persepsi-kognitif-dan-emosi

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
Negosiasi dalam dunia bisnis merupakan salah satu instrumen penting yang perlu
dipelajari. Presepsi, pengetahuan (kognisi), dan emosi menjadi bagian pengisi atau pembangun
dasaar dari semua pengalaman sosial yang mempengaruhi negosiasi. Cara memandang,
memahami dan menganalisis sesuatu sangat diandalkan didalam negosiasi.
Pembahasan dalam hal ini bagaimana presepsi mempengaruhi proses negosiasi, bentukbentuk distorsi presepsi dapat menyebabkan masalah dalam pemahaman dan pembuatan makna
untuk negosiator. Kemudian bagaimana negosiator menggunakan taktik dan strategi untuk
membuat keputusan melalu proses kognisi. Dalam diskusi yang akan dibahas juga bagaimana
mispersepsi dan bias kognitif dalam memaksimalkan keuntungan dengan menimalkan efek
kerugian.
Setelah melihat pengalaman sosial tidak hanya berfokus pada kesempatan untuk
presepsi dan kognisi. Negosiator juga tidak dapat menghindari emosi ketika berinteraksi
dengan orang lain. Sehingga emosi atau istilah mood juga turut ikut mempengaruhi negosiator
dalam bernegosiasi.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PRESEPSI
Persepsi didefenisikan sebagai proses yang dilakukan individu untuk memilih,
mengatur, dan menafsirkan stimulin ke dalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai
dunia. Proses ini dapat dijelaskan sebagai “bagaimana kita melihat dunia yang terdapat di
sekeliling kita.” (Schiffman dan Kanuk : 2000: 136 )”. Menurut J. Setiadi (2003:160) , persepsi
adalah proses bagaimana stimuli – stimuli ( rangsangan – rangsangan ) itu diseleksi,
diorganisasikan, dan di interpretasikan. Kotler dan Keller (2007:228) mengatakan persepsi
adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih, mengorganisasi, dan
menginterpretasikan masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti.
Seseorang yang mendapat suatu stimulus atau rangsangan akan siap untuk melakukan
sesuatu. Bagaimana orang tersebut melakukannya dipengaruhi oleh persepsi orang tersebut
terhadap sesuatu. Dua orang yang mendapat rangsangan yang sama dalam situasi yang obyektif
mungkin bertindak lain kerena mereka memandang situasi dengan cara yang berbeda. Hampir
semua kejadian di dunia ini penuh dengan rangsangan, suatu rangsangan adalah sebuah input
yang merangsang satu atau lebih dari lima panca indera : penglihatan, penciuman, rasa,
sentuhan, dan pendengaran.
Orang tidak mampu menerima seluruh rangsangan yang terdapat di lingkungan mereka.
Oleh karena itu, mereka menggunakan keterbukaan yang selektif untuk menentukan mana
rangsangan yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Persepsi merupakan suatu
proses yang timbul akibat adanya sensasi, pengertian sensasi adalah aktivitas merasakan atau
penyebab keadaan emosi yang menggembirakan. Sensasi dapat didefinisikan juga sebagai
tanggapan yang cepat dari indera penerima kita terhadap stimuli dasar seperti cahaya, warna,
dan suara.
Sensasi itu sendiri, tergantung pada perubahan energi (yaitu perbedaan masukan). Suatu
lingkungan yang benar-benar tidak menarik atau tidak berubah, tanpa memperhatikan kekuatan
masukan panca indera, hanya sedikit atau sama sekali tidak memberikan sensasi.Jadi,
seseorang yang tinggal di jalan raya yang sibuk di tengak kota Jakarta mungkin hanya sedikit
menerima sensasi dan masukan stimuli yang ramai seperti klakson yang keras, karen bunyi
tersebut sudah terbiasa di lingkungan itu. Jika panca indera berkurang, kemampuan untuk
mengetahui perubahan masukan atau intensitas akan meningkat, sampau titik di mana
seseorang mencapai kepekaan maksimum dalam situasi simuli yang minimum. Hal-hal inilah
yang dapat mempengaruhi timbulnya persepsi.
