Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi 2.1.1 Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk membentuk karakteristik-karakteristik tertentu dalam proses sosialisasi, yang kemudian membentuk suatu pola yang disebut pola asuh orang tua. Baumrind (dalam Santrock, 2009) menyebutkan empat jenis pola pengasuhan anak yang biasa diterapkan oleh orang tua. Authoritarian Parenting, Authoritative Parenting, Neglectful Parenting, Indulgent Parenting 2.1.2 Jenis Pola Asuh a. Authoritarian Parenting Merupakan pola asuh yang bersifat menghukum, memiliki kendali yang kuat dan memberikan batasan yang jelas. Orang tua yang otoriter cenderung bersikap memaksakan kehendak atau keinginan terhadap anak mereka. Remaja dengan penerapan pola asuh ini biasanya memiliki permasalahan dalam perilaku sosial, kemampuan komunikasi yang rendah dan mengalami kesulitan dalam memulai suatu ,hal ini dikarenakan anak tidak terbiasa melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri b. Authoritative Parenting Merupakan pola asuh yang sifatnya mendorong anaknya untuk hidup mandiri atau berbuat sesukanya tetapi tetap memberikan batasan dan control pada sikap dan perilaku anak. Orang tua yang authoritative cenderung ramah dan dapat mendengarkan pemikiran dan keinginan anak. Anak dengan penerapan pola asuh ini memiliki kemampuan sosial yang kompeten. c. Neglectful Parenting Merupakan pola asuh yang bersifat tidak peduli. Tidak peduli yang dimaksud dalam pola asuh ini adalah orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anaknya. Anak dengan pola asuh ini cenderung tidak mempunyai kemampuan sosial yang kompeten, terutama kurangnya self-control dan rendahnya self-esteem. 4 d. Indulgent Parenting Merupakan pola asuh yang sangat terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua biasa terlibat dalam kehidupan anaknya dengan selalu memenuhi segala keinginan anaknya. Segala keinginan cenderung dipenuhi dengan sedikitnya kontrol terhadap anaknya. Anak dengan pola asuh ini cenderung tidak mempunyai kemampuan sosial yang kompeten, terutama kurangnya self-control dan kurang menghormati orang lain. 2.1.3 Persepsi Menurut Mulyana (2000) persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi.selanjutnya Mulyana mengemukakan persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan lain. persepsi timbul karena adanya dua faktor baik internal maupun eksternal. faktor internal tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk di dalamnya sistem nilai, tujuan, kepercayaan dan tanggapannya terhadap hasil yang dicapai. faktor eksternal berupa lingkungan. kedua faktor ini menimbulkan persepsi karena didahului oleh suatu proses yang dikenal dengan komunikasi. Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penghlihatan, pendengaran, penghayatan, persaan, dan penciuman. kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang untik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. 2.2 Regulasi Emosi 2.2.1 Definisi Emosi Ada tiga kunci utama dalam memahami emosi, yang pertama emosi adalah sebuah pemikiran yang muncul ketika individu dihadapi oleh suatu situasi dan relevan dengan tujuan individu (Lazarus dalam Lewis, 2010). Yang kedua emosi di konsepkan sebagai berbagai segi, diwujudkan dalam fenomena yang berkaitan dengan perubahan dalam domain subjective experience, perilaku, dan peripheral physiology (Mauss et.al dalam Lewis, 2010). Yang ketiga emosi dapat dibentuk, emosi yang dimiliki 6 mempunyai kualitas penting, sehingga individu bisa menginterupsi apa yang sedang dilakukan dan memaksakannya sesuai dengan awareness (Frijda dalam Lewis, 2008). Dalam kehidupan sehari-hari banyak kesalahan dalam penggunaan kata emosi. Emosi yang biasa diucapkan oleh masyarakat kebanyakan mempunyai makna sebagai perasaan. Emosi tidak sama dengan perasaan, menurut William James (dalam Lewis, 2008) emosi adalah kecenderungan dalam merespon yang dimodulasi dengan banyak cara. 2.2.2 Modal Model of Emotion Situation Attention Appraisal Response Gambar 2.1 Modal Model of Emotion Untuk mempermudah memahami mengenai teori tentang emosi yang memiliki beberapa kunci utama dan teori mengenai emosi lainnya, dapat digunakan modal model of emotion yang digagas oleh Gross & Thompson (dalam Lewis, 2010). Gambar 2.1 merupakan skema modal model of emotion berdasarkan skema tersebut emosi muncul dalam konteks person-situation transaction. Emosi melibatkan attention yang memiliki arti bagi individu dan dapat membuat berbagai respon yang terkoordinasi dan dapat dibentuk dalam person situation transaction (Lewis, 2010). 