1 PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL

advertisement
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL
PROBLEM BASED LEARNING DIPADU NUMBER HEAD TOGETHER
MELALUI LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 9 MALANG
Eka Prihatini Sulistyo1, Herawati Susilo2, dan Eko Sri Sulasmi3
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang1
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan hasil belajar biologi siswa. Data keterlaksanaan pembelajaran berupa keberhasilan kegiatan pembelajaran yang diukur menggunakan lembar observasi
keterlaksanaan pembelajaran, data kemampuan berpikir kritis berupa pertanyaan
kognitif dan jawaban tes kemampuan berpikir kritis, data hasil belajar kognitif
berupa jawaban tes kognitif yang diukur menggunakan soal tes kognitif, data
hasil belajar afektif berupa penilaian sikap siswa selama mengikuti proses
pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PTK melalui
LS dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, kemampuan berpikir kritis, dan
hasil belajar.
Kata Kunci: pembelajaran kooperatif problem based learning dan number headtogether, Lesson Study, kemampuan berpikir kritis, hasil belajar.
Kegiatan pembelajaran biologi diharapkan dapat memberikan pengalaman
langsung kepada siswa, namun belum semua guru menggunakan model
pembelajaran yang inovatif. Masih banyak kegiatan pembelajaran biologi yang
dilakukan secara konvensional serta menggunakan model pembelajaran yang
kurang inovatif. Hasil observasi di kelas X-2 SMA Negeri 9 Malang menunjukkan
bahwa kecakapan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif siswa rendah dilihat
dari aktivitas siswa yang pasif dan hanya beberapa yang aktif bertanya dan
menanggapi atau menjawab pertanyaan.
Selama PPL guru telah menerapkan model pembelajaran Picture and
Picture, Analisis kritis Artikel dan Teams Games Tournamen, namun siswa yang
sering bertanya hanyalah siswa yang aktif, siswa yang lain masih kurang termotivasi. Ketiga model pembelajaran tidak cocok untuk kondisi kelas yang
kurang aktif bertanya sehingga guru harus membuat inovasi untuk mengatasi
permasalahan di kelas X-2. Inovasi yang dilakukan adalah dengan menerapkan
pembelajaran kooperatif model problem based learning dipadu number head
together melalui lesson study.
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran
yang berfokus pada penyajian permasalahan yang nyata sebagai suatu konteks
bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah melalui serangkaian penelitian atau investigasi serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang penting dari materi pelajaran (Nurhadi, 2004;
Pannen dalam Risnawati, 2005).
1
Eka Prihatini Sulistyo adalah mahasiswa Jurusan Biologi angkatan 2009 Universitas Negeri
Malang. Artikel diangkat dari skripsi dengan judul yang sama pada program Sarjana Pendidikan.
2
Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D adalah Dosen Biologi Universitas Negeri Malang.
3
Dra. Eko Sri Sulasmi, M.S adalah Dosen Biologi Universitas Negeri Malang.
1
2
Number Head Together (NHT) merupakan pembelajaran kooperatif yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat (Lie, 2005).
Lesson study adalah suatu proses kolaboratif pada sekelompok guru ketika
mengidentifikasi pembelajaran, merancang suatu skenario pembelajaran (yang
meliputi kegiatan mencari buku dan artikel mengenai topik yang akan dibelajarkan), membelajarkan peserta didik sesuai skenario (salah seorang guru melaksanakan pembelajaran sementara yang lain mengamati), mengevaluasi dan
merevisi skenario pembelajaran, membelajarkan lagi skenario pembelajaran yang
telah di revisi, mengevaluasi lagi pembelajaran dan membagikan hasilnya dengan
guru-guru lain (mendiseminasikannya) Styler dan Hiebert (dalam Sparks, 1999
dalam Susilo, 2011).
Penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan melalui Lesson study (LS)
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan siswa dalam melaksanakan
pembelajaran. Merencanakan pembelajaran yang dilakukan secara LS menurut
Lewis (dalam Susilo, 2011) bahwa rata-rata guru di Jepang mengamati sekitar
sepuluh pembelajaran yang dikaji setiap tahun yaitu dengan kolaborasi yang
dilakukan dalam pelaksanaan LS dapat menguntungkan karena memberikan
kesempatan kepada guru untuk memikirkan pembelajarannya sendiri dengan cara
mengaitkannya dengan apa yang dilakukan guru lain sehingga dengan LS guru
dapat saling membelajarkan. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan melalui
Lesson study dengan menggunakan pembelajaran kooperatif model PBL dipadu
NHT diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar
siswa.
METODE
Penelitian tindakan kelas yang dilakukan melalui Lesson study yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan siswa dalam melaksanakan
pembelajaran. Terdapat empat tahapan penelitian dalam PTK yaitu perencanaan
tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi tindakan serta refleksi tindakan.
Pelaksanaan tindakan dilaksanakan melalui Lesson study yaitu; 1) plan
(perencanaan); 2) do (pelaksanaan); 3) see (refleksi), yang dilakukan setiap pertemuan dari siklus 1 ke siklus 2. Kegiatan LS dilakukan oleh tim LS yang terdiri
dari 1orang guru model dan 3 orang observer.
Sumber data adalah seluruh siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Malang tahun
ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 siswa dengan rincian 23 siswa perempuan
dan 17 siswa laki-laki. Data yang dikumpulkan yaitu kemampuan berpikir kritis,
hasil belajar kognitif, dan hasil belajar afektif.
Data kemampuan berpikir kritis siswa berupa hasil penilaian terhadap
pertanyaan yang diajukan siswa dan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa.
Pengumpulan data kemampuan berpikir kritis siswa berupa hasil penilaian
pertanyaan yang diajukan oleh siswa dan hasil tes kemampuan berpikir kritis
siswa. Data kemampuan berpikir kritis melalui pertanyaan kognitif siswa
dianalisis dengan menghitung persentase pertanyaan kognitif tingkat C4-C6 dari
siklus 1 ke 2. Data kemampuan berpikir kritis melalui hasil tes kemampuan
berpikir krtis dianalisis dengan menghitung persentase tiap kategori kemampuan
berpikir kritis berdasarkan rumus yang telah ditetapkan.
3
Data hasil belajar kognitif yaitu hasil tes kognitif yang diukur dengan soal
tes kognitif pada akhir siklus. Data dianalisis dengan menghitung persentase
ketuntasan klasikal. Data hasil belajar afektif siswa berupa penilaian sikap siswa
selama mengikuti proses pembelajaran yang dianalisis dengan menghitung ratarata nilai yang diperoleh siswa setiap pertemuan. Data keterlaksanaan kegiatan
diukur dengan menggunakan lembar obervasi keterlaksanaan pembelajaran. Data
keterlaksanaan pembelajaran dianalisis dengan menghitung persentase keterlaksanaan kegiatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Keterlaksanaan Pembelajaran dengan Menggunakan Model PBL dipadu
NHT Melalui LS
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata persentase
keterlaksanaan pembelajaran oleh guru meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 dengan
rata-rata 95,6 pada siklus 1 dan 97,6 pada siklus 2. Ringkasan data keterlaksanaan
pembelajaran oleh guru dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Keterlaksanaan Pembelajaran Oleh Guru Siklus 1-2
No
Siklus
Persentase Keterlaksanaan
Rata-Rata
Pembelajaran
(%)
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1
Siklus 1
100
91
95,6
2
Siklus 2
95
100
97,6
.
