TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU KAMBING Perkembangan populasi ternak kambing meningkat dalam beberapa tahun terakhir (20012006). Pada tahun 2001 jumlahnya 12.46 juta ekor dan meningkat menjadi 13.18 juta ekor pada tahun 2006. Peternakan kambing dengan tujuan utama sebagai penghasil susu mulai dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 2000 (Sodiq dan Abidin 2008). Salah satu bangsa kambing yang dikembangkan sebagai penghasil susu di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang lokal dan kambing Jamnapari yang dibawa ke Indonesia dari India pada masa kolonial Belanda (Budisatria et al. 2010). Produksi susu kambing PE adalah 0.45-2.2 liter/ekor/hari dengan panjang masa laktasi sangat beragam, yaitu 92-256 hari dengan rataan 156 hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun (Sodiq dan Abidin 2008). Secara kimia, susu merupakan emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garamgaram mineral, dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Susu memiliki komponen utama berupa air, lemak, protein (kasein, albumin, dan globulin), laktosa (gula susu), dan abu. Komponen susu selain air merupakan total solid (TS) dan “total solid” tanpa komponen lemak merupakan solid non fat (SNF) (Rahman et al. 1992). Komposisi kimia susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi (Tabel 1). Susu kambing juga mengandung asam-asam lemak kaproat, kaprilat, dan kaprat dalam jumlah yang relatif banyak (Daulay 1991). Tabel 1. Komposisi kimia susu kambing (jenis PE dan Jamnapari) dan susu sapi (jenis Friesian) serta perbandingannya dengan SNI susu segar Susu segard Parameter Susu kambing Susu kambing Susu sapi (%) PEa Jamnaparib Friesianc lemak 6.10±0.64 4.31 3.40 minimal 3.0 protein 2.97±0.37 3.74 3.15 minimal 2.7 laktosa - 4.72 4.60 - 0.72±0.13 0.82 0.73 - abu Sumber: aHidayat (2009); bJenness (1980); cScott (1986); dBSN (1998a) Susu, baik susu kambing maupun susu sapi, dipertimbangkan sebagai bahan pangan yang penting. Susu kaya akan kandungan nutrisi esensial, seperti mineral, vitamin, dan protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino yang seimbang, dimana semua komponen tersebut penting dalam mendukung sifat fungsional di dalam tubuh (Silanikove et al. 2010). Konsumsi susu kambing diasosiasikan dengan beberapa manfaat kesehatan di luar nilai nutrisi sebenarnya. Susu kambing kaya akan globula lemak yang berukuran lebih kecil daripada globula lemak susu sapi sehingga lebih mudah dicerna. Selain itu, kandungan asam lemak rantai sedang yang banyak terdapat pada susu kambing diketahui memiliki sifat antibakteri, antivirus, dapat mencegah larutnya deposit kolesterol ke dalam darah, dan dapat diserap dengan cepat di usus (Shingfield et al. 2008). Susu kambing dapat dikonsumsi oleh bayi karena tidak menimbulkan alergi. Kandungan αs1-kasein yang sedikit pada susu kambing dipertimbangkan sebagai penyebab lebih rendahnya alergenisitas terhadap susu kambing dibandingkan susu sapi, namun hal tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut (Silanikove et al. 2010). Komposisi kandungan nutrisi susu kambing juga berpengaruh pada teknologi pengolahan susu kambing. Silanikove et al. (2010) menyatakan bahwa persentase total lemak dalam susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi. Dua hal yang membedakannya, dan menjadi karakteristik yang berpengaruh penting bagi pengolahan susu kambing adalah ukuran globula lemak dan komposisi asam lemak. Pada kedua jenis susu, ukuran globula lemak berkisar antara 1-10 μm, namun jumlah globula lemak yang berukuran lebih kecil dari 5 μm lebih banyak terdapat pada susu kambing (sekitar 80%) dibandingkan pada susu sapi (sekitar 60%). Susu kambing mengandung asam lemak rantai sedang, yaitu asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), dan asam kaprat (C10:0), dalam jumlah yang lebih banyak, dimana sebagian dari asam lemak tersebut bertanggung jawab terhadap munculnya karakteristik aroma prengus atau goaty. Persentase kasein dalam total protein susu kambing adalah 71-78%, lebih rendah dari susu sapi yang berkisar antara 75-85% (Loewenstein 1982 diacu dalam Zeng 1996). Selain kandungan kasein yang lebih rendah dari susu sapi, yang menjadi faktor utama dalam keterbatasan pemanfaatan susu kambing secara teknologi adalah komposisi dari kaseinnya. Kasein susu kambing memiliki proporsi αs1-kasein yang lebih rendah dan proporsi β-kasein yang lebih tinggi daripada susu sapi (Thomann 2008). Rendahnya kandungan αs1-kasein pada susu kambing menyebabkan keju yang terbuat dari susu kambing memiliki tekstur yang lebih lunak daripada keju susu sapi (Jenness 1980). B. KEJU Food and Agricultural Organization (FAO) melalui „Code of Principle‟ mendefinisikan keju sebagai produk segar ataupun hasil pemeraman yang dihasilkan dari penirisan (cairan) setelah terjadinya koagulasi susu segar, krim, susu skim, dadih atau campurannya (Scott 1986). Komponen dalam susu yang penting dalam proses pembuatan keju adalah kasein. Dibandingkan dengan albumin dan globulin yang dapat terdenaturasi oleh panas, kasein lebih stabil terhadap panas namun peka terhadap pH, enzim, dan kandungan kalsium (Rahman et al. 1992). Keju mengandung nutrisi susu yang tidak larut air, diantaranya protein kasein terkoagulasi, mineral-mineral koloid, lemak, dan vitamin larut lemak. Nutrisi yang terkandung di dalam keju dipengaruhi oleh jenis susu yang digunakan (jenis hewan penghasil susunya, masa laktasi, berlemak tinggi, berlemak rendah, skim), cara pembuatannya, dan derajat pematangan (untuk jenis keju yang dimatangkan atau diperam) (O‟Brien dan O‟Connor 2004). Keju memiliki masa simpan yang lebih lama daripada susu dan produk olahan susu lainnya. Masa simpan keju bervariasi mulai dari beberapa hari hingga beberapa tahun. Kombinasi faktor yang bertanggung jawab dalam memelihara kualitas keju diantaranya adalah ketiadaan gula (laktosa), pH, asam laktat, garam, kondisi anaerobik, dan perlindungan dari “kulit” keju (Walstra et al. 1999) Keju merupakan produk olahan susu yang memiliki banyak variasi. Berdasarkan kadar air, keju dibagi dalam tiga tipe, yaitu keju keras (20-42%), keju semi keras atau semi lunak (4555%), dan keju lunak (> 55%). Semua keju jenis tersebut dikonsumsi setelah diperam selama waktu tertentu, sedangkan keju segar (> 70%) dikonsumsi langsung setelah penyaringan dan pemisahan dari whey (Heller et al. 2008). Pengelompokan keju berdasarkan kadar air 4 dikarenakan kadar air dapat menentukan konsistensi atau kekompakan keju, sehingga memudahkan dalam mengelompokkan keju yang memiliki karakteristik serupa (Farkye 2004). Perbedaan keju keras dan keju lunak terletak pada persentase kadar air keju. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari, sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa bagian (Farkye 2004). Keju keras umumnya melalui proses penekanan untuk membentuk partikel-partikel curd yang longgar menjadi massa yang lebih kompak dan mendorong whey keluar lebih banyak, sedangkan keju lunak umumnya melalui proses penekanan hingga kondisi tertentu (Daulay 1991). Penekanan pada keju lunak lebih diarahkan untuk memberi bentuk dan struktur keju yang kompak. Pembuatan keju merupakan proses yang rumit, meliputi banyak tahapan proses dan beberapa perubahan biokimia. Semua variable tersebut mempengaruhi rendemen, komposisi, dan mutu dari keju serta produk sampingannya (terutama whey). Selain itu, cara pembuatan juga dapat berpengaruh pada biaya produksi (tenaga kerja, peralatan, product