PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL PROBLEM BASED LEARNING DIPADU NUMBER HEAD TOGETHER MELALUI LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 9 MALANG Eka Prihatini Sulistyo1, Herawati Susilo2, dan Eko Sri Sulasmi3 Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang1 Email: [email protected] Abstrak: Penelitian bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar biologi siswa. Data keterlaksanaan pembelajaran berupa keberhasilan kegiatan pembelajaran yang diukur menggunakan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, data kemampuan berpikir kritis berupa pertanyaan kognitif dan jawaban tes kemampuan berpikir kritis, data hasil belajar kognitif berupa jawaban tes kognitif yang diukur menggunakan soal tes kognitif, data hasil belajar afektif berupa penilaian sikap siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PTK melalui LS dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, kemampuan berpikir kritis, dan hasil belajar. Kata Kunci: pembelajaran kooperatif problem based learning dan number headtogether, Lesson Study, kemampuan berpikir kritis, hasil belajar. Kegiatan pembelajaran biologi diharapkan dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa, namun belum semua guru menggunakan model pembelajaran yang inovatif. Masih banyak kegiatan pembelajaran biologi yang dilakukan secara konvensional serta menggunakan model pembelajaran yang kurang inovatif. Hasil observasi di kelas X-2 SMA Negeri 9 Malang menunjukkan bahwa kecakapan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif siswa rendah dilihat dari aktivitas siswa yang pasif dan hanya beberapa yang aktif bertanya dan menanggapi atau menjawab pertanyaan. Selama PPL guru telah menerapkan model pembelajaran Picture and Picture, Analisis kritis Artikel dan Teams Games Tournamen, namun siswa yang sering bertanya hanyalah siswa yang aktif, siswa yang lain masih kurang termotivasi. Ketiga model pembelajaran tidak cocok untuk kondisi kelas yang kurang aktif bertanya sehingga guru harus membuat inovasi untuk mengatasi permasalahan di kelas X-2. Inovasi yang dilakukan adalah dengan menerapkan pembelajaran kooperatif model problem based learning dipadu number head together melalui lesson study. Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran yang berfokus pada penyajian permasalahan yang nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah melalui serangkaian penelitian atau investigasi serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang penting dari materi pelajaran (Nurhadi, 2004; Pannen dalam Risnawati, 2005). 1 Eka Prihatini Sulistyo adalah mahasiswa Jurusan Biologi angkatan 2009 Universitas Negeri Malang. Artikel diangkat dari skripsi dengan judul yang sama pada program Sarjana Pendidikan. 2 Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D adalah Dosen Biologi Universitas Negeri Malang. 3 Dra. Eko Sri Sulasmi, M.S adalah Dosen Biologi Universitas Negeri Malang. 1 2 Number Head Together (NHT) merupakan pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat (Lie, 2005). Lesson study adalah suatu proses kolaboratif pada sekelompok guru ketika mengidentifikasi pembelajaran, merancang suatu skenario pembelajaran (yang meliputi kegiatan mencari buku dan artikel mengenai topik yang akan dibelajarkan), membelajarkan peserta didik sesuai skenario (salah seorang guru melaksanakan pembelajaran sementara yang lain mengamati), mengevaluasi dan merevisi skenario pembelajaran, membelajarkan lagi skenario pembelajaran yang telah di revisi, mengevaluasi lagi pembelajaran dan membagikan hasilnya dengan guru-guru lain (mendiseminasikannya) Styler dan Hiebert (dalam Sparks, 1999 dalam Susilo, 2011). Penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan melalui Lesson study (LS) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Merencanakan pembelajaran yang dilakukan secara LS menurut Lewis (dalam Susilo, 2011) bahwa rata-rata guru di Jepang mengamati sekitar sepuluh pembelajaran yang dikaji setiap tahun yaitu dengan kolaborasi yang dilakukan dalam pelaksanaan LS dapat menguntungkan karena memberikan kesempatan kepada guru untuk memikirkan pembelajarannya sendiri dengan cara mengaitkannya dengan apa yang dilakukan guru lain sehingga dengan LS guru dapat saling membelajarkan. