Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan Tentang Isi Media di

advertisement
Bab IV
Penutup
A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media
Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945
tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya
Universal Declaration of Human Rights (UDHR)108
dan International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR)109 oleh negara Indonesia. Konvensikonvensi tersebut berperan menjadi sumber bagi
adanya
perubahan
yang
signifikan
bagi
perkembangan hukum tentang hak asasi manusia.
Kebebasan berekspresi khususnya, akhirnya diakui
sebagai hak yang konstitusional yang berimbas
pada pembentukan norma undang-undang tentang
media. Kebebasan bereskpresi menjadi isu strategis
dalam
kerangka
hukum
media,
dimana
pers,
penyiaran, dan perfilman menjadi bidang yang
menyediakan informasi bagi masyarakat.
Kebebasan berekspresi menjadi titik tolak bagi
pengejawantahan tentang isi media yang mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan bidang tertentu yang
menjadi jenis saluran media. Pembidangan media
108
Diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
109
Diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik).
269
sendiri adalah penting adanya, oleh karena negara
Indonesia
merupakan
Indonesia
tidak
perkembangan
subyek
internasional.
dapat
melepaskan
diri
global,
berkaitan
dari
dengan
perkembangan teknologi dan informasi serta nilainilai universal tentang hak. Hak-hak ini yang
kemudian melalui kerangka kebebasan berekspresi
diwujudkan dengan terbentuknya produk informasi
yang
disebarluaskan
melalui
pers,
penyiaran,
internet dan perfilman.
Ratifikasi-ratifikasi
internasional,
terhadap
menyebabkan
konvenan
negara
harus
membentuk peraturan perundang-undangan yang
sejalan dengan prinsip-prinsip dalam konvensi.
Khususnya
tentang
kebebasan
berekspresi,
konvenan internasional secara umum mengatur
mengenai
hal
utama:
(1)
adanya
pengakuan
terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak asasi
manusia; (2) implementasi kebebasan berekspresi;
dan (3) ruang lingkup pembatasan kebebasan
berekspresi. Prinsip dalam konvensi merupakan
sumber
bagi
Indonesia,
pembentukan
yakni
dengan
hukum
menjadi
media
acuan
di
agar
peraturan perundang-undangan tetap menjunjung
nilai-nilai hak asasi universal, khususnya tentang
kebebasan berekspresi.
Tentang pengakuan, kebebasan berekspresi
telah dijamin sebagai hak konstitusional dengan
dimuatnya dalam Pasal 28F UUD 1945. Pasal
270
tersebut menekankan pada tiga hal mendasar pada
kebebasan berekspresi, yakni bahwa (a) tiap orang
berhak
untuk
informasi
berkomunikasi
untuk
dan
mengembangkan
memperoleh
pribadi
dan
lingkungan sosialnya, (b) berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi, dan (c) menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia. Konsepsi ini
sejalan dengan Article 19 UDHR dan Article 19
ICCPR. Pengakuan di dalam konstitusi bermakna
bahwa
negara
internasional
menjadi
yang
bagian
memberikan
dari
subyek
penghormatan
kepada hak asasi manusia, termasuk variasi dari
wujud hak asasi manusia di dunia. Selain itu,
Indonesia juga dapat memenuhi kewajiban umum
sebagai negara yang meratifikasi konvensi.
Berdasarkan yang termuat di dalam Article 19
UDHR dan Article 19 ICCPR serta Pasal 28F UUD
1945,
terdapat
dua
cara
pandang
terhadap
kebebasan berekspresi yang mempengaruhi materi
muatan di dalam peraturan perundang-undangan.
Yang pertama adalah kebebasan berekspresi dalam
kerangka hak untuk mengakses, menerima dan
menyebarkan
informasi.
Perspektif
ini
menempatkan kebebasan berekspresi dalam bentuk
upaya
untuk
mengelola
hak,
pasif
dan
aktif.
Pengelolaan ini juga dapat menggunakan sarana
atau
media
kebebasan
apapun
berekspresi
yang
tersedia.
sebagai
hak
Kedua,
untuk
271
mengekspresikan diri melalui media apapun. Hal ini
berarti bahwa kebebasan berekspresi sebagai hak
untuk mengaktualisasikan diri, dalam berbagai
wujud, dan menggunakan media apapun.
Freedom of expression kemudian tidak hanya
dilindungi melalui landasan konstitusi saja. Sejalan
dengan perintah dalam Pasal 28 UUD 1945 yang
menyatakan
kemerdekaan
berserikat
dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang, maka dibentuklah peraturan perundangundangan tentang media yang tidak lain mengatur
mengenai substansi media sebagai wujud informasi
yang disebarkan ke khalayak. Isi media kemudian
diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang No. 32 Tahun 2003
tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman.
