Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR)108 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)109 oleh negara Indonesia. Konvensikonvensi tersebut berperan menjadi sumber bagi adanya perubahan yang signifikan bagi perkembangan hukum tentang hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi khususnya, akhirnya diakui sebagai hak yang konstitusional yang berimbas pada pembentukan norma undang-undang tentang media. Kebebasan bereskpresi menjadi isu strategis dalam kerangka hukum media, dimana pers, penyiaran, dan perfilman menjadi bidang yang menyediakan informasi bagi masyarakat. Kebebasan berekspresi menjadi titik tolak bagi pengejawantahan tentang isi media yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bidang tertentu yang menjadi jenis saluran media. Pembidangan media 108 Diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. 109 Diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik). 269 sendiri adalah penting adanya, oleh karena negara Indonesia merupakan Indonesia tidak perkembangan subyek internasional. dapat melepaskan diri global, berkaitan dari dengan perkembangan teknologi dan informasi serta nilainilai universal tentang hak. Hak-hak ini yang kemudian melalui kerangka kebebasan berekspresi diwujudkan dengan terbentuknya produk informasi yang disebarluaskan melalui pers, penyiaran, internet dan perfilman. Ratifikasi-ratifikasi internasional, terhadap menyebabkan konvenan negara harus membentuk peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam konvensi. Khususnya tentang kebebasan berekspresi, konvenan internasional secara umum mengatur mengenai hal utama: (1) adanya pengakuan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia; (2) implementasi kebebasan berekspresi; dan (3) ruang lingkup pembatasan kebebasan berekspresi. Prinsip dalam konvensi merupakan sumber bagi Indonesia, pembentukan yakni dengan hukum menjadi media acuan di agar peraturan perundang-undangan tetap menjunjung nilai-nilai hak asasi universal, khususnya tentang kebebasan berekspresi. Tentang pengakuan, kebebasan berekspresi telah dijamin sebagai hak konstitusional dengan dimuatnya dalam Pasal 28F UUD 1945. Pasal 270 tersebut menekankan pada tiga hal mendasar pada kebebasan berekspresi, yakni bahwa (a) tiap orang berhak untuk informasi berkomunikasi untuk dan mengembangkan memperoleh pribadi dan lingkungan sosialnya, (b) berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dan (c) menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Konsepsi ini sejalan dengan Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR. Pengakuan di dalam konstitusi bermakna bahwa negara internasional menjadi yang bagian memberikan dari subyek penghormatan kepada hak asasi manusia, termasuk variasi dari wujud hak asasi manusia di dunia. Selain itu, Indonesia juga dapat memenuhi kewajiban umum sebagai negara yang meratifikasi konvensi. Berdasarkan yang termuat di dalam Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR serta Pasal 28F UUD 1945, terdapat dua cara pandang terhadap kebebasan berekspresi yang mempengaruhi materi muatan di dalam peraturan perundang-undangan. Yang pertama adalah kebebasan berekspresi dalam kerangka hak untuk mengakses, menerima dan menyebarkan informasi. Perspektif ini menempatkan kebebasan berekspresi dalam bentuk upaya untuk mengelola hak, pasif dan aktif. Pengelolaan ini juga dapat menggunakan sarana atau media kebebasan apapun berekspresi yang tersedia. sebagai hak Kedua, untuk 271 mengekspresikan diri melalui media apapun. Hal ini berarti bahwa kebebasan berekspresi sebagai hak untuk mengaktualisasikan diri, dalam berbagai wujud, dan menggunakan media apapun. Freedom of expression kemudian tidak hanya dilindungi melalui landasan konstitusi saja. Sejalan dengan perintah dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang, maka dibentuklah peraturan perundangundangan tentang media yang tidak lain mengatur mengenai substansi media sebagai wujud informasi yang disebarkan ke khalayak. Isi media kemudian diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Masing-masing mengimplementasikan secara umum prinsip hendak konvensi menyangkut kebebasan berekspresi yakni: 1. memberikan jaminan kepada seseorang untuk memuat apa saja melalui media apapun, baik pers, penyiaran, internet dan film; 272 2. bahwa undang-undang memberikan pembatasan atas ruang lingkup perwujudan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang bertujuan jawab untuk khusus, melekatkan sebagai tanggung margin of appreciation (menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia). Freedom of expression sebagaimana tercantum di UDHR dan ICCPR diwujudkan di dalam beragam bentuk isi media, baik yang tertulis maupun lisan, melalui media cetak maupun media elektronik.110 Perwujudan kebebasan berekspresi melalui eksistensi sarana media, mengacu pada isi yang diatur masing-masing prinsip pula, dilaksanakan menjalankan diharuskan undang-undang. freedom secara hak expression harus bertanggungjawab. Dalam atas tunduk of Secara kebebasan hanya pada berekspresi, pembatasan- pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum 110 Kebebasan ini diperjelas dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa ada hak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kasusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. 