektif bilamana
mencakup persoalan kepemilikan media (media
ownership) dan peran serta masyarakat madani
(civil society).
Ratifikasi-ratifikasi
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah (baca: negara) Indonesia, menimbulkan
letak dasar yang fundamental bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan bagi
kebebasan
berekspresi. Demikian halnya sehingga konsepkonsep
mengenai
kebebasan
berekspresi
dan
perkembangannya di dunia, baik langsung maupun
tidak langsung, menginspirasi para pembentuk
undang-undang untuk memberikan perhatian yang
komprehensif terhadap makna hak asasi manusia,
khususnya kebebasan berekspresi. Pada titik inilah,
tatanan hukum Indonesia tidak dapat melepaskan
diri dari arus perkembangan hak asasi manusia di
dunia,
yang
penghargaan
sejalan
terhadap
dengan
kepentingan
upaya-upaya
masyarakat
dunia.
Instrumen-instrumen
tersebut,
memberikan
hukum
cakupan
internasional
kebebasan
berekspresi pada tiga hal utama: kebebasan untuk
mencari informasi, kebebasan untuk menerima
informasi, dan kebebasan untuk memberi informasi
termasuk di dalamnya menyatakan pendapat.
134
Konstitusi sebagai landasan berbangsa dan
bernegara,
memuat
segala
hal
yang
berkaitan
dengan kehidupan negara yang diaturnya. Prinsipprinsip hak asasi manusia juga diakomodasi di
dalam
dasar
negara
tersebut.
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah
diamandemen beberapa kali, memberikan arahanarahan
tentang
kehidupan
berbangsa
yang
menghargai hak asasi manusia.
Di dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen
telah disebutkan secara jelas bahwa: Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang (Pasal 28). Di samping itu,
Pasal 28E ayat (3) juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat.
Pasal
ini
mengindikasikan
bahwa
ada
penghargaan kepada warga negara untuk bebas
merdeka berpendapat, yang kemudian ditegaskan
sekali lagi dalam Pasal 28F: setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk
mengembangkan
pribadi
dan
lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
Era pengakuan di dalam konstitusi, membuat
kehidupan masyarakat semakin berkembang dan
135
dikenal sebagai era kebebasan media. Berlandaskan
pada Pasal 28F UUD 1945 Amandemen, maka
pemahaman
warga
negara
tentang
kebebasan
berubah. Dari yang terintervensi secara sistematis
melalui
kebijakan
politis,
menjadi
berpeluang
berpendapat sejak secara regulatif diakui sebagai
hak konstitusional. Bahkan, sebagai warga negara,
mereka diperkenankan (secara konstitusional pula)
untuk memperoleh informasi dari berbagai saluran.
Adanya perlindungan dan jaminan hukum
terhadap
kebebasan
berekspresi
peraturan-perundang-undangan,
di
tidak
berbagai
melulu
menjadi sumber perlindungan secara teknis, namun
yang perlu dilihat adalah bagaimana hukum dasar
(baca: konstitusi) memberikan jaminan yang paling
mendasar
landasan
dan
substansial.
hukum
Meskipun
konstitusional,
bukan
sebagai
berarti
bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga tidak
dibatasi. Secara substansial, kebebasan berekspresi
sebagai bagian dari hak asasi manusia juga dibatasi
dalam prasyarat otentik yang ditentukan dalam
UUD 1945 juga.109
109
Sehubungan dengan adanya Putusan MK No.132/PUU-VII/2009, oleh
Mahkamah Konstitusi ditegaskan mengenai pembatasan terhadap hak asasi
manusia yakni bahwa dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, maka
seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi (Pasal 28J UUD 1945) sebagai pasal penutup dari
seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD
1945 tersebut. Disamping itu berdasarkan penafsiran sistematis (sistematische
interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD
1945.
136
Konstitusi
juga
memerintahkan
adanya
peraturan dan pembatasan dari hak-hak asasi
manusia
dalam
suatu
undang-undang
dalam
beberapa pasal:
a. Pasal 28I ayat (5): “Untuk menegakkan dan
melindungi
dengan
hak
asasi
prinsip
manusia
negara
sesuai
hukum
yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan”
b. Pasal 28J ayat (1): “Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam
tertib
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara”
c. Pasal 28J ayat (2): “Dalam menjalankan hak
dan
kebebasannya,
tunduk
kepada
setiap
orang
pembatasan
wajib
yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud
semata-mata
untuk
menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak
dan
kebebasan
memenuhi
dengan
orang
tuntutan
pertimbangan
lain
yang
dan
untuk
adil
sesuai
moral,
nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dengan dilakukannya amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar, yakni sebanyak empat kali,
dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan
137
dan keinginan masyarakat khususnya mengenai
persoalan hak asasi manusia yang tertuang di
dalam
Pasal
28.
Bahwa
kemerdekaan
atau
kebebasan media harus dijamin oleh negara yang
dilaksanakan dengan tetap mengingat manfaatnya
untuk
tetap
menjaga
integrasi
nasional,
menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan,
moral,
dan
tata
kesejahteraan
susila,
serta
umum,
kehidupan
bangsa.
kebebasan
juga
dan
Dalam
harus
memajukan
mencerdaskan
konteks
ini
dilaksanakan
pula,
secara
bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara
kebebasan
dan
kesetaraan
menggunakan
hak
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Representasi Kebebasan Berekspresi sebagai
Isi yang diatur di dalam Peraturan Perundangundangan
Dengan
diakuinya
kebebasan
berekspresi
sebagai bagian penting bagi hak asasi manusia di
dalam konstitusi, maka tetap saja dibutuhkan
adanya pembentukan undang-undang yang secara
khusus
mengimplementasikan
perlindungan
terhadap hak asasi manusia secara komprehensif
dan berlaku sebagai payung hukum hak asasi
manusia yang utama di Indonesia (umbrella act).
Oleh
karena
itu,
kemudian
disusun
dan
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun
138
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang
ini pula yang menjiwai pembentukan peraturan
perundang-undangan tentang media di Indonesia.
Di dalam undang-undang tersebut, dinyatakan
dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa setiap orang berhak
untuk
mempunyai,
mengeluarkan,
dan
menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati
nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui
media
cetak
memperhatikan
ketertiban,
bangsa.
maupun
elektronik
nilai-nilai
agama,
kepentingan
Dengan
umum,
demikian,
dengan
kesusilaan,
dan
keutuhan
secara
aplikatif,
ketentuan di dalam Pasal 28 UUD 1945 telah
diwujudkan dalam suatu undang-undang tertentu
tentang hak asasi manusia, dan khususnya tentang
hak atas kebebasan berekspresi.
Di
Indonesia
terdapat
beberapa
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan media,
yang juga mendorong perkembangan bisnis media.
Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman. Berkaitan dengan eksistensi kebebasan
berekspresi
mengatur
pula,
mengenai
undang-undang
substansi
disebarkan.
Masing-masing
menyebarkan
informasi
atau
yang
tersebut
hendak
undang-undang
konten
melalui
139
medianya masing-masing. Hanya saja kemudian
apakah
ada
singgungan
kesepahaman
kebebasan
yang
dan
sama,
berekspresi
atau
yakni
bahkan
bagaimana
dikonstruksikan
dalam
wujud isi media yang memenuhi ekspektasi hak
asasi manusia.
a. Undang-Undang
Nomor
40
Tahun
1999
tentang Pers
Salah satu embrio kebebasan berekspresi
pada
tataran
teknis
peraturan
adalah
dengan
perundang-undangan
disahkannya
Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang ini membuka kesempatan bagi
seluruh
adresaat-nya
untuk
bebas
untuk
mengaktualisasikan diri, melalui media pers,
cetak maupun non-cetak.
Undang-undang
ini
dibentuk
sebagai
respon atas upaya untuk melaksanakan prinsip
demokrasi
khususnya
dan
keadilan
menjadi
di
upaya
bidang
hukum,
pengejawantahan
perlindungan kebebasan setelah dirubahnya UUD
1945 pada era reformasi. Undang-undang ini juga
menggantikan
Nomor
21
kedudukan
Tahun
1982
Undang-Undang
yang
dianggap
membelenggu kemerdekaan pers. Di samping itu
UU No. 40 Tahun 1999 dianggap sebagai produk
hukum yang merupakan hasil dari lembaga
perwakilan rakyat yang demokratis. Pada bagian
140
konsideran
undang-undang
ini
menyebutkan
latar belakang kelahirannya, yaitu:
a. Kemerdekaan
perwujudan
unsur
pers,
merupakan
kedaulatan
penting
dalam
rakyat
dan
kehidupan
demokrasi, sesuai dengan amanat Pasal
28 UUD 1945;
b. Kemerdekaan
pers,
perwujudan
yang
dan
merupakan
kemerdekaan
menyatakan pendapat secara lisan dan
pendapat,
merupakan
hak
asasi
manusia;
c. Kemerdekaan pers harus bebas dari
campur tangan kekuasaan;
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982
yang
harus
mengharuskan
dicabut,
adanya
karena
SIUPP,
menghambat
kebebasan pers.110
Dengan
disahkannya
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka
110
Terdapat persamaan antara UU No. 40/1999 dengan UU No. 11/1966 dimana
keduanya lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan
diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai
salah satu pilarnya. Adapun prinsip dasar dalam kedua undang-undang tentang
pers tersebut menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif
yang sebelumnya mendera kehidupan pers. Ketentuan-ketentuan yang identik
diantaranya: sensor dan pembredelan pers, ketentuan tentang SIT dan SUPP,
perlindungan terhadap tugas jurnalistik, dan pembebasan pers dari belenggu
yuridis dan politis.
Lihat Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia. PT. Grasindo;
Jakarta, 2005. Hal.56-57.
141
dimulailah
era
baru
kebebasan
pers,
telah
membawa banyak perubahan bagi dinamisasi
kehidupan media di Indonesia.111 Bagi insan
media, dengan adanyanya undang-undang baru
ini
memberikan
mendapatkan
peluang
keragaman
baru
untuk
informasi
yang
bersumber dari adanya keragaman isi maupun
keragaman kepemilikan media.
Selain
memberikan
peluang
bagi
munculnya berbagai lembaga pers baru, UU No.
40 Tahun 1999 juga memberikan dampak lain
yang signifikan. Kemerdekaan dan keterbukaan
para pelaku media pers semakin terlindungi
dalam
yakni
hal
menjalankan
mencari,
menyimpan,
aktivitas
jurnalistik,
memperoleh,
mengilah
dan
memiliki,
menyampaikan
informasi melalui berbagai saluran yang tersedia.
Disamping
tonggak
itu,
baru
undang-undang
sejarah
ini
kebebasan
menjadi
pers
yang
kemudian dikenal sebagai kemerdekaan pers.
Kemerdekaan pers sebagai konsep yang
diperkenalkan
bermaksud
melalui
untuk
undang-undang
memberikan
jaminan
ini,
hak
asasu manusia yang merupakan salah satu ujud
kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang
111
Indikator awal meningkatnya jumlah penerbitan lembaga pers. Data Direktorat
Pembinaan Pers pada 23 September 1999, menyatakan bahwa jumlah penerbitan
media cetak di Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin
mencapai 1.687 buah. Padahal pada tahun 1997 hanya 289 media, yang
menunjukkan bahwa hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan media setelah
terbitnya UU No. 40 Tahun 1999.
142
sangat
penting
menciptakan
kehidupan
bermsyarakat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan
pendapat yang tercantum dalam Pasal 28 UUD
1945 harus dijamin.112 Selain itu, dinyatakan
pula dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 bahwa
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan
prinsip
rakyat
yang
demokrasi,
berasaskan
keadilan
dan
diatur
secara
prinsip-
supremasi
hukum.
Hal-hal
yang
berbeda
dibanding dengan peraturan perundangan yang
sebelumnya113 adalah pers dan kebebasan pers
yang
diakui
sebagai
kemerdekaan
pers
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat
yang berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan,
dan supremasi hukum (Pasal 2). Kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
(Pasal 4 A1). Pers nasional tidak dikenakan
penyensoran,
pembredelan,
atau
pelarangan
penyiaran (Pasal 4 Ayat 2). Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional berhak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi
(Pasal
4
Ayat
3).
Serta
dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
112
Lihat konsideran UU No. 40 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
113
143
hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (Pasal 4
Ayat 4).
Undang-Undang ini mengandung materi
yang memberikan jaminan atas kebebasan pers
sebagai hak asasi dan sebagai wujud atas adanya
kedaulatan rakyat. Adanya ketentuan-ketentuan
yang tegas yang menolak ancaman eksternal
terhadap kebebasan pers seperti:
a. penyensoran,
pembredelan
atau
pelarangan penyiaran, Pasal 4 ayat (2);
b. tindakan
yang
menghambat
menyebarluaskan
atau
gagasan
dan
informasi, Pasal 4 ayat (3);
c. kepada
siapa
ancaman
saja
yang
terhadap
melakukan
kebebasan
pers
dapat dipidana, Pasal 18 ayat (1); dan,
d. pelanggaran-pelanggaran
kewajiban
penghormatan
norma-norma
masyarakat
bersalah
terhadap
agama,
serta
(Pasal
ras
asas
5
terhadap
ayat
kesusilaan
praduga
(1)),
tak
dapat
diancam pidana, Pasal 18 ayat (2).
Ketentuan-ketentuan
dalam
pasal-pasal
tersebut mendorong agar kegiatan pers yang
bebas dan dilindungi oleh undang-undang, tidak
diintervensi oleh pihak manapun, sekaligus juga
memberikan pengakuan bahwa kebebasan pers
atau
144
yang
kemudian
disebut
sebagai
kemerdekaan
pers
(seharusnya)
dapat
dilaksanakan secara bertanggungjawab.
Asas tanggung jawab (responsibility) media
terhadap publik penikmat media, juga dimuat
oleh karena pers memiliki potensi melakukan
kekeliruan dalam
melaksanakan aktivitasnya.
Kekeliruan dapat berdampak negatif pada aspek
kepentingan orang atau sekelompok orang, baik
langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu,
diperlukan mekanisme pertanggungjawaban pers
atas
tindakan
Mekanisme
negatif
tanggung
dimunculkan
dalam
maksud
bahwa
karena
aktivitas
yang
jawab
dilakukannya.
pers
kemudian
undang-undang,
persoalan
yang
pers
sudah
dengan
timbul
oleh
selayaknya
diselesaikan melalui pertanggung jawaban pers
yang diperuntukkan pers sendiri. Karya pers
jurnalistik
yang
bermasalah
mempunyai
mekanisme tanggungjawabnya sendiri.
Terkait
dengan
muatan
pers,
yang
kemudian diatur di dalam UU No. 40 Tahun
1999, secara khusus terdapat pada Pasal 5 ayat
(1)
yang
menyatakan
bahwa
pers
nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan
ras kesusilaan masyarakat serta asas praduga
tak bersalah. Pasal ini menjadi satu-satunya
ketentuan di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang
memberikan pernyataan bahwa muatan di dalam
145
pers harus memiliki syarat prakondisi tertentu.
Pasal ini juga menjadi satu-satunya ketentuan
yang secara eksplisit menyatakan kewajiban atas
sesuatu
muatan
pers
yang
hendak
disebarluaskan.
Hal
menarik
berikutnya
adalah
bahwa
dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999
ini, dipertegas adanya suatu lembaga yakni
Dewan Pers yang dimaksudkan untuk menjadi
pelindung
kebebasan
pers,
yang
tidak
lagi
menjadi penasihat Pemerintah.114
b. Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2002
tentang Penyiaran
Isu pertama yang didengungkan ketika
undang-undang ini disusun dan disahkan adalah
undang-undang ini tidak ditandatangani oleh
Presiden
RI
pada
waktu
itu,
Megawati
Soekarnoputri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 memang merupakan inisiatif dari Dewan
Perwakilan Rakyat pada masa itu kemudian tidak
mendapatkan tanda tangan Presiden sebagai
bentuk
pengesahan.
Oleh
karena
tidak
ditandatangani oleh Presiden, maka undang114
Dewan Pers pertama kali dibentuk pada tahun 1968 berdasarkan UU No. 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tentang Pers, dan disahkan oleh
Presiden Soekarno tanggal 12 Desember 1966. Fungsi awalnya adalah sebagai
pendamping pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan
perkembangan pers nasional. Adapun ketua Dewan Pers pertama kali adalah
Menteri Penerangan. Seiring perkembangannya, Dewan Pers tidak banyak
perubahan pada masa orde baru, dengan adanya UU No. 21 Tahun 1982.
146
undang tersebut tetap menjadi produk hukum
yang mengikat bagi penyelenggaraan kegiatan
penyiaran radio dan penyiaran televisi.
Urgensi dari undang-undang ini adalah
untuk mengembangkan demokrasi yang sekaligus
memecah
yang
cengkeraman
selama
ini
sekelompok
mengangkangi
pemodal
keberadaan
lembaga penyiaran di Indonesia. Undang-Undang
Penyiaran
adalah
regulasi
dengan
visi
menyerahkan regulasi penyiaran kepada publik
(yang
direpresentasikan
dengan
dibentuknya
Komisi Penyiaran Indonesia), serta mendorong
adanya
keragaman
kepemilikan
menciptakan keragaman
Undang-undang
untuk
muatan.115
ini
juga
hendak
mendorong terbentuknya sistem penyiaran di
Indonesia yang demokratis, dengan bertumpu
pada dua hal: diversity of content dan diversity of
ownership. Dua hal inilah yang menjadi isu
sentral
dalam
kajian
peraturan
perundang-
undangan tentang penyiaran. Semangat yang
hendak dibangun melalui isu sentral itu adalah
bahwa tersedianya informasi dapat menunjang
kepentingan publik (public interest) untuk menuju
kebaikan publik (public good).
Dalam kerangka pembentukan peraturan
perundang-undangan
beberapa
115
aspek
tentang
yang
penyiaran,
ada
dipertimbangkan
dan
Judhariksawan. Hukum Penyiaran.Rajawali Press; Jakarta, 2010. Hal. 92.
147
menjadi
bahasan.
Aspek-aspek
itu
adalah:
persoalan
teknikal
atau
aspek
teknologi
(technology
aspect),
aspek
hukum
perizinan,
aspek hukum program siaran, dan aspek hukum
pidana
dalam
penyiaran.
Aspek
teknologi
berkaitan dengan teknik operasional lembaga
penyiaran,
yakni
penggunaan
spektrum
frekuesnsi sampai dengan digitalisasi penyiaran,
dimana ada keterkaitan antara pranata hukum
nasional dan hukum internasional.
Aspek
hukum
memaparkan
perizinan
tentang
penyiaran,
kelembagaan
dan
mekanisme perizinan penyiaran di Indonesia,
baik
berdasarkan
maupun
undang-undang
peraturan
penyiaran
pelaksanaannnya.
Aspek
hukum program siaran meliputi aturan tentang
boleh dan tidak boleh suatu program disiarkan,
standar program dan isi siaran, serta aturan
hukum lain yang harus dipatuhi oleh praktisi
penyiaran.
Aspek-aspek
memberikan
tersebut
pertimbangan
sekaligus
bagi
pembentuk
undang-undang, khususnya pada aspek program
siaran
yang
Penyiaran
mendorong
memiliki
muatan
Undang-Undang
tertentu
yang
mengakomodasi kepentingan akan kebebasan
berekspresi. Di dalam undang-undang kemudia
dicantumkan tetantang isi siaran yang harus
sesuai dengan Pasal 2 yang menyatakan bahwa
148
diselenggarakan berdasar Pancasila dan UUD
1945 dengan asas-asasnya: manfaat, adil dan
merata,
kepastian
hukum,
keamanan,
keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian,
kebebasan, dan tanggung jawab. Sedang isi
siaran harus sesuai dengan Pasal 3 yakni
bertujuan
untuk
memperkukuh
integrasi
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa
yang
beriman
dan
bertakwa,
mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan
umum, dalam rangka membangun masyarakat
yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera,
serta
menumbuhkan
industri
penyiaran
Indonesia.
Isi siaran sesuai amanat Pasal 4 adalah
sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai
fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.
Artinya
bahwa
dengan
demikian
isi
siaran
sekaligus mewujudkan fungsi penyiaran, yaitu
fungsi ekonomi dan fungsi kebudayaan. Di sisi
lain isi siaran juga harus diarahkan pada hal-hal
yang terurai pada Pasal 5. Arah penyelenggaraan
penyiaran
tersebut
harus
mengedepankan
prinsip perlindungan hak asasi oleh negara agar
aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga
penyiaran berdampak positif bagi publik dalam
kerangka diversity of ownership dan diversity of
content.
149
Berkaitan
dengan
isi
siaran,
maka
dibuatlah program siaran yang dalam kerangka
tersebut dapat diketahui tentang dua hal: bentuk
‘kewajiban’ dan ‘larangan’ terhadap isi siaran.
Adapun dimuat bahwa lembaga penyiaran dalam
menyampaikan
program
siarannya
memiliki
empat kewajiban, yakni:
a. Isi siaran wajib mengandung informasi,
pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan
moral,
intelektualitas,
kemajuan,
kekuatan
watak,
bangsa,
menjaga persatuan dan kesatuan, serta
mengamalkan
nilai-nilai
agama
dan
budaya Indonesia.
b. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang
diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran
Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik,
wajib memuat sekurang-kurangnya 60%
(enam puluh per seratus) mata acara yang
berasal dari dalam negeri.
c. Isi siaran wajib memberikan perlindungan
dan
pemberdayaan
kepada
khalayak
khusus, yaitu anak-anak dan remaja,
dengan
menyiarkan
mata
acara
pada
waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran
wajib
mencantumkan
dan/atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai
dengan isi siaran.
150
d. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan
tidak boleh mengutamakan kepentingan
golongan tertentu.
Sementara di dalam Pasal 36 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 dicantumkan hal
sebagai berikut:
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi,
pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan intelektualitas, watak, moral,
kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga
persatuan
dan
kesatuan,
serta
mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya
Indonesia.
(2) -...
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan
dan
pemberdayaan
kepada
khalayak
khusus, yaitu anak-anak dan remaja,
dengan menyiarkan mata acara pada waktu
yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan dan/atau menyebutkan
klasifikasi khalayak sesuai dengan isi
siaran.
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan
tidak boleh mengutamakan kepentingan
golongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan
dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul,
perjudian, penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan
antar golongan.
(6) Isi
siaran
dilarang
memperolokkan,
merendahkan,
melecehkan
dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat
manusia
Indonesia,
atau
merusak
hubungan internasional.
151
Pasal yang sama pula, dicantumkan pula
tentang larangan-larangan tentang isi siaran.
Larangan ini terkelompok dalam dua kategori,
yakni yang pertama adalah kelompok isi siaran
yang
mengandung
tindakan-tindakan
pidana
dan diskriminasi. Kandungan isi siaran yang
dilarang adalah yang bersifat fitnah, menghasut,
menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan
unsur
kekerasan,
cabul,
perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
atau mempertentangkan suku, aga-ma, ras, dan
antar golongan.