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan melalui Lesson study dengan menggunakan pembelajaran kooperatif model PBL dipadu NHT diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. METODE Penelitian tindakan kelas yang dilakukan melalui Lesson study yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Terdapat empat tahapan penelitian dalam PTK yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi tindakan serta refleksi tindakan. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan melalui Lesson study yaitu; 1) plan (perencanaan); 2) do (pelaksanaan); 3) see (refleksi), yang dilakukan setiap pertemuan dari siklus 1 ke siklus 2. Kegiatan LS dilakukan oleh tim LS yang terdiri dari 1orang guru model dan 3 orang observer. Sumber data adalah seluruh siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Malang tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 siswa dengan rincian 23 siswa perempuan dan 17 siswa laki-laki. Data yang dikumpulkan yaitu kemampuan berpikir kritis, hasil belajar kognitif, dan hasil belajar afektif. Data kemampuan berpikir kritis siswa berupa hasil penilaian terhadap pertanyaan yang diajukan siswa dan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa. Pengumpulan data kemampuan berpikir kritis siswa berupa hasil penilaian pertanyaan yang diajukan oleh siswa dan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa. Data kemampuan berpikir kritis melalui pertanyaan kognitif siswa dianalisis dengan menghitung persentase pertanyaan kognitif tingkat C4-C6 dari siklus 1 ke 2. Data kemampuan berpikir kritis melalui hasil tes kemampuan berpikir krtis dianalisis dengan menghitung persentase tiap kategori kemampuan berpikir kritis berdasarkan rumus yang telah ditetapkan. 3 Data hasil belajar kognitif yaitu hasil tes kognitif yang diukur dengan soal tes kognitif pada akhir siklus. Data dianalisis dengan menghitung persentase ketuntasan klasikal. Data hasil belajar afektif siswa berupa penilaian sikap siswa selama mengikuti proses pembelajaran yang dianalisis dengan menghitung ratarata nilai yang diperoleh siswa setiap pertemuan. Data keterlaksanaan kegiatan diukur dengan menggunakan lembar obervasi keterlaksanaan pembelajaran. Data keterlaksanaan pembelajaran dianalisis dengan menghitung persentase keterlaksanaan kegiatan. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Keterlaksanaan Pembelajaran dengan Menggunakan Model PBL dipadu NHT Melalui LS Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata persentase keterlaksanaan pembelajaran oleh guru meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 dengan rata-rata 95,6 pada siklus 1 dan 97,6 pada siklus 2. Ringkasan data keterlaksanaan pembelajaran oleh guru dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Keterlaksanaan Pembelajaran Oleh Guru Siklus 1-2 No Siklus Persentase Keterlaksanaan Rata-Rata Pembelajaran (%) Pertemuan 1 Pertemuan 2 1 Siklus 1 100 91 95,6 2 Siklus 2 95 100 97,6 . Terjadi penurunan persentase sebesar 9 dari pertemuan pertama ke pertemuan kedua pada siklus 1, penurunan persentase terjadi karena pada pertemuan kedua guru belum memotivasi siswa untuk menarik kesimpulan dari pembelajaran serta belum memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksi pembelajaran, karena terdapat perubahan waktu di SMA Negeri 9 Malang sehingga waktu yang direncanakan untuk pembelajaran berkurang dan siswa tidak sempat menarik kesimpulan serta merefleksi pembelajaran. Sedangkan pada siklus 2 mengalami peningkatan persentase sebesar 5 dari pertemuan pertama kepertemuan kedua, peningkatan persentase ini terjadi karena pada siklus 2 pertemuan pertama berkendala dengan waktu yang terjadi perubahan dari sekolah sehingga guru tidak sempat memberikan waktu untuk siswa dapat merefleksi pembelajaran, sedangkan pada pertemuan kedua guru memberikan siswa waktu untuk merefleksi pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut jika dirata-rata terjadi peningkatan pada siklus 1 ke siklus 2 sebesar 2% dengan rata-rata persentase 95,6 pada siklus 1 dan 97,6 pada siklus 2, membuktikan bahwa keterlaksanaan oleh guru meningkat dari siklus 1 ke siklus 2. Peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2 terjadi karena pembelajaran dilakukan dengan LS, sesuai dengan pendapat Lewis (dalam Ibrohim 2011) LS merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa. Lebih lanjut dinyatakan Lewis (dalam Susilo, 2011) bahwa keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan secara LS akan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengkaji secara cermat cara dan proses belajar serta tingkah laku peserta didik. 