loss, dan lain-lain). Oleh karena itu, optimasi dalam pembuatan keju merupakan hal yang tidak mudah (Walstra et al. 1999). Akan tetapi, saat ini teknologi pembuatan keju sudah semakin berkembang, dimana faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan teknologi pembuatan keju (Farkye 2004). C. PRINSIP PEMBUATAN KEJU Prinsip pembuatan keju adalah koagulasi protein susu, terutama kasein. Kasein merupakan jenis protein terpenting dalam susu dan terdapat dalam bentuk kalsium kaseinat (Rahman et al. 1992). Koagulasi atau penggumpalan susu adalah perubahan bentuk dari susu cair menjadi padatan (curd). Proses koagulasi atau penggumpalan kasein di dalam susu dapat disebabkan oleh asam, enzim proteolitik, perlakuan panas, atau kombinasi dari ketiganya (Walstra et al. 1999) Bahan penggumpal enzimatik yang umumnya digunakan dalam proses pembuatan keju adalah rennet. Rennet merupakan enzim yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang masih menyusu pada induknya (Rahman et al. 1992). Enzim terpenting dalam rennet adalah khimosin. Khimosin tidak dapat menghidrolisis imunoglobulin dari kolostrum. Itulah sebabnya anak sapi yang baru lahir memproduksi khimosin dalam lambungnya, bukan pepsin yang umumnya terdapat di dalam lambung (Walstra et al. 1999). Selain rennet anak sapi (rennet hewan), terdapat pula rennet mikroba dan rennet tanaman. Rennet ditambahkan untuk menggumpalkan protein susu, terutama kasein, sehingga terbentuk suatu matriks yang disebut curd. Pembentukan curd pada pembuatan keju umumnya menggunakan koagulan enzim. Enzim yang bersifat proteolitik dapat memecah protein-protein dalam susu sehingga menjadi tidak larut dan membentuk suatu gumpalan massa yang di dalamnya terperangkap komponen-komponen susu lainnya (Daulay 1991). Hampir 80% protein susu adalah kasein. Kasein tersusun dari unsur-unsur αs1-, αs2-, β-, κ-, dan γ-kasein, kesemuanya menunjukkan perbedaan dalam struktur rantai polipeptidanya. Pada susu dengan pH normal, kasein terikat bersama membentuk partikel berbentuk bola yang disebut misel (Banks 1998). κ-kasein berada di permukaan misel dan berfungsi menstabilkan serta mencegah penggabungan misel oleh Ca2+. 5 κ-kasein adalah satu-satunya kasein yang dihidrolisis selama koagulasi oleh rennet yang terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan hidrolisis κ-kasein pada ikatan Phe105-Met106 menghasilkan para- κ-kasein dan makropeptida. Makropeptida yang mengandung sekitar 30% κ-kasein berdifusi ke dalam fase cair. Hilangnya makropeptida menyebabkan tegangan permukaan dan stabilitas koloid misel menurun sehingga dapat terkoagulasi oleh Ca 2+. Peristiwa tersebut merupakan tahap kedua dari kerja rennet (McSweeney 2007). Susu yang ditambahkan rennet dan dibiarkan beberapa lama akan membentuk curd. Curd terbentuk karena misel-misel yang tergabung satu sama lain, sehingga terjadi ikatan yang kuat diantara dua misel yang berdekatan karena penggabungan tersebut. Curd tersebut memiliki poripori, yang berukuran beberapa mikrometer persegi, dan jaringannya sangat tidak teratur (Walstra et al. 1999). Curd cenderung mengalami sineresis, yaitu suatu kontraksi untuk mengeluarkan cairan yang disebut whey. Sineresis sangat penting dalam proses pembuatan keju dan merupakan penentu utama kandungan air pada produk keju. Pori-pori di antara partikel curd cukup luas untuk keluarnya whey. Sineresis disebabkan oleh partikel curd yang pada prinsipnya dapat membentuk ikatan dengan partikel curd lainnya, yang akan memicu terbentunya kumpulan partikel yang lebih kompak. Hal ini dikarenakan partikel curd memiliki sisi aktif di seluruh permukaannya, namun tidak dapat menjangkau satu sama lain karena tertahan dalam jaringan curd. Pemutusan ikatan serta pembentukan ikatan baru antar