Sedang yang kedua adalah isi siaran yang
mendiskreditkan
norma-norma
sosial
serta
interaksinya dalam hubungan internasional. Isi
siaran
ini
dahkan,
dilarang
memperolokkan,
melecehkan
dan/atau
meren-
mengabaikan
nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia,
atau merusak hubungan internasional. Undangundang ini juga mengatur hal-hal lain yang
terkait dengan isi siaran, diantaranya tentang
Bahasa Siaran, Relai dan Siaran Bersama, Ralat
Siaran, Arsip Siaran, Siaran Iklan, serta Sensor
Siaran. Hal-hal tersebut melekat pada content
yang
hendak
disebarluaskan
dalam
rangka
penyelenggaraan siaran.
Di samping itu, perlindungan terhadap hak
intelektual, nampak pada Pasal 43 tentang Hak
Siar,
152
dimana
persoalan
hak
cipta
juga
mendapatkan perhatian khusus. Korelasi yang
nampak adalah hubungan antara Pasal 35
dengan
Pasal
43
dimana
ada
penekanan
mengenai ‘hak siar’. Adapun hak siar adalah hak
yang dimiliki oleh lembaga penyiaran program
atau acara tertentu yang diperoleh secara sah
dari pemilik hak cipta atau penciptanya.
Bahkan
secara
teknis,
Undang-Undang
Penyiaran membentuk lembaga yang diberikan
kewenangan untuk mengawasi isi siaran, yakni
Komisi
Penyiaran
Indonesia
(KPI).116
Komisi
inilah yang kemudian membuat suatu Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS).117 Di dalam ketentuan ini disebutkan
bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan
panduan tentang batasan-batasan mengenai apa
yang
diperbolehkan
diperbolehkan
dan
berlangsung
atau
tidak
dalam
proses
116
KPI disebut sebagai lembaga negara independen (independent state
body/agency), yang dalam struktur ketatanegaraan KPI diklasifikasikan sebagai
lembaga negara independen yang dibentuk oleh undang-undang (bukan
konstitusi). Pembentukannya didasarkan atas pemikiran agar KPI berfungsi
sebagai regulator di bidang penyiaran (self regulatory body) yakni untuk
menjalankan prinsip diversity of ownership dan diversity of content dalam
demokratisasi penyiaran. Lihat Masduki, Hukum Penyiaran: Dari Otoriter ke
Liberal. LKiS; Yogyakarta, 2007. Hal. 206-209.
117
Ditetapkan pertama kali melalui Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia
Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran, tanggal 30 Agustus 2004 (selanjutnya disebut dengan Keputusan
KPI No. 009/SK/KPI/8/2004). Berikutnya keputusan ini mengalami
perkembangan dan kemudian beberapa kali dibentuk Peraturan KPI yang
mengatur mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran, yakni dengan Peraturan KPI
Nomor: 02/P/KPI/12/2009. Di samping itu dibentuk pula Peraturan KPI Nomor:
03/P/KPI/12/2009 tentang Standar Program Siaran.
153
pembuatan program siaran, sedangkan Standar
Program Siaran merupakan panduan tentang
batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang
tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program
siaran.118
P3/SPS dibentuk dengan tujuan untuk
mengatur
perilaku
lembaga
penyiaran
dan
lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia
penyiaran di Indonesia. Pedoman ini dibutuhkan
oleh mereka
penyiaran
yang
oleh
berkepentingan di
karena
adanya
dunia
pemanfaatan
frekuensi radio yang merupakan sumber daya
alam
yang
terbatas
dan
pemanfaatannya
tersebut harus ditujukan demi kemaslahatan
masyarakat
baku
ini
yang
sebesar-besarnya.
menjadi
pedoman
bagi
Standar
lembaga
penyiaran untuk terus menerus memperkukuh
integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri
bangsa
yang
beriman
dan
bertakwa,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dalam rangka membangun
masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan
sejahtera.119
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah
dasar
Siaran
untuk
(SPS).
penyusunan
Keduanya
Standar
Program
merupakan
dua
kerangka yang saling berkaitan satu dengan
118
119
Pasal 1angka 1 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009.
Pasal 2 s.d 4 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009.
154
yang
lainnya.
Pedoman
Perilaku
Penyiaran
mengatur hal-hal yang menyangkut penyusunan
standar program siaran120:
Tabel 3.1. P3 dan SPS
Pedoman
Perilaku
Penyiaran
vide
Standar
Program
Siaran
Penghormatan
Perlindungan
Pembatasan
materi
program
siaran
Tertentu
- Terhadap nilai-nilai kesukuan, agama,
ras dan antar golongan;
- Terhadap
norma
kesopanan
dan
kesusilaan;
- Terhadap hak privasi dan pribadi;
- Terhadap hak-hak anak, remaja dan
perempuan;
- Terhadap
hak-hak
kelompok
masyarakat minoritas dan marjinal;
- Terhadap kepentingan publik;
- Terkait kesusilaan;
- Terkait kekerasan dan sadism;
- Terkait narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif (NAPZA), alcohol dan perjudian;
- Penggolongan program siaran;
- Prinsip jurnalistik;
- Bahasa, bendera, lambang negara, dan
lagu kebangsaan;
- Sensor dalam program siaran;
- Lembaga penyiaran berlangganan;
- Siaran iklan;
- Siaran asing;
- Siaran lokal dalam sistem stasiun
jaringan;
- Siaran langsung;
- Program siaran kuis, undian berhadiah,
dan penggalangan dana;
- Peliputan bencana alam;
- Siaran pemilihan umum dan pemilihan
kepala daerah;
- Narasumber;
- Privasi;
- Pembawa acara;
- Siaran pembuka dan penutup; dan
- Pengawasan,
pengaduan
dan
penanggung jawab.
Dengan melihat substansi dari peraturan
teknis yang disusun dan ditetapkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia sebagai regulator di bidang
120
Pasal 5 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009 vide Pasal 5 Peraturan KPI
Nomor: 03/P/KPI/12/2009.
155
penyiaran, peraturan teknis tersebut, secara
substantive dibuat dengan mengacu berdasarkan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002.
c. Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2008
tentang Informasi dan Transaksi Elekronik
Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan
oleh DPR-RI yang kemudian diundangkan secara
resmi oleh Presiden RI pada tanggal 21 April
2008. Undang-undang ini lahir dari proses
dirancangnya dua Naskah Akademik dan dua
Rancangan Undang-Undang (RUU Pemanfaatan
Teknologi
Informasi
dan
RUU
Transaksi
Elektronik).121 Bahwa kedua rancangan undangundang
tersebut
merupakan
respon
dari
perkembangan dunia teknologi, khususnya yang
berkaitan
dengan
perkembangan
teknologi
jaringan/networking melalui internet. Dipahami
juga
bahwa
perkembangan
ini
harus
mendapatkan tempat untuk diperhatikan oleh
negara, oleh karena implikasi teknologi ini dapat
mempengaruhi dimensi-dimensi perekonomian,
121
RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun dan dibahas oleh Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran dan Tim Asistensi Institut Teknologi Bandung.
Sedangkan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik disusun oleh
Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia yang dilakukan
melalui jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
156
perdagangan,
bahkan
juga
sampai
pada
kehidupan ekonomi dan sosial.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
adalah
merupakan
pertama
di
undang-undang
Indonesia
yang
yang
secara
khusus
mengatur mengenai kegiatan yang menggunakan
sarana internet. Dua muatan besar yang diatur
di dalam undang-undang ini sebenarnya hanya
mengenai pengaturan transaksi elektronik dan
tentang tindak pidana cyber. Materi muatan itu
merupakan implementasi dari perkembangan
global
tentang
penggunaan
media
internet
sebagai sarana teknologi yang memungkinkan
penyebaran informasi dan kegiatan lainnya yang
dapat
dilakukan.
Prinsip-prinsip
di
dalam
instrumen hukum internasional yang menjadi
referensi
adalah
UNCITRAL
Model
Law
on
Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on
Electronic Signature, Convention on Cybercrime,
EU Directives on Electronic Commerce, dan EU
Directives on Electronic Signature.
Di
dunia
cyber,
ekstrateritorial
karena
merupak
dunia
virtual
negara,
sehingga
bagaimana
diberlakukanlah
asas
jangkauan
cyber
yang
perlu
yurisdiksi
yang
bersifat
lintas
dipertimbangkan
berlaku
atas
perbuatan atau tindakan yang menggunakan
157
cyber sebagai domainnya.122 Undang-undang ini
berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur di dalam
undang-undang tersebut, baik yang berada di
luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah
hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
bersama.123
Adapun
merugikan
kepentingan
yang
dimaksud dengan
Indonesia
adalah
meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kerugian
yang ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi
nasional, perlindungan data strategis, harkat
dan
martabat
bangsa,
pertahanan
dan
keamanan negara, kedaulatan negara, warga
negara serta badan hukum negara.
Secara yurisdiksi, undang-undang ini juga
menjangkau
setiap
perbuatan
hukum
tidak
hanya dilakukan di Indonesia, namun di luar
wilayah Indonesia, dilakukan oleh warga negara
Indonesia, maupun warga negara asing, badan
122
Asas ekstrateritorial yang terdapat di UU ITE dikembangkan dari
pemberlakuan asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif
yang terdapat dalam KUHP. Bahwa asas tersebut merupakan prinsip-prinsip yang
berlaku di undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang-pribadi
kodrati, baik warga negara itu maupun warga negara asing yang berada di dalam
wilayah negara itu-baik yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah
negara tersebut, baik wilayah darat maupun laut. Di dalam KUHP, asas territorial
terdapat pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundangundangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana
di dalam Indonesia. Sedang perluasan dari asas ini sebagaimana terdapat pada
Pasal 3 KUHP yang menyatakan ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana
di dalam kendaraan air atau pesawat udara.
123
Lihat Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008.
158
hukum Indonesia maupun badan hukum asing,
dimana perbuatan hukum tersebut memiliki
akibat
hukum
di
Indonesia,
oleh
karena
pemanfaatan informasi teknologi intik informasi
elektronik
bersifat
dan
transaksi
elektronik
lintas
territorial
atau
keberlakuan
menjangkau
universal.124
undang-undang
semua
orang
dapat
ini
yang
yang
melakukan
perbuatan hukum (khususnya tindak pidana)
baik di dalam dan di wilayah negara Indonesia,
memberikan ruang yang lebih luas bagi negara
sendiri
untuk
perlindungan
memastikan
bagi
bahwa
perkembangan
ada
teknologi
informasi yang bertanggung jawab.
Dalam
konsep
ini
diperluaslah
makna
prinsip universality: universal interest jurisdiction,
dari dimana setiap orang berhak menangkap dan
menghukum para pelaku pembajakan, menjadi
kejahatan
kemanusiaan
(crime
against
humanity), genocide, pembajakan pesawat, dapat
diperluas: internet privacy, hacking, cracking,
viruses sepanjang termasuk very serious crime
124
Lihat Pasal 4 KUHP yang memuat asas nasionalitas pasif. Bahwa undangundang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang baik warga negara Indonesia
maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah
Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Dan Pasal 5
KUHP dinyatakan bahwa perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga
negara Indonesia dimanapun ia berada. Pasal ini mengandung dan memuat asas
nasional aktif.
159
dikembangkan
menjadi
extra
territorial
jurisdiction.125
Pengembangan asas territorial menjadi asas
ekstrateritorial
dikarenakan
bahwa
asas
territorial dirasa belumlah cukup untuk menjerat
seseorang yang melakukan perbuatan hukum di
luar
wilayah
perkembangan
suatu
teknologi
berbasiskan dunia cyber
negara
untuk
prinsip-prinsip
negara.
informasi
yang
mendorong banyak
menambahkan
atau
Dengan
asas-asas
keberlakukan
lain
agar
peraturan perundang-undangan tetap berlaku
dalam
kondisi-kondisi
yang
tidak
dapat
dijangkau dengan asas teritorialitas. Dunia cyber
memerlukan
asas
ekstrateritorialitas
karena
pelaku perbuatan hukum belum tentu hadir
dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Pasal 1 angka 1 UU ITE menyatakan bahwa
Informasi
Elektronik
adalah
satu
atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
125
Sigid Suseno dalam Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar UndangUndang No, 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. PT.
Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2008. Hal. 9.
160
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Di UU ITE diberikan pengertian mengenai
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital,
elektromagnetik,
optikal,
atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau
Sistem
didengar
Elektronik,
melalui
Komputer
termasuk
tetapi
atau
tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Secara khusus, dapat dilihat bagaimana
UU ITE mengatur tentang konten media, namun
karakternya lebih kepada substansi media yang
dilarang. Konten126 pada dasarnya merupakan
informasi yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang.127 Oleh karena itu, konten perlu
126
Istilah “konten” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris: content yang
diartikan sebagai adalah informasi yang tersedia melalui media atau produk
elektronik. Konten ini dapat disampaikan melalui berbagai medium seperti
internet, televisi, CD audio, bahkan acara langsung seperti konferensi dan
pertunjukan panggung. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan
menguantifikasi beragam format dan genre informasi sebagai komponen nilai
tambah media.
Lihat: Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta, 2008.
127
Josua Sitompul. Cyberspaces, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum
Pidana. Cet. Pertama. PT. Tatanusa; Ciputat, 2012. Hal.149.
161
diatur karena alasan penting, yakni pertama,
perlunya
perlindungan
perlindungan
diberikan
seperti
dalam
hukum
perlindungan
dunia
nyata
atau
seperti
yang
fisik
(realspace). Meskipun di dunia virtual, faktanya
adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik
dan ada dampak dari semua jenis transaksi
elektronik via dunia virtual (cyber) tersebut yang
dirasakan secara nyata. Sedangkan alasan yang
kedua adalah bahwa dengan adanya internet,
informasi dapat disebar dan diteruskan ke
berbagai penjuru dunia dengan seketika serta
dapat diakses dari berbagai negara. Misalnya
saja pengguna internet seringkali menggunakan
nama
alias
atau
anonym.
Konten
yang
disebarkan (apapun akibatnya), dapat berasal
dari subyek-subyek yang belum tentu bisa
diketahu identitas aslinya.128
Di dalam UU ITE ada perbuatan-perbuatan
yang
dilakukan
subyek
pengguna
media
teknologi informasi, yang dapat dikategorikan
sebagai tindakan pidana. Perbuatan-perbuatan
tersebut berkaitan erat dengan substansi atau
isi media, yakni yang disebut sebagai kontenkonten
yang
dilarang,
beberapa pasal berikut:
128
Josua Sitompul, ibid. Hal. 148-149.
162
diantaranya
dalam
Tabel 3.2. Ketentuan tentang Isi dalam UU ITE
Pasal 27
ayat (1)
Pasal 27
ayat (2)
Pasal 27
ayat (3)
Pasal 27
ayat (4)
Pasal 28
ayat (1)
Pasal 28
ayat (2)
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/
atau mentransmisikan dan/atau
membuat
dapat
diaksesnya
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/
atau mentransmisikan dan/atau
membuat
dapat
diaksesnya
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan perjudian.
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/
atau mentransmisikan dan/atau
membuat
dapat
diaksesnya
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan
penghinaan
dan/atau
pencemaran nama baik.
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/
atau mentransmisikan dan/atau
membuat
dapat
diaksesnya
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan
pemerasan
dan/atau
pengancaman.
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi
yang
ditujukan
untuk
menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau
kelompok
masyarakat
tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).
163
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mengirimkan Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman
kekerasan atau menakut-nakuti
yang ditujukan secara pribadi.
Pasal-pasal dalam UU ITE tersebut pada
dasarnya memuat konteks larangan terhadap
perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai
ancaman
terhadap
kebebasan
berekspresi. Artinya bahwa implementasi atas
kebebasan berekspresi pada UU ITE mengarah
pada
bentuk-bentuk
larangan
terhadap
perbuatan yang dianggap menciderai kebebasan
berekspresi pada beberapa hal yang terkait,
yakni:
(a)
kesusilaan,
(b)
perjudian,
(c)
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
(d)
pemerasan
dan/atau
pengancaman,
(e)
kerugian konsumen, (f) rasa kebencian atau
permusuhan
individu
dan/atau
kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan (g)
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi.
d. Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2009
tentang Perfilman
Undang-undang
respon
terhadap
Indonesia,
164
yang
ini
dibentuk
perkembangan
kemudian
harus
sebagai
film
di
direspon
secara akomodatif. Undang-Undang No. 8 Tahun
1992 tentang Perfilman dianggap tidak sesuai
lagi dengan perkembangan aktivitas film di
Indonesia. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009
tentang
Perfilman
disusun
sebagai
peraturan
yang
dengan
maksud
merespon
adanya
reformasi di bidang politik dan kebudayaan,
dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
mendorong
terciptanya
paradigma
baru, khususnya mengenai film. Dalam undangundang ini pula, aspek-aspek yang menjadi
perhatian adalah perlindungan hukum terhadap
aktivitas
perfilman,
sensor
dan/atau
penyensoran film, serta peran serta masyarakat
luas di bidang perfilman yang difasilitasi negara.
Sebagai karya seni kebudayaan, film dapat
ditampilkan dengan atau tanpa suara yang
mengandung arti bahwa film menjadi media
komunikasi massa yang dapat menyampaikan
pesan dan gagasan kepada publik. Film juga
menjadi
fungsi
bentuk
ekspresi
pendidikan,
yang
hiburan,
mempunyai
informasi,
dan
pendorong karya kreatif. Oleh karena fungsi
tersebut, maka film dapat berfungsi ekonomi
yang
mampu
masyarakat
memajukan
dengan
kesejahteraan
memperhatikan
prinsip
persaingan usaha yang sehat. Film menyentuh
berbagai
segi
kehidupan
manusia
dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
165
Undang-undang
segala
aktivitas
ini
di
hendak
dunia
mengatur
film,
yang
diselenggarakan di Indonesia. Baik aspek tata
kelola, produksi, pemasaran, pembuatan dan
aktivitas-aktivitas stakeholders di bidang film di
Indonesia. Film memang produk kesenian yang
berbeda dengan produk seni yang lain, yang di
dalamnya hampir memuat segala ekspektasi
dari
pembuatnya
khalayak
yang
dan
berasal
ditujukan
dari
kepada
berbagai
latar
belakang. Film memuat hal-hal yang merupakan
wujud ekspresi pembuatnya (dan segala pihak
yang terlibat) untuk mencapai suatu pesan
tertentu
yang
hendak
disampaikan
kepada
masyarakat penikmatnya.
Film adalah bagian dari kebudayaan yang
mampu menjadi sarana untuk tujuan-tujuan
pencerdasan bangsa, sebagai pengembangan
kualitas manusia yang berpotensi budaya, film
juga dianggap dapat menjadi alat penetrasi
kebudayaan sehingga perlu untuk mendapatkan
perhatian khusus dalam hal substansinya yang
mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai asing
yang bersifat negatif. Hal-hal tersebut menjadi
latar
belakang
diterbitkannya
alasan
dibentuk
undang-undang
perfilman
dan
di
Indonesia, selain karena alasan bahwa undangundang yang lama sudah tidak sesuai dengan
perkembangan era global.
166
Film dapat diproduksi di dalam negeri dan
dapat pula merupakan film-film yang diproduksi
oleh pembuatnya di luar negeri. Maka dari itu
film dapat diedarkan dari luar negeri ke dalam
negeri.
Pemerintah
beredarnya
sebagai
film,
pelindung
harus
mampu
atas
untuk
memberikan perlindungan bagi peredaran film
di Indonesia yang dimaksudkan untuk tetap
dapat
mewujudkan
kecerdasan
kehidupan
bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan
bangsa,meningkatnya
harkat
dan
martabat
bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai
budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan
masyarakat, dan berkembangnya film berbasis
budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.
Film sebelum beredar dan dipertunjukkan
di Indonesia wajib disensor dan memperoleh
surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh
lembaga khusus yakni lembaga sensor film.
Sensor
pada
dasarnya
diperlukan
untuk
melindungi masyarakat dari pengaruh negatif
film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian,
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan
zat
adiktif
lainnya,
serta
penonjolan
pornografi,penistaan,
pelecehan
penodaan
agama
pengaruh
nilai-nilai
negatif
budaya
dan/atau
atau
karena
asing.129
Adapun
mekanisme penyensoran dilaksanakan dengan
129
Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
167
prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor
yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha
perfilman, perwakilan diplomatik atau badan
internasional yang diakui Pemerintah.
Sedangkan film yang mengandung tema,
gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan
yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria
sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk
diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria
sensor.
Di
dalam
Nomor
33
memuat
penjelasan
Tahun
bahwa
2009
peran
Undang-Undang
tentang
strategis
Perfilman
perfilman,
pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga
sensor film, dan badan perfilman Indonesia
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Selain itu masyarakat wajib
dilindungi
dari
masyarakat
juga
pengaruh
diberi
negatif
film,
kesempatan
untuk
berperan serta dalam perfilman, baik secara
perseorangan maupun secara kelompok.
Adanya latar belakang pemikiran-pemikiran
tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1992 tentang Perfilman dipandang sudah
tidak
sesuai
lagi
dengan
perkembangan
perfilman dan semangat zamannya sehingga
perlu dicabut dan diganti. Penyusunan UU
Perfilman yang baru (UU No. 33 Tahun 2009)
168
dilakukan
sesuai
persyaratan
penyusunan
Undang-undang, dengan melibatkan seluruh
elemen ataupun stake holder yang terlibat dalam
dunia perfilman baik itu budayawan kemudian
akademisi,
praktisi-praktisi
perfilman,
para
pengamat film dan kebudayaan, bahkan juga
para
artis
serta
pengusaha-pengusaha
perfilman.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 secara
substansial mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan film, yakni tentang bagaimana proses
pembuatan film, mengatur tentang masalahmasalah yang berkenaan dengan pendidikan
atau skill tentang perfilman, isi film, metode
penayangan dan cara mengedarkan film. Pada
undang-undang ini diperkenalkan kategorisasi
film
yang
yang
layak
dikonsumsi
oleh
penikmatnya, yakni golongan umur tertentu,
waktu tertentu. Tentang cara peredaran film
juga diatur agar tidak terjadi monopoli oleh
salah satu pihak tertentu saja.
Berkaitan dengan isu kebebasan, maka
undang-undang
ini
mengatur
hal-hal
yang
terkait dengan isi dengan menghadirkan satu
lembaga yang disebut dengan Lembaga Sensor
Film
yang
peranannya
diperkuat
untuk
mengukur atau menilai suatu substansi film. Isi
film diawasi oleh lembaga ini dengan tujuan
agar produk film dapat memenuhi standar169
standar kualitas tertentu yang ditetapkan agar
tidak memberikan dampak negatif terhadap
konsumennya. Satu hal yang menarik dalam
undang-undang ini yang berkaitan dengan isi
dalam kebebasan berekspresi adalah tentang
adanya self sensor sebagai isu yang banyak
dibahas. Pengguntingan film yang ditiadakan,
dikarenakan para pembuat film dibebaskan
untuk
memproduksi
filmnya
sendiri
untuk
kemudian diajukan ke lembaga sensor. Lembaga
sensor kemudian memberikan penilaian sesuai
dengan kriteria. Bilamana tidak sesuai dengan
kriteria, maka lembaga sensor mengembalikan
film dimaksud kepada pembuatnya, disertai
dengan
permintaan
untuk
memperbaikinya
sendiri. Inilah yang disebut dengan self sensor.