4 Kendala yang ditemui selama proses pembelajaran menggunakan model PBL dipadu NHT melalui LS membutuhkan alokasi waktu yang cukup lama sehingga guru harus bisa mengatur waktu untuk melaksanakan pembelajaran menggunkan model PBL dipadu NHT, karena jika waktu yang tersedia tidak cukup dan harus dilanjutkan pada pertemuan berikutnya, maka perhatian siswa akan terpecah akibatnya siswa membutuhkan waktu untuk dapat berkonsentrasi kembali. Kendala alokasi waktu yang cukup lama ketika menggunakan model PBL dipadu NHT, sesuai dengan pernyataan Arief (2004) bahwa kekurangan dari model NHT adalah membutuhkan waktu yang cukup lama bagi siswa dan guru sehingga sulit mencapai target kurikulum. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata persentase keterlaksanaan pembelajaran oleh siswa meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 dengan rata-rata 93,3 pada siklus 1 dan 96,6 pada siklus 2. Ringkasan data hasil keterlaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Keterlaksanaan Pembelajaran Oleh Siswa Siklus 1-2 No Siklus Persentase Keterlaksanaan Rata-Rata Pembelajaran (%) Pertemuan 1 Pertemuan 2 1 Siklus 1 100 87 93,3 2 Siklus 2 93 100 96,6 . Berdasarkan hasil analisis data keterlaksanaan oleh siswa pada siklus 1 pertemuan pertama dan pertemuan kedua mengalami penurunan persentase sebesar 13. Penurunan persentase terjadi karena pada pertemuan kedua guru belum memotivasi siswa untuk menarik kesimpulan dari pembelajaran serta memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksi pembelajaran, karena terdapat perubahan waktu di SMA Negeri 9 Malang sehingga waktu yang direncanakan untuk pembelajaran berkurang sehingga siswa tidak sempat menarik kesimpulan serta merefleksi pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis data keterlaksanaan oleh siswa pada siklus 2 pertemuan pertama dan pertemuan kedua mengalami peningkatan persentase sebesar 7, peningkatan terjadi karena guru memberikan waktu kepada siswa untuk merefleksi pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut jika dirata-rata terjadi peningkatan pada siklus 1 ke siklus 2 sebesar 3 dengan nilai rata-rata 93,5 pada siklus 1 dan 96,5 pada siklus 2, membuktikan bahwa keterlaksanaan pembelajaran oleh siswa meningkat dari siklus 1 ke siklus 2. Terjadinya peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2 karena guru melaksanakan kegiatan pembelajaran secara kolaboratif dengan guru lain dengan LS sehingga guru dapat saling membelajarkan, sesuai dengan pernyataan Lewis (dalam Susilo, 2011) bahwa rata-rata guru di Jepang mengamati sekitar sepuluh pembelajaran yang dikaji setiap tahun yaitu dengan kolaborasi yang dilakukan dalam pelaksanaan LS dapat menguntungkan karena memberikan kesempatan kepada guru untuk memikirkan pembelajarannya sendiri dengan cara mengaitkannya dengan apa yang dilakukan guru lain sehingga dengan LS guru dapat saling membelajarkan. Lebih lanjut dinyatakan Lewis (dalam Susilo, 2011) bahwa yang menjadi fokus LS adalah adanya peningkatan pembelajaran, melalui pengamatan 5 terhadap siswa pada saat pembelajaran berlangsung sehingga dapat dipikirkan cara-cara untuk meningkatkan kegiatan belajar dan kegiatan berpikir. Kendala yang ditemui selama proses pembelajaran berlangsung adalah siswa kurang dapat beradaptasi dengan model pembelajaran baru, sehingga yang cenderung menonjol dari kedua model pembelajaran adalah model pembelajaran PBL sedangkan untuk model pembelajaran NHT kurang menonjol seperti ketika dilakukan presentasi, kebanyakan siswa akan menganggap kalau yang dipresentasikan itu adalah atas nama kelompok, sehingga pertanyaan yang diajukan akan menggunakan pertanyaan yang dibuat temannya satu kelompok bukan