Masing-masing
mengimplementasikan
secara
umum
prinsip
hendak
konvensi
menyangkut kebebasan berekspresi yakni:
1. memberikan
jaminan
kepada
seseorang
untuk memuat apa saja melalui media
apapun, baik pers, penyiaran, internet dan
film;
272
2. bahwa
undang-undang
memberikan
pembatasan atas ruang lingkup perwujudan
kebebasan berekspresi di Indonesia, yang
bertujuan
jawab
untuk
khusus,
melekatkan
sebagai
tanggung
margin
of
appreciation (menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak asasi manusia).
Freedom of expression sebagaimana tercantum
di UDHR dan ICCPR diwujudkan di dalam beragam
bentuk isi media, baik yang tertulis maupun lisan,
melalui media cetak maupun media elektronik.110
Perwujudan
kebebasan
berekspresi
melalui
eksistensi sarana media, mengacu pada isi yang
diatur
masing-masing
prinsip
pula,
dilaksanakan
menjalankan
diharuskan
undang-undang.
freedom
secara
hak
expression
harus
bertanggungjawab.
Dalam
atas
tunduk
of
Secara
kebebasan
hanya
pada
berekspresi,
pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang,
yang
tujuannya
semata-mata
untuk
menjamin
pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap
hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal
moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum
110
Kebebasan ini diperjelas dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, bahwa ada hak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kasusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.
273
dalam suatu masyarakat yang demokratis.111 Inilah
yang
menjadi
berekspresi
titik
penting
berkedudukan
bahwa
sebagai
kebebasan
hak
asasi
manusia, dimana pers, penyiaran, internet dan film
yang
menjadi
wadah
ekspresi,
harus
memperhatikan dan menjaga agar isinya tidak
menepikan kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat yang lebih luas.
Jaminan
terhadap
kebebasan
berekspresi
diwujudkan dengan isi media yang diatur di dalam
UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman
adalah sebagai berikut:
1. bahwa pers, penyiaran, internet dan film
merupakan sumber kebutuhan masyarakat
yang berupa informasi, pendidikan, hiburan
dan
manfaat
intelektualitas,
untuk
watak,
pembentukan
moral,
kekuatan
bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa,
serta mengamankan nilai-nilai agama dan
budaya Indonesia;112
2. bahwa undang-undang mengatur prinsip
kebebasan berekspresi di dalam konvensi
dengan memuat norma dasar (konstitusi),
mengacu pada ketentuan Pasal 28 dan
Pasal 28F UUD 1945, serta menggunakan
111
112
substansi
dalam
konvensi
terbentuk
wujud
isi
sehingga
media
yang
Lihat Article 29 Section 2 UDHR.
Lihat Pasal 5 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran, Pasal 5 UU Perfilman.
274
diperkenankan
untuk
disebarluaskan,
sehingga pembentukan hukum (undangundang) diarahkan pada pengejawantahan
prinsip dalam konvensi serta membentuk
regulasi
yang
memiliki
fungsi
kontrol
(preventif dan represif) secara tepat serta
dijamin dalam hukum nasional dengan
membentuk UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE
dan UU Perfilman;
3. bahwa
isi
media
dikendalikan
tertentu
perlu
melalui
yang
diawasi
dan
lembaga-lembaga
melibatkan
masyarakat,
dengan maksud agar isi media tetap tunduk
pada ketentuan yuridis tentang tugas dan
tanggugjawab lembaga, yakni oleh Dewan
Pers, KPI dan LSF;
4. bahwa kebebasan berekspresi perlu dibatasi
implementasinya
ancaman
bagi
agar
hak
itu
tidak
menjadi
sendiri
dengan
mempertimbangkannya sebagai derogable
right pada satu sisi dan inalienable right
pada sisi lainnya;
5. bahwa pembatasan kebebasan berekspresi
dilakukan yang tunduk pada syarat:
(a) dilaksanakan melalui ketentuan undangundang yang dalam hal ini baik UU Pers,
UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman
mengatur
secara
normatif
larangan-
larangan terhadap isi media;
275
(b) pembatasan hanya untuk alasan yang
benar-benar penting sebagaimana yang
tertuang
dalam
konvensi:
masing-masing
di
dalam
undang-undang
ditemukan bahwa pembatasan dilakukan
dengan
alasan
bahaya
terhadap
keamanan nasional, kepentingan umum,
kepentingan
golongan,
non-diskriminasi
politik),
kesehatan
ancaman
masyarakat
(SARA,
terhadap
(narkotika,
minuman keras) dan kesusilaan;
(c) pembatasan
berdasarkan
ketentuan
otentik sebagaimana tercantum di dalam
undang-undang,
dan
pembatasan
dilakukan dengan maksud memberikan
perlindungan pada eksistensi lain;
Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan
bahwa
freedom
of
expression
merupakan variabel yang memberikan pengaruh.