Mengembangkan kebebasan berekspresi di
bidang
perfilman,
undang-undang
mengatur
mengenai isi film yang terdapat pada Pasal 6 UU
No. 33 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa
unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha
perfilman dilarang mengandung isi:
a. mendorong khalayak umum melakukan
kekerasan
dan
penyalahgunaan
perjudian
narkotika,
tropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
170
serta
psiko-
c. memprovokasi terjadinya pertentangan
antarkelompok, antar suku, antar ras,
dan/atau antargolongan;
d. menistakan,
melecehkan,
dan/atau
mendoai nilai-nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan
tindakan melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan
harkat
dan
martabat
manusia.
Isi yang diatur di dalam perfilman juga
menyangkut iklan dalam film yang disebut iklan
film, yang pada dasarnya secara substansi tidak
boleh bertentangan dengan Pasal 6 tersebut di
atas.
Secara
otentik
undang-undang
menggunakan
kalimat
larangan,
mengindikasikan
ada
ruang
ini
sehingga
batasan
bagi
pelaksanaan isi film. Sejalan dengan itu, pada
pasal-pasal lainnya juga dibatasi isi film yang
berkaitan
adanya
dengan
kewajiban
mencegah
beredarnya
bagi
masuknya
film,
yakni:
pemerintah
untuk
film
impor
yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika,
moral, kesusilaan, dan budaya bangsa (Pasal
41). Tentang beredarnya film atau iklan film ini,
juga harus mendapatkan dengan tanda lolos uji
yang disebut dengan surat tanda lulus sensor
dari lembaga sensor film (Pasal 57-58).
171
Ada yang menarik yang dapat menjadi
perhatian juga, yakni bahwa pada Pasal 2 dan 3,
pemerintah
berkewajiban
melindungi
dan
memfasilitasi setiap produksi film. Sedangkan
pada Pasal 17 tertera bahwa pembuat film wajib
melaporkan judul, isi, dan rencana produksi
film
kepada
Kementerian
Kebudayaan
dan
pariwisata sebelum memulai proses produksi.
Jadi semenjak awal ada upaya untuk membuka
ruang produksi film kepada pemerintah dengan
maksud agar ada kejelasan tentang hal apa yang
hendak dibuat (film).
B. Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan
Tentang Media di Indonesia
Media berpijak pada ideologi yang berorientasi
kepada massa, sehingga media menjadi sarana atau
lembaga sosial yang memiliki pengaruh dalam
perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini.
Media dalam kerangka yang demikian memiliki
beberapa fungsi yang antara lain130:
1. Fungsi informasi: bahwa media telah menjadi
alat untuk mencari dan mendapatkan informasi
bagi masyarakat.
2. Fungsi agenda: bahwa media menjadi agenda
kerja
130
bagi
masyarakat,
dimana
masyarakat
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta,
2007. Hal. 60-62.
172
memiliki rencana-rencana oleh karena pengaruh
media.
3. Fungsi
penghubung
orang:
bahwa
medi
memberikan peluang bagi masyarakat untuk
mengetahui keadaan, posisi dan kegiatan orang
lain di tempat lain, sehingga dengan demikian
media
menjadi
alat
untuk
menghubungkan
manusia yang satu dengan yang lainnya.
4. Pendidikan: bahwa media memberikan pesan
tentang pendidikan.
5. Fungsi
membujuk:
kekuatan
untuk
bahwa
membujuk
media
atau
memiliki
merayu
pendengar, penonton atau pembacanya demi
melakukan sesuatu.
6. Fungsi menghibur: bahwa media memberikan
hiburan melalui apa yang ditampilkan dan
disebarkan olehnya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan isi dan
jenis media, ada perbedaan antara jenis media yang
satu dengan jenis media yang lain. Media meliputi
media
cetak
dan
media
elektronik,
yang
di
dalamnya terdapat pers cetak dan pers penyiaran.
Pers menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan
dari kedua jenis media ini, karena pers yang
kemudian menjiwai keberadaan media cetak dan
penyiaran. Media setidaknya terdiri dari jenis media
cetak dan media penyiaran. Media cetak isinya
sebagian besar adalah karya jurnalistik, sedang
173
media penyiaran sebagian besar adalah bukan
jurnalistik.131
karya
Untuk
mengatur
media,
dibentuklah hukum media yang menjadi sarana
regulasi dan bertujuan untuk mengatur media
massa. Disebut dengan hukum media, dikarenakan
merupakan
kumpulan
dari
berbagai
peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang
media yang berbeda. Meskipun sebenarnya bila
dilihat
aspek-aspek
pengaturannya
memiliki
kemiripan satu sama lain. Demikian sehingga
hukum
media
mengenai
sebagai hukum
ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
media
massa,
sebagai alat komunikasi massa. Hukum media
sendiri meliputi hukum media cetak, hukum media
penyiaran, film, hukum siber (cyber law), dan
hukum pers (baik pers cetak, penyiaran maupun
pers
via
dalamnya
internet).
adalah
Ketentuan
yang
yang
mengenai
diatur
isi
di
media,
prosedur penggunaan media, kepemilikan media,
dan
sebagainya,
yang
kesemuanya
melibatkan
media sebagai obyek sentralnya.
Pada
situasi
yang
demikian,
maka
memunculkan konsepsi mendasar, yakni bahwa
ada
alasan-alasan
penting
mengapa
kemudian
media harus diatur. Bertolak dari kepentingan hak
asasi manusia, maka ada beberapa hal yang
menyebabkan
media
harus
diatur.
Pertama,
pertimbangan kepentingan umum atau kepentingan
131
Ibid. Hal. 67.
174
publik. Bahwa pernyataan pendapat, apapun itu,
berkaitan dengan keberadaan media sebagai alat
untuk menyebarluaskan. Demikian maka media
pada dasarnya menjadi alat untuk menyatakan
pendapat
secara
masyarakat.
luas
Media
yang
digunakan
kemudian
menjadi
oleh
penting
untuk diatur, dimana media harus mendapatkan
perlindungan dari upaya-upaya pengekangan atau
gangguan-gangguan terhadap pernyataan pendapat.
Media
diatur
agar
masyarakat
hambatan-hambatan
yang
terhindar
dari
berakibat
pada
terganggunya hak asasi manusia.
Di sisi lain, ada kepentingan bisnis yang
menyertai hadirnya media. Pengelolaan media oleh
subyek-subyek organisasi/lembaga, menyebabkan
ada orientasi bisnis yang juga berpengaruh pada
kepentingan
ekonomi.
berhadap-hadapan
dimana
dengan
kepentingan
berorientasi
Kepentingan
bisnis
bisnis
kepentingan
privat
ini
bisnis,
organisasi
mempengaruhi
yang
aspek
kepentingan umum. Demikian maka hukum media
hendak menjembatani tiga unsur utama: media,
kepentingan bisnis dan kepentingan umum.132
132
Pendapat Hari Wiryawan mengemukakan bahwa hukum media dibentuk dari
tiga inti dasar: media, kepentingan umum dan kepentingan privat perusahaan.
Hukum media hendak menjaga agar kepentingan umum dapat terjaga dari media,
dan tetap menyadari bahwa media harus menghidupi dirinya sendiri.
Lihat: Hari Wiryawan, op. cit. Hal. 134.
175
Bilamana
media
harus
diatur
di
dalam
hukum, maka yang harus dicermati dalam konteks
ini
adalah
bagaimana
kebebasan
berekspresi
diberikan ruang untuk ‘bebas’ dan ‘diatur’ olehnya.
Kebebasan
berekspresi,
sekali
lagi
merupakan
bagian dari hak asasi manusia, menggunakan
media
sebagai
wadah
untuk
menegaskan
eksistensinya. Media adalah salah satunya. Media
dewasa ini menjadi saluran utama bagi upaya
mengembangkan kebebasan berekspresi.
Sejalan
dengan
hal
tersebut,
ada
tujuh
penyimpangan media yang dikemukakan oleh Paul
Jhonson demikian133:
Pertama, distorsi informasi, yakni praktek
mengurangi hal penting atau malah menambahkan
hal
yang
tidak
rekonstruksi
penting
pemberitaan
bagi
publik
terhadap
(pola
suatu
pemberitaan). Kedua, dramatisasi fakta palsu, yang
dilakukan dengan bertumpu pada kekuatan narasi
dari narrator. Ketiga, mengganggu privasi, alibi
demi kepentingan publik dengan cara memaksa
nara
sumber
sesuatu
yang
untuk
bersedia
sifatnya
menyampaikan
privasi.
Keempat,
pembunuhan karakter, dengan mencari sisi gelap
atau
kesalahan
seseorang
yang
dikemukakan
dengan penuh tendensius.
133
Paul Jhonson dalam Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi,
Jurnalisme, dan Infotaiment dalam Industri Televisi, PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 2013. Hal.38-40.
176
Kelima,
eksploitasi
memanfaatkan
dikonstruksi
seks,
eksistensi
secara
dengan
perempuan
seksual,
dari
yang
penggunaan
kostum yang minim sampai dengan menonjolkan
bagian-bagian
Keenam,
tertentu
meracuni
dari
tubuh
benak/pikiran
perempuan.
anak,
yakni
dengan mengeksploitasi kesadaran berpikir anak
secara
tidak
normal
padahal
tidak
mendidik
(memaksa anak berperan dalam sebuah adegan
agar
tayangan
seakan-akan
layak
dikonsumsi
anak). Dan ketujuh, penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power), dimana ada produksi opini dan
mendistribusikannya sebagai wacana yang dapat
membentuk dan menggiring opini publik lewat mass
deception.
Perkembangan media dan hukum media,
tidak
dapat
dilepaskan
dari
eksistensi
hak,
khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Perlu
diamati
dan
dikaji
bagaimana
kebebasan
berekspresi yang dimaksud dalam pelbagai konsep
yang
universal
tentang
hak,
untuk
kemudian
diakomodasi di peraturan perundang-undangan di
bidang
media.
Berkaitan
dengan
tujuan
atau
orientasi pada bisnis media, maka setidak-tidaknya
UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman
dapat menggambarkan bagaimana isi media dapat
ditampilkan secara bertanggung jawab. Masingmasing undang-undang memiliki muatan tersendiri
mengenai isi yang hendak disampaikan kepada
177
khalayak.
berbeda,
Meskipun
namun
media
pada
yang
titik
digunakan
tertentu
terdapat
identitas, yang notabene adalah implementasi dari
kebebasan berekspresi, dalam kerangka prinsip
yang identik.
Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008
tentang
Pornografi,
dan
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi
Publik (KIP) memang tidak dapat dilepaskan dari
eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Akan
tetapi
ketiga
undang-undang
tersebut
dalam
penulisan ini tidak dapat dikaji secara mendalam,
khususnya
dalam
hal
isi
media.
UU
Telekomunikasi, UU Pornografi dan UU KIP tidak
mengatur mengenai isi media sebagai isu utama
dalam
dilihat,
perkembangan
memang
bisnis
UU
media.
Pornografi
Bilamana
mengatur
bagaimana pornografi di media massa, namun
perihal pornografi hanya menjadi sebagian kecil isu
dalam kebebasan berekspresi. Pornografi bukanlah
satu-satunya isu sentral di isi media yang diatur di
dalam empat peraturan perundang-undangan yang
menjadi norma dasar isi media di Indonesia.
Sementara itu, UU Telekomunikasi mengatur
hal
teknis
bagaimana
bentuk
178
yang
berbeda.
telekomunikasi
infrastruktur,
Selain
dibangun
namun
juga
mengenai
sebagai
mengatur
mengenai perkembangan teknologi informasi di
Indonesia.
UU
Telekomunikasi
juga
mengatur
mengenai tata cara penggunaan teknologi informasi
yang tidak berhubungan erat dengan isi media
secara langsung dan hanya mengatur hal-hal yang
bersifat teknis. Pengaturan tersebut menjadi tidak
dapat dijadikan titik tolak dalam penulisan ini
dikarenakan isu mengenai isi media tidak menjadi
fokus utama, sehingga UU Telekomunikasi tidak
mengatur secara detail.
UU
KIP
perwujudan
memang
merupakan
kebebasan
salah
berekspresi,
satu
yakni
menekankan pada penyelenggaraan negara yang
harus dilakukan secara terbuka atau transparan.
Undang-undang ini juga menjamin setiap orang
untuk memperoleh informasi publik sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan.
Implikasinya
adalah bahwa masyarakat terlibat lebih banyak
dalam
penyelenggaraan
negara,
yakni
dapat
mengawasi serta terlibat saat proses penentuan
kebijakan
publik.
akhirnya
akan
Keterlibatan
menghasilkan
tersebut
pada
penyeleggaraan
negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu
menghendaki
adanya
jaminan
terhadap
keterbukaan informasi publik. Berbeda dengan
fokus pada peraturan perundang-undangan yang
mengatur
mengenai
media,
UU
KIP
menjadi
landasan hukum bagi keberadaan masyarakat yang
harus memiliki akses terhadap penyelenggaraan
179
negara yakni hak setiap orang untuk memperoleh
informasi publik, kewajiban setiap badan publik
menyediakan dan melayani permintaan informasi
secara
cepat,
tepat
waktu,
biaya
ringan/
proporsional, dan dengan cara sederhana, serta
informasi dengan pengecualian yang bersifat ketat
dan terbatas, sekaligus kewajiban badan publik
untuk
membenahi
sistem
dokumentasi
dan
pelayanan informasi.
Oleh karenanya, UU KIP hanya mempertegas
eksistensi kebebasan berekspresi dalam rangka
hubungan
masyarakat
dengan
negara,
yakni
khusus mengenai penyelenggaraan negara yang
bertanggungjawab.
UU
KIP
tidak
secara
komprehensif memberikan landasan bagi isi media
yang pada masa ini berkembang sebagai komoditas
bisnis
media.
Demikian
sehingga,
UU
Telekomunikasi, UU KIP dan UU Pornografi tidak
menjadi
landasan
isi
media
yang
merupakan
representasi kebebasan berekspresi berdasarkan
Pasal
28F
UUD
1945
Amandemen.
Meskipun
demikian, secara substansial, dapat membentuk
kerangka hukum media yang dapat mendukung
implementasi
keempat
undang-undang
tentang
media di Indonesia.
Kebebasan
berekspresi
hendak
dilihat
bagaimana cakupan dan batasannya yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang
pasti menjadi perhatian adalah bagaimana undang180
undang
tersebut
mampu
memberikan
sarana
perlindungan, secara otentik, maupun prakondisi
yang dibentuk demi tujuan dan asas kebebasan
berekspresi
itu
sendiri.
Undang-undang
selain
memberikan pengakuan terhadap eksistensi hak,
juga mempengaruhi bagaimana nantinya aktivitasaktivitas ekonomi dan bisnis di bidang media.
Ruang
lingkup
penting
dan
manakala
batasan
bisnis
menjadi
media
semakin
berkembang,
dikarenakan komoditas yang disebarluaskan adalah
isi media itu sendiri.
Isi media, baik isi pers, penyiaran, internet
dan
film,
yang
kemudian
disebarluaskan,
mengandung minimal dua sisi kepentingan. Isi
media berdiri diantara kepentingan perlindungan
hak asasi manusia dengan kepentingan bisnis
media yang berkembang di lingkungan masyarakat.
Pada sisi sebagai hak asasi adalah jelas, yakni
bagaimana
harus
kebebasan
dilindungi
berekspresi
negara,
melalui
sebagai
hak
seperangkat
ketentuan dan kebijakan-kebijakan lainnya yang
mendukung eksistensinya sebagai hak. Namun di
sisi lain kebebasan berekspresi menjelma menjadi
sebuah komoditas yang merupakan kunci dalam
perkembangan bisnis media, yakni obyek untuk
ditampilkan sekaligus ‘dijual’ demi mendapatkan
keuntungan.
berekspresi
Dengan
demikian,
mempertemukan
kebebasan
(minimal)
dua
kepentingan yang saling bersinggungan, sehingga
181
perlu
dicermati
bagaimana
bisnis
media
berkembang tanpa meninggalkan sisi perlindungan
hukum atas hak. Diperlukan keseimbangan, untuk
mengatur dan menempatkan aspek bisnis tanpa
melukai aspek hak asasi manusia.
1. Prinsip-Prinsip
Perlindungan
Hukum
Kebebasan Berekspresi dan Isi Media
Mengatur
peraturan
penetrasi
bisnis
perundang-undangan
khususnya
mengenai
apa
media
melalui
tentang
media,
yang
hendak
disebarluaskan, menitik beratkan pada bagaimana
ada keseimbangan antara aspek hukum dengan
aspek bisnis. Pertemuan keduanya menentukan
bagaimana perkembangan media sebagai bisnis
sekaligus sebagai wujud kebebasan. Oleh karena
itu,
muatan
pers,
muatan
penyiaran,
muatan
internet serta muatan film, dapat diatur dengan
bijaksana.
Setidak-tidaknya ada dua konvensi tentang
hak asasi manusia yang dapat menjadi referensi
utama
dalam
mengimplementasikan
kebebasan
berekspresi di dalam konstitusi negara-negara yang
meratifikasinya. UDHR dan ICCPR menjadi rujukan
utama. Khususnya mengenai muatan media yang
berhubungan erat dengan kebebasan berekspresi,
UDHR dan ICCPR memberikan nilai pengakuan
sebagai
hardlaw
yang
menginspirasi
perkembangan hukum di bidang media.
182
adanya
Salah satu kewajiban yang harus dilakukan
bagi
negara-negara
yang
telah
meratifikasi
konvensi, termasuk Indonesia, maka ada kewajiban
untuk
mengadopsi
substansi
konvensi
dalam
peraturan perundang-undangan dan atau bahkan
melakukan
upaya-upaya
lain
tang
dapat
memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak
tersebut.
Sebagai hak, maka kebebasan berekspresi
yang
dilindungi
mendasar,
di
dalam
Indonesia
konvensi,
secara
telah
berani
mencantumkannya di dalam konstitusi. Di dalam
UUD
1945
Amandemen
(yang
kedua),
mencamtumkan ada tiga pasal yang secara khusus
dan
tegas
memuat
jaminan
atas
kebebasan
berekspresi, yakni:
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal 28 E ayat (3)
Setiap
orang
berhak
atas
kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Adapun di dalam UUD 1945 Amandemen,
terdapat satu ketentuan di dalam Pasal 28F yang
memberikan pernyataan yang menegaskan adanya
hal
khusus
terkait
jaminan
terhadap
proses
perwujudan kebebasan berekspresi, demikian:
183
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh,
memiliki,
menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
Keberadaan
pasal-pasal
tersebut
telah
membuat tegas bahwa negara di dalam konstitusi,
memberikan
perlindungan
terhadap
kebebasan
berekspresi (apapun bentuk kalimatnya). Ketiga
pasal tersebut menjadi dasar konstitusional yang
(seharusnya) dijadikan acuan untuk pembentukan
peraturan
perundang-undangan
tentang
media.
Pertanyaan yang dapat diajukan dalam konsep hak
berkaitan dengan yang tercantum di atas adalah
apakah
pasal-pasal
tersebut
mampu
mengakomodasi
dapat
dikatakan
prinsip-prinsip
hukum
internasional.
Keberadaan
Pasal
28
UUD
1945
pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari prinsipprinsip hukum internasional yang diakui di dalam
UDHR dan ICCPR yang berkaitan dengan pengakuan
terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Akan
tetapi
perlu
keterkaitan
diperhatikan
dan/atau
pula,
pengaruh
apakah
ada
langsung
dari
prinsip hukum internasional yang menginspirasi
adanya perubahan (melalui penambahan) Pasal 28
UUD 1945 Amandemen tersebut.
184
Pengakuan
sebagai
hak
demokrasi,
atas
yang
kebebasan
penting
sebelum
di
berekspresi
dalam
disahkannya
ruang
UDHR,
pada
sidang pertama PBB tahun 1946 sudah dinyatakan
bahwa Resolusi PBB No. 59 (I) bahwa hak atas
informasi
merupakan
hak
asasi
manusia
fundamental dan standar dari semua kebebasan
yang
dinyatakan
‘suci’
oleh
PBB.
Dengan
meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, maka ada
kewajiban
bagi
pemerintah
untuk
mengimplementasikan nilai-nilai universal dalam
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan
Amandemen
dalam
adalah
Pasal
jelas,
28
UUD
bahwa
1945
ada
segi
pengakuan terhadap hak di dalam konstitusi. Hak
yang tercantum dengan demikian dapat disebut
sebagai hak konstitusional, yang berarti bahwa hak
itu berasal dari undang-undang dasar. Berkaitan
dengan isi media, maka di dalam UUD 1945
Amandemen tidak menyatakan ketegasan tentang
apa yang dapat dimuat. Akan tetapi, dengan
memberikan
landasan
konstitusi,
maka
implementasi soal isi (atau informasi dan pendapat)
dapat disebarluaskan melalui berbagai cara dan
sarana. Penjabaran terhadap Pasal 28 UUD 1945 ini
menimbulkan
Secara
berbagai
proporsional,
macam
akan
ada
muatan
tarik
politis.
menarik,
dinamis, sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan stabilitas negara. Pembentukan hukum yang
185
berkaitan dengan Pasal 28 tersebut, diarahkan pada
fungsi hukum sebagai pengontrol berbagai institusi
kemasyarakatan
dan
kenegaraan.
Fungsi
ini
menciptakan dua hal, preventif dan represif. Fungsi
preventif
sebagai
bentuk
pencegahan
dalam
berbagai aturan yang bersifat prevention regulation,
yakni
desain
dari
tiap
tindakan
yang
akan
dilakukan oleh masyarakat. Di sisi lain, ada fungsi
represif yakni mengajukan penanggulangan sebagai
penyelesaian sengketa atau pemulihan keadaan
yang diakibatkan adanya perencanaan tindakan
tersebut.134
Kebebasan
berekspresi
sebagai
hak
yang
kemudian harus diatur dan dikelola dengan tepat
berkaitan dengan akomodasi peraturan perundangundangan nasional tentang media. Implikasi dari
adanya peraturan perundang-undangan tentang
media adalah bagaimana peraturan perundangundangan tersebut dapat mengimplementasikan
prinsip-prinsip dasar kebebasan berekspresi dalam
konvensi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
hubungan antara konvensi, UUD 1945 dan undangundang
yang
perlindungan
dalam
isi
dibentuk
terhadap
media
yang
untuk
kepentingan
kebebasan
berdasarkan
berekspresi
peraturan
perundang-undangan, dapat dilihat dalam bagan
berikut:
134
Samsul Wahidin, op.cit. Hal. 63-65.
