BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1 Pengertian Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2009). Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai di manamana sejak dahulu kala. Sebelum Kraepelin tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang sekarang dinamakan skizofrenia, (Kaplan dan Sadock, 2003). Gangguan skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan beperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2004). Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox (muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2010). Berdasarkan teori diatas maka dapat disimpulkan pengertian skizofrenia adalah gangguan jiwa yang menetap, bersifat kronis dan bisa terjadi kekambuhan dengan gejala psikotik beranekaragam dan tidak khas, seperti: penurunan fungsi 10 11 kognitif yang disertai halusinasi dan waham, afek datar, disorganisasi perilaku dan memburuknya hubungan sosial. 2.1.2 Tanda dan Gejala Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Fase prodromal Biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. 2. Fase aktif Gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual. 3. Fase residual Gejala-gejala fase ini sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif 12 berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial) (Luana, 2007). Sedangkan menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : 1) Gejala primer. Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan emosi, gangguan kemauan serta autisme. 2) Gejala sekunder. Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan gejala katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain. 2.1.3 Jenis Skizofrenia 1) Skizofrenia simpleks Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2008). 13 2) Skizofrenia hebefrenik Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2008) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali. 3) Skizofrenia katatonik Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik. a. Stupor katatonik Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak. b. Gaduh gelisah katatonik Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar. 14 4) Skizofrenia Paranoid Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan (Maramis, 2008). 5) Episode skizofrenia akut Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya. Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadangkadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya (Maramis, 2008). 6) Skizofrenia residual Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia (Maramis, 2008). 7) Skizofrenia skizoafektif Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2008). 15 2.1.4 Penatalaksanaan Skizofrenia Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari, 2009). WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah gangguan jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan seperti puskesmas dan rumah sakit. 1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga 2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat 3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas 4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas Penerapan nyata yang dilakukan oleh pihak RSJ melalui 4 level tersebut yaitu: 1) Level 4 : melakukan home visit, namun tidak ke semua pasien (hanya yang bermasalah). Contohnya pasien yang jarang dikunjungi pihak keluarga, pasien yang sering mengalami kekambuhan, dan pasien dengan riwayat pemasungan. 2) Level 3 : memberikan penyuluhan/pengobatan gratis melalui program bansos. 3) Level 2 : RSJ memiliki 32 jejaring puskesmas diseluruh Bali. Pihak RSJ juga dengan rutin melakukan kunjungan setiap bulannya disetiap 16 puskesmas, memberikan pengobatan secara rutin, melatih tenaga puskesmas (dokter & perawat) untuk mampu memberikan penanganan pertama pada pasien. 4) Level 1 : RSJ setiap tahunnya melakukan bakti sosial dan program komunitas yaitu penanganan & penyuluhan. 2.2 Konsep Keluarga 2.2.1 Pengertian Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial individu-individu yang didalamnya dilihat dari interaksi yang regular dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum (Achjar, 2010). Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaaan saling ketergantungan (Ali. Z, 2008). 2.2.2 Fungsi Keluarga Fungsi keluarga secara umum menurut Friedman M. (1998) dalam Achjar, (2010) sebagai berikut : 1) Fungsi Afektif (the affective function) 17 Yaitu yang berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Anggota keluarga mengembangkan gambaran dirinya yang positif, peranan yang dimiliki dengan baik dan penuh rasa kasih sayang. 