Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di

advertisement
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet
Oleh Asep Mulyana
Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran Internet telah mengubah
pola dan gaya hidup manusia yang hidup di abad modern, termasuk pola manusia
modern dalam melakukan transaksi-transaksi sosial dan ekonomi. Salah satu pola
yang berubah secara mendasar adalah cara masyarakat menggunakan hak atas
kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk di dalamnya hak untuk mencari,
menerima,
dan
memberikan
informasi
atau
gagasan.
Kehadiran internet menjadi dilema pedang bermata dua. Pada satu sisi, kehadiran
internet telah memberikan peluang hampir tak terbatas terhadap akses setiap individu
untuk mendapatkan dan atau menyampaikan informasi kepada publik global tanpa
sekat-sekat negara-bangsa. Jaminan atas hak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi terbuka lebar. Namun di sisi lain, akses yang luas tersebut juga dapat
melahirkan persoalan baru yang tak kalah pelik. Bagaimanapun, kebebasan
berpendapat dan berekspresi dapat berakibat pada pelanggaran atas hak dan reputasi
orang lain. Tanpa pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di
internet, sangat terbuka peluang bagi setiap orang untuk melakukan pencemaran
nama baik yang merusak hak dan reputasi orang lain.
Kewajiban Negara Pihak
Dalam hukum Hak Asasi Manusia, negara c.q. pemerintah mempunyai kedudukan
sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri
atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fulfill). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah
kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas
hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill)
adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif,
yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban
negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk
melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun
juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain
(non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.
Jaminan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dicantumkan
dalam Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada Pasal 19 DUHAM
dinyatakan bahwa “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan
menyampaikan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat
tanpa diganggu-gugat dan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi serta
gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang pembatasan.
Jaminan itu diperkuat oleh Kovenan Internasional tentang Hak Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Pada Pasal 19 KIHSP dinyatakan bahwa kebebasan
untuk menyampaikan pendapat mencakup hak untuk mencari, menerima, dan
menyebarkan informasi atau gagasan. Hak ini harus dapat dinikmati tanpa batas
dalam berbagai bentuk, baik verbal maupun tertulis di berbagai medium, seperti seni,
kertas (buku), dan internet.
Kehadiran internet telah mendorong semua pihak untuk mulai memikirkan langkahlangkah yang tepat dan menempatkan peran negara secara proporsional dalam
penghormatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di satu sisi dan
perlindungan hak dan reputasi orang lain di sisi lain. Dengan demikian, negara tetap
menjamin pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sekaligus
menjamin perlindungan hak dan reputasi orang lain.
Pembatasan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Hak
atas kebebasan berpendapat
dan berekspresi tidak
tergolong
dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun).
Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat
dibatasi. Hal itu dinyatakan Pasal 19 KIHSP yang menyebutkan bahwa pelaksanaan
hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi menimbulkan kewajiban dan
tanggung jawab khusus. Dengan demikian, hak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi dapat dikenai pembatasan tertentu yang diatur menurut hukum dan
dibutuhkan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi
keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.
Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas kebebasan berpendapat
dan berekspresi tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. Pada Pasal 5
KIHSP dinyatakan bahwa kegiatan apapun yang dilakukan negara, kelompok maupun
individu tidak boleh ditujukan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui
dalam KIHSP (termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi) atau untuk
membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam KIHSP.
Di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles) disebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan
harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua
pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang
terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan
secara sewenang-wenang.
Salah satu alasan pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi
adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan keamanan
nasional lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg
Principles (Prinsip-prinsip Johannesburg). Adapun ekspresi yang dapat dinilai
sebagai ancaman terhadap keamanan nasional hanya ketika pemerintah dapat
menunjukkan bahwa ekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang
akan terjadi, dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung
dan dekat antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian
kekerasan itu.
Menurut Prinsip-prinsip Johannesburg, ada beberapa prinsip dalam pembatasan Hak
Asasi Manusia, yaitu:
a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat
ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual
untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan
dampak
melindungi
kepentingan
keamanan
nasional
yang
sah.
c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan
ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan
yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi
kepentingan tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai
pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hak
tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum
internasional. Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar
pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi (vide: Prinsip-prinsip
Johannesburg)
Pengalaman Indonesia
Penghormatan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di
Indonesia mengalami situasi membaik setelah rejim Soeharto jatuh pada 1998. Rejimrejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan berpendapat dan berekspresi yang
selama 30 tahun ditutup rapat. Namun demikian, selama beberapa tahun terakhir ini,
hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi menghadapi tantangan serius terkait
dengan adanya UU yang dapat mengkriminalkan pendapat dan ekspresi di internet.
Pada 2008 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dapat mengkriminalisasi
siapapun yang menulis di media elektronik, termasuk internet, dengan tuduhan
pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE menyatakan larangan untuk “dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.”