273 dalam suatu masyarakat yang demokratis.111 Inilah yang menjadi berekspresi titik penting berkedudukan bahwa sebagai kebebasan hak asasi manusia, dimana pers, penyiaran, internet dan film yang menjadi wadah ekspresi, harus memperhatikan dan menjaga agar isinya tidak menepikan kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Jaminan terhadap kebebasan berekspresi diwujudkan dengan isi media yang diatur di dalam UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman adalah sebagai berikut: 1. bahwa pers, penyiaran, internet dan film merupakan sumber kebutuhan masyarakat yang berupa informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat intelektualitas, untuk watak, pembentukan moral, kekuatan bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia;112 2. bahwa undang-undang mengatur prinsip kebebasan berekspresi di dalam konvensi dengan memuat norma dasar (konstitusi), mengacu pada ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945, serta menggunakan 111 112 substansi dalam konvensi terbentuk wujud isi sehingga media yang Lihat Article 29 Section 2 UDHR. Lihat Pasal 5 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran, Pasal 5 UU Perfilman. 274 diperkenankan untuk disebarluaskan, sehingga pembentukan hukum (undangundang) diarahkan pada pengejawantahan prinsip dalam konvensi serta membentuk regulasi yang memiliki fungsi kontrol (preventif dan represif) secara tepat serta dijamin dalam hukum nasional dengan membentuk UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman; 3. bahwa isi media dikendalikan tertentu perlu melalui yang diawasi dan lembaga-lembaga melibatkan masyarakat, dengan maksud agar isi media tetap tunduk pada ketentuan yuridis tentang tugas dan tanggugjawab lembaga, yakni oleh Dewan Pers, KPI dan LSF; 4. bahwa kebebasan berekspresi perlu dibatasi implementasinya ancaman bagi agar hak itu tidak menjadi sendiri dengan mempertimbangkannya sebagai derogable right pada satu sisi dan inalienable right pada sisi lainnya; 5. bahwa pembatasan kebebasan berekspresi dilakukan yang tunduk pada syarat: (a) dilaksanakan melalui ketentuan undangundang yang dalam hal ini baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur secara normatif larangan- larangan terhadap isi media; 275 (b) pembatasan hanya untuk alasan yang benar-benar penting sebagaimana yang tertuang dalam konvensi: masing-masing di dalam undang-undang ditemukan bahwa pembatasan dilakukan dengan alasan bahaya terhadap keamanan nasional, kepentingan umum, kepentingan golongan, non-diskriminasi politik), kesehatan ancaman masyarakat (SARA, terhadap (narkotika, minuman keras) dan kesusilaan; (c) pembatasan berdasarkan ketentuan otentik sebagaimana tercantum di dalam undang-undang, dan pembatasan dilakukan dengan maksud memberikan perlindungan pada eksistensi lain; Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa freedom of expression merupakan variabel yang memberikan pengaruh. Freedom of expression menggugah kesadaran untuk memberikan penghormatan dan penghargaan kepada manusia untuk diberikan ruang bebas mengelola dan mengaktualisasikan ekspresi. Hal ini menjadi konsep perlindungannya global diakui dan secara prinsip-prinsip universal. Di Indonesia, sebagai negara demokratis, kebebasan berekspresi diwujudkan melalui isi media pers, media penyiaran, media internet dan media film. 276 Meskipun bidang-bidangnya diatur tersendiri di undang-undang yang dibentuk, hak atas kebebasan ditempatkan pada ruang yang luas dan dilindungi. Adapun tujuannya adalah untuk mendorong kesejahteraan di dalam kerangka masyarakat yang demokratis. B. Harmonisasi Hukum tentang Isi Media Harmonisasi menjadi kunci, apakah freedom of expression dapat ditempatkan sebagai isu sentral yang menginspirasi isi atau konten yang disebarluaskan melalui berbagai saluran atau jenis media. Jenis media ini menentukan pembidangan hukum dalam satu sistem hukum media. Pers, penyiaran, internet dan film adalah bidang-bidang yang perlu secara khusus diatur dalam undangundang yang lebih spesifik. Hal ini dikarenakan pers, penyiaran, internet dan film dianggap sebagai saluran yang harus diberikan perlindungan secara berbeda antar satu dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut tidak menyurutkan semangat harmonisasi, yakni bahwa pada prinsipnya ada kesamaan mendasar yang berkaitan dengan variasi wujud kebebasan berekspresi. Harmonisasi