Terjadi penurunan persentase sebesar 9 dari pertemuan pertama ke
pertemuan kedua pada siklus 1, penurunan persentase terjadi karena pada
pertemuan kedua guru belum memotivasi siswa untuk menarik kesimpulan dari
pembelajaran serta belum memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksi
pembelajaran, karena terdapat perubahan waktu di SMA Negeri 9 Malang
sehingga waktu yang direncanakan untuk pembelajaran berkurang dan siswa tidak
sempat menarik kesimpulan serta merefleksi pembelajaran. Sedangkan pada
siklus 2 mengalami peningkatan persentase sebesar 5 dari pertemuan pertama kepertemuan kedua, peningkatan persentase ini terjadi karena pada siklus 2
pertemuan pertama berkendala dengan waktu yang terjadi perubahan dari sekolah
sehingga guru tidak sempat memberikan waktu untuk siswa dapat merefleksi
pembelajaran, sedangkan pada pertemuan kedua guru memberikan siswa waktu
untuk merefleksi pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut jika dirata-rata terjadi
peningkatan pada siklus 1 ke siklus 2 sebesar 2% dengan rata-rata persentase 95,6
pada siklus 1 dan 97,6 pada siklus 2, membuktikan bahwa keterlaksanaan oleh
guru meningkat dari siklus 1 ke siklus 2.
Peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2 terjadi karena pembelajaran dilakukan dengan LS, sesuai dengan pendapat Lewis (dalam Ibrohim 2011) LS
merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas mengajar guru
dan aktivitas belajar siswa. Lebih lanjut dinyatakan Lewis (dalam Susilo, 2011)
bahwa keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan secara LS akan memberikan
kesempatan bagi guru untuk mengkaji secara cermat cara dan proses belajar serta
tingkah laku peserta didik.
4
Kendala yang ditemui selama proses pembelajaran menggunakan model
PBL dipadu NHT melalui LS membutuhkan alokasi waktu yang cukup lama
sehingga guru harus bisa mengatur waktu untuk melaksanakan pembelajaran
menggunkan model PBL dipadu NHT, karena jika waktu yang tersedia tidak
cukup dan harus dilanjutkan pada pertemuan berikutnya, maka perhatian siswa
akan terpecah akibatnya siswa membutuhkan waktu untuk dapat berkonsentrasi
kembali. Kendala alokasi waktu yang cukup lama ketika menggunakan model
PBL dipadu NHT, sesuai dengan pernyataan Arief (2004) bahwa kekurangan dari
model NHT adalah membutuhkan waktu yang cukup lama bagi siswa dan guru
sehingga sulit mencapai target kurikulum.
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata persentase
keterlaksanaan pembelajaran oleh siswa meningkat dari siklus 1 ke siklus 2
dengan rata-rata 93,3 pada siklus 1 dan 96,6 pada siklus 2. Ringkasan data hasil
keterlaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Keterlaksanaan Pembelajaran Oleh Siswa Siklus 1-2
No
Siklus
Persentase Keterlaksanaan
Rata-Rata
Pembelajaran
(%)
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1
Siklus 1
100
87
93,3
2
Siklus 2
93
100
96,6
.
Berdasarkan hasil analisis data keterlaksanaan oleh siswa pada siklus 1
pertemuan pertama dan pertemuan kedua mengalami penurunan persentase
sebesar 13. Penurunan persentase terjadi karena pada pertemuan kedua guru
belum memotivasi siswa untuk menarik kesimpulan dari pembelajaran serta
memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksi pembelajaran, karena
terdapat perubahan waktu di SMA Negeri 9 Malang sehingga waktu yang direncanakan untuk pembelajaran berkurang sehingga siswa tidak sempat menarik
kesimpulan serta merefleksi pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis data keterlaksanaan oleh siswa pada siklus 2 pertemuan pertama dan pertemuan kedua
mengalami peningkatan persentase sebesar 7, peningkatan terjadi karena guru
memberikan waktu kepada siswa untuk merefleksi pembelajaran. Berdasarkan
uraian tersebut jika dirata-rata terjadi peningkatan pada siklus 1 ke siklus 2
sebesar 3 dengan nilai rata-rata 93,5 pada siklus 1 dan 96,5 pada siklus 2, membuktikan bahwa keterlaksanaan pembelajaran oleh siswa meningkat dari siklus 1
ke siklus 2.