2) Fungsi Sosial (Sosialization And Placement Function) Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melakukan sosialisasi dimana anggota keluarga belajar disiplin norma keluarga, prilaku melalui interaksi dalam keluarga. Selanjutnya individu maupun keluarga berperan didalam masyarakat. 3) Fungsi Reproduksi (The Reproduction Function) Fungsi reproduksi keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia. 4) Fungsi Ekonomi (The Economic Function) Fungsi ekonomi keluarga adalah untukmemenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain. 5) Fungsi Perawatan dan Pemeliharaan Kesehatan (The Health Care Function) Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan dan asuhan kesehatan/keperawatan dan pemeliharaan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu. yang 18 2.2.3 Tipe Keluarga Menurut Achjar (2010) secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1) Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. 2) Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek, nenek, paman, bibi). 2.2.4 Lima Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan Lima tugas keluarga dalam bidang Kesehatan menurut Friedman (1998) dalam Achjar (2010) adalah : 1) Mengenal gangguan perkembangan Kesehatan setiap anggotanya Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan. Karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang di alami anggota keluarga, secara tidak langsung menjadi perhatian orang tua/keluarga. Apabila menyadari adanya perubahan pada anggota keluarga perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahannya. 2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan 19 siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. 3) Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda. Anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah, apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama. 4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga mengetahui sumber – sumber keluarga yang dimiliki, melihat keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan, mengetahui pentingnya hygiene sanitasi, mengetahui upaya pencegahan penyakit, sikap atau pandangan keluarga terhadap hygiene sanitasi, kekompakan antara anggota keluarga. 5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembagalembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitasfasilitas Kesehatan yang ada. Keluarga mengetahui keberadaan fasilitas keluarga,memahami keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan keluarga terhadap petugas dan fasilitas kesehatan, mempunyai pengalaman yang kurang baik terhadap petugas kesehatan, fasilitas kesehatan yang ada terjangkau oleh keluarga. 20 2.3 Persepsi 2.3.1 Pengertian Persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya stimulus (rangsangan) yang diterima melalui lima indera sehingga seseorang dapat menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan dan hal ini dipengaruhi pula oleh pengalaman-pengalaman yang ada pada diri yang bersangkutan. Persepsi dapat dinyatakan pula sebagai proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi stimuli yang diterima pancaindera, ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh (Setiadi, 2010). Persepsi adalah penafsiran suatu obyek, peristiwa atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu (Rahmat, 2010) Menurut Sunaryo (2004) persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indera dengan didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal yang di amati, baik yang ada diluar maupun di dalam diri individu. Dengan demikian, rangsangan yang diterima alat indra setiap individu tiap keluarga yang kemudian diterima oleh otak menjadi sebuah informasi dan merupakan interpretasi yang dimiliki oleh keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Informasi yang diperoleh tersebut akan digunakan sebagai pengetahuan dalam merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia. 21 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah pengenalan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. 