Persepsi sering disebut juga dengan pandangan, gambaran, atau anggapan, sebab dalam
persepsi terdapat tanggapan seseorang mengenai satu hal atau objek. Persepsi mempunyai
banyak pengertian, (Bimo Walgito, 2004: 87-88) ‘‘persepsi merupakan suatu proses yang
didahului oleh penginderaan yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris’’.
2.1.1 DISTORSI PRESEPSI
Ketika bernegosiasi ada kebutuhan, keinginan, motivasi, dan pengalaman pribadi
preseptor yang mungkin menciptakan predisposisi mengenai pihak lain. Hal ini menyebabkan
ke khawatiran ketika predisposisi mengarah pada bias dan kesalahandalam presepsi serta
komunikasi lanjutan. Ada empat kesalahan preseptual utama: Stereotip, Efek halo, presepsi
selektif, dan proyeksi.
Stereotip: merupakan distorsi yang paling umum pada proses presepsi. Stereotyping
adalah adanya generalisasi terhadap suatu objek, sehingga negosiator akan memiliki prasangka/
prejudifikasi terhadap objek yang memiliki faktor/ latar belakang tertentu tersebut secara
umum, ditandai dengan pemberian label, simbol ataupun identitas tertentu. Misalnya adalah
penilian terhadap negosiator tertentu yang berasal Jepang, yang mana adalah tipe to the point,
dengan anggapan terhadapnya sebagai orang yang kurang berinteraksi, tidak terlalu ramah, dan
sebagainya.
Efek Halo: Presepsi yang muncul akibat dari latar belakang seorang negosiator yang
telah dipercaya oleh lawan negosiator, misalnya adalah presiden Sukarno, dalam mengikuti
konferensi internasional, akan diniliai sebagai sosok yang kharismatik dan tangguh, yang
tercermin dari usahanya memperjuangkan NKRI.
Prespektif Selektif merupakan presepsi yang telah terasing dengan suatu faktor yang
dipengaruhi atas prefensi negosiator itu sendiri. Misalnya presepsi bahwa negosiasi akan
cenderung lebih muudah dilakukan dengan orang yang to the point maka lawan negosiator
yang memiliki indikasi/ ciri-ciri to the point akan dianggap lebih mudah didajak bernegosiasi,
misalnya tegas dalam menyampaikan gagsan dan serius dalam menghadapi negosiator lawan.
Proyeksi merupakan hasil yang hendak dicapai atau yang dijadikan asumsi dasar dan
digunakan sebagai rancangan/pedoman yang ingin dicapai selama proses negosiasi, seperti
negosiasi Indonesia dengan malaysia mengenai wilayah, proyeksinya bahwa indonesia harus
memiliki kemmapuan hingga tingkat tertentu sehingga dapat mencapai hasil semaksimal
mungkin.
2.1.2 PEMBINGKAIAN
Jimmy Connors, mantan petenis kaliber dunia mengatakan, “Ketika bertanding, saya
cenderung ‘takut kalah’ daripada ‘ingin menang’”? Dengan kata lain, prospek kalah lebih
besar artinya bagi Connors daripada prospek menang. Atau, ia cenderung menghindari resiko
daripada mengambil resiko.
Dalam perundingan, frame adalah soal bagaimana perunding merumuskan isu dan hasil
yang mereka hadapi dalam suatu perundingan. Framing – positif atau negatif, half empty atau
half full, keuntungan atau kerugian – sangat penting artinya, terutama dalam membimbing
seseorang memilih taktik berunding. Penelitian menunjukkan bahwa perunding berbingkai
kehilangan lebih sulit memberi konsesi dibanding perunding berbingkai perolehan. Begitu
pula, perunding berbingkai perolehan lebih berhasil dibanding yang berframe kehilangan,
karena yang pertama berhasil mencapai lebih banyak kesepakatan dibanding yang kedua.
Sehubungan dengan perundingan harga, riset menunjukkan bahwa perunding yang berbingkai
kehilangan bisa mencapai kesepakatan yang lebih optimal bagi
nya
bila
berhadapan
dengan perunding yang berbingkai perolehan. Dengan kata lain, bingkai kehilangan bisa juga
menjadi aset, yaitu bila lawan berunding menggunakan bingkai perolehan.