186
Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang
UDHR
(Article 19)
+
ICCPR
(Article 19 Section 2)
UUD 1945
Pasal 28 dan
Pasal 28F
UU 39/1999
Pasal 23 Ayat (2)
UU
40/1999
Pers
UU
32/2002
Penyiaran
UU
11/2008
ITE
UU
33/2009
Perfilman
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Article 19
UDHR dan Article 19 ICCPR menjadi inspirasi bagi
muatan materi di dalam konstitusi maupun dalam
peraturan perundang-undangan. Keberadaan Pasal
28
UUD
1945
mengatur
bahwa
kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
ditetapkan dengan undang-undang, yang kemudian
ditimpali dengan Pasal 28F yang membebaskan
segala
saluran
informasi,
maka
terbentuklah
undang-undang tentang pers, penyiaran, internet
dan film. Undang-undang tersebut tetap harus
menjunjung tinggi pemaknaan terhadap hak asasi.
Pada sisi yang lain, sebenarnya kebebasan
berekspresi juga dilindungi di dalam UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni
187
pada Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa
setiap
orang
bebas
untuk
mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektonik dengan
memperhatikan
ketertiban,
nilai-nilai
kepentingan
agama,
umum,
kesusilaan,
dan
keutuhan
bangsa. Hal ini berarti bahwa undang-undang
tentang
hak
landasan
asasi
hukum
manusia
sebagai
juga
memberikan
jaminan
terhadap
kebebasan berekspresi di dalam hukum nasional.
2. Menjamin Hak atas Kebebasan Berekspresi di
dalam Hukum Nasional
Memberikan
jaminan
terhadap
kebebasan
berekspresi melalui peraturan perundang-undangan
memberikan
tantangan
tersendiri
pembentuk
undang-undang.
bagi
Selain
para
harus
memperhatikan struktur dan bentuk perlindungan,
yang
paling
bagaimana
harus
substansi
menjadi
perhatian
undang-undang
adalah
mampu
secara komprehensif menjangkau semua prinsip
nilai yang berkembang secara universal dan secara
potensial dapat memenuhi ekspektasi perlindungan
hukum bagi masyarakat adresaat, yakni warga
negara Indonesia.
188
Dalam hal ini ada tiga konsepsi mendasar di
dalam konvensi yang harus menjadi perhatian,
yakni:
pertama,
pendapat
tanpa
hak
untuk
dibatasi.
menyampaikan
Kedua,
hak
untuk
mencari, menerima dan memberikan informasi dan
gagasan. Dan ketiga, jenis informasi dan gagasan
yang dilindungi. Peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang mengatur tentang media, terbagi
atas undang-undang tentang pers, penyiaran, cyber,
dan perfilman. Masing-masing mengatur secara
tersendiri tentang bagaimana mengimplementasikan
isi media.
Mengenai muatan isi media, khususnya isi
pers sendiri, sebenarnya ada prakondisi tertenty
yang harus diciptakan pers, yaitu pertama informasi
yang disampaikan mampu menciptakan komunikasi
yang efektif. Artinya penyampaian informasinya
memenuhi
kebutuhan
khalayak
dan
mencapai
sasaran sesuai dengan kehendak penyaji informasi.
Kedua, informasi yang disampaikan pers mampu
melampaui fungsi pers yang sebenarnya. Artinya
bahwa
pers
tidak
hanya
memberikan
fakta,
menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti,
bahasa
tapi
yang
menerjemah-kannya
dapat
dimengerti,
ke
tapi
dalam
juga
mmepromosikan sesuatu sehingga khalayak jadi
189
berpikir, yang pada gilirannya mampu bertindak
memperbaiki hidupnya dari hari ke hari.135
Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi
menjadi kunci dalam pelaksanaan perlindungan
hak tersebut. Substansi dasar “Everyone shall have
the right to freedom of expression” menyiratkan
bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat
dimuat dan diatur baik dalam konstitusi maupun di
dalam
undang-undang
Kemerdekaan
melalui
untuk
berbagai
tentang
media.
mengeluarkan
pendapat
saluran
yang
tersedia,
yang
kemudian dijamin di dalam konstitusi dan undangundang,
memberikan
kesempatan
kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi. Tentang
pengakuan
atas
kebebasan
berekspresi
dapat
dilihat dalam tabel berikut:
135
Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik. Cahaya Atma Pustaka;
Yogyakarta, 2011. Hal. 39.
190
Tabel 3.3. Pengakuan Kebebasan Berekspresi sebagai Hak
UDHR dan
ICCPR
Pengakuan
“Everyone
shall have
the right to
freedom of
expression”
UUD
1945
Dimuat
dalam
Pasal 28,
dan
terutama
Pasal 28F
UndangUndang
UU Pers
UU
Penyiaran
UU ITE
UU
Perfilman
Pernyataan bahwa
kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi
manusia yang berdasar
prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi
hukum. (Pasal 4)
Dinyatakan dalam bagian
“Menimbang” bahwa
kemerdekaan
menyampaikan pendapat
dan memperoleh
informasi melalui
penyiaran sebagai wujud
hak asasi manusia.
Tidak ada dan tidak
diatur.
Tidak tegas diatur
namun dinyatakan
bahwa kegiatan
perfilman dan usaha
perfilman dilakukan
dengan berdasar
kebebasan berkreasi,
berinovasi, dan berkarya
(Pasal 5)
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers
menjadi
menekankan
undang-undang
adanya
pertama
kebebasan
pers
yang
yang
bertanggung jawab. Kebebasan adalah suatu yang
bersifat asasi, pada umumnya dipahami bahwa
kebebasan harus ada pada setiap insane manusia.
Undang-undang ini juga memberi jaminan bahwa
terhadap
pers
penyensoran,
nasional
tidak
dikenakan
pembredelan
atau
pelarangan
191
penyiaran. UU Pers menjamin tiga lingkup kegiatan
dalam
kebebasan
mencari,
berekspresi,
memperoleh
dan
diantaranya:
menyebarluaskan
gagasan dan informasi. Hak tolak diperkenalkan
sebagai hak yang dijamin oleh undang-undang,
yang
digunakan
oleh
wartawan
untuk
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
hukum.
Sejalan dengan hal tersebut, disusun dan
diterbitkan pula Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran. Salah satu isu utama
dalam pembentukan undang-undang ini adalah
mengenai diversity of content atau keberagaman
media,
disamping
ownership.
isu
Bagi
lain
yakni
kebebasan
diversity
of
berekspresi,
keberagaman media yang diatur di dalam UU
Penyiaran penting untuk diamati, yakni bagaimana
perlindungan dilakukan terhadap pengguna media
termasuk kelompok minoritas agar dapar menerima
gagasan dan informasi yang tersedia. Di sisi lain,
perkembangan media massa modern juga menuntut
negara untuk mencegah adanya monopoli dan
menjamin
adanya
keberagaman
media.136
Manifestasi kebebasan berekspresi di dalam UU
Penyiaran,
mengindikasikan
karakter
konsep
perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di
ranah penyiaran.
136
Lihat Putusan MK No. 78/PUU-IX/2011.
192
Dalam perkembangan penyiaran, beberapa
hal menjadi perhatian, yakni bagaimana siaran
dilakukan dan muatan-muatan siaran. Terdapat
syarat-syarat
tertentu
yang
secara
konseptual,
mendasari tentang muatan siaran. Salah satunya
dalam kutipan berikut ARTICLE 19 memberikan
gambaran:
Furthermore, the public service remit of these
broadcaster must be clearly set out in law and
must include the following requirements:
(1) provide quality, independent programming
which contributes to a plurality of opinions
and an informed public;
(2) provide comprehensive news and current
affairs programming which is impartial,
accurate and balanced;
(3) provide a wide range of broadcast material
which
strikes
a
balance
between
programming of wide appeal and specialized
programmes that serve the needs of different
audiences;
(4) be universally accessible and serve all the
people and regions of the country, including
minority groups;
(5) provide
educational
programmes
and
programmes directed towards children; and
(6) promote
local
programme
production,
including through minimum quotas for
original productions and material produced
by independent producers.137
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2003
tentang Penyiaran mengatur bahwa isi siaran harus
sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran
yang sesuai dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan
137
Access to the Airwaves, note 31 on page 21, Principle 37.
193
Pasal 5 undang-undang tersebut. Asas dan arah
tersebut penting untuk menjadi koridor utama
bahwa penyiaran akan dilaksanakan dengan tetap
memperhatikan kepentingan-kepentingan nasional
yang terpengaruh oleh perkembangan penyiaran di
Indonesia.
Demokratisasi penyiaran yang menjadi isu
utama sehingga perlu dibentuk undang-undang ini,
tidak hanya mengeliminasi terpusatnya kekuatan
monopoli ekonomi pada satu kelompok, tetapi juga
dapat mencegah terjadinya pemusatan opini dan
rekayasa sosial sesuai dengan yang dikehendaki
oleh kelompok tertentu. Demokratisasi penyiaran
juga memberikan peluang bagi adanya keterbukaan
ruang
publik
yang
jauh
lebih
luas,
dengan
keberagaman opini dan kemudahan akses bagi
seluruh pihak.138
Pantas menjadi fokus apakah ketentuan di
dalam undang-undang penyiaran, khususnya pada
bagian ketentuan mengenai isi siaran, mampu
menyediakan jaminan yang cukup bagi kebebasan
berekspresi.
otentik
Perlu
diperhatikan
undang-undang
bahwa
penyiaran
secara
memuat
mengenai hal-hal apa saja yang dapat disiarkan
oleh lembaga-lembaga penyiaran. Isu yang sentral
yang
didengungkan
tentang
isi
siaran
adalah
tentang diversity of content, dimana undang-undang
ini mampu menjadi payung perlindungan akan
138
Judhariksawan. Op. cit. Hal. 93.
194
keberagaman isi. Kebebasan untuk mewujudkan
hak kebebasan berekspresi pada beragamnya isi
yang disiarkan (atau disebarluaskan) oleh lembagalembaga penyiaran, merupakan hak subyek media.
Isu ini juga berkaitan erat dengan isi yang
diatur di dalam Undang-Undang Perfilman, yakni
bahwa
secara
memberikan
substansial
kebebasan
ada
usaha
untuk
kepada
subyek
untuk
berkreasi, berinovasi, dan berkarya (lihat Pasal 5
UU No. 33 Tahun 2009). Bagian yang sangat
mendasar adalah bahwa menampilkan isi oleh pers,
penyiaran dan perfilman sebagaimana diatur dalam
undang-undang, memberikan jaminan kebebasan
untuk menuangkan segala hal tentang ekspresi
subyek. Penekanan ini ada pada bagaimana titik
tolak pengembangan prinsip konvensi yakni hak
untuk menyampaikan pendapat tanpa dibatasi.
Pers
yang
memiliki
fungsi
untuk
media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial,
berbarengan dengan penyiaran yang memiliki fungsi
sebagai
penyedia
saluran
untuk
mendapatkan
informasi, dari sarana elektronik (radio, televisi)
serta film yang sebagai produk kebudayaan yang
disebarkan.
Hal berbeda adalah bahwa UU ITE tidak
menyatakan
adanya
pengakuan
terhadap
kebebasan berekspresi sebagai hak. UU ITE sendiri
dilibatkan dalam konteks hukum media oleh karena
UU
ITE
masih
menjadi
satu-satunya
undang195
undang yang mengatur media internet di Indonesia.
Substansinya
sebenarnya
perkembangan
lalu-lintas
mengacu
pada
perdagangan
yang
menggunakan media internet sebagai sarananya.
Akan tetapi, perlu dicermati bahwa ada muatan isi
media yang diatur di dalam Pasal 27, Pasal 28 dan
Pasal 29, yang memberikan batasan terhadap isi
internet dalam bentuk informasi dan dokumen
elektronik, dimana isi ini akan dikonsumsi secara
luas oleh masyarakat pengguna internet.
3. Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap
Kebebasan Berekspresi
Dibentuknya peraturan perundang-undangan
tentang media, mempunyai implikasi yuridis yang
berakibat pada pembentukan struktur di dalam
bidang yang diatur. Struktur di bidang media
muncul beriringan dengan situasi dan kondisi yang
hendak dibentuk oleh negara. Pentingnya struktur
ini
dimaksudkan
terutama
untuk
memberikan
kontrol terhadap substansi media yang makin
berkembang
teknologi
seiring
media.
dengan
Struktur
perkembangan
berkaitan
dengan
keberadaan perangkat lembaga serta aparat yang
memiliki tugas dan wewenang tertentu.
Isi
media
yang
menjadi
kunci
dalam
implementasi kebebasan berekspresi, perlu diawasi
oleh negara, sebagai pelindung hak. Mekanisme
pengawasan
196
dapat
dilakukan
dengan
metode
preventif maupun represif. Metode-metode tersebut
digunakan dengan menghadirkan lembaga tertentu
yang dapat menjadi representasi negara untuk
melaksanakan perlindungan hukum atas hak.
Masing-masing
membentuk
lembaganya
undang-undang
sendiri
(sesuai
pula,
bidang
media) untuk sekaligus juga menjadi lembaga
terdepan dalam menjamin perlindungan. Lembagalembaga ini dibentuk oleh undang-undang dengan
maksud agar negara dapat dihadirkan secara fisik,
yang secara etis dan norma memiliki kemampuan
untuk memberikan penilaian terhadap isi media.
Berikut lembaga-lembaga dimaksud:
Tabel 3.4. Lembaga Negara di Bidang Media
Lembaga
Tugas pokok terkait isi media
Dewan
Pers
Dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Pers, yang
pada pokoknya dimaksudkan untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, yang
bersifat independen.
Salah satu fungsi penting lembaga ini adalah
memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers.
Komisi
Penyiaran
Indonesia
Dibentuk berdasarkan Pasal 7 UU Penyiaran,
sebagai lembaga negara independen yang
mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Dalam
wewenangnya, KPI dapat menetapkan Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran sekaligus menjadi pengawas yang dapat
memberikan sanksi pula terhadap para
pelanggar peraturan KPI tersebut.
197
Lembaga
Sensor
Film
Dibentuk berdasarkan Pasal 57-58 UU
Perfilman. Lembaga ini bersifat tetap dan
lembaga independen yang bertugas untuk
melakukan penyensoran terhadap film
berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film
(vide Pasal 6 dan Pasal 7).
Pembentukan
tersebut
lembaga-lembaga
mengindikasikan
bahwa
khusus
negara
perlu
memberikan pengawasan langsung secara mandiri,
yang melibatkan peran serta subyek-subyek yang
memiliki keahlian. Kompetensi lembaga menjadi
penting karena obyek yang hendak diawasi adalah
produk-produk
media
yang
memiliki
kekuatan
untuk mempengaruhi khalayak.
Berbeda
dengan
UU
ITE
yang
tidak
membentuk lembaga apapun dalam memberikan
pengawasan terhadap konten-konten ITE. Oleh
karena
bilamana
terjadi
pelanggaran
terhadap
ketentuan di dalam UU ITE, maka dapat dilakukan
gugatan perdata atau tuntutan pidana yang sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Lembaga-lembaga
ini
memiliki
kesamaan
tugas dan wewenang, yakni memberikan penilaian
terhadap
isi
dilaksanakan
media.
Tugas
dan
dengan
membentuk
wewenang
peraturan-
peraturan teknis (yakni peraturan organik) yang
memberikan ukuran-ukuran bagaimana isi media
dapat ditampilkan dan disebarluaskan. Disamping
itu,
198
lembaga-lembaga
ini
dimunculkan
oleh
peraturan perundang-undangan oleh karena alasan
bahwa demi menjauhkan intervensi negara dalam
aktivitas media (pers, penyiaran, internet) yang
terlalu
dalam,
sehingga
menciderai
makna
kebebasan itu sendiri. Pelibatan unsur masyarakat
dan para ahli dalam lembaga ini dilakukan demi
menjaga arus informasi yang terbuka dan tepat
sasaran. Lembaga ini juga berperan sebagai self
regulatory body untuk mengatur secara teknis
perihal aktivitas di dunia media.
KPI misalnya, di dunia penyiaran Indonesia,
berperan utama untuk menjamin perlindungan isi
dari
materi
siaran
yang
berdasarkan
prinsip
diversity of content dengan: membuat peraturan
penyiaran untuk menjamin kebebasan publik untuk
menggunakan media, seperti yang terdapat pada
Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM
yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk
mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan
atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik
dengan
memperhatikan
nilai-nilai
agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan
keutuhan bangsa.
Disamping
kebebasan
dan
itu
KPI
juga
kemerdekaan
mendukung
pers
yang
bertanggung jawab, sesuai dengan Pasal 6 UU No.
40/1999
tentang
Pers,
yakni
diantaranya
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan
199
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Bahkan
dalam kontek yang lebih jauh, KPI juga harus
mampu menjamin
kebebasan
berkarya
dengan
tetap berpegang teguh pada nilai – nilai dan norma,
serta budaya yang berkembang di Indonesia, sesuai
dengan
Pasal
3
UU
No.
8/1992
tentang
Perfilman139.
Melalui UU No. 40/1999 dibentuklah lembaga
yang disebut dengan Dewan Pers, yang memiliki
fungsi
dan
tugas
untuk
menetapkan
standar-
standar tertentu bagi ‘rasa’ profesionalitas para
insan pers. Dewan Pers menyusun sistem kerja
berupa: (1) Kode Praktik bagi Media Pers, yang
dimaksudkan sebagai upaya pengakuan kebebasan
pers dengan fungsi menjamin berlakunya etika pers
dan standar jurnalistik profesional serta media yang
bertanggung jawab; (2) Standar Operasional, yang
difungsikan sebagai landasan dalam memberikan
penilaian
dan
rekomendasi
menyangkut
pelanggaran kode etik, penyalahgunaan profesi, dan
kebebasan pers; dan (3) Etika Bisnis Pers, yang
menekankan
bahwa
kebebasan
pers
sebagai
institusi bisnis harus mengutamakan kepentingan
publik, menghormati kode etik profesi, kejujuran
139
Pada saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan,
masih berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang
masih berlaku, sehingga KPI bertindak juga berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas
yang diatur di undang-undang tersebut.
200
dan keadilan; mengutamakan kepentingan bersama
di atas kepentingan institusi dan perorangan, setia
kepada
profesi
dan
bidang
tugasnya;
serta
140
mengutamakan supremasi hukum.
Dewan Pers dalam hubungan dengan isi
media (khususnya media pers), menekankan pada
hal-hal yang harus dilakukan oleh pembuat berita
pers,
bukan
ditampilkan.
kepada
Bahwa
muatan
kemudian
yang
yang
hendak
dilindungi
adalah kebebasan pers, Dewan Pers tidak serta
merta turut campur memberikan batasan-batasan
tentang
isi
pers.
Berbeda
dengan
KPI
yang
membentuk standar-standar tentang isi program,
Dewan Pers lebih kepada mengarahkan pelakupelaku
pers
untuk
membuat
berita
yang
bertanggungjawab. Yakni berita yang dibuat dengan
etika dan standar jurnalistik para pelakunya. Hal
ini juga menjadi masalah tersendiri karena Dewan
Pers
seharusnya
mampu
memfasilitasi
dan
mengatur distribusi media dan kesesuaian dengan
segmen yang dituju sehingga mereka yang menjadi
sasaran
berita
atau
konsumen
pers
tidak
mendapatkan dirinya sebagai korban.
Sementara
memberikan
itu,
undang-undang
wewenang
kepada
perfilman
LSF
untuk
memotong atau menghapus bagian gambar, adegan,
suara dan teks terjemahan dari suatu film dan
140
Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan
Politik di Era Mondial. PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2009. Hal.
100.
201
reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan
dan/atau ditayangkan kepada umum ditiadakan
karena dalam undang-undang yang baru pelaku
usaha
perfilman
melakukan
self
sensor.
LSF
kemudian mengembalikan film yang mengandung
tema, gambar adegan, suara, dan teks terjemahan
yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria
sensor kepada pemilik film yang disensor untuk
diperbaiki.
Dewan
Diantara
Pers,
Komisi
eksistensi
Penyiaran
lembaga,
yakni
Indonesia
dan
Lembaga Sensor Film, hanya LSF yang memiliki
jangkauan
kewenangan
yang
dapat
mengatur
sampai ke dalam substansi isi media yang hendak
disebarkan.
LSF berwenang berdasarkan undang-undang,
mengawasi isi film semenjak film tersebut hendak
diproduksi
sampai
dengan
film
tersebut
disebarluaskan. LSF juga memiliki kewenangan
untuk menerbitkan surat tanda lulus sensor, yang
menjadi bentuk legalitas bahwa sebuah hasil dari
produksi film dapat diedarkan dan disebarluaskan
di Indonesia. Hanya saja pelaksanaan penyensoran
ini berdasarkan prinsip dialog yang dimaksudkan
agar LSF tidak ikut campur terlalu jauh dalam
sebuah produksi film, khususnya dalam hal isi.
Sebagai
bagian
dari
struktur,
lembaga-
lembaga ini dimungkinkan untuk bertemu dalam
satu
waktu.
Pertemuan
kewenangan
tersebut
berada pada ranah publik (public sphere) yang
202
menyediakan fasilitas bagi masing-masing lembaga
menunjukkan eksistensinya dalam mengatur isi
media. Ranah publik menjadikan isi media menjadi
bahan utama bagi Dewan Pers, KPI dan LSF untuk
menyatakan bahwa isi media telah diawasi dan
disebarluaskan dengan standar tertentu.
Persinggungan yang terkait dengan kinerja
lembaga-lembaga tersebut, yang disebabkan oleh
saluran dan/atau sarana media yang digunakan
untuk menyebarluaskan isi, adalah sarana yang
sama. LSF dan KPI menerbitkan Memo Bersama
Nomor 03/NK/KPI/X/2012 atau 2273/LSF/X/2012
yang mengatur tentang Penyensoran dan Kewajiban
Pencantuman Klasifikasi Usia Penonton Film di
Layar
Televisi,
yang
menyatakan bahwa
salah
KPI
dan
satu
klausulnya
LSF menegaskan
pemberlakuan ketentuan dan syarat bagi lembaga
penyiaran televisi bahwa isi siaran dalam bentuk
film dan/atau iklan film bagi jasa penyiaran televisi,
sebagaimana
ditetapkan
peraturan
perundang-
undangan, wajib memperoleh tanda lulus sensor
dari LSF.
Disamping itu, KPI dan Dewan Pers juga
senantiasa
siaran
bersinggungan
yang
seringkali
dengan
masalah
melibatkan
hasil
isi
dari
kegiatan jurnalistik, yang dilakukan oleh jurnalis
(wartawan), kemudian disiarkan melalui lembagalembaga
penyiaran.
Dua
lembaga
ini
secara
bersama-sama melakukan pengawasan agar isi
203
siaran, tunduk pada ketentuan pada UU Pers dan
UU Penyiaran yang mengakomodasi kepentingan
yang sama di bidang media, terutama dalam hal
produk jurnalistik yang disebarluaskan melalui
media penyiaran.
4. Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi
Media
Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi
sebagai hak, maka pembatasan tersebut berhadaphadapan
dengan
konsepsi
hak
kebebasan
berekspresi sebagai derogable right dan inalienable
right.