2.3.2 Proses Pembentukan Persepsi Proses terjadinya persepsi pada diri individu tidak berlangsung begitu saja, tetapi melalui suatu proses. Proses persepsi adalah peristiwa dua arah yaitu sebagai hasil aksi dan reaksi, terjadinya persepsi melalui suatu proses, yaitu melalui beberapa tahap sebagai berikut: 1) Suatu obyek atau sasaran menimbulkan stimulus, selanjutnya stimulus tersebut ditangkap oleh alat indera. Proses ini berlangsung secara alami dan berkaitan dengan segi fisik. Proses tersebut dinamakan proses kealaman; 2) Stimulus suatu obyek yang diterima oleh alat indera, kemudian disalurkan ke otak melalui syaraf sensoris. Proses pentransferan stimulus ke otak disebut proses psikologis, yaitu berfungsinya alat indera secara normal, dan 3) Otak selanjutnya memproses stimulus hingga individu menyadari obyek yang diterima oleh alat inderanya. Proses ini juga disebut proses psikologis. Dalam hal ini terjadilah adanya proses persepsi yaitu suatu proses di mana individu mengetahui dan menyadari suatu obyek berdasarkan stimulus yang mengenai alat inderanya (Walgito, 2009). 22 Menurut Setiadi (2010) sesungguhnya persepsi dibentuk oleh tiga pengaruh yakni : a. Karakteristik dari stimuli (rangsangan) dimana stimulus merupakan hal diluar individu yang dapat berbentuk fisik, visual atau komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi tanggapan individu. b. Hubungan stimuli dengan sekelilingnya. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya, oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif, hal tersebut berarti bahwa setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap satu objek yang sama. c. Kondisi yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. 2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Rahmat (2010) faktor-faktor yang menentukan persepsi dibagi menjadi dua yaitu : faktor fungsional dan faktor struktural. 1) Faktor fungsional Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. 2) Faktor struktural Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik terhadap efek-efek syaraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut 23 teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Tertarik tidaknya individu untuk memperhatikan stimulus dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor internal (kebiasaan, minat, emosi dan keadaan biologis) dan faktor eksternal (intensitas, gerakan, dan pengulangan stimulus). 1) Faktor eksternal a. Gerakan, seperti organisme lain, bahwa manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak. Contohnya kita senang melihat huruf dalam display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan. b. Intensitas stimuli, dimana kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. c. Kebaruan, bahwa hal-hal baru, yang luar biasa, yang berbeda akan lebih menarik perhatian. d. Perulangan, hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Disini unsur “familiarity” (yang sudah kita kenal) berpadu dengan unsur-unsur “novelty” (yang baru kita kenal). Perulangan juga mengandung unsur sugesti yang mempengaruhi bawah sadar kita. 2) Faktor internal a. Kebiasaan, kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu, atau melihat masalah hanya dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas. 24 b. Minat, suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhannya sendiri. c. Emosi, sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat mengesampingkan emosi, walaupun emosi bukan hambatan utama. Tetapi bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi akan mengakibatkan stress, yang menyebabkan sulit berpikir efisien. d. Keadaan biologis, misalnya keadaan lapar, maka seluruh pikiran didominasi oleh makanan. Sedangkan bagi orang yang kenyang akan menaruh perhatian pada halhal lain. Kebutuhan biologis menyebabkan persepsi yang berbeda. Secara umum terdapat 3 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang (Notoatmojo, 2010 ) yaitu : 1) Diri orang yang bersangkutan, apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihat itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual juga turut berpengaruh, serta sikap, motif, kepentinagan, minat, pengalaman dan harapannya. 2) Sasaran dan persepsi tersebut, sasaran itu mungkin berupa ruang benda atau peristiwa, sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. 3) Faktor situasi, persepsi dilihat dari situasi dimana persepsi itu perlu mendapat perubahan, situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam 25 pertumbuhan persepsi seseorang. Pengembangan persepsi seserang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : a. Psikologi, persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. b. Keluarga, pengaruhnya yang paling besar terhadap anak-anak adalah keluarganya. Orang tua telah mengembangkan suatu cara yang khusus didalam memahami dan melihat kenyataan didunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka diturunkan kepada anakanak c. Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat didalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini. 2.3.4 Jenis Persepsi Ada dua macam persepsi, yaitu : 1) External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar diri individu. 2) Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi obyek adalah dirinya sendiri (Sunaryo, 2009). 26 2.3.5 Persepsi Keluarga Tentang Skizofrenia Keluarga merupakan sumber pengobatan yang paling berperan bagi anggota keluarganya yang sakit. Sikap yang baik oleh keluarga serta dukungan sosial dapat melemahkan dampak stress dan secara langsung akan menimbulkan dampak positif bagi kesehatan mental individu. Sikap positif keluarga juga secara langsung akan menurunkan angka kejadian stress individu serta konsekuensi negatifnya (Lestari dan Kartinah, 2012). Persepsi keluarga terhadap skizofrenia tidak tergantung terhadap status sosial-ekonomi keluarga. Persepsi negatif juga sering terjadi pada keluarga dengan status sosial-ekonomi yang tinggi. Persepsi negatif ini, biasanya disikapi keluarga dengan menyerahkan pengobatan sepenuhnya pada pihak rumah sakit, mereka berkeyakinan bahwa dengan perawatan dan pengobatan di rumah sakit jiwa kesempatan untuk sembuh akan menjadi lebih besar (Amelia dan Anwar, 2013). Di negara-negara maju, persepsi masyarakat terhadap skizofrenia lebih didasari oleh pengetahuan psikologis. Sedangkan pada negara-negara berkembang, persepsi masyarakatnya terhadap skizofrenia lebih dipengaruhi oleh unsur mitologi, sehingga sikap dan perilaku keluarga terhadap penderita skizofrenia juga akan dipengaruhi oleh mitos-mitos tersebut. Hal ini mendorong masyarakat untuk membawa pasien ke dukun ataupun pengobatan tradisional lainnya sebagai alternatif utama pengobatan (Nurtanti, 2005) 27 2.3.6 Pengukuran Persepsi Pengukuran persepsi keluarga dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi keluarga mengenai penyakit skizofrenia yang diderita oleh anggota keluarganya. Penilaian terhadap persepsi keluarga didasarkan pada pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Menurut Rahmat (2010), persepsi dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang kemudian ditafsirkan menjadi sebuah gagasan oleh pelakunya. Berdasarkan dari pengalaman keluarga, persepsi dapat dinilai dengan aspek bagaimana persepsi keluarga tentang gejala penyakit skizofrenia, beratnya penyakit skizofrenia, resiko penyakit skizofrenia dan pencegahan penyakit skizofrenia. Persepsi keluarga terhadap skizofrenia dapat digolongkan menjadi persepsi negatif dan persepsi positif. Persepsi keluarga dikatakan negatif apabila skor yang didapatkan kurang dari rata-rata kelas, dan dikatakan positif apabila lebih besar dari rata-rata kelas (Lestari dan Kartinah, 2002). 2.4 Ekspresi Emosi 2.4.1 Pengertian Emosi Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Sehingga dapat diartikan kecenderungan bergerak merupakan hal mutlak dari emosi. Daniel Goleman (2002) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis 28 dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Chaplin (2002) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah atau menyingkir terhadap sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi. 2.4.2 Ekspresi Emosi Ekspresi emosi merupakan kesatuan dari emosi, sikap dan perilaku yang diekspresikan oleh seseorang (Nurtanti, 2005). Ekspresi seseorang merupakan suatu indikator yang dapat digunakan dalam menilai kemunculan ekspresi seseorang. Ekspresi tersebut muncul secara spontan dan seringkali sulit dikontrol. Ekspresi emosi seseorang dipengaruhi oleh genetis seseorang. Charles Darwin, pada abad ke-19 mengatakan bahwa dasar dari ekspresi wajah dari emosi-emosi tertentu merupakan bawaan lahir. 2.4.3 Bentuk-bentuk Ekspresi Emosi Bentuk-bentuk ekspresi emosi manusia yang sering muncul dalam realitas adalah : ekspresi wajah, suara, sikap dan tingkah laku, serta ekspresi lain seperti pingsan, kejang-kejang, ngompol, dan sebagainya. 29 1) Ekspresi Wajah Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum yang tampak. Wajah pucat, merah, mengerut, berseri-seri, atau murung merupakan sederet bentuk ekspresi emosi yang ditunjukkan. Menurut Davidoff (1999), ekspresi wajah bersifat hereditas, karena fakta membuktikan bahwa bayi yang terlahir buta-tuli sekalipun dapat menunjukkan emosi dengan ekspresi-ekspresi yang khas. 2) Ekspresi Suara Ekspresi suara yang sering tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah tawa, bersenandung, berteriak, memaki atau tiba-tiba terenyak dengan tatapan kosong. Namun, mengetahui ekspresi seseorang dengan ekspresi suara tidak mudah dilakukan, karena terkadang suara yang dibuat oleh seseorang tidak mewakili emosi yang mereka rasakan. Akan tetapi, bila dikolaborasikan dengan ekspresi wajah, kedua bentuk ekpresi ini akan lebih menunjukkan emosi yang sedang dirasakan oleh seseorang. 