Pembingkaian adalah isu kunci dalam presepsi dan negosiasi.Mekanisme subjektif di
mana orang mengevaluasi dan memahami situasi, membuat mereka meraih atau menghindari
tindakan lebih lanjut itu yang disebut bingkai (Bateson, 1972: Goffman, 1974). Pembingkaian
membantu menjelaskan “bagaiman para penawar memahami serangkaian kejadian yang
sedang terjadi dalam informasi pengalaman masa lalu:”; pembiingkaian dan pembingkaian
kembali, bersama dengan evaluasi terhadap informasi dan posisi, “terkait dengan pengolahan
informasi, pola pesan, isyarat linguistik dan arti-artiyang terbentuk secara sosial (Putnam dan
Hollmer, 1992). Pembingkaian bersifat penting dalam negosiasi karena konfllik sering kali
tidak jelas dan terbuka terhadap interpretasi yang berbeda sebagai akibat dari perbedaan latar
belakang per dan perjalanan pribadi seseorang dan pengalamannya. (Roth dan Sheppard,
1995). Jenis-jenis bingkai yang digunakan pihak-pihak dalam konflik:
1. Subtantif, konflik muncul karena dengan apa.
2. Hasil, predisposisi pihak untuk mencapai hasil spesifik atau hasil dari negosiasi berdasarkan
tingkat bahwa seorang negosiator memiliki hasil dari negosiasi.
3. Aspirasi, predisposisi terhadap pemuasan minat yang luas atau kebutuhan dalam negosiasi.
4. Proses, bagaimana pihak-pihak bertindak untuk menyelesaikan masalah.
5. Identitas, bagaimana pihak-pihak mengartikan “siapa mereka”.
6. Karakterisasi, bagaimana pihak-pihak mengartikan pihak lain.
7. Kalah menang, bagaimana pihak-pihak mengartikan resiko atau penghargaan yang terkait
dengan hasil tertentu.
Pembingkaian adalah fokus, membentuk, dan mengorganisasi dunia disekitar kita-memahami
realitas yang kompleks dan mengartikannya dengan cara yang berarti bagi kita.
2.2 KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri
Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda
atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas,
pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan
seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori
(ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses
berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh
pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan
kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Bidang ilmu yang mempelajari
kognisi beragam, diantaranya adalah psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains, serta
kecerdasan buatan.
Kepercayaan/pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi
sikap mereka dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku/tindakan mereka terhadap sesuatu.
Merubah pengetahuan seseorang akan sesuatu dipercaya dapat merubah perilaku mereka.
Istilah kognisi berasal dari bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui. Kognisi dapat
pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau kemampuan untuk memperoleh
pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk mencari pemahaman terhadap cara
manusia berpikir. Karya Plato dan Aristoteles telah memuat topik tentang kognisi karena salah
satu tujuan tujuan filsafat adalah memahami segala gejala alam melalui pemahaman dari
manusia itu sendiri. Kognisi dipahami sebagai proses mental karena kognisi mencermikan
pemikiran dan tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur
secara langsung, namun melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat diamati. Misalnya
kemampuan anak untuk mengingat angka dari 1-20, atau kemampuan untuk menyelesaikan
teka-teki, kemampuan menilai perilaku yang patut dan tidak untuk diimitasi.
2.2.1
BIAS KOGNITIF DALAM NEGOSIASI
Kesalahan secara sistematis yang dilakukan oleh negosiator akibat dari misinterpretasi
terhadap informasi yang diperoleh selama proses negosiasi, sehingga dinilai memiliki
kecenderungan menghalangi proses negosiasi dengan hasil yang kurang optimal.
bias kognitif dalam negosiasi dan cara mengatasinya
I.
Eskalasi komitmen yang irrasional, tindakan yang diambil negosiator yang sudah tidak
mempedulikan apa yang perlu dievaluasi, karena tindakan yang sama terus dilakukan tanpa
melihat bagaimana hasil yang telah dicapai, sehingga hasilnya tidak optimal bahkan sia-sia.