Keterkaitannya
sebagai
hak,
batasan
menentukan
kebebasan
yang
bagaimana
berekspresi
memadai,
sah
diberikan
dan
tidak
mengintervensi terlalu jauh. Kebebasan sendiri
memang bersifat asasi, namun tidak kemudian
diartikan sebagai sebebas-bebasnya dalam artian
yang deskriptif. Akan ada senantiasa pembatasan
baik oleh kelemahan yang bersifat internal (psikis,
moral) maupun oleh batasan yang bersifat eksternal
seperti paksaan dan sejenisnya.141
Pada
pembahasan
di
bab
sebelumnya,
dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi memiliki
batasan-batasan
internasional.
yang
ditetapkan
Batasan-batasan
oleh
hukum
tersebut
adalah
batasan yang penting, baik oleh siapa batasan itu
141
Samsul Wahidin, Hukum Pers. Cet ke-1. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2006.
Hal.55.
204
dibuat, konsekuensi, dan landasan yang paling sah
untuk menetapkan batasan tersebut. John Stuart
Mill142
memandang
menyatakan
bahwa
penting
“even
hal
ini,
opinions
dengan
lose
their
immunity when the circumstances in which they are
expressed are such as to constitute their expression a
positive instigation to some mischievous act”.
Pandangan
tersebut
bermaksud
mengemukakan tentang tindakan kekerasan dapat
muncul
dengan
dibiarkannya
kebebasan
berekspresi diwujudkan tanpa batas, yang justru
menimbulkan efek negatif. Oleh karena kovenankovenan
telah
diratifikasi
di
Indonesia,
maka
batasan yang ditetapkan oleh hukum internasional
sudah sepantasnya menjadi acuan bagi peraturan
perundang-undangan tentang media di Indonesia
agar sejalan dengan hukum internasional. Dalam
perkembangan
hak
asasi
manusia
secara
internasional, hak asasi manusia bisa dibatasi
secara hati-hati. Kovenan sendiri mengakui bahwa
hak
atas
kebebasan
berekspresi
menerbitkan
kewajiban dan tanggung jawab khusus. Pada masa
lalu di Indonesia dikenal adanya frasa “bebas yang
bertanggung jawab”, dimana frasa ini menjadi isu
yang khas. Akan tetapi, pada masa itu pula,
142
John Stuart Mill memberikan kata kunci ‘instigation’ atau ‘penghasutan’ yang
tersirat dalam keadaan bebas berkata-kata, yang dapat mendorong timbulnya
tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan jiwa.
Lihat: John Stuart Mill, On Liberty, Chapter III, On Individuality, As One of The
Element of Well Being. 1859. (http://www.utilitarianism.com/ol/three.html).
205
pembatasan
yang
demikian
dengan kenyataan.
pengekangan
bertolak
belakang
Faktanya pada masa lalu,
terhadap
kebebasan
cenderung
represif.
Berbagai
mengenai
persoalan
“bebas
berekspresi
upaya
yang
pengertian
bertanggung
jawab” diakomodasi dalam hukum internasional
sebagaimana
tercantum
dalam
ICCPR
tadi.
Rumusan mengenai “kewajiban dan tanggung jawab
khusus”, diurai di dalam Article 19 ICCPR.143
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
dalam melakukan pembatasan terhadap wujudwujud
kebebasan
berhadap-hadapan
berekspresi
dengan
public
diantaranya
order,
public
health, public moral, national security, public safety,
dan rights and freedoms of
others.
Peraturan
perundang-undangan
media
kemudian
tentang
harus memperhatikan hal-hal tersebut, bilamana
aspek
legalitas
untuk
melakukan
pembatasan
(prescribed by law) sebagai dasar, tanpa melukai
makna kebebasan itu sendiri.
ICCPR yang telah berlaku di Indonesia sejak
diratifikasi
melalui
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun 2005, memperkenankan pembatasan hak
asasi
143
dengan
dilakukannya
three
part
test.144
Dalam konteks yang lebih seimbang, kebebasan itu harus senantiasa dibarengi
dengan tanggung jawab, bahkan bila diperhadapkan pada kebebasan dalam arti
sosial. Kebebasan dalam arti sosial tersebut, mengharuskan seseorang untuk
melakukan tindakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain yang juga
mempunyai hal yang sama. Lihat Samsul Wahidin, op. cit. Hal. 56
144
Lihat Article 18 section 3 ICCPR yang naskah aslinya berbunyi: “Freedom to
manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are
206
Pertama,
pembatasan
harus
dilakukan
hanya
melalui undang-undang. Kedua, pembatasan hanya
diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah
disebutkan dalam Article 19 section 3 ICCPR.
Ketiga,
pembatasan
tersebut
benar-benar
diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan
yang sah tersebut. Dengan berpijak pada konsepsi
tersebut, maka pembatasan terhadap kebebasan
berekspresi (sebagai hak) tetap dapat dilakukan
dengan
prasyarat
tertentu.
Permasalahannya
adalah bagaimana kerangka hukum nasional untuk
memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan
berekspresi, tanpa menciderai konsepsi pembatasan
sebagaimana
ditentukan
di
dalam
instrumen
hukum internasional.
Tentang bentuk pembatasan ini, sebenarnya
tiap-tiap negara dapat mengatur pembatasan dalam
berbagai bentuk bidang hukum. Isi media yang
dibatasi, dapat secara hukum diatur di bidangbidang hukum yang berlaku di negara tersebut.
ARTICLE 19 Organization, menyatakan berikut:
prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or
morals or the fundamental rights and freedoms of others.” Oleh UU No.
12/2005 diterjemahkan sebagai: “Kebebasan menjalankan dan menentukan
agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan
berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan
mendasar orang lain.” Pernyataan tersebut menentukan bahwa ada kewajiban
pembatasan yang dilakukan dengan berdasarkan hukum.
207
Different States organize their laws in different
ways, and content restrictions may be found in all
sorts of laws, such as criminal, civil,
administrative an so on. In principle, international
law does note prescribe any particular type of law
for content restrictions in the domestic legal
system, although the first part of the first part of
three-part test does require such restrictions to be
sufficiently accessible and clear. 145
Negara-negara
internasional
melakukan
yang
tersebut,
meratifikasi
tidak
pembatasan
konvensi
dikekang
untuk
bentuk
aturan
dalam
tertentu yang khusus yang membatasi kebebasan
berekspresi, namun diberikan kebebasan untuk
mengatur. Maksudnya adalah bahwa negara melalui
bidang-bidang
hukumnya,
yang
tersebar
dan
berlaku di negara tersebut, memberikan batasan
terhadap
konten
media.
Baik
hukum
pidana,
administrasi, dan bidang hukum lainnya, yang pada
pokoknya
sebenarnya
demi
melegalisasi
pembatasan oleh negara.
Article
tentang
19
ICCPR
kewajiban
memberikan
negara
perlindungan
terhadap
bersekspresi
bagi
untuk
pelaksanaan
setiap
warga
gambaran
memberikan
kebebasan
negaranya.
Kewajiban negara ini untuk menghormati hak asasi
manusia (obligation to respect) yang mengacu pada
tindakan
145
negara
untuk
tidak
mengintervensi
ARTICLE 19 dalam Asian Pocketbook on Freedom of Expression, op. cit. Hal.
117. Organisasi ini memberikan panduan bahwa three-past test harus dipenuhi
sebagai bentuk perlindungan atas pembatasan itu sendiri agar tetap sah dan
ditetapkan oleh negara, tanpa menciderai makna kebebasan berekspresi itu sendiri.
208
pelaksanaan hak asasi manusia. Di samping itu,
negara
harus
(obligation
melindungi
to
protect)
hak
yang
asasi
manusia
menekankan
pada
tindakan-tindakan untuk menghadapi human rights
abuse (pelanggaran hak asasi) yang dilakukan oleh
pihak
lain.
Pemenuhan
terhadap
kewajiban-
kewajiban tersebut adalah dengan menekankan
adanya
upaya-upaya
positif
negara
melalui
mekanisme pembentukan peraturan perundangundangan
(legislated),
pengadilan
yang
efektif,
dan/atau aspek administratif yang dilakukan untuk
memberikan jaminan terhadap implementasi atau
perwujudan hak asasi manusia sampai pada tingkat
yang paling konkrit. Inilah kewajiban negara untuk
memenuhi yang disebut obligation of fulfil.
Tentang
pembatasan
terhadap
hak
atas
kebebasan berekspresi di Indonesia, berdasar pada
ketentuan dalam Article 19 ICCPR, dapat dilihat
pada dua hal berikut.
a. Pembatasan berdasar ketentuan otentik
Secara
ratifikasi,
otentik,
di
dicantumkan
dalam
tentang
setelah
dilakukannya
konstitusi
bagaimana
Indonesia,
pembatasan
harus dilakukan dan pembatasan itu adalah sah.
Pembatasan
terhadap
kebebasan
berekspresi
memang diperkenankan dengan syarat bahwa
undang-undang mencantumkan secara tertulis,
yang berarti ada landasan hukum yang jelas.
209
Sebagaimana temuat dalam Pasal 28J UUD
1945
Amandemen,
yang
pada
pokoknya
menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap
orang
wajib
tunduk
kepada
pembatasan
yang
ditetapkan
dengan
undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Disamping
secara
otentik
pembatasan
di
dalam
yang
ditentukan
konstitusi,
Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia,
sebagai
payung
hukum
hak
asasi
manusia, memberikan pengaturan dalam beberapa
pasal sebagai berikut:
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
Undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli
sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang
ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undangundang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
210
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa.
Jangkauan
pembatasan
ini
merupakan
ketentuan normatif yang berhubungan erat dengan
tujuan pembatasan sebagaimana termuat dalam
Article 19 section (3) ICCPR. Bahwa konvensi
tersebutlah yang memberikan klausul pembatasan
hak, yang sejatinya tidak hanya diterapkan secara
umum, namun penerapannya diatur hak per hak.
Konstitusi dan UU HAM memang memberikan
batasan serupa dengan maksud dalam Article 19
section (3) ICCPR pada dua hal yang penting, yakni
bahwa
pembatasan
hak
dilakukan
dengan
ditetapkan melalui undang-undang,146 dan dalam
suatu masyarakat yang demokratis.
Dua ketentuan ini layak menjadi inspirasi
bagi pembatasan-pembatasan terhadap isi media,
yakni
bahwa
peraturan
perundang-undangan
harus mampu memberikan batasan yang tepat.
Demikian dapat dilihat perbandingan pembatasan
yang dilakukan oleh masing-masing ketentuan
sebagaimana dalam tabel berikut:
146
Lihat Article 19 ICCPR.
211
Tabel 3.5. Perbandingan Pembatasan
ICCPR
UUD 1945
UU No. 39/1999
ditetapkan oleh hukum/undang-undang
dalam suatu masyarakat yang demokratis
ketertiban umum,
kesehatan publik,
moral publik,
keamanan
nasional dan
keamanan publik,
hak dan
kebebasan orang
lain, hak atau
reputasi orang
lain, kepentingan
kehidupan pribadi
orang lain yang
berkaitan dengan
pembatasan
terhadap pers dan
publik pada
pengadilan
Dasar
pengakuan serta
penghormatan atas
hak kebebasan
orang lain, moral,
nilai-nilai agama,
keamanan,
ketertiban umum
perlindungan
pengakuan serta
penghormatan
atas hak dan
kebebasan orang
lain,
pertiumbangan
moral,
keamanan,
ketertiban
umum,
kesusilaan dan
kepentingan
bangsa
terhadap
hak
atas
kebebasan berekspresi tidak melulu berada pada
ruang lingkup perwujudan hak yang sebebasbebasnya, namun juga membatasi implementasi
hak
yang
dapat
dianggap
membahayakan.
Terbukti bahwa secara otentik, masing-masing
ketentuan
yang
menjadi
acuan,
memiliki
kesamaan visi untuk memberikan ruang bagi
adanya intervensi terhadap hak atas kebebasan
berekspresi.
Klausul
ketentuan-ketentuan
pembatas
di
atas
di
ditujukan
dalam
pada
pembatasan yang berbasiskan pada dua hal yang
212
sama, yakni bahwa secara normatif, pembatasan
harus
ditetapkan
oleh
hukum
atau
undang-
undang, dan pembatasan itu dimungkinkan di
adakan pada suatu lingkungan masyarakat yang
demokratis.
Perbedaan
jangkauan
konsepsi
hanya
pemahaman
terletak
terhadap
pada
makna
kepentingan lain yang bersinggungan terhadap
hak.
Cakupan
mengarah
pada
kepentingan
dengan
terhadap
hak
kepentingan
eksistensi
umum
atas
yang
hak
lain
dan
ini
juga
berhadap-hadapan
kebebasan
berekspresi.
Permasalahannya adalah bagaimana peraturan
perundang-undangan
mampu
mengimplementasikan apa yang sudah tertuang
dalam konsep pembatasan yang diatur di dalam
ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM.
Materi muatan di dalam undang-undang yang
teknis kemudian harus menyesuaikan dengan
yang diatur oleh konvensi dan norma dasarnya.
Hal ini secara sederhana dapat dilihat di masingmasing asas yang tercantum di masing-masing
undang-undang. Di dalam tabel berikut dapat
dilihat asas-asas yang mendasari peraturan:
213
Tabel 3.6. Asas dalam Undang-Undang Media
UU Pers
UU
Penyiaran
Pasal 2 dan 3
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum.
Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial.
Pasal 2
Penyiaran
diselenggarakan
berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, keberagaman, kemitraan, etika,
kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
UU ITE
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas
kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian,
iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi.
UU
Perfilman
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman
dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi,
berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan,
dan budaya bangsa.
Asas-asas yang menjadi dasar di peraturan
perundang-undangan
tersebut,
secara
prinsip
memberikan pembatasan yang tersirat. Bahwa
kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan
tetap melakukan penghormatan terhadap nilainilai yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sehingga masyarakat menjadi subyek
yang mengontrol terhadap kebebasan berekspresi.
214
Asas tersebut berfungsi memberikan koridor
terhadap
ruang
kebebasan
berekspresi
yang
hendak diwujudkan dalam isi media. Terhadap isi
pula, asas-asas ini adalah inspirasi, sehingga
menunjukkan bagaimana peraturan perundangundangan menyerap prinsip-prinsip universal yang
disediakan oleh konvensi-konvensi internasional.
Keberadaan
asas-asas
ini
di
dalam
undang-
undang menjadi prinsip pembatasan pertama yang
dapat dilihat. Implementasi dari maksud dalam
frasa “…to seek, receive and impart information and
ideas
through
any
media
and
regardless
of
frontiers..” menjadi inspirasi bahwa kebebasan
berekspresi
yang
perundang-undangan
terdapat
pada
tentang
peraturan
media,
sejalan
dengan maksud dari konvensi. Indikasinya dari
cakupan asas-asas yang dimuat dan menjadi
dasar
pengembangan
wujud
kebebasan
berekspresi di dalam undang-undang.
Pembatasan yang dapat dilihat melalui asas,
dapat diketahui dimana pers dan kemerdekaannya
dibatasi oleh koridor prinsip demokrasi, keadilan
dan supremasi hukum serta ada kewajibannya
menjadi kontrol sosial. Penyiaran secara prinsip
dibatasi
oleh
keamanan,
etika
dan
tanggung
jawab. ITE juga dibatasi oleh kehati-hatian dan
itikad baik serta perfilman yang harus menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan
dan budaya bangsa.
215
Selain dari asas, terdapat batasan otentik
yang lain ada pada pasal-pasal yang termuat di
masing
undang-undang
tentang
media.
Maksudnya adalah bahwa isi media itu sendiri,
secara
implementatif,
diberikan
batasan
oleh
undang-undang. Baik berdasarkan pengertiannya
maupun berdasarkan muatan yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Sekali lagi bahwa sebagai isi, maka berita
atau informasi, siaran, internet dan film, menjadi
komoditas dalam dunia bisnis yang tidak boleh
dikembangkan secara luas tanpa ada batasan
pengertian
masing-masingnya.
Segala
saluran
yang tersedia tidak diperkenankan menjadi sarana
bagi isi media yang di luar batas. Pemaknaan
terhadap isi media, adalah penting. Pada titik ini,
makna ‘prescribed by law’ ditempatkan sebagai
prinsip yang mendasari bahwa secara otentik,
pembatasan harus jelas dan dapat dipahami.147
Dengan demikian, pembatasan tersebut maknanya
juga harus jelas dan memiliki alasan yang sesuai.
Menarik ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU
Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers
nasional
pembredelan
147
tidak
atau
dikenakan
pelarangan
penyensoran,
penyiaran.
Untuk ‘prescribed by law’ sebagai prinsip dalam konvensi baik UDHR dan
ICCPR dapat dikembangkan secara luas dalam beberapa softlaw seperti yang
termuat dalam Siracausa Principle. Tentang ‘prescribed by law’ ada beberapa hal
yang diperjelas, yakni bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan membentuk
undang-undang yang konsisten dengan substansi konvensi (yang telah
diratifikasi), dan dapat diterapkan pembatasan itu ketika undang-undang berlaku.
216
Ketentuan
ini
merupakan
hal
yang
berbeda
dengan undang-undang yang lain, dimana batasan
menjadi
hilang,
oleh
karena
demi
tujuan
kemerdekaan pers, pada sisi isi pers, dibebaskan
dari larangan-larangan. Dengan demikian, pers ini
diberikan ruang yang sebebas-bebasnya agar pers
secara positif dikembangkan oleh para pelakunya.
Kebebasan itu juga dimaksudkan agar peristiwaperistiwa pers pada masa lalu, yang terkait dengan
penyensoran
yang
ketat,
pembredelan
dan
larangan-larangan tidak terjadi lagi.
Pada Pasal 35 UU Penyiaran dinyatakan
bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas,
tujuan, fungsi dan arah siaran, yang sebagaimana
sudah tercantum pada pasal-pasal sebelumnya.
Pasal ini mengindikasikan bahwa isi siaran harus
berada di ruang atau koridor undang-undang yang
memberikan
jaminan
terhadap
kebebasan
berekspresi di bidang penyiaran. Isi siaran juga
wajib
mengandung
substansi-substansi
yang
diperkenankan dalam Pasal 36 UU No. 32 Tahun
2002. Diantaranya adalah kewajiban bagi isi
siaran
yang
harus
mengandung
informasi,
pendidikan, hiburan dan manfaat. Di sisi lain
harus
wajib
memberikan
perlindungan
dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, serta isi
siaran bersifat netral. Isi siaran sendiri harus
memiliki hak siar sebelum disebarluaskan melalui
media penyiaran yang tersedia. Hak siar sendiri
217
masih menjadi problematika bagi pelaksanaan
perwujudan kebebasan berekspresi.
Berbeda dengan cara atau metode teknis yang
dimuat di dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
yang memberikan batasan dengan mencantumkan
larangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009 sendiri
mencantumkan larangan-larangan pada substansi
isi film yang bersifat negatif, yakni hal-hal yang
dapat menstimulasi khalayak untuk melakukan
perbuatan-perbuatan negatif dan mengancam diri
sendiri serta orang lain. Sementara dalam UU No.
11 Tahun 2008 tentang ITE, pada Bab VII diatur
tentang
larangan-larangan
muatan
dalam
informasi
terhadap
muatan-
elektronik
dan/atau
dokumen elektronik yang dapat merugikan.
Di bidang perfilman sendiri, penyensoran film
dan reklame film dilakukan untuk melindungi
masyarakat dari kemungkinan dampak negatif
yang
timbul
dalam
peredaran,
pertunjukan
dan/atau penayangan film dan reklame film yang
tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan
perfilman Indonesia.
Penyensoran dimaksudkan untuk mencegah
agar film dan reklame film tidak mendorong
khalayak untuk:
a.
bersimpati
bertentangan
terhadap
dengan
ideologi
Pancasila
Undang-undang Dasar 1945;
218
yang
dan
b.
melakukan perbuatan-perbuatan tercela
dan hal-hal yang bersifat amoral;
c.
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
bertentangan dengan ketertiban umum
dan
perbuatan-perbuatan
melawan
hukum lainnya; atau
d.
bersimpati
terhadap
sikap-sikap
anti
Tuhan dan anti agama, serta melakukan
penghinaan terhadap salah satu agama
yang dapat merusak kerukunan hidup
antar-umat beragama.
Penyensoran
dimaksudkan
pula
sebagai
sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa
agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan
kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui
film dan reklame film dapat masuk pengaruhpengaruh budaya dan nilai-nilai negatif.
Demikian
diatur
oleh
negara,
namun
seharusnya tetap menyesuaikan dengan konsepsi
tentang three-part test sebagaimana ditetapkan
dalam Article 19 Section (3) ICCPR yang menjadi
acuan dalam memberikan batasan.
b. Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak
Lain
Pembatasan demi tujuan untuk melindungi
kepentingan
pemerintah
umum
untuk
menjadi
membatasi
landasan
bagi
praktek-praktek
219
kebebasan
berekspresi.
Sementara
berbagai
putusan dan keputusan yang dikeluarkan oleh
institusi
internasional
semacam
International
Commission of Human Rights (ICHR) dan European
Commission of Human Rights (ECHR), memberikan
dasar
penjelasan
bahwa
pembatasan
harus
didasarkan pada dua hal, yakni tuduhan-tuduhan
yang
konkrit
kebebasan
tentang
bagaimana
berekspresi
mengancam
si
kepentingan
pelaksanaan
tertuduh
umum,
(subyek)
dan
bahwa
pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi
kepentingan umum.
Meskipun
hukum
kemudian
menyatakan
bahwa kepentingan umum bisa terganggu, namun
hukum diadakan untuk mengantisipasi keadaankeadaan yang secara efektif dapat mengancam
atau
menyerang
ketertiban
umum.
Kewajiban
untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip
equality dan non-diskriminasi harus dilakukan
oleh
Pemerintah,
khususnya
dalam
upaya
melakukan pembatasan yang sesuai dengan ruang
lingkup seperti dimengerti bersama dalam hukum
internasional.
Pembatasan memang layak dilakukan dengan
sejumlah prasyarat, yang kemudian secara teknis
dirinci dalam sejumlah prinsip hak asasi manusia.
Secara
normatif
kemudian
pembatasan
harus
diatur di dalam peraturan perundang-undangan
220
sebagaimana
prinsip
yang
dianut
semenjak
diratifikasinya konvensi hak asasi manusia.
Pembatasan
melalui
larangan-larangan
tersebut di dalam peraturan perundang-undangan
media, menyiratkan kepentingan lain yang harus
diperhatikan.
Article
19
Section
3
ICCPR
menyatakan bahwa:
The exercise of the rights provided for in
paragraph 2148 of this article carries with it
special duties and responsibilities. It may
therefore be subject to certain restrictions, but
these shall only be such as are provided by law
and are necessary:
(a) For respect of the rights or reputations of
others;
(b) For the protection of national security or of
public order (ordre public), or of public health
or morals.