perlu dilihat dengan tujuan menemukan makna inti dari pengaturan isi media yang menjadi kunci dalam perlindungan hak. 277 Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban untuk memasukkan prinsip-prinsip di dalam konvensi di dalam sistem hukum yang dibentuk. Kerangka prinsip kebebasan berekpsresi, oleh pemerintah dibentuk semenjak dimuatnya hak atas kebebasan berekspresi di dalam UUD 1945 dan kemudian dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan tentang media, yakni UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi terbentuknya peraturan-peraturan lain yang seiiring dengan perkembangan Indonesia sebagai media subyek di Indonesia. internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana negara Indonesia memiliki sifat uniformitas sistem hukum. Oleh Indonesia, sifat uniformitas sistem hukum ditunjukkan dengan mengatur isi media sejalan dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi. Tujuannya adalah agar dapat mempersatukan kepentingan pers, penyiaran, internet dan perfilman dalam kepentingan kebebasan ekspresi yang sejalan dengan konvensi. Adapun cara yang dilakukan salah satunya menggunakan harmonisasi materi, substansi konvensi dengan konstitusi sampai dengan undang-undang yang dibentuk. Hasil yang nampak pada perumusan materi yang sesuai dengan konvensi yakni isi media yang termuat di UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman. 278 Harmonisasi dilakukan terhadap undang- undang apakah sesuai dengan prinsip dengan konvensi dan harmonisasi konstitusi, substansi serta antar dilakukan undang-undang. Harmonisasi hukum isi media berpijak pada tiga hal mendasar: (1) Legal substance: dimana Penyiaran, UU ITE dan UU UU Pers, UU Perfilman mengatur substansi riil dari konsep freedom of expression. Masing-masing undang- undang mencantumkan konsepsi mendasar mengenai isi media yang mengejawantahkan makna kebebasan berekspresi sebagaimana konvensi dan konstitusi mengatur, diantaranya adalah pengakuan terhadap kemerdekaan pers, keberagaman isi dan tanggung jawab terhadap isi yang disebarluaskan. Mengingat bahwa konvensi dan konstitusi menekankan pada jaminan atas kebebasan berekspresi, maka undangundang secara normatif berusaha berkaitan menjangkau setiap hal dengan media yang isi yang bebas, serta mengaturnya secara tegas. Di sisi lain, ancaman-ancaman yang dapat muncul dengan tersebarluasnya informasi dalam isi media, maka undang-undang mengatur bahwa terdapat dua kepentingan: perlindungan institusi media dan 279 perlindungan masyarakat atau negara. Oleh karena itu, undang-undang mencantumkan pula ancaman sanksi administratif dan pidana bagi lembaga media yang dianggap menyimpang terhadap sekaligus intervensi pencegahan pihak lain kepada lembaga media. (2) Legal structure: bahwa keempat undangundang membentuk (independent states lembaga-lembaga agencies) yang dimaksudkan untuk memberikan kendali atas pelaksanaan kebebasan berekspresi oleh subyek, baik individu maupun entitas media, dengan mengacu pada perlindungan terhadap hak sebagaimana diatur dalam konvensi dan peraturan perundang- undangan. Struktur ini penting oleh karena keberadaannya menjadi representasi negara dan masyarakat. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor Film merupakan lembaga-lembaga yang berwenang untuk menetapkan suatu isi media layak atau tidak dikonsumsi publik. (3) Legal culture: bahwa undang-undang mendorong terbentuknya kesadaran baru akan hak dimana atas kebebasan kebebasan berekspresi, ini dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan wujud melalui sarana yang tersedia: 280 pers, penyiaran, internet dan film. Akan tetapi undang-undang juga melekatkan tanggung jawab yuridis pada setiap subyek untuk tetap melaksanakan bertanggung hak tanpa jawab menciderai keamanan nasional, kepentingan publik, moral dan hak-hak asasi lainnya. Pada era reformasi dan keterbukaan informasi, kesadaran ini merupakan penentu arah masyarakat yang demokratis. Legal substance, legal structure dan legal culture, memberikan analisa yang komprehensif apakah hukum media di Indonesia berada pada tataran yang seimbang dan selaras terkait dengan kebebasan berekspresi. Peraturan perundang- undangan tentang media yang dijadikan patokan, yakni memperlihatkan karakter yang sama untuk mengatur isi media. Kesamaan karakter itu ada pada: (1) Pengakuan dan jaminan terhadap eksistensi hak atas kebebasan berekspresi; (2) Asas dan arah media yang dimaksudkan untuk mendorong masyarakat Indonesia memperkuat persatuan dan kesatuan sekaligus menghargai norma, agama, dan budaya bangsa; 281 (3) Isi media dikontrol secara ketat, dengan menetapkan standar dan pedoman terhadap isi serta diawasi oleh lembaga tertentu; (4) Masyarakat dapat memberikan tanggapan terhadap isi media yang tidak tepat dan dianggap menyimpan, sebaliknya lembaga media dapat memberikan tanggapan (hak