berdasarkan pertanyaan yang dibuat sendiri, untuk mengatasi permasalahan yaitu dengan memotivasi siswa agar percaya diri dengan apa yang dikerjakan dan selalu memiliki rasa tanggung jawab. b. Peningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran Kooperatif Model Problem Based Learning dipadu Model Number Head Together 1) Kecakapan Membuat Pertanyaan Ringkasan data hasil kecakapan siswa dalam membuat pertanyaan siklus 1 dan siklus 2 tertera pada Tabel 3 sebagai berikut. Tabel 3. Rata-rata Persentase Tingkat Kognitif Membuat Pertanyaan pada Siklus 1 dan siklus 2 Katergori Siklus 1 Siklus 2 Kognitif tingkat C1 3 4 Kognitif tingkat C2 56 35 Kognitif tingkat C3 0 0 Kognitif tingkat C4 38 38 Kognitif tingkat C5 3 10 Kognitif tingkat C6 0 13 Kecakapan membuat pertanyaan tingkat C6 dari siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan persentase sebanyak 13, kecakapan membuat pertanyaan tingkat C5 mengalami peningkatan persentase sebanyak 7, kecapakan membuat pertanyaan tingkat C4 konstan dari siklus 1 ke siklus 2. Meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus 1 ke siklus 2 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pada siklus 1 siswa masih belum terbiasa membuat pertanyaan sendiri baik secara lisan maupun secara tertulis, sehingga pertanyaan yang dibuat siswa masih bersifat kognitif tingkat rendah. Siklus 2 siswa sudah mulai terbiasa dan terlatih membuat pertanyaan kognitif tingkat tinggi, sehingga pertanyaan yang dibuat siswa bersifat kognitif tingkat tinggi, sesuai dengan pendapat Corebima (dalam Alhidayat, 2009) bahwa salah satu alternatif untuk meningkatkan kecakapan berpikir kritis siswa adalah dengan menggalakkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memicu proses berpikir siswa. Salah satu cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis adalah dengan meningkatkan rasa ingin tahu dan kemampuan bertanya Hassoubah (dalam Pangestuti, 2011). Kedua, pada siklus 1 sumber belajar siswa hanya LKS dan bahan ajar. Siswa juga belum mempelajari materi yang dibahas, sehingga siswa masih belum bagitu banyak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan materi. Kondisi seperti itu yang menyebabkan pertanyaan yang dibuat siswa sebatas pada informasi yang diperoleh dari sumber belajar yang dibaca di kelas. Siklus 2, guru 6 memotivasi siswa untuk mempelajari materi sebelum dibahas di kelas dan mencari serta membangun pengetahuannya sendiri dan informasi dari berbagai sumber yang relevan untuk memperkaya pengetahuan siswa. Motivasi dari guru meningkatkan kategori pertanyaan yang dibuat siswa yang awalnya hanya kategori kognitif tingkat rendah menjadi kategori kognitif tingkat tinggi, sesuai dengan pendapat Sanjana (dalam Alhidayat, 2009) bahwa dalam pembelajaran yang berorientasi pada siswa guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar, akan tetapi berperan sebagai pembimbing dan fasilitator agar siswa mau dan mampu belajar, selain itu dalam proses pembelajaran berpikir, proses pembelajaran tidak hanya menekankan pada akumulasi pengetahuan materi pelajaran saja, akan tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri. Ketiga, pada siklus 1 siswa belum merespon dengan penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap pertanyaan yang dibuat siswa, sedangkan pada siklus 2 guru kembali menegaskan kepada siswa bahwa pertanyaan yang mereka buat dinilai. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul karena adanya rangsangan dari luar dan salah satu cara untuk menimbulkan motivasi belajar siswa adalah dengan memberikan nilai Sadirman (dalam Alhidayat, 2009) 2) Kecakapan Menjawab Soal Tes Berpikir Kritis Ringkasan data kecakapan siswa dalam menjawab soal tes kemampuan berpikir kritis siklus 1 dan siklus 2 tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Klasikal Tingkat Kognitif Kecakapan Menjawab Soal Tes Berpikir Kritis Siklus I dan Siklus 2 Persentase Klasikal Kategori Siklus I Siklus 2 Sangat kurang 0 0 Kurang kritis 0 0 Cukup kritis 7,5 5 Kritis 50 47,5 Sangat kritis 42,5 47,5 . Berdasarkan analisis data kategori cukup kritis pada siklus 1 ke siklus 2 telah mengalami penurunan persentase sebanyak 2,5, persentase kategori kritis juga