Dalam
pernyataan
tersebut
ada
situasi
dimana kebebasan berekspresi berhadap-hadapan
dengan hak lain yang eksis. Bahwa kebebasan
berekspresi
berhadapan
dengan
‘rigths
or
reputations of others’ dan ‘national security or of
public order (ordre public), or of public health or
morals’.149 Pembatasan dalam Article 19 Section 3
148
Article 19 Section 2 berbunyi: Everyone shall have the right to freedom of
expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart
information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing
or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
149
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 menerjemahkan bahwa ‘rigths or
reputations of others’ sebagai menghormati hak atau nama baik orang lain; dan
‘protection of national security or of public order (ordre public), or of public
health or morals’ sebagai melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum
atau kesehatan atau moral umum.
221
berkaitan erat dengan Article 20 ICCPR, yakni
bahwa:
(1) Any propaganda for war shall be prohibited
by law.
(2) Any advocacy of national, racial or religious
hatred
that
constitutes
incitement
to
discrimination, hostility or violence shall be
prohibited by law.
Pernyataan di dalam Article 19 Section (3) dan
Article 20 ICCPR merupakan implementasi Article
19 UDHR150, dimana ketentuan tentang batasbatas
kebebasan
berekspresi
menyangkut
eksistensi hak lain. Hak lain ini yang pertama
adalah penghormatan terhadap nama baik orang
lain.
Masing-masing
undang-undang
mengatur
perlindungan terhadap nama baik orang lain
dengan muatan dalam pasal yang bervariasi.
Menarik untuk dilihat bagaimana arah kebebasan
berekspresi,
khususnya
perundang-undangan
keempat
mengatur
peraturan
kepentingan-
kepentingan dalam Article 19 ICCPR.
Prinsip prescribed by law/conformity with the
law
secara
diketemukan
mandiri,
dalam
pengertiannya
berbagai
panduan
dapat
yang
mengimplementasikan maksud dari Article 19.
Menurut Siracusa Principle dan Johannesburg
150
Article 19 UDHR menyatakan: setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut
pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan
dengan tidak memandang batas-batas.
222
Principle, tentang hal tersebut dimengerti sebagai
berikut151:
(a) Pembatasan
hanya
dapat
dilakukan
berdasarkan hukum
nasional. Namun
hukum yang membatasi hak tersebut tidak
boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan.
(b) Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan
hak asasi harus menyediakan upaya
perlindungan dan pemulihan yang memadai
terhadap penetapan ataupun penerapan
pembatasan yang bersifat sewenang-wenang
terhadap hak-hak tersebut.
(c) Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak
bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati
dan teliti, yang memungkinkan setiap
individu melihat apakah suatu tindakan
bertentangan dengan hukum atau tidak.
Kebebasan berekspresi di Indonesia dibatasi
secara normatif oleh keberadaan hak-hak lain
yang
dapat
terancam.
Setiap
undang-undang
mencantumkan hak-hak yang dapat terancam
dengan
perwujudan
kebebasan
berekspresi,
diantaranya yang dimuat dalam beberapa muatan
otentik berikut.
Tabel 3.7. Larangan Muatan Isi Media
UU Pers
Dalam
Pasal
5
dimuat
bahwa
pers
berkewajiban untuk memberitakan peristiwa
dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah. Disamping itu,
dalam Pasal 13 disinggung pula bahwa iklan
dilarang memuat hal-hal yang merendahkan
martabat agama dan/atau kelompok tertentu,
151
Tim ELSAM, Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet: Seri Internet dan
HAM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Jakarta, 2012. Hal.
47.
223
minuman keras dan narkotika, serta eksistensi
rokok.
224
UU
Penyiaran
Isi siaran termasuk di dalamnya adalah siaran
iklan, terutama siaran iklan, dilarang untuk
mempromosikan hal-hal yang berhubungan
dengan ajaran suatu agama, baik dalam
konteks menyinggung atau memaksakan
ajaran agama tertentu. Di samping itu, iklan
juga dilarang bertentangan dengan kesusilaan,
nilai agama, dan bahkan eksploitasi anak di
bawah umur. (Pasal 46-47).
Secara teknis isi siaran juga diatur agar
memenuhi standar tertentu yang ditetapkan
KPI melalui P3/SPS yang menjadi acuan agar
isi siaran tidak mengancam keberadaan hak
lain.
UU ITE
Dalam UU ITE secara tegas diberikan larangan
terhadap isi atau muatan yang melanggar
kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, dan pemerasan
dan/atau pengancaman (Pasal 27).
Berkaitan dengan konsumen dalam transaksi
elektronik, muatan materi dalam informasi
elektronik juga dilarang mengandung berita
bohong dan menyesatkan secara sengaja (Pasal
28 ayat (1)). Dan bahkan dilarang juga secara
sengaja
ada
muatan
dalam
informasi
elektronik yang isinya ditujukan untuk
menimbulkan
rasa
kebencian
atau
permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu, berdasarkan SARA.
Ancaman kekerasan terhadap pribadi juga
dilarang.
UU
Perfilman
Pasal 6 menyatakan hal-hal yang dilarang
untuk ditampilkan dalam isi film, diantaranya
kekerasan
dan
perjudian,
narkotikapsikotropika,
pornografi,
provokasi
pada
kelompok-kelompok tertentu, memperolok-olok
nilai-nilai agama, merendahkan harkat dan
martabat manusia.
Pada umumnya, pembatasan akan sesuatu
tindakan
yang
diatur
di
dalam
peraturan
perundang-undangan, selalu menggunakan kata
“dilarang” sebagai bentuk wujud ketegasan batasan.
Akan tetapi, makna lain yang dapat ditemukan
adalah bahwa larangan tersebut menjadi pijakan
utama bagi pelaku untuk tidak boleh menyinggung
eksistensi hak-hak lain yang dimiliki oleh individu
maupun anggota masyarakat lainnya. Laranganlarangan tersebut membatasi ruang gerak hak atas
kebebasan
berekspresi
agar
tidak
merusak
keberadaan hak lain yang diatur di dalam undangundang.
Penghargaan terhadap nama baik di dalam
UU Pers, tidak diatur dengan lugas. Yang menarik
adalah bahwa pemberitaan (isi berita) bila dinilai
telah mencemarkan nama baik seseorang atau
sekelompok orang, pers selalu cenderung dibawa ke
ranah pengadilan. Umumnya oleh pengadilan, pers
dikenai pasal-pasal yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KHUP)
dikarenakan Undang-undang Pers No. 40 Tahun
1999 tidak mengatur delik pencemaran nama baik.
Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers sendiri mengatur penyelesaian delik pers
melalui Hak Jawab.152 Hal ini berarti bahwa prinsip
152
Pasal 1 Angka 11 UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa Hak Jawab
adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
225
‘respect of the rights or reputation of others’ tidak
secara tegas dimuat di dalam ketentuan undangundang pers.
Penghormatan terhadap nama baik orang
lain, dapat dimaknai secara meluas. Pemaknaan
berbeda adalah dengan adanya persinggungan
antara
UU
Pers
dengan
Pelaksanaan
keduanya
perlindungan
terhadap
UU
yang
nama
Penyiaran.
memberikan
baik,
tidak
dicantumkan secara otentik. Kejelasan terhadap
perlindungan nama baik menjadi penting oleh
karena keberadaannya sebagai lex specialis dalam
konteks kebebasan berekspresi. UU Pers dan UU
Penyiaran
bersinggungan,
pada
kenyataannya
dikarenakan
selalu
kebebasan
berekspresi selalu melibatkan kegiatan jurnalistik
dan saluran yang sering digunakan adalah media
atau lembaga-lembaga penyiaran. Pasal 18 UU
Pers
sendiri
mengancam
siapapun
yang
menghambat dan menghalangi kemerdekaan pers
dengan ancaman hukum pidana penjara maksimal
dua tahun dan pidana denda maksimal Rp 500
juta. Akan tetapi, klausul ini menjadi kontradiktif
dikarenakan proses hukum terhadap sengketa
pemberitaan pers lebih mengacu pada undangundang lain, khususnya KUHP yang memuat pasal
226
yang dapat menjerat pekerja pers dengan pasalpasal pidana.153
Pasal 54 UU Penyiaran menyatakan bahwa
Pimpinan
badan
hukum
bertanggungjawab
lembaga
secara
penyiaran
umum
atas
penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk
penangungjawab
atas
tiap-tiap
program
yang
disiarkan. Ada persoalan tanggung jawab yang
dibebankan kepada pimpinan lembaga penyiaran,
terutama bilamana ada isi siaran yang melanggar
Pasal 36 UU Penyiaran.154 Pertanggungjawaban ini
pun
diarahkan
menjadi
perbuatan
yang
merupakan tindak pidana karena pelanggaran
Pasal 36 dapat dikenai pidana 5 tahun dan/atau
denda paling banyak satu milyar rupiah (untuk
penyiaran radio), dan pidana penjara lima tahun
dan/atau denda paling banyak 10 miliar rupiah
(untuk
penyiaran
televisi).
Jadi,
prinsip
perlindungan terhadap nama baik dan reputasi
orang lain, melalui UU Pers dan UU Penyiaran,
diarahkan pada mekanisme ancaman pidana.
153
Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang berkaitan erat dengan
pencemaran nama baik yang selama ini masih digunakan oleh hakim saat
memutus perkara pers. Diantaranya Pasal 310 tentang pencemaran, Pasal 311
tentang fitnah, Pasal 315 tentang penghinaan ringan, Pasal 317 tentang pengaduan
fitnah, Pasal 318 tentang persangkaan palsu, Pasal 320 tentang pencemaran nama
baik orang mati, dan Pasal 321 tentang pencemaran nama baik orang mati dengan
tulisan atau gambar.
154
Pasal 36 ayat 5 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi siaran dilarang bersifat
fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Juga dilarang menonjolkan
unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
atau mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan.
227
Sejalan dengan konsep pemikiran yang sama,
UU ITE melalui Pasal 27 ayat (3) menyatakan
bahwa orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan
dan/atau
mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik, merupakan perbuatan yang dilarang. Pasal
ini hanya merupakan salah satu pasal diantara
pasal lain di dalam UU ITE yang memberikan
larangan.
Secara
tegas,
Pasal
27
ayat
(3)
menekankan pada ‘muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik’ yang dapat dituntut
secara
pidana.
Bahwa
pasal
ini
sebenarnya
mengacu pada KUHP, khususnya Pasal 311 KUHP
yang memberikan dasar pemahaman atau esensi
mengenai penghinaan atau pencemaran nama
baik.
Esensinya
adalah
adanya
tindakan
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
dengan maksud untuk diketahui oleh umum.
Informasi
elektronik
dan/atau
dokumen
elektronik yang memuat hal demikian, secara
normatif tidak dapat serta merta dikategorikan
sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27
ayat (3) UU ITE. Alasannya adalah penghinaan
(atau delik penghinaan) harus bersifat subyektif,
yakni
perbuatan
mentransmisikan
diaksesnya
228
mendistribusikan
dan/atau
informasi
dan/atau
membuat
elektronik
dapat
dan/atau
dokumen
elektronik
dimaksudkan
untuk
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
dengan maksud diketahui oleh umum.
Ketentuan tentang penghormatan terhadap
nama
baik
seseorang
ini
ditegaskan
oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.
14/PUU-VI/2008.
Mahkamah
Konstitusi
menyatakan bahwa nama baik, martabat, atau
kehormatan seseorang adalah satu kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena
merupakan bagian dari hak konstitusional setiap
orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun
hukum
internasional.155
hukum
pidana
Bilamana
memberikan
kemudian
sanksi
tertentu
terhadap perbuatan yang menyerang nama baik,
martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu
tidaklah bertentangan dengan konstitusi.
Pertimbangan
MK
terhadap
sifat
konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE antara
lain: penghargaan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakantindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan
melalui
tindakan
penghinaan
dan/atau
155
Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 14/PUU-VI/2008, hal. 287.
Putusan MK ini memutus perkara mengenai diajukannya pengujian terhadap Pasal
310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP.MK
berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal itu berfungsi untuk melindungi
kehormatan sebagai salah satu fungsi hukum. Menurut MK hal itu merupakan
argumentasi yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan
konstitusionalitas norma. Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses
penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu. MK
menyatakan bahwa pasal-pasaltersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
229
pencemaran nama baik. Disamping itu masyarakat
internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai
yang
memberikan
jaminan
dan
perlindungan
kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Article
12 UDHR156, Article 17157 dan Article 19 ICCPR.158
Sementara itu di dalam UU Perfilman, tentang
perlindungan
undang
ini
terhadap
nama
baik,
undang-
bahkan
tidak
mencantumkan
ketentuan yang tersendiri. Tentang perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, hanya
pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa film yang
menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan
usaha perfilman dilarang mengandung isi yang (f)
merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal
ini menjadi satu-satunya pasal yang menentukan
batasan bahwa isi film harus memperhatikan dan
memperdulikan persoalan harkat dan martabat
manusia, yang belum tentu juga didapat sebuah
ketegasan
bahwa
ada
persoalan
nama
baik
termasuk di dalamnya. Penghargaan terhadap
156
No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family,
home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation.
Everyone has the right to the protection of the law against such interference or
attacks.
157
(1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his
privacy, family, or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and
reputation. (2) Everyone has the right to the protection of the law against such
interference or attacks.
158
Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 hal. 82-83.
Tentang hak atas reputasi, dilindungi pula di dalam Article 12 UDHR dan Article
17 ICCPR, kemudian diperjelas dalam Pasal 28G UUD 1945. Akan tetapi
menjadi perdebatan tersendiri karena asumsi dasar hukum pidana apakah tepat
untuk menjadi satu-satunya pendekatan hukum untuk melindungi hak atas reputasi
oleh negara.
230
kehormatan nama baik seseorang di dalam UU
Perfilman
tidak
nampak
tegas
diatur
secara
otentik. Akan tetapi, sebenarnya melalui ketentuan
tentang isi film tersebut dapat ditarik pengertian
bahwa cakupan isi yang diperkenankan adalah
hal-hal
yang
secara
teknis
tidak
boleh
mengungkapkan ekspresi yang dapat mengganggu
harkat dan martabat manusia.
Oleh
karena
itu,
di
dalam
Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga
Sensor Film, pada Pasal 30 ayat (8) dinyatakan
bahwa kriteria penyensoran terhadap isi film dan
iklan film dari segi harkat dan martabat manusia
meliputi adegan visual, dialog dan/atau monolog
yang melanggar hak asasi manusia. Peraturan ini
mengatur hal yang sifatnya teknis dengan LSF
sebagai
lembaga
terhadap
isi.
yang
melakukan
Persoalan
yang
dapat
penilaian
muncul,
implementasi dari konteks hak asasi manusia
yakni harkat dan martabat manusia menjadi luas,
dapat
beragam
problematik
persepsi.
hukum
Dengan
tentang
demikian,
penghormatan
tentang nama baik dan reputasi seseorang, diatur
secara berbeda-beda. Implementasi dari kovensikonvensi internasional, khususnya yang terkait
dengan Article 12 UDHR dan Article 19 ICCPR
harus terus mendapat perhatian.
231
Keamanan nasional (national security) menjadi
salah satu pertimbangan adanya pembatasan.
Article
20
ICCPR
menyatakan
bahwa
segala
propaganda untuk perang harus dilarang oleh
hukum. Dinyatakan juga bahwa Segala tindakan
yang
menganjurkan
kebencian
atas
dasar
kebangsaan, ras atau agama yang merupakan
hasutan
untuk
melakukan
diskriminasi,
permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh
hukum. Ketentuan ini berkaitan erat dengan
Article 19 ICCPR, yakni menjadi tembok pembatas
yang dapat digunakan untuk menangkal segala
bentuk ekspresi, baik yang tertulis, gambar, audio,
dan sebagainya yang ditujukan untuk melakukan
propaganda perang. Selain itu, membatasi ruang
gerak kebebasan berekspresi yang mendorong
adanya kebencian berdasar kebangsaan, ras, atau
agama tertentu, yang merupakan bentuk hasutan
untuk
melakukan
diskriminatif,
kekerasan
tindakan-tindakan
dorongan
termasuk
untuk
kekerasan
yang
melakukan
terhadap
kebebasan berpendapat (hate speech).
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan
tentang media, menjadi landasan bagi pembatasan
terhadap kebebasan berekspresi yang berusaha
memenuhi maksud dan tujuan kovenan-kovenan.
Sebagai
prinsip
yang
umum,
kovenan
perlu
diperjelas dalam struktur yang lebih konkrit.
Disinilah pentingnya softlaw untuk memberikan
232
gambaran
yang
lebih
mudah
dicerna
oleh
stakeholders.159
Tentang keamanan nasional atau national
security definisinya dapat dilihat sebagaimana
dinyatakan
pada
Siracusa
Principle
dalam
kutipan160:
29. National security may be invoked to justify
measures limiting certain rights only when they
are taken to protect the existence of the nation or
its territorial integrity or political independence
against force or threat of force.
30. National security cannot be invoked as a
reason for imposing limitations to prevent merely
local or relatively isolated threats to law and
order.
Adapun
Principle
yang
adalah
ditekankan
pembatasan
oleh
Siracusa
dengan
basis
‘national security’ dimana suatu negara memiliki
yurisdiksi untuk melakukan sesuatu tindakan
tertentu
(yang
kebebasan
sifatnya
berekspresi
membatasi)
yang
terhadap
mengancam
eksistensi negara, integritas atau kemerdekaan
politik. Hal itu dapat dianggap sebagai ancaman
159
Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the
International Covenant on Civil and Political Rights, lebih rinci mendefinisikan
hal-hal yang berkaitan dengan implementasi pada Article 19 Section 3 yakni
mengenai faktor-faktor penyebab kondisi darurat (emergency) seperti ancaman
terhadap tatanan masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health),
moral publik (public morals), keselamatan nasional (national security) dan
keselamatan publik (public safety).
160
Lihat Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the
International Covenant on Civil and Political Rights.
233
kekerasan
atau
tindakan
kriminal
terhadap
wilayah negara.
Tidak
jauh
Johannesburg
berbeda,
Principles
On
melalui
National
The
Security,
Freedom of Expression And Access to Information
menyatakan bahwa kebebasan berekspresi atau
berpendapat baru dapat dikenai pembatasan atau
dapat
dihukum
sejauh
merupakan
ancaman
terhadap keamanan nasional dan hanya ketika
negara dapat menunjukkan bahwa penyampaian
pendapat/ekspresi
tersebut
ditujukan
untuk
memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau
dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada
hubungan
langsung
penyampaian
dan
pendapat
dekat
dengan
antara
kemungkinan
terjadinya atau kejadian kekerasan.161 Namun
Johannesburg Principle juga menyatakan bahwa
tidak
seorang
pun
boleh
menjadi
subyek
pembatasan, pengurangan hak, dan sanksi, serta
dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya.
Isi media sebagai komoditas bisnis, perlu
untuk
diawasi
melalui
peraturan
perundang-
undangan media. Permasalahan yang layak untuk
dilihat adalah bagaimana peraturan perundang161
Lihat The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of
Expression And Access to Information, Principle 6, yang bunyi aslinya:
“…expression may be punished as a threat to national security unity only if a
government can demonstrate that: (a) the expression is intended to incite
imminent violence; (b) it is likely to incite such violence, and; (c) there is a direct
and immediate connection between the expression and the likehood or occurrence
of such violence.”
234
undangan
tersebut
mengakomodasi
substansi
dalam Article 19 Section 3 ICCPR, yakni dalam hal
membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi
khususnya
yang
berkaitan
dengan
keamanan
nasional. Titik tolak utama dalam melakukan
pembatasan
terhadap
kebebasan
berekspresi
adalah Pasal 28J UUD 1945, Pasal 70 dan Pasal
73 UU No. 39 Tahun 1999.Konstruksi di dalam
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan
media di Indonesia untuk membatasi secara sah
penting
adanya.
Terkait
dengan
keamanan
nasional, UU Pers sejatinya tidak mencantumkan
secara terperinci bagaimana keamanan nasional
dilindungi dari perwujudan kebebasan berekspresi
yang
berlebihan.
memperjelas
UU
Pers
bagaimana
sendiri
tidak
ketentuan-ketentuan
tentang isinya, memberikan batasan terhadap
keamanan nasional. Baik UU Pers, UU Perfilman,
UU Penyiaran dan UU ITE, tidak menggambarkan
dengan jelas bagaimana keamanan nasional yang
di dalam konvensi diletakkan sebagai hal yang
dapat membatasi kebebasan berekspresi. Akan
tetapi, bukan berarti keamanan nasional tidak
menjadi
bagian
yang
dilindungi
oleh
hukum
media.
UU ITE melakukan pembatasan terhadap
kepentingan
ini,
dengan
dasar
melanggar
kesusilaan yang merujuk pada ketentuan dalam
hukum pidana. Melalui UU ITE khususnya pada
235
Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 dipandang dapat
dimasukkan
dalam
klausul
pembatas
yang
digunakan sebagai dasar pembatas hak atas
kebebasan berekspresi, yaitu ketertiban umum
dan menghormati hak atau nama baik orang lain
serta
melindungi
keamanan
nasional
atau
ketertiban umum atau kesehatan atau moral
masyarakat.
Pendekatan hukum yang dilakukan yaitu
mengatur
nasional
teknologi
melalui
yang
instrumen
terkait
informasi162
hukum
dengan
positif
pemanfaatan
yang merupakan turunan
dari UU ITE, yakni PP No. 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronika
(PSTE) yang salah satunya adalah kebijakan dan
regulasi di bidang keamanan informasi. Peraturan
ini
menggarisbawahi
teknologi
beragam,
bahwa
mendukung
sehingga
akses
perlu
perkembangan
informasi
dibatasi
yang
tentang
informasi-informasi apa saja yang layak untuk
dikonsumsi atau disebarluaskan. Di samping itu,
peraturan
tersebut
dapat
digunakan
untuk
membatasi akses ilegal.
162
Lihat Siaran Pers Kominfo NO. 83/PIH/KOMINFO/11/2013 tanggal 16
November 2013, tentang Ancaman Cyber Attack dan Urgensi Keamanan
Informasi Nasional, yang mendorong pendekatan yang komprehensif, yakni
People, Process dan Technology. People meliputi kesadaran dan kepedulian
pengetahuan, keahlian dari sumber daya manusia. Process meliputi pembangunan
dan penerapan Sistem manajemen keamanan Informasi yang sesuai dengan
ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dan technology merupakan
tools untuk mewujudkan metodologi, strategi dan perencanaan terhadap sistem
keamanan informasi nasional.
236
Keamanan
nasional
menjadi
perhatian
tersendiri bagi pemerintah dengan mengajukan
pembentukan
nasional163,
undang-undang
yang
keamanan
dimaksudkan
agar
secara
spesifik mengatur hal-hal apa saja yang perlu
diatur untuk memberikan perlindungan terhadap
keamanan nasional.
Melalui ketentuan ini pula, dimungkinkan
adanya pembatasan (atau bahkan pengurangan)
berbagai hak asasi, dengan prasyarat tertentu.
Pemenuhan
hak
asasi
manusia,
harus
dikompromikan dengan hal-hal lain yang dapat
terganggu, misalnya gangguan keamanan yang
mungkin
terjadi.