Freedom of expression menggugah kesadaran untuk
memberikan
penghormatan
dan
penghargaan
kepada manusia untuk diberikan ruang bebas
mengelola dan mengaktualisasikan ekspresi. Hal ini
menjadi
konsep
perlindungannya
global
diakui
dan
secara
prinsip-prinsip
universal.
Di
Indonesia, sebagai negara demokratis, kebebasan
berekspresi diwujudkan melalui isi media pers,
media penyiaran, media internet dan media film.
276
Meskipun bidang-bidangnya diatur tersendiri di
undang-undang yang dibentuk, hak atas kebebasan
ditempatkan pada ruang yang luas dan dilindungi.
Adapun
tujuannya
adalah
untuk
mendorong
kesejahteraan di dalam kerangka masyarakat yang
demokratis.
B. Harmonisasi Hukum tentang Isi Media
Harmonisasi menjadi kunci, apakah freedom of
expression dapat ditempatkan sebagai isu sentral
yang
menginspirasi
isi
atau
konten
yang
disebarluaskan melalui berbagai saluran atau jenis
media. Jenis media ini menentukan pembidangan
hukum dalam satu sistem hukum media. Pers,
penyiaran, internet dan film adalah bidang-bidang
yang perlu secara khusus diatur dalam undangundang yang lebih spesifik. Hal ini dikarenakan
pers, penyiaran, internet dan film dianggap sebagai
saluran yang harus diberikan perlindungan secara
berbeda
antar
satu
dengan
yang
lainnya.
Pembedaan tersebut tidak menyurutkan semangat
harmonisasi, yakni bahwa pada prinsipnya ada
kesamaan mendasar yang berkaitan dengan variasi
wujud kebebasan berekspresi. Harmonisasi perlu
dilihat dengan tujuan menemukan makna inti dari
pengaturan isi media yang menjadi kunci dalam
perlindungan hak.
277
Sebagai
negara
pihak,
Indonesia
memiliki
kewajiban untuk memasukkan prinsip-prinsip di
dalam konvensi di dalam sistem hukum yang
dibentuk. Kerangka prinsip kebebasan berekpsresi,
oleh pemerintah dibentuk semenjak dimuatnya hak
atas kebebasan berekspresi di dalam UUD 1945 dan
kemudian
dengan
diterbitkannya
peraturan
perundang-undangan tentang media, yakni UU
Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman.
Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan bagi
terbentuknya peraturan-peraturan lain yang seiiring
dengan
perkembangan
Indonesia
sebagai
media
subyek
di
Indonesia.
internasional
yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana
negara Indonesia memiliki sifat uniformitas sistem
hukum.
Oleh Indonesia, sifat uniformitas sistem hukum
ditunjukkan dengan mengatur isi media sejalan
dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi.
Tujuannya
adalah
agar
dapat
mempersatukan
kepentingan pers, penyiaran, internet dan perfilman
dalam kepentingan kebebasan ekspresi yang sejalan
dengan konvensi. Adapun cara yang dilakukan
salah satunya menggunakan harmonisasi materi,
substansi
konvensi
dengan
konstitusi
sampai
dengan undang-undang yang dibentuk. Hasil yang
nampak
pada
perumusan
materi
yang
sesuai
dengan konvensi yakni isi media yang termuat di
UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman.
278
Harmonisasi
dilakukan
terhadap
undang-
undang apakah sesuai dengan prinsip dengan
konvensi
dan
harmonisasi
konstitusi,
substansi
serta
antar
dilakukan
undang-undang.
Harmonisasi hukum isi media berpijak pada tiga hal
mendasar:
(1) Legal substance: dimana
Penyiaran,
UU
ITE
dan
UU
UU
Pers,
UU
Perfilman
mengatur substansi riil dari konsep freedom
of
expression.
Masing-masing
undang-
undang mencantumkan konsepsi mendasar
mengenai isi media yang mengejawantahkan
makna kebebasan berekspresi sebagaimana
konvensi
dan
konstitusi
mengatur,
diantaranya adalah pengakuan terhadap
kemerdekaan pers, keberagaman isi dan
tanggung
jawab
terhadap
isi
yang
disebarluaskan. Mengingat bahwa konvensi
dan konstitusi menekankan pada jaminan
atas kebebasan berekspresi, maka undangundang
secara
normatif
berusaha
berkaitan
menjangkau
setiap
hal
dengan
media
yang
isi
yang
bebas,
serta
mengaturnya secara tegas.