Hal ini dapat diatasi dengan adanya penasihat yang dapat memberikan pencerahan bahwa
tindakan tersebut sudah tidak lagi optimal dan hanya membuang sumber daya.
II.
Keyakinan pada harga mati (rigid), menganggap bahwa hasil yang dicapai dalam nnegosiasi
tidak sesuai yang diharapkan atau kebuntuan, sehingga tidak melakukan tindakan lain dengan
asumsi bahwa tindakannya akan sia-sia. Dapat diatasi dengan memberikan dukungan terhadap
negosiator dengan mencari tindakan alternatif yang diyakini akan berhasil.
III.
Pengarahan dan penyesuaian, merupakan penilaian atas input yang diterima negosiator
tersebutbertolak belakang dengan kepentingan awalnya, sehingga cenderung untuk mengambil
tindakan penyesuaian yang berlawanan/ skeptis, atau mempertimbangkan kembali tindakan
apa yang perlu diambil, persiapan dengan bantuan advokat berlawanan atau pemeriksaan
realitas diharapkandapat mencegah bias tersebut.
IV.
Pembingkaian Isu dan Resiko, dalam menggunakan perspektif saat proses negosiasi, maka
akan ada kemungkinan yang menyebabkan negosiator harus menghindari tindakan tertentu
sehinggga terkesan “cari aman”/ tidak mengambil resiko, dihindari dengan kepekaan terhadap
bias, pemahaman informasi dan analisa menyeluruh sehingga diterima bahwa resiko itu pasti
dan pencapaian lebih tinggi dapat dicapai.
V.
Ketersediaan Informasi, bahwa informasi yang disampaikan dalam proses negosiasi harus
dapat dengan mudah didapatkan/ diterima oleh negosiator lawan sehingga juga memudahan
dalam evaluasi selanjutnya. Maka dengan cara penyampaian yang menarik dan atraktif dinilai
akan mempermudah penerimaan serta membuatnya mudah diingat.
VI.
Kutukan pemenang, ketidakpuasan yang muncul atas kemudahan terhadap keberhasilan selama
proses negosiasi, sehingga menganggap apakah memang dalam negosiasi terlalu
banyak power/ resourceyang dikeluarkan terhadap negosiator lawan, atau seharusnya ada
kesepakatan yang senderung lebih baik dan menguntungkan. Untuk mengatasinya,persiapan
menyeluruh dan investigasi terhadap isu hingga opsi alternatif/ keuntungan yang lain dalam
negosiasi yang dinilai cenderung lebih baik.
VII.
Kepercayaan diri berlebih, memiliki segi positif yaitu menguatkan persepsi negosiator status/
posisi yang dimiliki, tetapi dampak negatifnya adalah menganggap terlalu mudah proses
negosiasi tersebut dilakukan dan dengan hasil yang optimal, sehhingga negosiator memiliki
kecenderungan untuk lengah dan hasil yang didapatkan justru sebaliknya. Maka sebaiknya,
proporsionalitas atas percaya diri, kemampuan, persiapan, dan analisa terhadap power/
resource perlu dijaga.
VIII.
Hukum angka kecil, dalam melakukan tindakan dan mengambil keputusan hanya berasal dari
pertimbangan yang terlalu sedikit, atau kurangnya aspek/ faktor lain yang perlu diperhatikan
serta sampel/ hasil data yang sedikit. Sehingga mengakibatkan ketidakakuratan tindakan/
keputusan tersebut. Maka hendaknya mengambil banyak faktor yang perlu diperhatikan serta
analisa yang mendalam supaya hasilnya akurat dalam berbagai kondisi.
IX.
Bias pelayanan diri, pemberian atribut terhadap tindakan negosiator tertentu yang
berlatarbelakan atas faktor internal yang dialami oleh negosiator tersebut, sehingga kurang
memperhatikan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi tindakan/ sikap yang muncul.
Hendaknya sebagaimana sebelumnya, memperhatikan apa yang ada dari segala aspek sehingga
dapat dianalisa secara dalam dan didapatkan apa yang benar dan merupakan penyebabnya.
X.