2.2.2 Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah proses dimana kita mempengaruhi emosi yang kita miliki, ketika kita memiliki emosi, dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi (Gross, 2002). Regulasi Emosi berisi tentang keefektifan dalam mengontrol emosi yang muncul untuk beradaptasi dan mencapai tujuan (Santrock, 2009). Proses dalam regulasi emosi dapat melibatkan beberapa tingkatan sistem di antaranya fisiologis, atensi, kognitif, perilaku, dan tingkat interpersonal (Southam-Gerow & Kendallb dalam Hsieh, 2010). Regulasi emosi (Aftrinanto, 2010) dapat ditumbuhkan dengan adanya pembelajaran regulasi diri. Pembelajaran regulasi diri adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan prilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, dan mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengontrol kemarahan dan belajar akrab dengan teman sebaya). 2.2.3 Perkembangan Regulasi Emosi Kemampuan Regulasi emosi sudah ada diawal tahap perkembangan yaitu bayi dan anak-anak. Anak mulai mengembangkan kemampuan self-soothing skills seperti mengisap dan memberikan tanda tidak nyaman. Selama tahap preschool anakanak mengembangkan kemampuan dan keahlian yang dapat membuat mereka mengontrol emosi dan perilaku untuk adaptasi sosial. Dari tiga sampa enam tahun anak-anak mulai mengembangkan strategi untuk meregulasi emosi dan juga emotional knowledge. Perkembangan regulasi emosi pada masa anak-anak berkaitan dengan sosialisasi orang tua, temperamen anak, perkembangan kognitif, dan perkembangan social. Dari dua belas hingga delapan belas tahun regulasi emosi pada anak di pengaruhi faktor kontekstual. Pada saat remaja anak lebih memperhatikan konsekuensi terhadap orang lain dalam menampilkan beberapa emosi (Hsieh, 2010). 2.2.4 Proses Model Regulasi Emosi Gambar 2.2 Proses Model Regulasi Emosi 8 Proses dari regulasi emosi berlangsung melalui lima tahap (Gross, 2002) 1. Situation selection, meliputi complex trade off antara manfaat emosional jangka pendek dan jangka panjang. Contohnya seorang yang pemalu akan memilih menjauhi situasi sosial. 2. Situation modification, direferensikan juga sebagai problem focused coping. Contohnya satu hari sebelum ujian seorang teman bertanya apakah sudah siap untuk ujian, lalu individu menyatakan lebih memilih topik obrolan lain. 3. attentional deployment, digunakan untuk memilih aspek mana dalam situasi yang akan di fokuskan. 4. Cognitive change, ketika individu memilih pemikiran terhadap sebuah situasi yang mempunyai beberapa aspek. Contoh ketika mendapatkan nilai dalam ujian individu dapat berpikir bahwa itu hanya ujian atau ujian merupakan tolak ukur kepintaran seseorang. 5. Response modulation adalah keadaan dimana individu mempengaruhi fisiologis, pengalaman, atau respon perilaku yang relatif langsung. 2.2.5 Strategi Regulasi Emosi Dalam 5 proses tersebut, di dalamnya terdapat dua strategi untuk meregulasi emosi, yaitu dari antecedent focus emotion regulation dan response focus modulation (Gross, 2002). Secara umum strategi regulasi emosi berasal dari kognitif dan fisiologis. Dalam antecedent focus regulation strategi yang digunakan adalah cognitive reappraisal lalu pada response focus modulation strategi yang digunakan adalah suppression. Pertama, Cognitive Reapraisal yaitu sebuah bentuk perubahan pemikiran mengenai situasi untuk mengurangi dampak emosional. Cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi paling efektif. Cognitive reappraisal dapat mengurangi pemaknaan situasi negatif menjadi netral dan terhindar dari perilaku maladaptive rumination. Maladaptive rumination adalah kondisi saat individu terus mempertanyakan kepada dirinya mengenai hal-hal negatif (apakah aku sedih?, apakah aku pantas mendapat perlakuan seperti ini ?) rumination dalam bahasa Indonesia berarti merenung. perilaku maladaptive rumination dapat membuat seseorang menjadi depresi dalam jangka waktu yang cukup lama. (Sheppes & Gross, 2012) Kedua, Suppression adalah menghambat perilaku emotion-expressive yang sedang berlangsung. Emotion-expressive adalah ekspresi atau reaksi dari hasil proses regulasi emosi. Cara dalam menghambat perilaku emotion-expressive beragam bentuknya namun biasanya berasal dari aktifitas fisiologis. Beberapa contoh Suppression merupakan strategi yang memerlukan usaha yang lebih dalam meregulasi emosi dan lebih maladaptive. 