Sebagaimana
dimaksud
gangguan dalam Article 19 yakni terhadap “public
order”,
gangguan
kesehatan
dan
keselamatan
publik/masyarakat, masalah bencana alam, dan
lain sebagainya. Pembatasan dengan prasyarat
ditujukan untuk mencapai masyarakat demokratis
dan demi terwujudnya kesejahteraan sosial (public
goods).
Di
sisi
lain,
kepentingan
umum
adalah
persoalan mengenai “the protection of national
security or of public order (ordre public), or of public
health or morals” (melindungi keamanan nasional
atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral
163
Sampai dengan saat ini masih dibahas mengenai penyusunan dan pembentukan
Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional di tingkat legislative. RUU ini
menjadi salah satu upaya pembentukan hukum yang mengatur hal-hal apa saja
yang dapat mengancam keamanan nasional di Indonesia.
237
umum) yang pada dasarnya cakupan maknanya
sangat luas dan ukurannya relatif. Tentang hal ini,
United Nations Committee menyatakan bahwa164:
The Committee observed in general comment No.
22, that “the concept of morals derives from many
social, philosophical and religious traditions;
consequently, limitations... for the purpose of
protecting morals must be based on principles not
deriving exclusively from a single tradition”. Any
such limitations must be understood in the light of
universality of human rights and the principle of
non-discrimination.
Terkait
dengan
yang
dimaksud
dengan
konsepsi moral, dalam pernyataan di atas, dapat
berasal dari tradisi-tradisi yang hidup, baik sosial,
filosofi
dan
religiusitas
yang
ada
di
dalam
masyarakat. Namun, yang harus diperhatikan
bahwa tidak boleh pembatasan itu didasarkan
pada satu kepentingan saja. Prinsip dasar hak
asasi manusia yang universal dan prinsip nondiskriminasi
Pembatasan
harus
terhadap
dijadikan
landasan.
kebebasan
berekspresi
adalah berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat yang sangat relatif. Aspek
mekanisme pembatasan menjadi penting untuk
dapat
mengukur
bahwa
suatu
perwujudan
kebebasan berekspresi melukai nilai-nilai.
164
UN Human Rights Committee, General Comments No. 34 (CCPR/C/GC/34):
Article 19 Freedom of Expression, issued 12 September 2011, point 32.
238
Mencantumkan kepentingan umum sebagai
pembatas
untuk
berekspresi
implementasi
menjadi
diperdebatkan.
Definisi
persoalan
terhadap
kebebasan
yang
dapat
kepentingan
umum menjadi sulit diperjelas, karena definisinya
sangat relatif dan bergantung pada lingkungan
masyarakat tempat hidupnya. Public order (ordre
public),
or
of
public
health
or
morals
atau
diterjemahkan sebagai ketertiban
umum
atau
kesehatan atau moral umum165 juga tidak dapat
diperjelas
definisinya.
Akan
tetapi,
Siracusa
Principle dan Johannesburg Principle memberikan
penjelasan tentang hal ini yang bilamana hendak
digambarkan secara rinci, maka dapat dilihat
dalam tabel berikut166:
Tabel 3.8. Public Order, Public Health dan Public Moral
public order
(ketertiban
umum)
public
health
(kesehatan
masyarakat)
Dalam konteks ini harus diterjemahkan sebagai
sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya
masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar
yang hidup di masyarakat, selain itu tujuan
suatu hak asasi tertentu, dimana negara
(otoritas) membentuk norma yang menjamin
berfungsinya masyarakat, dan negara dalam
melaksanakan wewenangnya diawasi oleh
badan yang kompeten
Merupakan hal-hal yang digunakan untuk
mengambil langkah-langkah penanganan atas
sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap
kesehatan
masyarakat
ataupun
anggota
165
Menurut UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR.
Disarikan dari pernyataan dari Siracusa Principles on the Limitation and
Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights
dan The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression
And Access to Information. Lihat pula Tim ELSAM, op. cit. Hal. 37-39.
166
239
public moral
(moral
publik)
masyarakat, atau ancaman terhadap kesehatan
populasi (atau anggota populasi).
Akan tetapi, langkah pembatasan ini harus
diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit
atau kecelakaan dalam rangka menyediakan
layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit
(dalam hal ini negara harus mengacu pada
atuean kesehatan internasional dari Worl
Health Organization).
Berkaitan dengan eksistensi negara yang harus
menunjukkan bahwa pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi diupayakan untuk
memlihara
nilai-nilai
mendasar
dalam
masyarakat. Alasan moral memang dapat
dipergunakan
untuk
negara
melakukan
diskresi, namun harus tetap tunduk pada
maksud
dan
tujuan
konvensi,
yakni
membuktikan
tujuan
untuk
menjaga
penghormatan pada nilai-nilai fundamental
dalam masyarakat.
Permasalahan yang dapat diajukan adalah
bagian mana tentang aturan isi media yang
mengimplementasikan batasan-batasan tersebut
di atas? Atau apa saja yang termasuk dalam public
order, public health dan public moral di dalam
pengaturan
isi
intepretatif
Siracusa
Principle,
dan
media
di
Indonesia?
Principle,
Camden
Secara
Johannesburg
Principle
memberikan
gambaran mengenai ketiga hal tersebut di atas.
UU Pers sendiri tidak secara pasti dan tegas
memuat batasan isinya yang berkaitan dengan
ketertiban umum. Pasal 5 dan Pasal 13 UU Pers
hanya
menyatakan
memberitakan
menghormati
240
peristiwa
adanya
dan
norma-norma
kewajiban
opini
agama
dengan
dan
rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah. Disamping itu, ada larangan untuk isi
yang merendahkan martabat agama, mengganggu
kehidupan beragama, minuman keras dan obatobat berbahaya serta rokok. Agaknya di dalam UU
Pers tidak memisahkan mana yang dapat disebut
sebagai public order, public health dan public moral.
Meskipun demikian, tersirat UU Pers hendak
mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut
dalam ketentuan yang umum.
Berbeda dengan UU Penyiaran di Pasal 36
mewajibkan bagi isi siaran mengandung informasi,
pendidikan,
hiburan,
pembentukan
dan
manfaat
untuk
watak,
moral,
intelektualitas,
kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan
dan
kesatuan,
agama
dan
serta
mengamalkan
budaya
Indonesia.
nilai-nilai
Sementara
larangannya adalah isi yang fitnah, menghasut,
menyesatkan dan/atau bohong; serta menonjolkan
unsur
kekerasan,
cabul,
perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan
antar golongan. Terhadap pelanggaran ketentuan
ini, subyek pelanggar dapat dikenakan sanksi
administratif.167 Letak implementasi public order
167
Sanksi administratif berupa : (a) teguran tertulis; (b) penghentian sementara
mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu; (c) pembatasan durasi
dan waktu siaran; (d) denda administratif; (e) pembekuan kegiatan siaran untuk
waktu tertentu; (f) tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; dan
(g) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Lihat Pasal 55 UU Penyiaran.
241
dapat dilihat dari substansi yang mengupayakan
persatuan dan kesatuan (baik dalam hal SARA
maupun amalan terhadap nilai kebudayaan) serta
mendorong penguatan karakter masyarakat.
Melalui
pasal
ini
pula,
public
health
diperjuangkan dengan melarang adanya isi siaran
yang memuat penyalahgunaan narkotika dan obat
terlarang. Sementara di undang-undang ini juga
menetapkan
nilai-nilai
agama,
perlindungan
terhadap khalayak tertentu (khususnya anak-anak
dan remaja), dan budaya Indonesia, tidak boleh
diganggu gugat, yang dapat menjadi pembatasan
oleh karena perlindungan terhadap public moral.
Unsur moralitas yang ditekankan tidak melulu
pada aspek kekerasan dan pornografi, namun juga
pada pembentukan intelektualitas, watak, moral,
kemajuan dan kekuatan bangsa.
Sejalan dengan itu, UU ITE memberikan
metode
berbeda
dengan
memuat
larangan-
larangan, yang secara intepretatif menekan ruang
kebebasan agar tunduk pada public order, public
health dan public moral. Pasal 27 UU ITE oleh
pembuat undang-undang, dijadikan patokan dasar
perwujudan kebebasan berekspresi dalam muatan
isinya. Public order tidak dapat dinyatakan secara
tegas, karena hal yang dilarang adalah kesusilaan,
perjudian,
pengancaman.
242
defamation,
dan
pemerasan/
UU
ITE
cenderung
menggunakan
bahasa
teknis secara tersirat untuk memastikan bahwa
public order diberikan perlindungan hukum, yakni
dengan
melarang
mengakses
tindakan-tindakan
komputer
milik
orang
seperti
lain
atau
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
tanpa ijin, merusak sistem keamanan, melakukan
intersepsi untuk
tujuan yang tidak diijinkan,
melakukan tindakan yang merugikan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik milik
publik,
sampai
dan/atau
merusak
dokumen
informasi
elektronik
elektronik
yang
bersifat
rahasia sehingga menjadi tidak utuh.168
UU Perfilman menekankan poin penting dari
kegiatan perfilman yang dilaksanakan dengan
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika,
moral, kesusilaan, dan budaya bangsa (Pasal 5 UU
Perfilman). Tujuan ini dapat dikaitkan dengan
makna public order, public health dan public moral
yang diamanatkan oleh konvensi. Arah kegiatan
perfilman ini menjadi asas utama yang membatasi
ruang gerak isi film. Salah satu yang paling
terlihat untuk melindungi public order adalah isi
film di Pasal 6 huruf e UU Perfilman, tidak
diperkenankan
mendorong
khalayak
umum
melakukan tindakan melawan hukum.
168
Lihat Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UU ITE.
243
Keempat
undang-undang
secara
prinsip
memandang public order, public health dan public
moral dengan caranya sendiri-sendiri. Tentang
public
health
bila
diinterpretasikan
sebagai
perlindungan terhadap ancaman yang bersifat
serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun
anggota
masyarakat,
maka
UU
Pers,
UU
Penyiaran, dan UU Perfilman hanya menyinggung
hal yang berkaitan dengan larangan isi yang
memuat tentang penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang. Muatan ini menjadi satu-satunya
pembatasan terhadap isi media demi melindungi
public health.
Sedangkan yang
morals,
berkaitan
masing-masing
dengan
public
undang-undang
selalu
mencantumkan penegasan bahwa isi dilarang
memuat hal-hal yang merendahkan harkat dan
martabat
manusia,
melecehkan/mengabaikan
nilai-nilai agama, mencederai rasa kesusilaan,
serta
bertentangan
dengan
masyarakat
Indonesia.
kebebasan
berekspresi,
melanggar
public
moral
sosial
Determinasi
budaya
hak
atas
tidak
diperkenankan
sebab
masyarakatlah
sebagai subyek yang mengerti dan memahami
lingkungan hidupnya. Sehingga bilamana dirasa
sesuatu hal (isi media) dirasa masyarakat tidak
sesuai dengan lingkungannya, maka hak mereka
untuk menolak. Demikian artinya bahwa isi media
menjadi komoditas yang dipertaruhkan oleh para
244
anggota
masyarakat
karena
akan
mendorong
pembentukan opini dan perubahan sosial. Inilah
fungsi
dari
merupakan
informasi
salah
satu
yang
bebas
unsur
itu,
utama
yang
dalam
kehidupan yang demokratis. Selain keterbukaan
terhadap eksistensi hak, di sisi lain isi media
memberikan
akses
kepada
masyarakat
untuk
menikmati
perkembangan
teknologi
dan
pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama.
Dengan
pemenuhan
uraian-uraian
prinsip
tersebut,
kebebasan
maka
berekspresi
di
dalam peraturan tentang isi media, dapat dilihat
dalam simpulan sederhana melalui tabel berikut:
245
Tabel 3.9. Pemenuhan Prinsip Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media
Prinsip Konvensi
UUD 1945
UU Pers
UU Penyiaran
UU ITE
UU Perfilman
Pengakuan:
Kebebasan sebagai
hak
Dinyatakan:
Kebebasan
mengeluarkan
pikiran dengan lisan
dan tulisan
mencari,
memperoleh,
memiliki,
menyimpan,
mengolah, dan
menyampaikan
informasi, melalui
berbagai saluran
yang tersedia
pembatasan
ditetapkan undangundang: pengakuan
serta penghormatan
atas hak dan
kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil
sesuai dengan
pertimbangan moral,
nilai-nilai agama,
keamanan, dan
ketertiban umum
dalam suatu
masyarakat
demokratis
Dinyatakan:
kemerdekaan pers
Dinyatakan: dalam
konsideran
‘menimbang’
Tidak diatur
Berita (peristiwa dan
opini) yang hormat
pada norma agama,
norma susila, asas
praduga tak bersalah
(akurat, benar)
Siaran: rangkaian
pesan (suara,
gambar, suara &
gambar, grafis,
karakter interaktif
atau tidak) yang
dapat diterima oleh
perangkat penyiaran.
Informasi dan
dokumen elektronik
yang dimuat di media
internet
Tidak tegas diatur,
hanya dinyatakan
sebagai kebebasan
berkreasi, berinovasi
dan berkarya
Film: pranata sosial
dan media
komunikasi massa
berdasar kaidah
sinematografi dengan
atau tanpa suara
yang dapat
dipertunjukkan
Tidak dikenakan
penyensoran,
pembredelan,
pelarangan
penyiaran.
Isi iklan dilarang:
merendahkan
martabat agama,
mengganggu
kerukunan antar
umat, bertentangan
norma susila,
minuman keras,
narkotika,
psikotropika, zat
aditif lainnya, rokok
Dilarang memuat:
fitnah, hasutan,
sesat/bohong,
kekerasan, cabul,
perjudian, narkotika,
obat terlarang,
pertentangan SARA &
golongan,
memperolokkan,
merendahkan,
melecehkan,
mengabaikan nilai
agama, martabat
manusia Indonesia,
merusak hubungan
internasional
Dilarang memuat:
melanggar
kesusilaan,
perjudian,
penghinaan/
pencemaran nama
baik, pemerasan/
pengancaman, berita
bohong, rasa
kebencian individu/
kelompok/SARA,
ancaman kekerasan
terhadap pribadi
Cakupan:
“freedom to seek,
receive and impart
information and ideas
of all kinds,” dan
“orally, writing or
print, the form of art,
or through any other
media of his choice
Pembatasan:
prescribed by law,
respect to reputations
of others, national
security, public order
(ordre public), or of
public health or
morals,
propaganda for war
shall be prohibited by
law;
racial or religious
hatred that
constitutes incitement
to discrimination,
hostility or violence
Dilarang memuat:
kekerasan, perjudian,
narkotika,
psikotropika, zat
adiktif, pornografi,
provokasi (SARA,
antarkelompok, dsb),
serangan pada
agama, tindakan
melawan hukum,
merendahkan harkat
& martabat
246
C. Harmonisasi Pengaturan Isi Media
Instrumen-instrumen
menjadi
sumber
hukum
untuk
mengatur
internasional
isi
media.
Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi,
memiliki kewajiban untuk menyesuaikan sistem
hukumnya dengan substansi konvensi. Uniformitas
hukum mendorong untuk dapat mempersatukan
berbagai
kepentingan,
baik
kepentingan
internasional, regional, dan antar sektor kehidupan
nasional.
Perspektif
tersebut
dapat
diimplementasikan
dalam dua mekanisme perumusan, harmonisasi
kebijakan
formulasi
dan
harmonisasi
materi.
Indonesia menjadi negara pihak dalam konvensi, oleh
karena melalui ratifikasi terhadap UDHR diratifikasi
melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi dan ICCPR diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant On Civil And Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan
Politik), setidaknya ada dua konvensi yang dapat
dijadikan acuan.168
168
Disamping itu, Indonesia telah meratifikasi instrumen hak asasi manusia
lainnya, yakni International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
melalui UU No. 11 Tahun 2005; International Convention on the Elimination of
All Forms of Racial Discrimination (1965) melalui UU No. 29 Tahun 1999;
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(1979) melalui UU No. 7 Tahun 1984; Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984) melalui UU No. 5
247
Menurut James W. Nickel negara memiliki
kewajiban
untuk
memenuhi
(to
fulfil),
yakni
mengharuskan negara untuk mengambil tindakantindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum,
dan semua tindakan lain yang memadai guna
memenuhi
sepenuhnya
manusia.169
menimbulkan
atas
Pelaksanaan
hak-hak
kewajiban
persinggungan
antara
asasi
tersebut
hukum
internasional dengan hukum nasional suatu negara.
Implementasi hukum internasional melalui hukum
nasional menjadi conditio sina quanon berlakunya
hukum internasional pada yurisdiksi nasional suatu
negara
secara
efektif.
Persetujuan
negara
yang
menyatakan untuk mengikatkan diri (consent to be
bound) merupakan langkah pertama dalam proses
transformasi, yakni untuk memberlakukan normanorma hukum hak asasi manusia internasional, ke
dalam hukum positif di suatu negara. Peristiwa
persinggungan awal ini menjadi prasyarat untuk
memberlakukan prinsip-prinsip instrumen hukum
internasional ke dalam hukum nasional.
Terkait
dengan
transformasi
hukum
internasional ke dalam hukum nasional, J.G. Starke
menyatakan bahwa hal tersebut bergantung pada
dua hal pokok, yakni: (a) sifat dan ketentuanketentuan
perjanjian
internasional
yang
Tahun 1998; dan Convention on the Rights of the Child (1989) melalui Keppres
No. 36 Tahun 1990.
169
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Teoritis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 1996.
248
bersangkutan, yakni terdapat beberapa perjanjian
internasional
tertentu
merupakan
perjanjian
internasional yang self-operating atau self-executing
dan tidak mensyaratkan implementasi legislatif; dan,
(b) praktik konstitusional atau administrasi pada
setiap negara itu sendiri dan implementasi pada level
lokal di suatu negara. Terdapat juga perjanjian
internasional
struktural
yang
dari
memerlukan
kaidah
yang
transformasi
ditetapkan
dalam
perjanjian internasional tersebut.170 Hal-hal inilah
yang menjadi kewajiban utama bagi negara pihak.
Baik secara forma maupun secara substansial,
prinsip-prinsip dalam konvensi harus menyentuh
sampai pada sistem hukum yang dibangun olehnya.
Oleh karena itu, di dalam konteks melihat
substansi
konvensi,
sebagai
prinsip
kebebasan
berekspresi di Indonesia, khususnya yang terdapat
pada peraturan perundang-undangan tentang media,
maka harmonisasi mutlak diperlukan. Harmonisasi
vertikal dan harmonisasi horizontal menjadi upaya
untuk
muatan
mengetahui
peraturan
tentang
bagaimana
materi
perundang-undangan
dengan
konvensi/ perjanjian internasional. Adapun prinsip
dalam konvensi harus tetap menjadi titik tolak untuk
melihat bagaimana peraturan perundang-undangan
mengadopsi
kebebasan
berekspresi
secara
komprehensif. Ratifikasi atas konvensi/perjanjian
170
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika; Jakarta, 2001.
Hal.
249
internasional menjadi penyebab bahwa peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan muatan
konvensi/perjanjian
internasional
yang
telah
diakui/diratifikasi. Di sisi lain harmonisasi vertikal
juga berkaitan dengan konsepsi materi muatan
peraturan
Undang
perundang-undangan
Dasar.
Peraturan
dengan
Undang-
perundang-undangan
tersebut harus diselaraskan dengan UUD,
berkaitan
dengan
pasal-pasal
tertentu,
baik
maupun
dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara
demokrasi. Di sinilah kebebasan berekspresi menjadi
isu yang wajib dilihat, bahwa peraturan perundangundangan secara vertikal tunduk pada konstitusi
dan memperjelas hak atas kebebasan berekspresi.
Harmonisasi horizontal diperlukan juga untuk
mengetahui
bagaimana
substansi
kebebasan
berekspresi dimaknai sama antara satu undangundang
dengan
undang-undang
yang
lain.
Kedudukannya yang sederajat, dapat mendorong
pembentukan peraturan perundang-undangan yang
memiliki pemahaman yang sama tentang satu isu,
yakni kebebasan bereskpresi. Karakter kebebasan
berekspresi menjadi prinsip yang dapat diketahui
melalui undang-undang yang mengatur mengenai
media. Isi media yang diatur di dalam masing-masing
undang-undang,
mendeskripsikan
bagaimana
kebebasan berekspresi mampu dilindungi sekaligus
diberikan batasan yang tepat, sebagaimana hak asasi
dilindungi oleh konvensi maupun konstitusi.
250
Demikian dapat dilihat bahwa ada dua cara
pandang
untuk
melihat
harmonisasi
kebebasan
bereskpresi dalam peraturan perundang-undangan,
yakni harmonisasi undang-undang dengan muatan
kebebasan
berekspresi
dalam
konvensi
dan
konstitusi, serta harmonisasi isi media. Keduanya
bertitik
tolak
pada
upaya
harmonisasi
vertikal
dengan harmonisasi horizontal, untuk mendapatkan
kesesuaian tentang prinsip kebebasan berekspresi
dalam
peraturan
perundang-undangan
tentang
media.
1. Harmonisasi
Materi
Muatan
Peraturan
Perundang-undangan dengan Konvensi dan
Konstitusi
Indonesia
telah
ICCPR,
sehingga
untuk
menyerap
meratifikasi
harus
dan
UDHR
memenuhi
dan
kewajiban
melaksanakan
prinsip-
prinsip konvensi. Freedom of the expression dan
prinsip-prinsipnya harus pula menjadi perhatian
dalam
konteks
harmonisasi.
Kebebasan
berekspresi di dalam konvensi dapat dilihat dari
dua perspektif yakni: hak untuk mengakses,
menerima dan menyebarkan informasi, dan hak
untuk
mengekspresikan
diri
melalui
media
apapun.171 Jadi di dalam konvensi setidaknya ada
empat hal utama: pengakuan terhadap hak atas
171
Lihat Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR.
251
kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia,
kebebasan
memperoleh
informasi
dan/atau
menyebarkan informasi, dan mengaktualisasikan
diri (berekspresi) melalui media apapun, serta
pembatasan
terhadap
implementasi
hak
atas
kebebasan berekspresi.
Bahwa kemudian terdapat kewajiban negara
pihak
(yang
menandatangani
dan/atau
meratifikasi konvensi) harus memberikan jaminan
terhadap hak atas kebebasan berekspresi, maka
perlu dicermati bagaimana peraturan perundangundangan
memuat
prinsip-prinsip.
Undang-
undang harus menjamin hak seseorang untuk
memuat apa saja, melalui media apapun. Hal ini
dipahami dengan hak untuk berekspresi apapun
bentuknya (visual, audio, dan lain sebagainya),
melalui media apapun. Media dalam konteks ini
adalah media pers (baik cetak maupun elektronik),
media siar, internet dan film.