mengalami penurunan dengan meningkatnya siswa yang masuk kategori sangat kritis sebesar 2,5, persentase pada kategori sangat kritis pada siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan sebesar 5. Peningkatan kecakapan menjawab soal tes berpikir kritis disebabkan karena, pada siklus 1 siswa masih belum terbiasa dengan soal tes uraian dengan tingkatan kognitif tingkat tinggi sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk menyelesaikan soal uraian. Siklus 2, siswa sudah mulai terbiasa dengan soal tes uraian, sehingga tidak ada soal yang tidak terjawab dan jawaban siswa sudah cukup maksimal. c. Peningkatkan Kemampuan Hasil Belajar Melalui Pembelajaran Kooperatif Model Problem Based Learning dipadu Number Head Together 1) Hasil Belajar Kognitif Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui adanya peningkatan hasil belajar kognitif dari siklus 1 ke siklus 2 dengan persentase ketuntasan belajar 7 klasikal 62,5 pada siklus 1 dan mengalami peningkatan pada siklus 2 menjadi 90. Diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase ketuntasan klasikal dari siklus 1 ke siklus 2 sebanyak 27,5. Ringkasan data hasil ketuntasan belajar siswa siklus 1 dan siklus 2 tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Ketuntasan Belajar Siswa Siklus 1 dan Siklus 2 Jumlah siswa Ketuntasan Belajar siswa Siklus 1 Siklus 2 Siswa tuntas belajar 25 36 Siswa tidak tuntas belajar 15 4 Peningkatan hasil belajar kognitif siswa setelah dianalisis disebabkan karena, pada siklus 1 siswa masih belum terbiasa dengan model pembelajaran NHT dipadu PBL yang menuntut siswa untuk mampu berpikir kritis dan mencoba mencari permasalahan serta memecahkan permasalahan. Rendahnya kualitas pertanyaan maupun jawaban siswa secara tidak langsung menandakan bahwa kemampuan kognitif siswa masih rendah. Siklus 2 siswa mulai terbiasa dengan pembelajaran PBL dipadu NHT, sehingga siswa terampil dalam membuat dan menjawab pertanyaan. Sesuai dengan pernyataan Sudjana (2005) Hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa dapat tinggi atau rendah, tergantung dari proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar. 2) Hasil Belajar Afektif Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan persentase klasikal pada siklus 1 ke siklus 2. Siklus 1 kategori A sebesar 37,5 dan pada siklus 2 meningkat menjadi 60. Ringkasan data kategori hasil belajar afektif siklus 1 dan siklus 2 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Nilai Klasikal Hasil Belajar Afektif Siswa Siklus 1 dan Siklus 2 Presentase klasikal Kategori Siklus I Siklus 2 A 37,5 60 B 57,5 37 C 5 2,5 Peningkatan hasil belajar afektif disebabkan karena siswa aktif ketika belajar kelompok di dalam kelas, seperti pernyataan Pannen, (2001:103) bahwa pembelajaran menggunakan model PBL memiliki kelebihan pembelajaran dapat melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi serta mengkondisikan siswa dalam belajar kelompok akan mempermudah pencapaian ketuntasan belajar yang diharapkan, Kelebihan dari model NHT adalah melibatkan lebih banyak siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat pertanyaan diajukan oleh guru maka setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab pertanyaan melalui pemanggilan nomor anggota secara acak. Wakil kelompok yang menjawab pertanyaan tidak terfokus pada siswa yang lebih mampu di bidang akademiknya atau berdasarkan kesepakatan kelompok, sehingga sangat memungkinkan siswa satu dengan yang lainnya untuk menguasai materi untuk dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru Arends (dalam Arief, 2004). 