Terjadinya peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2 karena guru melaksanakan
kegiatan pembelajaran secara kolaboratif dengan guru lain dengan LS sehingga
guru dapat saling membelajarkan, sesuai dengan pernyataan Lewis (dalam Susilo,
2011) bahwa rata-rata guru di Jepang mengamati sekitar sepuluh pembelajaran
yang dikaji setiap tahun yaitu dengan kolaborasi yang dilakukan dalam pelaksanaan LS dapat menguntungkan karena memberikan kesempatan kepada guru
untuk memikirkan pembelajarannya sendiri dengan cara mengaitkannya dengan
apa yang dilakukan guru lain sehingga dengan LS guru dapat saling membelajarkan. Lebih lanjut dinyatakan Lewis (dalam Susilo, 2011) bahwa yang
menjadi fokus LS adalah adanya peningkatan pembelajaran, melalui pengamatan
5
terhadap siswa pada saat pembelajaran berlangsung sehingga dapat dipikirkan
cara-cara untuk meningkatkan kegiatan belajar dan kegiatan berpikir.
Kendala yang ditemui selama proses pembelajaran berlangsung adalah
siswa kurang dapat beradaptasi dengan model pembelajaran baru, sehingga yang
cenderung menonjol dari kedua model pembelajaran adalah model pembelajaran
PBL sedangkan untuk model pembelajaran NHT kurang menonjol seperti ketika
dilakukan presentasi, kebanyakan siswa akan menganggap kalau yang dipresentasikan itu adalah atas nama kelompok, sehingga pertanyaan yang diajukan
akan menggunakan pertanyaan yang dibuat temannya satu kelompok bukan
berdasarkan pertanyaan yang dibuat sendiri, untuk mengatasi permasalahan yaitu
dengan memotivasi siswa agar percaya diri dengan apa yang dikerjakan dan selalu
memiliki rasa tanggung jawab.
b. Peningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran
Kooperatif Model Problem Based Learning dipadu Model Number Head
Together
1) Kecakapan Membuat Pertanyaan
Ringkasan data hasil kecakapan siswa dalam membuat pertanyaan siklus 1
dan siklus 2 tertera pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Rata-rata Persentase Tingkat Kognitif
Membuat Pertanyaan pada Siklus 1 dan siklus 2
Katergori
Siklus 1
Siklus 2
Kognitif tingkat C1
3
4
Kognitif tingkat C2
56
35
Kognitif tingkat C3
0
0
Kognitif tingkat C4
38
38
Kognitif tingkat C5
3
10
Kognitif tingkat C6
0
13
Kecakapan membuat pertanyaan tingkat C6 dari siklus 1 ke siklus 2
mengalami peningkatan persentase sebanyak 13, kecakapan membuat pertanyaan
tingkat C5 mengalami peningkatan persentase sebanyak 7, kecapakan membuat
pertanyaan tingkat C4 konstan dari siklus 1 ke siklus 2. Meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus 1 ke siklus 2 disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, pada siklus 1 siswa masih belum terbiasa membuat pertanyaan
sendiri baik secara lisan maupun secara tertulis, sehingga pertanyaan yang dibuat
siswa masih bersifat kognitif tingkat rendah. Siklus 2 siswa sudah mulai terbiasa
dan terlatih membuat pertanyaan kognitif tingkat tinggi, sehingga pertanyaan yang
dibuat siswa bersifat kognitif tingkat tinggi, sesuai dengan pendapat Corebima
(dalam Alhidayat, 2009) bahwa salah satu alternatif untuk meningkatkan
kecakapan berpikir kritis siswa adalah dengan menggalakkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memicu proses berpikir siswa. Salah satu cara meningkatkan
kemampuan berpikir kritis adalah dengan meningkatkan rasa ingin tahu dan
kemampuan bertanya Hassoubah (dalam Pangestuti, 2011).