Disamping
memberikan
kebebasan
itu,
undang-undang
batasan
berekspresi,
atas
harus
implementasi
terkait
dengan
hak
ruang
lingkup hak tersebut. Pembatasan ini penting
dengan
maksud
memberikan
margin
of
appreciation to human rights atau tanggung jawab
khusus
untuk
menghormati,
melindungi,
dan
memenuhi hak asasi manusia. Oleh karena itu,
konvensi mendorong dua kepentingan: formil dan
materiil untuk memberikan landasan terhadap
252
implementasi perlindungan sekaligus pembatasan
hak. Harmonisasi yang menekankan pada proses
untuk
menuju
harmoni,
dimaksudkan
untuk
menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara
proporsional agar membentuk suatu sistem. Di
bidang
hukum
undangan,
atau
peraturan
harmonisasi
perundang-
dimaksudkan
agar
peraturan perundang-undangan menjadi bagian
integral dari hukum suatu negara, peraturan
perundang-undangan dapat saling terkait satu
dengan
yang
lainnya
secara
utuh.
Secara
substansial pula, muatan masing-masing undangundang, harus memiliki kandungan makna yang
sama bilamana mengatur sesuatu tertentu. Oleh
karena itu, Indonesia yang telah meratifikasi
konvensi,
juga
memiliki
kewajiban
untuk
mengatur hak asasi dalam kerangka makna yang
sama, baik berbentuk konstitusi, undang-undang
dan peraturan perundang-undangan yang lain
yang mengatur hak.
Tugas
dari
pemerintah
negara
pihak,
termasuk Indonesia, melaksanakan hal-hal utama,
yakni
memberikan
sebagaimana
pengakuan
konvensi
mengakui
yang
hak
sama
atas
kebebasan berekspresi. Negara pihak juga harus
memberikan jaminan kebebasan berekspresi warga
negaranya, sekaligus juga mengatur ruang lingkup
kebebasan berekspresi. Semua hal tersebut harus
taat
prinsip
konvensi,
sehingga
kunci
dari
253
harmonisasi
bereskpresi
dari
di
pengaturan
dalam
kebebasan
peraturan
perundang-
undangan nasional adalah kesepahaman makna
prinsip-prinsip konvensi dalam implementasinya di
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka di
dalam konvensi dapat diketahui ada tiga pokok
substansi utama yang seharusnya dipenuhi oleh
negara pihak. Pertama, substansi yang berkaitan
dengan
pengakuan
terhadap
kebebasan
berekspresi sebagai hak asasi. Kedua, ruang
lingkup
atau
jangkauan
implementasi
atau
perwujudan hak kebebasan berekspresi secara
yuridis. Ketiga, mekanisme yuridis yang berkaitan
dengan
pembatasan-pembatasan
atas
hak
kebebasan berekspresi. Ketiganya ini bertolak dari
kewajiban
umum
negara
pihak
untuk
melaksanakan hal-hal yang ditetapkan konvensi.
Di dalam kerangka harmonisasi, substansi
konvensi
yang
kebebasan
berkaitan
berekspresi,
dengan
menjadi
perwujudan
sumber
yang
untuk melihat apakah keberadaan isi media yang
diatur
sesuai.
Pada
aras
bagaimana
peraturan
memberikan
pengakuan
pertama
adalah
perundang-undangan
terhadap
hak
atas
kebebasan berekspresi. Norma dasarnya, yakni
UUD 1945 pada Pasal 28F telah menyatakan
dengan
tegas
bahwa
ada
jaminan
sekaligus
pengakuan bahwa kebebasan berekspresi adalah
254
hak asasi yang harus dilindungi. Pasal ini menjadi
rujukan
utama
untuk
mengimplementasikan
wujud kebebasan berekspresi. Dengan dimuat di
dalam
konstitusi,
maka
ada
letak
dasar
pembentukan sistem hukum terhadap kebebasan
berekspresi.
Pemenuhan
kewajiban
terhadap
konvensi, juga terwujud dengan adanya Pasal 28F
UUD 1945, dalam dua hal: kewajiban umum
sebagai negara pihak dan kewajiban substansial
untuk memuat materi prinsip konvensi.
Dengan
demikian,
prinsip
kebebasan
berekspresi menjadi kunci yang substansial pada
upaya harmonisasi hukum media, khususnya
pada konteks isi media. Baik di dalam norma
dasar maupun pada tingkatan undang-undang
yang
dibentuk
Harmonisasi
berdasarkan
adalah
kata
kunci
konstitusi.
mengetahui
maksud dari undang-undang yang dibentuk oleh
karena perintah dari konstitusi. Maka, peraturan
perundang-undangan tentang media, yakni pers,
penyiaran,
internet
dan
perfilman,
harus
merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengimplementasikan
substansi
konstitusi.
Harmonisasi dengan konstitusi adalah penting,
yakni
peraturan
perundang-undangan
menjadi
bagian integral dari sistem hukum. UUD 1945
merupakan hukum dasar peraturan perundangundangan. UUD 1945 yang memuat hukum dasar
negara adalah sumber hukum bagi pembentukan
255
peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
dasar.
Artinya
konstitusi
menjadi
landasan normatif yang paling fundamental bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan merupakan
bagian yang integral dari suatu sistem hukum,
dimana
harus
memenuhi
ciri-ciri
yang
sama
antara undang-undang yang satu dengan undangundang yang lain. Selain itu, harus terdapat saling
keterkaitan
menjadi
dan
saling
kebulatan
berekspresi
ketergantungan
utuh.
kemudian
Muatan
menjadi
yang
kebebasan
pertimbangan,
apakah secara vertikal, maupun secara horizontal,
harmonisasi dapat ditemui dalam pembentukan
sistem hukum media. Melalui keempat undangundang yang merujuk pada Pasal 28 UUD 1945
Amandemen, layak dilihat bagaimana kebebasan
berekspresi
diterjemahkan
sebagai
hak
asasi
dengan karakter yang serupa.
Bertolak dari hal tersebut, UUD 1945 telah
memasukkan muatan konvensi, yakni tentang
konsep pengakuan terhadap freedom of expression
di
dalam
Pasal
28
yang
menjamin
bahwa
seseorang dapat mengeluarkan pikiran dengan
lisan
dan
dengan
substansi
tulisan
dan
undang-undang.
Pasal
28F
sebagainya
ditetapkan
Ditambah
yang
lebih
dengan
spesifik
menunjukkan ada ruang bebas untuk berekspresi,
sebagaimana diakui konvensi, yakni bahwa setiap
256
orang
berhak
memperoleh
untuk
informasi
berkomunikasi
untuk
dan
mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk
mencari,
menyimpan,
informasi
memperoleh,
mengolah,
dengan
dan
memiliki,
menyampaikan
menggunakan
segala
jenis
saluran yang tersedia. Karena menjadi norma
dasar, maka munculnya UU Pers, UU Penyiaran,
UU
ITE
dan
UU
Perfilman
adalah
karena
keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 ini.
Baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU
Perfilman, secara lugas maupun tidak, menjadikan
kebebasan berekspresi sebagai substansi yang
tidak dapat diterjemahkan dalam satu tolakan.
Masing-masing
undang-undang
mewujudkan
kebebasan berekspresi di ketentuannya masingmasing tentang isi media. Meskipun demikian, ada
maksud untuk memberikan pemahaman yang
setara dalam hal mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan,
mengolah
dan
menyampaikan
informasi dengan bertanggung jawab. Undangundang
menciptakan
perlindungan
sekaligus
memberikan batasan yang dimungkinkan bagi
perwujudan kebebasan berekspresi tersebut.
257
2. Harmonisasi Isi Media
Terlepas
dari
kedudukan
konstitusi,
keberadaan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi
di dalam konvensi tetap memberikan sumbangsih
inspirasi terhadap pembentukan undang-undang.
Pasal 28 dan Pasal 28F memang mendasari
perlindungan
terhadap
kebebasan
berekspresi,
namun diperlukan undang-undang yang mengatur
lebih rinci. Kebebasan berekspresi menjadi isu
yang paling utama, terkait dengan pengaturan
terhadap
isi.
Muatan
tentang
kebebasan
berekspresi sudah selayaknya dimaknai dengan
derajat yang sama bilamana diatur dalam undangundang teknis. Jadi isi media menjadi kunci
bagaimana
kebebasan
berekspresi
dapat
diwujudkan melalui pers, penyiaran, internet dan
film.
Perwujudan
tersebut
dilindungi
undang-
undang dan harus dapat selaras antara undangundang yang satu dengan undang-undang yang
lain.
Isi media yang diatur, berkaitan dengan cara
pandang terhadap kebebasan berekspresi, yakni
tentang hak untuk mengekspresikan diri melalui
media
apapun.
Artinya
dalam
kerangka
harmonisasi hukum, yang melihat pada tiga aspek
yakni legal substance, legal structure, dan legal
culture, maka ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang kebebasan berekspresi harus
diuji.
258
Terbitnya
tentang
media,
peraturan
yang
perundang-undangan
diarahkan
pada
tujuan
perlindungan terhadap akses dan sarana informasi
yang digunakan oleh masyarakat, menimbulkan
persoalan tersendiri. Pers, penyiaran, internet dan
film adalah hal-hal yang paling mudah diakses dan
menjadi sumber informasi bagi masyarakat di
berbagai kalangan. Isi masing-masing media ini
menjadi penentu, apakah isi tersebut menyiratkan
kebutuhan atau hanya menjadi sensasi. Produksi
isi,
menimbulkan
dua
kepentingan,
yakni
kepentingan berekspresi dan kepentingan tujuan
(atau manfaat) yang akan diperoleh. Pada sisi ini,
undang-undang
menyediakan
perlindungan.
Bagaimana undang-undang melindungi isi tanpa
melukai
hak
subyek
lain,
ini
yang
harus
diselaraskan. Mengingat bahwa pers, penyiaran,
internet dan film pada satu titik akan bertemu,
memiliki kepentingan masing-masing pada aspek
bisnis
dan
non-bisnis,
serta
sekaligus
menyinggung prioritas subyek.
Mengatur tentang isi media, melalui berbagai
undang-undang yang teknis, menyebabkan ada
keharusan
untuk
menyelaraskan
kepentingan
yang sama, yakni tentang kebebasan berekspresi.
Pelibatan substansi konvensi dalam harmonisasi
vertikal dan horizontal tidak dapat dipisahkan dari
upaya
harmonisasi
konvensi.
Baik
terhadap
aturan
tentang
prinsip
isi
dalam
pers,
isi
259
penyiaran, isi internet (dokumen dan transaksi
elektronik), dan isi film, mengindikasikan ada
tidaknya keselarasan, keserasian tentang hal sama
yang
diatur:
berbagai
kebebasan
bentuknya.
bereskpresi
Kebebasan
dalam
berekspresi
kemudian menjadi bagian yang integral dari sistem
hukum.
Membandingkan perlakuan keempat undangundang tentang media, kebebasan berekspresi
dapat dilihat dari makna “…an information and
ideas of any kinds…” yang seharusnya muncul
dalam
ketentuan
tentang
isi.
Masing-masing
undang-undang mengatur dengan cara yang khas.
Semenjak
diakuinya
kebebasan
berekspresi
sebagai hak asasi di dalam UUD 1945, yang
kemudian diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, maka kebebasan
berekspresi menjadi hak konstitusional yang harus
dilindungi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers dapat dianggap sebagai undangundang pertama pada era reformasi yang secara
tegas meletakkan dasar kebebasan terhadap media
(khususnya media pers). Undang-undang ini pula
yang memuat tentang kemerdekaan pers sebagai
bentuk
perlindungan
terhadap
freedom
of
expression secara otentik.
UU Pers menegaskan bahwa kemerdekaan
pers adalah utama adanya. Penegasan tersebut
juga bermaksud agar terhadap pers nasional tidak
260
dikenakan
penyensoran,
pelarangan
penyiaran.
pembredelan
Untuk
atau
menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari,
memperoleh,
dan
menyebarluaskan
gagasan dan informasi.
Pada perkembangannya, UU Pers dengan
prinsip
kemerdekaan
pers
yang
dimilikinya,
kemudian memberikan inspirasi bagi terbentuknya
peraturan
perundang-undangan
yang
lain
di
bidang media. Aspek kebebasan sebagai hak
menjadi landasan fundamental bagi perwujudan
kebebasan berekspresi. UU Pers telah memulai
dengan membebaskan muatan materi pers secara
bertanggung jawab. Setelah UU Pers, terbitlah UU
Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman yang dalam
kerangka
harmonisasi
hukum
media,
pada
prinsipnya mengatur substansi yang sama. Jadi,
UU
Pers
sudah
mengatur
demikian
adanya,
sehingga undang-undang yang lain juga berada
pada konsep kebebasan berekspresi yang sama.
Keserasian dan keselarasan substansi tentang
isi media, sudah selayaknya memiliki karakter
yang sama antara undang-undang yang satu
dengan undang-undang yang lain. UU Pers, UU
Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman sebenarnya
berada
pada
satu
mengimplementasikan
frame,
yakni
kebebasan
dalam
berekspresi
dengan situasi tanggung jawabnya. Terdapat dua
hal
yang
harus
dicermati,
bahwa
peraturan
261
perundang-undangan secara horizontal memiliki
karakter mirip, sekaligus juga memuat prinsip
konvensi
di
koridor
yang
sepaham.
Hal
ini
diajukan sebagai cara untuk melihat apakah
terdapat tumpah tindih aturan undang-undang
saat memuat prinsip kebebasan berekspresi.
Kerangka
harmonisasi
penyusunan
cakupannya
structure
sistem
ada
menekankan
hukum
pada
pada
nasional,
legal
maka
substance,
legal
dan legal culture. Aturan tentang isi
media yang sudah dibentuk harus mencerminkan
ketiga
hal
ini.
Disandingkan
dengan
prinsip
kebebasan berekspresi, maka isi media yang diatur
harus dapat memuat substansi, struktur dan
budaya. Sekalipun, UU Pers, UU Penyiaran, UU
ITE dan UU Perfilman merupakan undang-undang
dengan spesifikasi khusus, keempatnya sudah
seharusnya berada pada karakter yang sama.
Tentang legal substance, konvensi dan UUD
1945
telah
mengakui
adanya
kebebasan
berekspresi, ruang lingkup dan pembatasannya.
Isi media yang diatur di UU Pers, UU Penyiaran,
UU
ITE
memiliki
dan
UU
karakter
Perfilman
yang
pada
sama.
prinsipnya
Masing-masing
mengatur mengenai tiga hal utama tentang isi,
yakni:
bentuk
isi
media
(pers
cetak
atau
elektronik, siaran, internet dan film), mekanisme
perlindungannya, serta batasan-batasan isi. Pada
bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa bermula
262
dari pengakuan atas kemerdekaan pers di UU Pers
yang dijamin secara bebas, memberikan inspirasi
kepada media lain untuk mewujudkan kebebasan
berekspresi. Media mampu menjadi sarana yang
efektif untuk menyebarluaskan informasi, dengan
standar konvensi. Penekanan utama pada keempat
undang-undang
dianggap
ada
pada
penting,
public
sehingga
order
perlu
yang
diberikan
perhatian. Public order juga menyiratkan satu
kondisi yang mempertemukan kepentingan pers,
penyiaran, internet dan film pada satu titik
persinggungan.
Terdapat tiga substansi pada kepentingan
umum atau public order yang menjadi titik temu
persinggungan dan/atau persamaan.172 Hal itu
adalah kerukunan hidup antarumat beragama,
kesusilaan, serta perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia. Persinggungan terjadi
bilamana
substansi
isi
sebagai
informasi
disebarluaskan melalui media pers, penyiaran,
internet
dan
film
pada
waktu
yang
hampir
bersamaan. Informasi tersebut dapat menjadi isu
yang menggugah kepentingan umum. Bahkan UU
Penyiaran memperluas makna kepentingan umum
yang
bisa
menyangkut
muatan
yang
dapat
mengganggu hubungan internasional.
172
Dapat dilihat pada Pasal 13 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) dan (5) UU Penyiaran,
Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 6 UU Perfilman. Masing-masing mengatur bahwa ada
keadaan yang dilindungi terkait kepentingan yang lebih luas, seperti SARA,
kesusilaan dan kemanusiaan.
263
Harmonisasi tentang isi media menciptakan
warna tersendiri ketika pers diberikan larangan
terhadap iklan yang memperlihatkan penggunaan
minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat
aditif lainnya. Serentak, UU Penyiaran, UU ITE dan
UU Perfilman mengatur pula agar masyarakat
terlindungi dari ancaman terhadap public health
tersebut. Substansi isi media ini memperlihatkan
ada pemahaman yang serupa antar undangundang tentang keberadaan ancaman terhadap
public health, kemudian memuatnya secara lugas
di dalam undang-undang.
Pada kenyataannya, isu-isu substansial yang
berkaitan dengan isi media, berada pada irisan
pertemuan antar undang-undang. Misalnya, isu
tertentu menjadi isi pers yang kemudian disiarkan
secara luas melalui media penyiaran dan media
internet. Maka perdebatan yang muncul adalah
undang-undang yang mana yang akan menjadi lex
specialis-nya. Hal ini sangat bergantung pada letak
isu yang menjadi sentral dari semua permasalahan
media
yang
muncul
dan
pertimbangan
para
pelaku. Ancaman terhadap kebebasan berekspresi,
dapat mengenakan kebebasan pers, kebebasan
penyiaran
dan
kebebasan
internet
sebagai
sendiri,
masing-
wujudnya.
Tentang
masing
structure
undang-undang,
membentuk
264
legal
wadah
terkecuali
organisasi
UU
khusus
ITE,
(atau
aparat)
yang
memiliki
mengendalikan.
Dengan
wewenang
membentuk
untuk
lembaga-
lembaga khusus tersebut, peraturan perundangundangan tentang media berada pada konsepsi
yang
serupa,
yakni
bahwa
wujud
kebebasan
berekspresi harus diawasi dan dikendalikan secara
proporsional. Lembaga tersebut juga berwenang
untuk
memberikan
perlindungan
terhadap
eksistensi hak lain yang cenderung dilukai oleh
implementasi hak kebebasan berekspresi oleh
subyek. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia,
dan
Lembaga
Sensor
Film,
landasan
undang-undang,
tersebut
melibatkan
dibentuk
dimana
dengan
organisasi
subyek-subyek
yang
profesional di bidangnya. Aspek profesionalitas
dipentingkan, oleh karena isi media perlu dinilai,
apakah layak untuk dapat dikonsumsi khalayak.
Kelayakan
tersebut
dan/atau
standar
diberikan
label
ijin
diukur
dengan
tertentu,
siar
pedoman
sehingga
atau
lolos
dapat
sensor.
Lembaga-lembaga memberikan penilaian terhadap
isi pers, isi penyiaran dan isi film. Bilamana
struktur hukum merupakan upaya membentuk
aparat
yang
berfungsi
sebagai
pengatur
dan
pengendali, maka Dewan Pers, KPI dan LSF adalah
wujud
organisasi
organik
yang
mendorong
keseimbangan antara pelaksanaan hak dengan
dan pencegahannya agar tidak berlebihan.
265
Meskipun UU ITE tidak membentuk lembaga
tertentu
untuk
menjadi
pengendali,
negara
bertindak langsung maupun tidak langsung untuk
memberikan perlindungan terhadap kebebasan
berekspresi
melarang
melalui
media
konten-konten
internet,
tertentu
dengan
yang
dapat
mengancam eksistensi hak lain. Negara di media
internet
bermutasi
menjadi
watch
dog
yang
berbeda fungsi dengan Dewan Pers, KPI dan LSF,
dimana negara bertindak langsung dan tidak
langsung melalui hukum pidana. Dalam konteks
harmonisasi, sebenarnya menjadi tidak selaras,
bahwa internet yang merupakan sarana dengan
tujuan yang sama dengan sarana informasi yang
lain, namun eksistensi negara tampak lebih kuat.
Jadi
bilamana
harmonisasi
hukum
secara
horizontal, tentang legal culture, UU ITE berada
pada sisi substansi yang berbeda. Sementara jika
diharmonisasikan dengan muatan materi di dalam
konvensi, maka pembentukan lembaga tertentu
untuk
mengawal
kebebasan
berekspresi,
merupakan hal yang sangat intepretatif. Asumsi
negara, apapun wujudnya, bisa diatur sesuai
kebutuhan.173
lembaga,
173
UU
Meskipun
ITE
tidak
membentuk
memperkenankan
hadirnya
Siracusa Principle menyatakan bahwa “state organs or agents responsible for
the maintenance of public order (odre public) shall be subject to c ontrols in the
exercise of their power through the parliament, courts, or other competent
independent bodies.” Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa dipandang
perlu untuk membentuk lembaga tertentu yang melaksanakan kontrol bagi
pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa menciderai kepentingan publik.
266
negara melalui ketentuan hukum pidana untuk
mengamankan amanat undang-undang.
Tentang legal culture, peraturan perundangundangan
tentang
membentuk
media
lingkungan
dirumuskan
yang
berbeda
untuk
dengan
masa lalu. Sistem hukum media yang baru secara
normatif hendak mendorong masyarakat untuk
lebih terbuka terhadap informasi yang berkembang
melalui
saluran-saluran
pengakuan
sebagai
terhadap
hak,
informasi.
kebebasan
mekanisme
Baik
berekspresi
perolehan
dan
penyebaran informasi melalui media dan batasanbatasan terhadap kebebasan berekspresi, diajukan
untuk membentuk masyarakat Indonesia untuk
memberikan
Legal culture
penghargaan
dan
penghormatan.
baru yang hendak dikembangkan
dan menjadi tujuan normatif di dalam undangundang
adalah
untuk
mendorong
lingkungan
media yang lebih terbuka dan ekspresif sekaligus
transparan.
Hal ini ditunjukkan dengan menempatkan
upaya pemenuhan hak masyarakat atas informasi,
penegakkan nilai-nilai dasar hak asasi manusia
yang
demokratis,
bertanggung
bahwa
jawab.
dan
Isi
pembentukan
kebebasan
media
yang
menjadi
kehidupan
kunci
masyarakat
dipengaruhi oleh informasi yang dimuatnya. Oleh
karena
itu
lembaga-lembaga
media
memiliki
tanggung jawab untuk mampu menjaga arus
267
informasi yang akurat, aman, serta kebenarannya
sangat terbukti atau teruji. Pengolahan isi juga
menyangkut representasi masyarakat pemakainya,
sehingga masyarakat dapat turut berkembang
seiring perkembangan pengetahuan dan informasi
yang tersedia.
Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi,
yang turut serta meratifikasi Universal Declaration of
Human Rights dan International Convenant on Civil
and
Political
Rights, bermaksud
untuk
menjadi
subyek internasional yang menghormati hak-hak
universal. Kebebasan berekspresi yang menjelma
sebagai hak yang berkembang secara masif pada
beberapa dekade belakangan ini, perlu diantisipasi
agar tetap terwujud namun penuh tanggung jawab.
Makin
bervariasinya
sarana
atau
media
untuk
menjadi saluran, negara Indonesia sebagai negara
demokratis, wajib memberikan perlindungan yang
sama kepada warga negaranya maupun subyek lain
di Indonesia. Ketiadaan batas untuk mendapatkan
informasi, menyebabkan negara perlu membentuk
aturan
yang
mampu
menjaga
persatuan
dan
kesatuan. Aturan itulah yang secara harmonis dapat
mewujudkan isi media yang bertanggung jawab,
sebagai
wujud
transparan.
268
kebebasan
berekspresi
yang
Download