3) Ekspresi Sikap dan Tingkah Laku Seikap adalah kesiapan untuk melakukan suatu tindakan tertentu terhadap sesuatu yang tertentu pula. Ekspresi dalam bentuk tingkah laku cakupannya sangat luas. Ekspresi sikap dan tingkah laku dapat dibagi menjadi dua, yaitu pelibatan diri (attachment) dan pelepasan diri (withdrawal). Tingkah laku emosi dengan pelibatan diri adalah tingkah laku dengan upaya bergerak maju mempertahankan suasana yang menyenangkan pada emosi positif. Sedangkan tingkah laku dalam bentuk pelepasan diri adalah lari dan menghindar dari obyek yang menimbulkan emosi. 30 4) Ekspresi Lain-lain Pada kasus emosi berat, sering dijumpai adanya orang yang mengalami syok berat atau bahkan sampai tidak sadarkan diri (pingsan). Emosi yang menyebabkan pengsan ataupun syok berat ini tidak selalu emosi negatif, namun juga dapat terjadi pada emosi senang yang berlebihan. Selain ekspresi tersebut, ada juga bentuk ekspresi emosi lain seperti mual dan muntah ketika merasa jijik, bergerak tak menentu (linglung) atau perilakuperilaku tidak lazim pada saat keterbangkitan emosi yang intensitasnya luar biasa. 2.4.4 Skala Ekspresi Emosi Menurut Atkinson (1995) dalam penelitian Nurtantri (2005), ekspresi emosi dapat dinilai melalui beberapa skala, yaitu : 1) Kritik/Critical Comments (CC) kritik didasari oleh intonasi suara. Kata-kata yang menyatakan kritik apabila keluarga tidak menyukai, tidak menyetujui atau sikap/perilaku yang menampakkan kemarahan. Ketidakpuasan diekspresikan dengan amarah yang sangat hebat. Kata-kata yang diucapkan oleh keluarga, seperti : “dia mengganggu saya” atau “saya tidak menyukainya”. Aspek vokal untuk mengidentifikasi kritik dinilai dari nada bicara yang tinggi, berbicara cepat, perubahan nada suara dan kekerasan suara. 2) Keterlibatan emosi yang berlebihan/Emotional Over Involment (EOI) EOI didasari oleh terdapatnya respon emosi yang berlebihan terhadap penyakit penderita, ditandai dengan pengorbanan diri yang tidak biasa dan perilaku 31 sayang/setia yang berlebihan, atau memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. 3) Hostilitas/Hostility (H) Hostilitas didasari oleh penyerangan terhadap penderita karena keadaan penyakitnya, bukan karena apa yang penderita lakukan. 4) Kehangatan/Warmth (W) Berdasarkan simpati, keprihatinan, empati yang diperlihatkan oleh keluarga. Menunjukkan minat dan antusiasme terhadap kegiatan penderita, pernyataan kasih sayang secara spontan dan nada suara yang lebut sewaktu membicarakan penderita. 5) Komentar yang positif/Positive Remarks (PR) Pernyataan yang mengungkapkan pujian, persetujuan atau penghargaan terhadap tingkah laku penderita. 2.5 Konsep Kekambuhan 2.5.1 Pengertian Kambuh merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (Andri, 2008). Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu 32 antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006). Kekambuhan pasien skizofrenia adalah munculnya kembali gejala-gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial (Akbar, 2008). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan kekambuhan pasien skizofrenia adalah kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda. Kekambuhan menunjukkan kembalinya gejala-gejala penyakit yang sebelumnya cukup parah dan menganggu aktifitas sehari-hari dan memerlukan rawat inap dan rawat jalan yang tidak terjadwal. 2.5.2 Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia Frekuensi kekambuhan dinilai dari banyaknya jumlah kekambuhan yang dialami pasien dalam kurun waktu tertentu. Sebuah studi yang dilakukan di Hongkong oleh Christy (2011) menemukan bahwa dari 93 pasien psikosis, tingkat kekambuhan adalah 21% pada tahun pertama, 33% pada tahun kedua, dan 40% pada tahun ketiga. Penelitian lain di wilayah kerja Puskesmas Mantup Lamongan menyatakan bahwa kekambuhan skizofrenia adalah 1-2 kali dalam satu tahun. 33 Menurut Nurdiana (2007) dalam Nifu (2012) kejadian kekambuhan skizofrenia dapat dikategorikan menjadi kategori rendah, tinggi dan sedang. Dikatakan kategori rendah apabila klien tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun, sedang apabila klien kambuh satu kali dalam waktu kurang dari satu tahun dan tinggi apabila klien kambuh lebih dari dua kali dalam satu tahun. 