Di sisi lain, ancaman-ancaman yang dapat
muncul dengan tersebarluasnya informasi
dalam isi media,
maka undang-undang
mengatur bahwa terdapat dua kepentingan:
perlindungan
institusi
media
dan
279
perlindungan masyarakat atau negara. Oleh
karena itu, undang-undang mencantumkan
pula ancaman sanksi administratif dan
pidana bagi lembaga media yang dianggap
menyimpang
terhadap
sekaligus
intervensi
pencegahan
pihak
lain
kepada
lembaga media.
(2) Legal structure: bahwa keempat undangundang
membentuk
(independent
states
lembaga-lembaga
agencies)
yang
dimaksudkan untuk memberikan kendali
atas pelaksanaan kebebasan berekspresi
oleh subyek, baik individu maupun entitas
media, dengan mengacu pada perlindungan
terhadap hak sebagaimana diatur dalam
konvensi
dan
peraturan
perundang-
undangan. Struktur ini penting oleh karena
keberadaannya menjadi representasi negara
dan
masyarakat.
Dewan
Pers,
Komisi
Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor
Film
merupakan
lembaga-lembaga
yang
berwenang untuk menetapkan suatu isi
media layak atau tidak dikonsumsi publik.
(3) Legal
culture:
bahwa
undang-undang
mendorong terbentuknya kesadaran baru
akan
hak
dimana
atas
kebebasan
kebebasan
berekspresi,
ini
dapat
diimplementasikan dalam berbagai bentuk
dan wujud melalui sarana yang tersedia:
280
pers, penyiaran, internet dan film. Akan
tetapi
undang-undang
juga
melekatkan
tanggung jawab yuridis pada setiap subyek
untuk
tetap
melaksanakan
bertanggung
hak
tanpa
jawab
menciderai
keamanan nasional, kepentingan publik,
moral dan hak-hak asasi lainnya. Pada era
reformasi
dan
keterbukaan
informasi,
kesadaran ini merupakan penentu arah
masyarakat yang demokratis.
Legal
substance, legal
structure
dan
legal
culture, memberikan analisa yang komprehensif
apakah hukum media di Indonesia berada pada
tataran yang seimbang dan selaras terkait dengan
kebebasan
berekspresi.
Peraturan
perundang-
undangan tentang media yang dijadikan patokan,
yakni memperlihatkan karakter yang sama untuk
mengatur isi media. Kesamaan karakter itu ada
pada:
(1) Pengakuan dan jaminan terhadap eksistensi
hak atas kebebasan berekspresi;
(2) Asas dan arah media yang dimaksudkan
untuk mendorong masyarakat Indonesia
memperkuat
persatuan
dan
kesatuan
sekaligus menghargai norma, agama, dan
budaya bangsa;
281
(3) Isi media dikontrol secara ketat, dengan
menetapkan standar dan pedoman terhadap
isi serta diawasi oleh lembaga tertentu;
(4) Masyarakat dapat memberikan tanggapan
terhadap isi media yang tidak tepat dan
dianggap menyimpan, sebaliknya lembaga
media dapat memberikan tanggapan (hak
jawab, hak koreksi);
(5) Isi
media
harus
mempertimbangkan
keamanan nasional, kepentingan umum,
moral,
kesusilaan
dan
pencegahan
pelanggaran terhadap lain yang ada dimana
isi media dibatasi secara normatif di dalam
undang-undang
dengan
mekanisme
pembatasan substansi yang sama, yakni:
perlindungan terhadap kepentingan yang
lebih luas (public order, public health, public
moral), national security dan eksistensi hak
lain.
Sementara itu, upaya harmonisasi menemukan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan isi
media, diantaranya adalah:
(1) persinggungan
antar
undang-undang
dimana sebuah isu yang kontroversial dapat
memicu
perdebatan
tentang
undang-
undang yang mana yang akan menjadi
priotitas;
282
(2) bahwa
internet
sebagai
media
yang
cenderung berkembang lebih cepat, tidak
memiliki lembaga kontrol semaca Dewan
Pers, KPI dan LSF, sehingga isi media
rentan diancam melalui hukum pidana oleh
pihak
terpengaruh,
perlindungan
dari
tanpa
ada
jaminan
masyarakat
melalui
wadah lembaga;
(3) isi
media
yang
diatur
cenderung
interpretative, dimana pers tidak secara
detail mengatur di undang-undang, yang
berbeda dengan penyiaran, internet dan
perfilman. Hal ini menyebabkan pers sangat
bergantung pada eksistensi isi media yang
lain,
oleh
karena
pers
tidak
dapat
dilepaskan dari lembaga penyiaran, internet
dan film
dalam rangka
penyebarluasan
informasi.