partikel curd dapat menyulut terjadinya sineresis. Pemotongan curd serta pengepresan juga dapat mempengaruhi sineresis (Walstra et al. 1999). Curd yang telah mengalami sineresis dan terpisah dari whey selanjutnya disebut keju segar. Keju segar yang terbentuk mengandung lemak, bakteri, koloid kalsium-fosfat, dan partikel-partikel lainnya. Selain itu, keju segar tersebut juga mengandung air dan bahan-bahan yang terlarut di dalam air (Daulay 1991). Keju segar dapat langsung dikonsumsi setelah pembuatan dan umumnya memiliki masa simpan yang terbatas, sekitar 2 minggu pada penyimpanan di dalam refrigerator (5°C). Selain itu, keju segar dapat ditambahkan garam untuk memperpanjang masa simpan, memberi flavor, serta membentuk konsistensi. Keju segar juga dapat diolah lebih lanjut dengan proses penekanan, sehingga mendorong whey keluar lebih banyak dan membentuk struktur keju yang lebih padat karena butiran curd yang menjadi lekat satu sama lain. Selanjutnya, keju dapat diperam sehingga terjadi perubahan komposisi mikrobiologi, biokimia, kimia dan fisik yang dapat berpengaruh pada komponen flavor dan tekstur keju (Walstra et al. 1999). D. BAKTERI ASAM LAKTAT Deskripsi umum dari bakteri asam laktat (BAL) adalah sekelompok bakteri Gram-positif, tidak membentuk spora, dan bakteri berbentuk kokus atau batang yang tidak menggunakan O2 dalam proses respirasinya, serta yang memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama fermentasi karbohidrat (Axelsson 1998). BAL merupakan mikroba yang paling banyak digunakan sebagai starter pada produk susu fermentasi, salah satunya sebagai starter keju. Starter merupakan kultur aktif dari mikroba non-patogen yang ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan karakteristik-karakteristik dan mutu-mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991). BAL dapat memproduksi asam, terutama asam laktat melalui fermentasi laktosa. Asam yang dihasilkan oleh BAL dapat memberi cita rasa asam yang segar pada keju, membantu proses 6 penggumpalan oleh rennet, dan membentuk karakteristik tekstur spesifik selama pembuatan keju. Hal ini disebabkan oleh asam yang dapat menciutkan curd sehingga memaksa whey keluar lebih banyak. Galur BAL yang umum digunakan sebagai starter keju berasal dari genus Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactobacillus. BAL yang digunakan sebagai starter diharapkan dapat mengasamkan susu dengan cepat dan membentuk senyawa-senyawa cita rasa yang diinginkan (Daulay 1991). Lactobacillus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk batang. Secara morfologi, bentuk mereka beragam, ada yang berbentuk batang lurus yang tipis dan panjang, batang bengkok, dan batang pendek serta hampir berbentuk batang kokus (Vedamuthu 2006). Spesies Lactobacillus yang sudah banyak dimanfaatkan dalam produk berbasis susu diantaranya Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei. Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang, Gram positif, non-motil, dan tidak membentuk spora. Bakteri tersebut dapat memproduksi asam laktat sebesar 0.3-1.9%, memiliki suhu pertumbuhan optimal 35-45 oC, tetapi pada suhu kurang lebih 15 oC tidak terjadi pertumbuhan. Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif, yaitu hanya memproduksi asam laktat sebagai satu-satunya produk hasil fermentasi glukosa melalui jalur EmbdenMeyerhof. Dalam teorinya, fermentasi homolaktat menghasilkan 2 mol asam laktat dan 2 ATP bersih per mol glukosa (Axelsson 1998). Lactobacillus acidophilus ditemukan di dalam usus manusia dan hewan. Bakteri ini memiliki karakteristik yang diperlukan untuk bertahan pada kondisi lingkungan usus, yaitu toleransi terhadap pH rendah dan toksisitas garam empedu. Lactobacillus acidophilus tumbuh lambat di dalam susu, namun