jawab, hak koreksi); (5) Isi media harus mempertimbangkan keamanan nasional, kepentingan umum, moral, kesusilaan dan pencegahan pelanggaran terhadap lain yang ada dimana isi media dibatasi secara normatif di dalam undang-undang dengan mekanisme pembatasan substansi yang sama, yakni: perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas (public order, public health, public moral), national security dan eksistensi hak lain. Sementara itu, upaya harmonisasi menemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan isi media, diantaranya adalah: (1) persinggungan antar undang-undang dimana sebuah isu yang kontroversial dapat memicu perdebatan tentang undang- undang yang mana yang akan menjadi priotitas; 282 (2) bahwa internet sebagai media yang cenderung berkembang lebih cepat, tidak memiliki lembaga kontrol semaca Dewan Pers, KPI dan LSF, sehingga isi media rentan diancam melalui hukum pidana oleh pihak terpengaruh, perlindungan dari tanpa ada jaminan masyarakat melalui wadah lembaga; (3) isi media yang diatur cenderung interpretative, dimana pers tidak secara detail mengatur di undang-undang, yang berbeda dengan penyiaran, internet dan perfilman. Hal ini menyebabkan pers sangat bergantung pada eksistensi isi media yang lain, oleh karena pers tidak dapat dilepaskan dari lembaga penyiaran, internet dan film dalam rangka penyebarluasan informasi. C. Saran-saran Perkembangan media memang perlu diatur oleh negara agar tidak menjadi ancaman. Perlindungan kebebasan berekspresi oleh berbagai instrumen nasional, hukum internasional menyiratkan kepentingan dan hukum yang lebih besar. Oleh karena itu hukum nasional merupakan tumpuan bagi bertanggungjawab. dibentuk harus terselenggaranya Sistem mampu hukum media media menjangkau yang yang variasi 283 keberagaman isi, untuk memberikan perlindungan sekaligus batasan yang tepat dan tidak menciderai eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Terkait dengan hal-hal yang telah diuraikan pada bagianbagian sebelumnya, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, pembentukan sistem hukum media di Indonesia hukum harus memperhatikan internasional yang prinsip-prinsip dikembangkan dari prinsip dalam konvensi. Hardlaw menjadi sumber utama, namun memberikan dirasa belum penjelasan yang cukup untuk akomodatif. Tersedianya softlaw juga layak dijadikan sumber informasi tentang bagaimana membentuk peraturan perundang-undangan yang tepat sasaran. Kedua, isi media adalah produk utama dari lembaga media yang menjadi indikasi bagi perkembangan media pada umumnya. Isi media harus diatur secara ketat dan tidak boleh menyimpang atau ketidaktepatan aturan hukum menyebabkan isi media dapat menyimpang dari yang seharusnya. Maka Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers harus ditinjau kembali karena undang-undang ini mengandung kelemahan pada sisi substansi tentang isi pers yang tidak memuat secara jelas, sebagaimana konvensi dan konstitusi memberikan arahan. Di samping itu, Undang-Undang Informasi 284 dan No. 8 Tahun Transaksi 2011 Elektronik tentang perlu diperhatikan pula terkait larangan-larangannya terhadap isi, karena dapat mendorong subyeksubyek tertentu yang terpengaruh, menjadi ancaman bagi produsen informasi. UU ITE juga menjadikan ancaman pidana sebagai satu-satunya alat yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan. Ketiga, pengawasan terhadap isi media sebaiknya menjadi titik tolak peran lembaga negara independen (Dewan Pers, KPI dan LSF), yakni memberikan nilai layak dan tidak layak atas isi tersebut. Akan tetapi kewenangan tersebut harus diberikan secara luas, agar fungsi lembaga tidak berhenti pada rekomendasi, namun juga pada aspek penindakan, agar kontrol terhadap isi media yang menyimpang dapat konkrit teratasi. Pemerintah tidak boleh lagi mengintervensi media secara langsung (melalui pidana), agar secara moral, masyarakat (khususnya masyarakat media) tidak menjadi lawan, namun menjadi mitra yang menguntungkan bagi pemerintah. Hal ini ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang dinamis dan harmonis serta menjaga agar tetap demokratis. Keempat, negara berpeluang untuk menerjemahkan makna Pasal 28 dan 28F UUD 1945 dengan membentuk suatu sistem hukum media yang harmonis, yang melindungi isi media sekaligus pembatasannya, dengan cara: (1) membentuk kesepakatan bersama antar lembaga 285 negara terkait isu-isu sentral perkembangan media; (2) membentuk peraturan peraturan perundangan pemerintah lainnya yang dan tetap memperhatikan pengaturan isi media oleh masingmasing undang-undang, sehingga tercapai maksud tujuan yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang tentang media; dan, (3) mendorong pembentukan norma-norma standar (ketentuan organik) yang sama antara satu undangundang dengan undang-undang lain, sebagai bentuk pemahaman makna kebebasan berekspresi yang setara. 286