C. Saran-saran
Perkembangan media memang perlu diatur
oleh
negara
agar
tidak
menjadi
ancaman.
Perlindungan kebebasan berekspresi oleh berbagai
instrumen
nasional,
hukum
internasional
menyiratkan
kepentingan
dan
hukum
yang
lebih
besar. Oleh karena itu hukum nasional merupakan
tumpuan
bagi
bertanggungjawab.
dibentuk
harus
terselenggaranya
Sistem
mampu
hukum
media
media
menjangkau
yang
yang
variasi
283
keberagaman isi, untuk memberikan perlindungan
sekaligus batasan yang tepat dan tidak menciderai
eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Terkait
dengan hal-hal yang telah diuraikan pada bagianbagian sebelumnya, maka dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, pembentukan sistem hukum media di
Indonesia
hukum
harus
memperhatikan
internasional
yang
prinsip-prinsip
dikembangkan
dari
prinsip dalam konvensi. Hardlaw menjadi sumber
utama,
namun
memberikan
dirasa
belum
penjelasan
yang
cukup
untuk
akomodatif.
Tersedianya softlaw juga layak dijadikan sumber
informasi tentang bagaimana membentuk peraturan
perundang-undangan yang tepat sasaran.
Kedua, isi media adalah produk utama dari
lembaga
media
yang
menjadi
indikasi
bagi
perkembangan media pada umumnya. Isi media
harus
diatur
secara
ketat
dan
tidak
boleh
menyimpang atau ketidaktepatan aturan hukum
menyebabkan isi media dapat menyimpang dari
yang seharusnya. Maka Undang-Undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers harus ditinjau kembali
karena undang-undang ini mengandung kelemahan
pada sisi substansi tentang isi pers yang tidak
memuat secara jelas, sebagaimana konvensi dan
konstitusi memberikan arahan. Di samping itu,
Undang-Undang
Informasi
284
dan
No.
8
Tahun
Transaksi
2011
Elektronik
tentang
perlu
diperhatikan
pula
terkait
larangan-larangannya
terhadap isi, karena dapat mendorong subyeksubyek
tertentu
yang
terpengaruh,
menjadi
ancaman bagi produsen informasi. UU ITE juga
menjadikan ancaman pidana sebagai satu-satunya
alat
yang
paling
efektif
untuk
menyelesaikan
permasalahan.
Ketiga,
pengawasan
terhadap
isi
media
sebaiknya menjadi titik tolak peran lembaga negara
independen (Dewan Pers, KPI dan LSF), yakni
memberikan nilai layak dan tidak layak atas isi
tersebut. Akan tetapi kewenangan tersebut harus
diberikan secara luas, agar fungsi lembaga tidak
berhenti pada rekomendasi, namun juga pada
aspek penindakan, agar kontrol terhadap isi media
yang
menyimpang
dapat
konkrit
teratasi.
Pemerintah tidak boleh lagi mengintervensi media
secara
langsung
(melalui
pidana),
agar
secara
moral, masyarakat (khususnya masyarakat media)
tidak menjadi lawan, namun menjadi mitra yang
menguntungkan bagi pemerintah. Hal ini ditujukan
demi kesejahteraan masyarakat yang dinamis dan
harmonis serta menjaga agar tetap demokratis.
Keempat,
negara
berpeluang
untuk
menerjemahkan makna Pasal 28 dan 28F UUD
1945 dengan membentuk suatu sistem hukum
media yang harmonis, yang melindungi isi media
sekaligus
pembatasannya,
dengan
cara:
(1)
membentuk kesepakatan bersama antar lembaga
285
negara terkait isu-isu sentral perkembangan media;
(2)
membentuk
peraturan
peraturan
perundangan
pemerintah
lainnya
yang
dan
tetap
memperhatikan pengaturan isi media oleh masingmasing undang-undang, sehingga tercapai maksud
tujuan yang tidak bertentangan dengan maksud
dan tujuan undang-undang tentang media; dan, (3)
mendorong
pembentukan
norma-norma
standar
(ketentuan organik) yang sama antara satu undangundang
dengan
undang-undang
lain,
sebagai
bentuk pemahaman makna kebebasan berekspresi
yang setara.
286
Download