Kedua, pada siklus 1 sumber belajar siswa hanya LKS dan bahan ajar.
Siswa juga belum mempelajari materi yang dibahas, sehingga siswa masih belum
bagitu banyak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan materi. Kondisi
seperti itu yang menyebabkan pertanyaan yang dibuat siswa sebatas pada
informasi yang diperoleh dari sumber belajar yang dibaca di kelas. Siklus 2, guru
6
memotivasi siswa untuk mempelajari materi sebelum dibahas di kelas dan
mencari serta membangun pengetahuannya sendiri dan informasi dari berbagai
sumber yang relevan untuk memperkaya pengetahuan siswa. Motivasi dari guru
meningkatkan kategori pertanyaan yang dibuat siswa yang awalnya hanya
kategori kognitif tingkat rendah menjadi kategori kognitif tingkat tinggi, sesuai
dengan pendapat Sanjana (dalam Alhidayat, 2009) bahwa dalam pembelajaran
yang berorientasi pada siswa guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar,
akan tetapi berperan sebagai pembimbing dan fasilitator agar siswa mau dan
mampu belajar, selain itu dalam proses pembelajaran berpikir, proses pembelajaran tidak hanya menekankan pada akumulasi pengetahuan materi pelajaran
saja, akan tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh
pengetahuannya sendiri.
Ketiga, pada siklus 1 siswa belum merespon dengan penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap pertanyaan yang dibuat siswa, sedangkan pada siklus
2 guru kembali menegaskan kepada siswa bahwa pertanyaan yang mereka buat
dinilai. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul karena adanya
rangsangan dari luar dan salah satu cara untuk menimbulkan motivasi belajar
siswa adalah dengan memberikan nilai Sadirman (dalam Alhidayat, 2009)
2) Kecakapan Menjawab Soal Tes Berpikir Kritis
Ringkasan data kecakapan siswa dalam menjawab soal tes kemampuan
berpikir kritis siklus 1 dan siklus 2 tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Klasikal Tingkat Kognitif Kecakapan Menjawab
Soal Tes Berpikir Kritis Siklus I dan Siklus 2
Persentase Klasikal
Kategori
Siklus I
Siklus 2
Sangat kurang
0
0
Kurang kritis
0
0
Cukup kritis
7,5
5
Kritis
50
47,5
Sangat kritis
42,5
47,5
.
Berdasarkan analisis data kategori cukup kritis pada siklus 1 ke siklus 2
telah mengalami penurunan persentase sebanyak 2,5, persentase kategori kritis
juga mengalami penurunan dengan meningkatnya siswa yang masuk kategori
sangat kritis sebesar 2,5, persentase pada kategori sangat kritis pada siklus 1 ke
siklus 2 mengalami peningkatan sebesar 5. Peningkatan kecakapan menjawab soal
tes berpikir kritis disebabkan karena, pada siklus 1 siswa masih belum terbiasa
dengan soal tes uraian dengan tingkatan kognitif tingkat tinggi sehingga
dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk menyelesaikan soal uraian. Siklus 2,
siswa sudah mulai terbiasa dengan soal tes uraian, sehingga tidak ada soal yang
tidak terjawab dan jawaban siswa sudah cukup maksimal.
c. Peningkatkan Kemampuan Hasil Belajar Melalui Pembelajaran
Kooperatif Model Problem Based Learning dipadu Number Head
Together
1) Hasil Belajar Kognitif
Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui adanya peningkatan hasil
belajar kognitif dari siklus 1 ke siklus 2 dengan persentase ketuntasan belajar
7
klasikal 62,5 pada siklus 1 dan mengalami peningkatan pada siklus 2 menjadi 90.
Diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase ketuntasan klasikal dari siklus 1
ke siklus 2 sebanyak 27,5. Ringkasan data hasil ketuntasan belajar siswa siklus 1
dan siklus 2 tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Ketuntasan Belajar Siswa Siklus 1 dan Siklus 2
Jumlah siswa
Ketuntasan Belajar siswa
Siklus 1
Siklus 2
Siswa tuntas belajar
25
36
Siswa tidak tuntas belajar
15
4
Peningkatan hasil belajar kognitif siswa setelah dianalisis disebabkan
karena, pada siklus 1 siswa masih belum terbiasa dengan model pembelajaran
NHT dipadu PBL yang menuntut siswa untuk mampu berpikir kritis dan mencoba
mencari permasalahan serta memecahkan permasalahan. Rendahnya kualitas
pertanyaan maupun jawaban siswa secara tidak langsung menandakan bahwa
kemampuan kognitif siswa masih rendah. Siklus 2 siswa mulai terbiasa dengan
pembelajaran PBL dipadu NHT, sehingga siswa terampil dalam membuat dan
menjawab pertanyaan. Sesuai dengan pernyataan Sudjana (2005) Hasil belajar
yang dapat dicapai oleh siswa dapat tinggi atau rendah, tergantung dari proses
belajar yang terjadi pada individu yang belajar.
2) Hasil Belajar Afektif
Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan persentase klasikal pada siklus 1 ke siklus 2. Siklus 1 kategori A
sebesar 37,5 dan pada siklus 2 meningkat menjadi 60. Ringkasan data kategori
hasil belajar afektif siklus 1 dan siklus 2 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Nilai Klasikal Hasil Belajar Afektif Siswa Siklus 1
dan Siklus 2
Presentase klasikal
Kategori
Siklus I
Siklus 2
A
37,5
60
B
57,5
37
C
5
2,5
Peningkatan hasil belajar afektif disebabkan karena siswa aktif ketika
belajar kelompok di dalam kelas, seperti pernyataan Pannen, (2001:103) bahwa
pembelajaran menggunakan model PBL memiliki kelebihan pembelajaran dapat
melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan
berpikir siswa yang lebih tinggi serta mengkondisikan siswa dalam belajar
kelompok akan mempermudah pencapaian ketuntasan belajar yang diharapkan,
Kelebihan dari model NHT adalah melibatkan lebih banyak siswa dalam
kegiatan pembelajaran. Pada saat pertanyaan diajukan oleh guru maka setiap anak
memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab pertanyaan melalui pemanggilan nomor anggota secara acak. Wakil kelompok yang menjawab pertanyaan tidak terfokus pada siswa yang lebih mampu di bidang akademiknya atau
berdasarkan kesepakatan kelompok, sehingga sangat memungkinkan siswa satu
dengan yang lainnya untuk menguasai materi untuk dapat menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh guru Arends (dalam Arief, 2004).
8
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Keterlaksanaan
kegiatan pembelajaran oleh guru terjadi peningkatan persentase dari siklus 1 ke
siklus 2 sebesar 2 dengan nilai rata-rata persentase 95,6 pada siklus 1 dan 97,6
pada siklus 2. Keterlaksanaan oleh siswa jika dirata-rata terjadi peningkatan
persentase pada siklus 1 ke siklus 2 sebesar 3 dengan nilai rata-rata persentase
93,3 pada siklus 1 dan 96,6 pada siklus 2; 2) Penerapan pembelajaran kooperatif
model PBL dipadu NHT melalui LS dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa dengan rata-rata persentase peningkatan kemampuan berpikir kritis
melalui pembuatan pertanyaan tingkat C6 dari siklus 1 ke siklus 2 mengalami
peningkatan sebanyak 13 dan kecakapan membuat pertanyaan tingkat C5
mengalami peningkatan sebanyak 7, sedangkan kecapakan membuat pertanyaan
tingkat C4 konstan. Kemampuan berpikir kritis melalui jawaban soal tes
kemampuan berpikir kritis dari siklus 1 ke siklus 2 pada kategori cukup kritis
mengalami penurunan persentase sebesar 2,5 dan kategori kritis juga mengalami
penurunan seiring meningkatnya siswa yang mampu berpikir kritis kategori
sangat kritis yaitu sebesar 2,5, sedangkan kategori sangat kritis mengalami
peningkatan sebesar 5; 3) Penerapan pembelajaran kooperatif model PBL dipadu
NHT melalui LS dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang meliputi hasil
belajar kognitif dari siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan persentase
sebanyak 27,5 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal 62,5 pada siklus 1
menjadi 90 pada siklus 2 dan hasil belajar afektif siswa yang mendapatkan nilai A
meningkat dengan persentase sebesar 22,5, siswa yang mendapatkan nilai B
mengalami penurunan persentase yaitu sebesar 20,5 dan siswa yang mendapatkan
nilai C juga mengalami penurunan persentase sebesar 2,5. Terjadinya peningkatan
tidak terlepas dari peran LS yang mampu meningkatkan kualitas pembelajaran
setiap pertemuan dalam setiap siklus.