2.2.6 Dampak Strategi Regulasi Emosi Dampak Afektif dari strategi regulasi emosi berdasarkan model proses regulasi emosi cognitive reappraisal dapat mengubah seluruh respon emosional mengarah ke perilaku, pengalaman, dan respon fisiologis yang lebih rendah sedangkan suppression dapat mengurangi perilaku namun tidak dapat mengurangi pengalaman emosional dan mungkin meningkatkan respon fisiologis dalam mengekspresikan emosi. Dampak kognitif dari strategy regulasi emosi suppression membutuhkan individu untuk mengoreksi dan mengawasi diri dari respon selama mengalami situasi emosional. Untuk cognitive reappraisal terlibat sebelum individu menginterpretasikan situasi emosional. Dampak sosial dari strategi regulasi emosi suppression dapat mengurangi respon dari situasi emosi negative ataupun positif sedangkan cognitive reappraisal dapat mengurangi respon dari situasi emosi negatif dan meningkatkan respon situasi emosi positif. 2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa anak-anak dengan masa dewasa, yang terdapat perubahan dari segi biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2008). Penanda seseorang telah memasuki masa remaja adalah pubertas yang terjadi pada pria maupun wanita, karena pubertas terjadi pada remaja awal (Santrock, 2008). Pubertas adalah periode pematangan fisik dan seksual, pada 10 pria ditandai dengan first ejaculation yang biasanya terjadi pada mimpi basah, perubahan suara, dan tumbuhnya pubic hair. Pada wanita pubertas ditandai dengan membesarnya payudara, menstruasi, dan tumbuhnya pubic hair. Batasan usia remaja menurut Santrock (2012) berawal dari usia 10-13 tahun sampai dengan 20 tahun dan masa remaja dibagi menjadi dua periode yaitu masa remaja awal antara 10-13 tahun dan masa remaja akhir usia 18-22 tahun. Di Indonesia Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan rentang usia remaja berawal dari usia 10 sampai dengan 24 tahun. 2.3.2 Perubahan pada Masa Remaja A. Biologis Perubahan biologis yang terjadi sebagai tanda seseorang memasuki masa remaja adalah pubertas. Pubertas adalah sebuah periode dimana kematangan biologis seperti homon dan body shape berkembang dengan cepat (Santrock, 2008). Perubahan yang dapat terlihat jelas pada masa remaja adalah kematangan seksual dan pertumbuhan tinggi dan berat badan. B. Kognitif Piaget (dalam Santrock, 2012) membuat teori bahwa individu mengembangkan kemampuan kognitifnya melalui 4 tahap : sensorimotor preoperational, concrete operational, formal operational. Keempat tahap tersebut dibagi berdasarkan usia individu. Pada masa remaja perkembangan kognitif yang sedang terjadi berada dalam tahap formal operational. Pada tahap ini individu dapat berpikir secara abstrak, Idealistis, dan logis. C. Sosio-emosional Kondisi emosi masa remaja seperti petasan yang dapat meledak kapan pun dan dimana pun tanpa diketahui sebelumnya, Farida (dalam Sari, 2014) . namun pandangan tersebut dianggap terlalu stereotypical karena masa remaja merupakan saat tingkatan emosional berubah dengan cepat (Rosenblum & Lewis dalam Santrock, 2012). Keadaan emosi remaja terkadang merasa sangat melankolis, bersikap minder, mudah tersingung, dan pesimis. Disisi lain terkadang remaja sangat antusias, merasa sangat bahagia dan optimis (Sari, 2014). Dalam masa remaja, individu belajar dalam meregulasi emosi dari konsekuensinya terhadap orang lain (Jabeen, 2015). 2.4 Kerangka Berpikir Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Remaja Strategi Regulasi Emosi : Suppresion & Reappraisal Pola Asuh Orang Tua - Authoritative Parenting - Authoritarian Parenting - Neglectful Parenting - Indulgent Parenting Remaja sebagai masa transisi dari anak-anak menuju remaja terdapat perubahan dalam segi biologis, kognitif, dan sosioemosinal (Santrock, 2008). Kondisi emosianal remaja dapat meledak kapan saja. Kemampuan regulasi-emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya mengalami kecemasan dan depresi. Individu yang mampu mengelola emosi-emosinya sebagai efektif, akan lebih memiliki daya tahan untuk tidak terkena kecemasan dan depresi. Terutama jika individu mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi, Thompson & Goleman (dalam Safaria, 2007). Dalam meruglasi emosi terdapat dua strategi yang di gunakan oleh individu, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Cognitive Reapraisal yaitu sebuah bentuk perubahan pemikiran mengenai situasi untuk mengurangi dampak emosional. Cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi paling efektif (Sheppes dan 12 Gross, 2012) dan Suppression adalah strategi regulasi emosi untuk menghambat perilaku emotion-expressive yang sedang berlangsung. Orang tua dapat membentuk kemampuan dan bentuk regulasi emosi pada anak-anak dari interaksi dan hubungan antara orang tua dan anak (Parke, Cassidy, Burks, Carson, & Boyum dalam Jabeen, 2015). Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara pola asuh Authoritarian Parenting, Authoritative Parenting, Neglectful Parenting, Indulgent Parenting terhadap regulasi emosi pada remaja.