UU ITE di Indonesia adalah salah satu bentuk pembatasan hak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi di internet. Publik luas di Indonesia menilai bahwa UU
ITE cenderung melanggar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pada Mei 2009 di Indonesia terjadi kasus dimana seorang ibu rumah tangga, Prita
Mulyasari, dijerat UU ITE dengan tuduhan pencemaran nama baik. Prita adalah
mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, Tangerang. Prita tidak
mendapatkan kesembuhan setelah dirawat RS Omni, bahkan penyakitnya bertambah
parah. Prita kemudian mengeluhkan pelayanan RS Omni melalui e-mail yang
kemudian menyebar ke berbagai mailing list di internet. RS Omni merasa nama
baiknya dicemarkan oleh e-mail Prita, lalu mengadukan Prita ke pengadilan. Prita
diputus bersalah dalam pengadilan perdata dengan tuduhan pencemaran nama baik
sebagaimana diatur dalam Ayat 3 Pasal 27 UU ITE. Prita harus membayar denda
kepada RS Omni Internasional senilai Rp. 204 juta.
Kalangan masyarakat prodemokrasi di Indonesia menilai kasus Prita dapat menjadi
preseden bagi lumpuhnya kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui internet di
Indonesia. Resistensi publik di Indonesia atas kriminalisasi terhadap pendapat dan
ekspresi Prita meluas. Publik melakukan perlawanan dengan mengumpulkan koin
hingga terkumpul hampir Rp. 1 milyar. Hal ini menunjukkan betapa publik luas di
Indonesia memiliki resistensi yang besar terhadap upaya penghalangan hak atas
kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet.
Pengaturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet semestinya
mengacu pada Prinsip-prinsip Johannesburg. Dalam Prinsip-Prinsip ini disebutkan
bahwa suatu pendapat dan ekspresi dapat dikriminalkan melalui suatu UU hanya
ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa: (a) ekspresi tersebut ditujukan untuk
memotivasi kekerasan yang akan terjadi; (b) ekspresi tersebut dapat memotivasi
terjadinya kekerasan semacam itu; (c). ada hubungan langsung dan dekat antara
ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan semacam
itu; (d) potensi penggunaan internet untuk penyebaran gambar-gambar pelecehan
dan pornografi anak.
Merujuk pada Prinsip-prinsip Johannesburg pula, suatu pembatasan tidak sah jika
tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkan dari suatu pembatasan
adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak terkait dengan
keamanan nasional. Hal ini termasuk untuk melindungi pemerintah dari rasa malu
akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau
untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi
publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan
kerusuhan industrial.
UU ITE sendiri tidak merepresentasikan jaminan negara atas penikmatan kebebasan
berpendapat dan berekspresi di internet. Penghinaan dan pencemaran nama baik
dalam UU ITE terlalu luas dan umum, sehingga dapat dengan mudah
mengkriminalkan pendapat individu atau kelompok tanpa suatu motivasi atau
mengakibatkan terjadinya suatu kekerasan.
Jika mengacu pada norma dan standar instrumen Hak Asasi Manusia internasional,
pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat pula diterapkan
untuk
menekan
pendapat
atau
ekspresi
yang
menyebarkan:
a.
propaganda
perang
(Pasal
20
KIHSP);
b. kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan penghangsutan
untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Ayat 2 Pasal 20 KIHSP).
Suatu pendapat atau ekspresi tidak dapat dikriminalkan jika pendapat atau ekspresi
tersebut
(vide:
Prinsip-prinsip
Johannesburg):
a. mengadvokasi perubahan yang bersifat nonkekerasan dari kebijakan pemerintah
atau
pemerintah
itu
sendiri;
b. mengandung kritik terhadap—atau penghinaan terhadap—bangsa, negara, atau
simbol-simbolnya, agen-agennya, atau pejabat-pejabat publik, atau bangsa asing,
negara asing, atau simbol-simbolnya, agen-agennya, atau pejabat-pejabat publiknya;
c. mengandung keberatan, atau advokasi keberatan tersebut, berdasarkan agama,
kepercayaan, terhadap mobilisasi atau pelayanan militer, konflik tertentu, atau
ancaman atau penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan
internasional;
d. ditujukan untuk mengomunikasikan informasi tentang tuduhan pelanggaran
terhadap standar-standar HAM internasional atau hukum humaniter internasional.
============================
KETERANGAN:
a. Prinsip-prinsip Siracusa (The Siracusa Principles on The Limitation and
Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights,
E/CN.4/1985/4) adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan
pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional
yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Lihat pula General
Comment No. 10 International Covenant on Civil and Political Rights
b. Prinsip-prinsip Johannesburg (The Johannesburg Principles on National
Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression
and Access to Information, E/CN.4/1996/39) adalah prinsip-prinsip yang diadopsi
pada 1 Oktober 1995 oleh sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional,
dan hak asasi manusia yang berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19,
International Centre Against Censorship, bekerja sama dengan Centre for Applied
Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg, Principle 1.1.
Download