Saran
Saran yang diberikan adalah: 1) Menggunakan model pembelajaran PBL
dipadu NHT yang harus diwaspadai adalah ketika dilaksanakan tahap presentasi,
biasanya siswa akan menganggap bahwa presentasi itu atas nama kelompok,
pertanyaan yang diajukan kelompok pembanding adalah pertanyaan teman
sekelompoknya, oleh sebab itu guru harus bisa memotivasi siswa agar percaya diri
terhadap hasil pekerjaannya sendiri sehingga siswa menanyakan hasil
pekerjaannya sendiri dan juga memiliki rasa tanggung jawab yang besar agar
perpaduan model pembelajaran PBL dipadu NHT berlangsung dengan lancar; 2)
Menggunakan model pembelajaran PBL dipadu NHT membutuhkan alokasi
waktu yang cukup lama dan jika waktu yang tersedia tidak cukup dan harus
dilanjutkan pada pertemuan berikutnya, maka perhatian siswa akan terpecah dan
siswa akan sulit berkonsentrasi kembali, sehingga guru harus bisa mengatur waktu
yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran menggunkan model NHT dipadu
PBL; 3) Pembelajaran model PBL dipadu NHT dapat dikembangkan lagi untuk
materi pokok bahasan yang berbeda pada jenjang sejenis maupun jenjang
pendidikan yang lain; 4) Guru diharapkan membuat variasi skenario pembelajaran
dari model pembelajaran yang diterapkan pada tiap pertemuan atau siklus agar
siswa tidak jenuh pada saat mengikuti pelajaran.
9
DAFTAR RUJUKAN
Alhidayat. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Posing untuk
Meningkatkan Kecakapan Berpikir Kritis (Thinking Skill) dan Hasil Belajar
Biologi Siswa Kelas XI-IPA SMA Negeri 1 Malang. Skripsi tidak
diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Arief, M. 2004. Pembelajaran Kooperatif dengan Penerapan Pendekatan
Struktural untuk Pemahaman Konsep Statistik Siswa Kelas II SLTP
Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang:
Pasca Sarjana UM.
Ibrohim. 2011. Workshop Lesson Study untuk Mahasiswa, Guru, dan Dosen
FMIPA Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas negeri Malang.
Lie, A. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Nurhadi dan Senduk, Agus G. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan
Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Pangestuti, ArdianAnjar. 2011. Penerapan Paduan Metode Number Head
Together dan Studen Teams Achievement Division untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VIII-A
SMA Negeri 13 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM
Pannen, dkk. 2001. Konstruktivistik Dalam Pembelajaran. Jakarta:Depdiknas
Risnawati. 2005. Pembelajaran Berdasarkan Masalah melalui Metode Belajar
Kooperatif Think-Pair-Shaire Untuk meningkatkan Motivasi dan Hasil
Belajar Siswa Kelas X-5 SMAN 9 Malang. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: jurusan Biologi FMIPA UM.
Sudjana, N. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Susilo, Herawati dkk. 2011. Lesson Study. Malang: Bayumedia Publishing.
Download