2.5.3 Tanda dan Gejala Kekambuhan Menurut Samsara (2010), beberapa tanda dan gejala awal kekambuhan yang perlu dikenali oleh anggota keluarga : 1. Mulai menarik diri dari lingkungan : tidak mau bergaul, mengurung diri di dalam kamar, asyik dengan kegiatan pribadi 2. Mengabaikan perawatan diri, tidak mau mandi, membiarkan rambut kotor dan kuku tidak kotor dan tidak dirawat 3. Perilaku aneh dan tidak biasanya seperti bicara dan tertawa sendiri 4. Mendengar suara yang tidak ada sumbernya, adanya idea tau pikiran yang aneh-aneh 5. Susah tidur, malam lebih banyak terjaga, mondar-mandir dan mengerjakan sesuatu yang tidak jelas 6. Emosi berubah, mudah marah, ketakutan dan gelisah 7. Susah untuk konsentrasi 8. Mudah lupa 9. Merasa gelisah dan kuatir setiap saat 34 10. Perasaan takut kepada orang lain, barang dan tempat yang biasaanya serta curiga yang terlau berlebihan 11. Merasakan orang lain membicarakan dan mentertawakan dirinya 2.5.4 Tahap-Tahap Kekambuhan Menurut Stuart dan Sundeen (2005), relaps dibagi menjadi 4 tahap, yaitu : 1. Overextension Tahap ini menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Pasien mengeluh perasaannya terbebani. Gejala dari cemas makin intensif dan energi yang besar digunakan untuk mengatasi hal ini. 2. Restricted Consciousnes Tahap ini menunjukkan pada kesadaran yang terbatas. Gejala yang sebelumnya cemas digantikan oleh depresi 3. Disinhibition Penampilan pertama pada tahap ini adalah adanya hipomania dan biasanya meliputi munculnya halusinasi (Halusinasi tahap 1 dan II) dan delusi, dimana pasien tidak lagi mengontrol defense makanisme sebelumnya telah gagal disini. Hipomania awal ditandai dengan mood yang tinggi. Kegembiraan optimisme dan percaya diri. Gejala lain dari hipomania ini adalah percaya diri yang berlebihan, waham kebesaran, mudah marah, senang dan bersukaria dalam menghamburhamburkan uang, euphoria. 35 4. Psikotic Disorganization Pada saat ini gejala psikotik sangat jelas dilihat. Tahap ini diuraikan sebagai berikut : a. Pasien tak lagi mengenal lingkungan/orang yang familiar dan mungkin menuduh anggota keluarga menjadi penipu. Agitasi yang ekstrim mungkin terjadi, fase ini dikenal sebagai penghancuran dari dunia luar. b. Pasien kehilangan identitas dan mungkin melihat dirinya sendiri sebagai pihak orang ke-3. Fase ini menunjukkan kehancuran pada diri. c. Total Fragmentation adalah kehilangan kemampuan untuk membedakan realitas dari psikosis dan kemungkinan dikenal sebagai loudly psychotic d. Psychotic Resolution Tahap ini terjadi di rumah sakit. pasien diobati dan masih mengalami psikosis tetapi gejala berhenti atau diam. 2.5.5 Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress (Akbar, 2008). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kekambuhan skizofrenia, meliputi faktor individu, faktor terapi dan faktor lingkungan. Faktor individu merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pasien, salah satunya adalah 36 kepercayaan pasien terhadap pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan merupakan satu hal yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kekambuhan, karena hal ini akan berdampak terhadap kepatuhan klien dalam menjalani pengobatan (Chi Mei dalam Inneke, 2011). Faktor terapi yang dimaksud adalah faktor yang berasal dari terapis. Dokter berperan dalam pengobatan klien, memberikan obat dengan efek samping merugikan yang minimal. Efek samping yang umum dan penting adalah efek samping pada ekstrapiramidal, gangguan seksual, dan penambahan berat badan. Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatannya kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan (Loebis dalam Inneke, 2011). Selain itu, tenaga kesehatan seharusnya membangun hubungan terapeutik dengan pasien. Pasien dan keluarga harus diberi informasi tentang penyakitnya. Faktor terakhir adalah faktor lingkungan, yang termasuk di dalamnya adalah keluarga, teman dan masyarakat luas. Penerimaan lingkungan sosial terhadap keberadaan pasien skizofrenia secara langsung akan mempengaruhi kesehatan mental pasien. Sebaliknya stigma negatif serta isolasi dari lingkungan sosial akan memicu stress pasien yang akan berujung pada kambuhnya skizofrenia. 2.5.6 Peran Keluarga dalam Mencegah Kekambuhan Menurut Samsara (2010), beberapa hal yang perlu diperhatikan keluarga untuk mencegah kekambuhan antara lain : 1) Memastikan obat diminum 37 2) Memotivasi dan membawa anggota keluarganya yang menderita skizofrenia untuk kontrol ke dokter secara teratur 3) Memberikan dukungan dan rasa aman serta kehangatan 4) Menerima orang dengan skizofrenia apa adanya, tidak menyalahkan, mengkritik, membanding-bandingkan atau mengucilkan 5) Melibatkan anggota keluarganya yang menderita skizofrenia pada berbagai kegiatan atau pekerjaan yang seusia dengan kemampuannya 6) Menghindari terjadinya masalah kehidupan yang terlalu berat