Pengaruh dukungan, dengan adanya dukungan akan meningkatkan keyakinan/ optimis
terhadap hasil negosiasi, sehingga akan berakibat seperti poin kepercayaan diri berlebih diatas,
dan mengganggu pencapaian kesepakatan yang paling baik. Maka dukungan tersebut harusnya
disikapi sebagai motivasi eksternal seorang negosiator dalam mewujudkan kepentingan, bukan
hanya resource yang tersedia.
XI.
Mengabaikan kognisi pihak lain, yaitu dengan sikap negosiator yang kurang/ tidak
memperhatikan pemikiran dan persepsi pihak lai, sehingga persepsi dirinya terhadap pihak lain
akan tidak harmonis sehingga terjadi kesalahan penafsiran apa sikap/ tindakan yang hendak
diambil oleh negosiator lawannya. Maka seorang negosiator hendaknya berusaha untuk
memahami secara akurat latar belakang baik itu minat, target mauun perspektif negosiator
lawannya.
XII.
Proses Devaluasi Reaktif,adalah proses mendevaluasi konsensi pihak lain hanya karna pihak
lain yang membuatnya. Devaluasi tersebut mungkin didasarkan aas emosionalitas “saya tidak
menyukainya” atau pada ketidakpercayaan yang dimunculkan pengalaman masalalu.
Proses devaluasi reaktif, penggunaan dasar emosionalitas dan ketidakpercayaan terhadap pihak
lain serta cenderung subjektif. Sehingga akan menilai rendah dan mendevaluasi konsesi pihak
lawan. Maka, seorang negosiator hendaknya menjunjung tinggi objektivitas proses negosiasi
dan menghindari penggunaan dasar emosi maupun prasangka yang buruk.
2.2.2
MENGATUR KESALAHPAHAMAN DAN BIAS KOGNITIF
Semakin kompleks situasi, semakin banyak kesempatan yang terdapat untuk bias nformasi dan
distorsi untuk menghalangi penilaian dan pembuat keputusan. Berikut jebakan keputusan yang
dapat
terjadi:
a. Mener junkan Diri. Mencakup pencapaian sebuah kesimpulan masalah sebelum sepenuhnya
mengidentifikasi esensi atau inti permasalahan.
b. Kepercayaan Diri berlebih dalam penlaian seserang. Melibatkan pemblokiran, pengabaian,
atau kegagalan untuk mencari informasi faktual yang mungkin bertentangan dengan asumsi
dan opini seseorang
c. Membingkai kebutaan. Melibatkan persepsi, kemudian memecahkan, hal yang salah
d. Kurangnya control bingkai. Melibatkan kegagalan untuk menguji bingkai-bingkai berbeda
untuk memastikan apakah mereka sesuai dengan isu yang sedang didiskusikan.
e. Pandangan singkat. Melibatkan penyalahgunaan heuristic atau aturan induk,seperti
menggunakan refrensi yang mudah namun menyesatkan.
f. Menembak dari pinggul. Melibatkan pengaturan informasi yang terlalu banyak dalam pikiran
seseorang daripada mengadaptasi dan menggunakan proses evaluasi dan pilihan yang
sistemastis.
g. Kegagalan kelompok. Mencakup pengaturan proses kelompok secara tidak efektif.
h. Membodohi diri anda mengenai tanggapan. Mencakup kegagalan untuk menggunakan
tanggapan dengan benar, baik untuk melindungi ego seseorang atau melalui bias tinjauan.
i. Tidak tepat jalur. Mencakup asumsi bahwa pembelajaran terjadi secara otomatis, maka tidak
menjaga catatan sistematis dari keputusan-keputusan dan hasil yang terkait.
j. Kegagalan untuk
mengaudit proses keputusan seseorang. Mencakup kegagalan untuk
menetapkan dan menggunakan sebuah rencana untuk menghindari jebakan yang telah
disebutkan disini.