8 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Keterlaksanaan kegiatan pembelajaran oleh guru terjadi peningkatan persentase dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 2 dengan nilai rata-rata persentase 95,6 pada siklus 1 dan 97,6 pada siklus 2. Keterlaksanaan oleh siswa jika dirata-rata terjadi peningkatan persentase pada siklus 1 ke siklus 2 sebesar 3 dengan nilai rata-rata persentase 93,3 pada siklus 1 dan 96,6 pada siklus 2; 2) Penerapan pembelajaran kooperatif model PBL dipadu NHT melalui LS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan rata-rata persentase peningkatan kemampuan berpikir kritis melalui pembuatan pertanyaan tingkat C6 dari siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan sebanyak 13 dan kecakapan membuat pertanyaan tingkat C5 mengalami peningkatan sebanyak 7, sedangkan kecapakan membuat pertanyaan tingkat C4 konstan. Kemampuan berpikir kritis melalui jawaban soal tes kemampuan berpikir kritis dari siklus 1 ke siklus 2 pada kategori cukup kritis mengalami penurunan persentase sebesar 2,5 dan kategori kritis juga mengalami penurunan seiring meningkatnya siswa yang mampu berpikir kritis kategori sangat kritis yaitu sebesar 2,5, sedangkan kategori sangat kritis mengalami peningkatan sebesar 5; 3) Penerapan pembelajaran kooperatif model PBL dipadu NHT melalui LS dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang meliputi hasil belajar kognitif dari siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan persentase sebanyak 27,5 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal 62,5 pada siklus 1 menjadi 90 pada siklus 2 dan hasil belajar afektif siswa yang mendapatkan nilai A meningkat dengan persentase sebesar 22,5, siswa yang mendapatkan nilai B mengalami penurunan persentase yaitu sebesar 20,5 dan siswa yang mendapatkan nilai C juga mengalami penurunan persentase sebesar 2,5. Terjadinya peningkatan tidak terlepas dari peran LS yang mampu meningkatkan kualitas pembelajaran setiap pertemuan dalam setiap siklus. Saran Saran yang diberikan adalah: 1) Menggunakan model pembelajaran PBL dipadu NHT yang harus diwaspadai adalah ketika dilaksanakan tahap presentasi, biasanya siswa akan menganggap bahwa presentasi itu atas nama kelompok, pertanyaan yang diajukan kelompok pembanding adalah pertanyaan teman sekelompoknya, oleh sebab itu guru harus bisa memotivasi siswa agar percaya diri terhadap hasil pekerjaannya sendiri sehingga siswa menanyakan hasil pekerjaannya sendiri dan juga memiliki rasa tanggung jawab yang besar agar perpaduan model pembelajaran PBL dipadu NHT berlangsung dengan lancar; 2) Menggunakan model pembelajaran PBL dipadu NHT membutuhkan alokasi waktu yang cukup lama dan jika waktu yang tersedia tidak cukup dan harus dilanjutkan pada pertemuan berikutnya, maka perhatian siswa akan terpecah dan siswa akan sulit berkonsentrasi kembali, sehingga guru harus bisa mengatur waktu yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran menggunkan model NHT dipadu PBL; 3) Pembelajaran model PBL dipadu NHT dapat dikembangkan lagi untuk materi pokok bahasan yang berbeda pada jenjang sejenis maupun jenjang pendidikan yang lain; 4) Guru diharapkan membuat variasi skenario pembelajaran dari model pembelajaran yang diterapkan pada tiap pertemuan atau siklus agar siswa tidak jenuh pada saat mengikuti pelajaran. 9 DAFTAR RUJUKAN Alhidayat. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Posing untuk Meningkatkan Kecakapan Berpikir Kritis (Thinking Skill) dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI-IPA SMA Negeri 1 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Arief, M. 2004. Pembelajaran Kooperatif dengan Penerapan Pendekatan Struktural untuk Pemahaman Konsep Statistik Siswa Kelas II SLTP Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pasca Sarjana UM. Ibrohim. 2011. Workshop Lesson Study untuk Mahasiswa, Guru, dan Dosen FMIPA Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas negeri Malang. Lie, A. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurhadi dan Senduk, Agus G. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Pangestuti, ArdianAnjar. 2011. Penerapan Paduan Metode Number Head Together dan Studen Teams Achievement Division untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VIII-A SMA Negeri 13 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM Pannen, dkk. 2001. Konstruktivistik Dalam Pembelajaran. Jakarta:Depdiknas Risnawati. 2005. Pembelajaran Berdasarkan Masalah melalui Metode Belajar Kooperatif Think-Pair-Shaire Untuk meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas X-5 SMAN 9 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: jurusan Biologi FMIPA UM. Sudjana, N. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Susilo, Herawati dkk. 2011. Lesson Study. Malang: Bayumedia Publishing.