memproduksi asam laktat dalam jumlah tinggi. Bakteri ini digunakan dalam pembuatan susu acidophilus, yang merupakan produk olahan susu dengan keasaman tinggi (Vedamuthu 2006). Lactobacillus casei merupakan bakteri berbentuk batang, Gram positif, bersifat anaerob fakultatif, non-motil, dan tidak dapat membentuk spora. Seperti BAL lainnya, Lactobacillus casei toleran terhadap asam dengan asam laktat sebagai produk metabolisme utama. Lactobacillus casei bersifat heterofermentatif dan dapat tumbuh pada suhu 15 oC (Axelsson 1998). Sebagai bakteri heterofermentatif, Lactobacillus casei juga menghasilkan etanol, asam asetat dan CO2 selain asam laktat dari proses fermentasi glukosa melalui jalur 6phosphogluconate/phosphoketolase. Produk-produk tambahan tersebut dihasilkan jika tidak ada penerima elektron yang tersedia. Dalam teorinya, fermentasi heterolaktat menghasilkan 1 mol untuk masing asam laktat, etanol, dan CO2 serta 1 ATP bersih per mol glukosa (Axelsson 1998). E. CEMARAN LOGAM PADA KEJU Kandungan logam pada keju dapat berupa mineral makro maupun mikro. Keberadaannya di dalam keju dapat berasal dari susu atau kontaminasi selama pembuatan keju. Logam yang terkandung pada susu pun dapat berupa mineral esensial atau sejumlah kecil kontaminan logam. Kandungan mineral esensial dan kontaminan logam yang terdapat pada susu bergantung pada sejumlah faktor, seperti karakteristik genetik dari hewan asal, masa laktasi, kondisi lingkungan, dan jenis pakan (rumput), sedangkan untuk produk turunan susu juga bergantung pada teknologi pembuatan produk-produk tersebut (Gambelli 1999). Berdasarkan SNI 01-2980-1992 tentang keju cedar olahan, terdapat beberapa cemaran logam yang diduga terkandung dalam keju cedar olahan, yaitu arsen (As), timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), merkuri (Hg), dan timah (Sn). 7 Kandungan logam As pada produk susu dan olahannya merupakan kontaminasi dari lingkungan. Logam As merupakan logam berat yang pada bidang pertanian umumnya digunakan sebagai insektisida. As biasanya mencemari lingkungan dalam bentuk debu yang beterbangan di udara (pencemaran udara) (Darmono 1995). Logam Pb banyak dimanfaatkan oleh pabrik-pabrik yang memproduksi aki/baterai, produksi logam, dan pabrik kimia (Darmono 1995). Kontaminasi Pb ke tumbuhan atau tanaman paling banyak berasal dari debu atau aerosol di udara daripada asupan yang dibawa oleh akar (Chamberlain 1983 diacu dalam McLaughlin et al. 1999). Logam Cu dan Zn merupakan mikromineral esensial bagi makhluk hidup karena memiliki bermacam-macam fungsi secara biokimia. Walaupun demikian, keduanya dapat menjadi racun jika diasup dalam jumlah berlebih (Mendil 2006). Logam Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi tambahan pada hewan. Keduanya juga dimanfaatkan dalam bidang pertanian sebagai pembasmi hama (Darmono 1995). Keberadaan logam Hg, baik pada susu kambing maupun keju merupakan kontaminasi dari lingkungan. Pengguna logam Hg terbanyak adalah pabrik alat-alat listrik. Pada bidang pertanian, Hg dimanfaatkan sebagai fungisida. Selain itu, Hg juga digunakan sebagai campuran cat yang digunakan untuk mengecat di daerah yang memiliki kelembaban tinggi sehingga dapat mencegah timbulnya jamur. Logam Hg, dan juga logam As serta logam Pb, merupakan kelompok logam yang mudah menguap dan larut dalam air (bentuk ion) (Darmono 1995). Logam Sn umumnya ditemukan pada makanan dalam kaleng, namun toksisitasnya tidak seberbahaya logam berat lainnya (Khansari et al. 2005). Logam Sn (timah) digunakan sebagai pelapis sehingga dapat menurunkan tingkat korosi dari logam besi pada kaleng. Keberadaan Sn yang terdeteksi pada makanan dalam kaleng menandakan dapat terjadinya korosi pada kaleng, yang tentunya dapat berefek pada makanan (Tarley 2001). 8