Berikut menggambarkan satu cara berpikir yang berguna mengenai bagaimana negosiator
dapat lebih efektif dalam membentuk hasil yang lebih baik melalui pembingkaian ulang.
a. Pisahkan emosi dari ekspresinya. Mungkin emosi benar-benar merupakan cara bagi orang lain
untuk menunjukkan minat yang penting.
b. Tukar Posisi. Tempatkan diri anda pada posisi orang lain, ini membantu anda untuk mengetahui
sebuah situasi ketika letupan emosi ini diperbolehkan.
c. Refleksikan kembali emosi yang diekspresikan kepada pihak lain.
d. Bertanyalah untuk mengetahui isu dan minat di balik emosi tersebut.
2.3 EMOSI
Emosi selalu hadir dalam setiap aktivitas manusia, termasuk saat bernegosiasi. Emosi
mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Emosi juga menular. Orang yang
mengekspresikan emosinya secara ekspresif akan mempengaruhi orang yang kurang ekspresif.
Seorang negosiator yang baik akan mengelola emosi negatif yang ada dalam dirinya dan
menampilkan emosi positif. Dia akan mengatakan dan melakukan hal-hal yang juga bisa
membawa keluar emosi positif orang lain.
Seorang negosiator seharusnya menganggap proses negosiasi sebagai kesempatan untuk
berkolaborasi dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Hindarilah penggunaan katakata seperti ‘aku’, ‘saya’, ‘kamu’, atau pun ‘anda’, karena itu akan membuat negosiasi terlihat
seperti menuju ke arah kompetitif. Kata-kata ini menunjukkan bahwa saya akan menang dan
anda akan kalah, atau sebaliknya, sehingga akan sulit untuk mencapai hasil win-win. Maka
sebaiknya cobalah untuk menggunakan kata ‘kami’, karena kata tersebut menggambarkan
bahwa kita dan klien berada pada sisi yang sama. Kata-katayang kita gunakandalam
negosiasisangat mempengaruhi suasana emosional rekan kita. Hindari kata-kata negatif yang
dapat memancing emosional.
Dua hal yang paling mungkin untuk menggagalkan negosiasi adalah kemarahan dan ketakutan.
Ada empat tipe dasar ketakutan:
Fear of the unknown.
Orang-orang takut terhadap apa yang mereka tidak tahu. Solusi untuk menghadapi ketakutan
ini adalah melakukan persiapan. Pelajari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya informasi dan
persiapkan plan B kita secara matang.
Fear of loss.
Terkadang ketika seseorang merasa takut kalah, itu menjadi motivasi mereka sehingga
mendapatkan hasil yang positif. Namun, tidak sedikit pula orang yang mengambil hasil yang
buruk dikarenakan mereka takut kehilangan apa yang telah mereka investasikan. Sehingga
sebelum melakukan negosiasi, kita harus tahu bottom line dan rencana B yang akan kita
gunakan.
Fear of failure.
Takut gagal berhubungan dengan emosional, seperti takut akan reputasinya turun, takut malu
atau kehilangan muka. Biasanya ketakutan akan kegagalan lebih dirasa sulit untuk dihadapi
dibandingkan ketakutan yang lainnya. Solusi untuk menghadapi ketakutan ini adalah dengan
mempersiapkan dan mengecek tim negoisasi kita tentang apa saja yang akan dibicarakan.
Fear of rejection.
Kebanyakan orang, setelah mendengar kata “tidak” langsung berkecil hati dan menyerah.
Mereka menyamakan penolakan permintaan mereka sebagai penolakan kepada mereka secara
pribadi, dan terkadang mereka hanya tidak ingin mengambil risiko untuk ditolak untuk kedua
kalinya. Untuk mengatasi ketakutan akan penolakan, ingatkan diri kita bahwa hanya ide kita
saja yang sedang ditolak, bukan diri kita. Penolakan mungkin terjadi karena rekan kita tidak
mengerti permintaan kita, sehingga lanjutkan dengan pertanyaan “mengapa tidak?” agar kita
memahami pemikirannya.
Emosi terbagi menjadi 2
Emosi Positif :
1. Meningkatkan Proses Negosiasi
2. Menciptakan perasaan positif terhadap pihak lain
3. Membuat negosiasi bertahan
ASPEK PROSES NEGOSIASI DALAM EMOSI POSITIF
1.
Timbul dari dipatuhinya prosedur dalam negosiasi
2. Timbul karena sebuah hasil dari perbandingan sosial yang diinginkan
Emosi Negatif :
1. Menimbulkan beberapa pihak mengartikan sebuah situasi negosiasi sebagai sesuatu yang
kompetitif
2. Menimbulkan gangguan pada negosiator dalam menganalisis
3. Membuat pihak-pihak meningkatkan konflik
4. Membuat pihak-pihak membalas dan menggagalkan hasil yang integratif
5. Tidak semua emosi negatif membawa efek yang sama.
ASPEK PROSES NEGOSIASI DALAM EMOSI NEGATIF
1. Emosi negatif dapat diakibatkan dari pola pikir kompetitif
2. Emosi negatif dapat diakibatkan dari kebuntuan
3. Emosi negatif semata-mata diakibatkan dari prospek dalam memulai negosiasi.
BAB 3
PENUTUP
Presepsi adalah Adalah suatu proses dimana seseorang melakukan pemilihan,
penerimaan, pengorganisasian, dan penginterpretasian atas informasi yang diterimanya dari
lingkungan. Merupakan suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami
informasi tentang lingkungannya. Dalam negosiasi sering terjadi apa yang disebut dengan
distorsi presepsi. Ketika bernegosiasi ada kebutuhan, keinginan, motivasi, dan pengalaman
pribadi preseptor yang mungkin menciptakan predisposisi mengenai pihak lain. Hal ini
menyebabkan ke khawatiran ketika predisposisi mengarah pada bias dan kesalahandalam
presepsi serta komunikasi lanjutan. Ada empat kesalahan preseptual utama: Stereotip, Efek
halo, presepsi selektif, dan proyeksi. Kemudian kita mengenal juga apa yang disebut dengan
pembingkaian yang pada intinya berguna untuk mengatur konflik.
Kognisi manusia tidak selalu bersifat rasional karena melibatkan banyak bias dalam
persepsi dan dalam ingatan manusia. Sebaliknya, emosi juga tidak selalu bersifat rasional,
emosi dapat menyatukan manusia, mengatur jalannya sebuah hubungan dan memotivasi orang
dalam mencapai suatu sasaran. Tanpa kemampuan merasakan emosi, manusia akan mengalami
kesulitan dalam mengambil keputusan atau dalam merencanakan masa depannya. Selama
proses negosiasi, sangat penting untuk menjaga persepsi diantara pihak yang terlibat. Sehingga
penyampaian gagasan masing-masing pihak seharusnya harus dapat diterima dengan jelas oleh
pihak lawan. Sehingga tidak menimbulkan mispersepsi yang berakibat terhadap kepentingan/
keputusan yang diperoleh tidak dapat sesuai dengan keinginan awal. Kognisi adalah aspek yang
harus diperhatikan dan dipahami antar negosiator yang mencakup latar belakang serta minat,
target mauun perspektif. Sehingga tercipta persepsi yang benar dan bukan mispersepsi yang
tidak diharapkan terjadi. Emosi adalah aspek psikologis negosiator yang harus dijaga tetap
dalam sisi yang positif, sehingga menciptakan konsekuensi terjadinya negosiasi yang lebih
integratif dan kesepahaman atas sikap positif satu sama lain. Yang diharapkan dari keduanya,
bahwa dengan adanya emosi yang positif sehingga menciptakan suasana yang nyaman dan
kondusif serta dukungan kognisi yang mencakup berbagai aspek yaitu minat, target mauun
perspektif dengan saling memahami antar pihak negosiator, maka akan menciptakan proses
dan hasil negosiasi yang optimal antara kedua belah pihak.
Dalam negosisasi selain pengaruh dari persepsi dan kognitif, terdapat juga pengaruh
dari emosi, karena emosi sendiri akan mempengaruhi tindakan dalam negosiasi. Negosiator
yang baik akan mampu mengendalikan emosi yang bersifat negatif. Sehingga keluaran
negosiasi negatif seperti halnya frasa yang diucapkan dalam kalimat negosiator tidak
memancing emosi negatif negosiator lainnya.
Download