Profil Obat Diare yang Disimpan Di Rumah Tangga Di Indonesia, Hasil Riskesdas Tahun 2013 Profile of Diarrhea Medication Stored In Households In Indonesia, the Result of Riskesdas In 2013 *Mariana Raini, *Ani Isnawati *Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan email : mariana [email protected] Abstrak Diare merupakan salah satu penyakit yang pengobatannya sering dilakukan swamedikasi. Survei morbiditas diare tahun 2010 menunjukkan 17,62% penderita diare melakukan swamedikasi. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan profil obat diare yang disimpan di rumah tangga. Disain penelitian adalah cross sectional. Metoda yang digunakan adalah menganalisis data dari hasil wawancara dan observasi rumah tangga yang menyimpan obat pada pelaksanaan Riskesdas 2013. Hasil analisis menunjukkan bahwa obat diare yang disimpan di rumah tangga terbanyak adalah adsorbans (39,4%), diikuti antibiotika (20,2%) dan obat tradisional (19,2%). Sebaran rumah tangga yang menyimpan obat diare terbanyak adalah di desa (70%) dan rata-rata rumah tangga menyimpan 1 jenis obat diare (81,4%). Proporsi obat diare yang disimpan rumah tangga sebanding yang diperoleh dari apotek (34,2%) dan dari toko obat/warung (33,7%) serta terbanyak dibeli tanpa menggunakan resep (75,9%). Status obat yang disimpan di rumah tangga adalah sisa pengobatan sebelumnya (47,8%) dan untuk persediaan jika sakit (43,6%). Lama pengobatan diare berkisar antara 1-3 hari (44,4%) sedangkan rumah tangga yang menyimpan obat diare dan digunakan jika perlu saja sebanyak 41%. Sebanyak 94,1% obat diare yang disimpan dalam kondisi baik. Berdasarkan provinsi, proporsi obat diare yang disimpan di rumah tangga tertinggi pada provinsi Jawa Timur (19,9%), diikuti Jawa Barat (17,4%) dan Jawa Tengah (10,5%). Kesimpulan : Analisis ini mengungkapkan bahwa banyak rumah tangga melakukan swamedikasi diare dengan menggunakan adsorbans dan antibiotika. Antibiotik mudah diperoleh dari apotek, dan toko obat tanpa menggunakan resep dokter. Kata kunci : diare, rumah tangga, obat diare, antibiotika. Abstract Diarrhea is one of diseases that treated by self-medication. According to Morbidity of Diarrhea Survey in 2010, there are about 17,62% patient diarrhea treated by self medication. This analysis aims to obtain the profile of diarrhea medication stored in households in Indonesia. This study design is cross sectional. The method used was further analysis of households data obtained from interview and observation during Basic Health Research 2013. The analysis showed that the highest percentage of diarrhea stored household is adsorbans (39,4%), followed by antibiotics (20,2%) and traditional medicine (19,2%). Households distribution of diarrhea drugs are mostly found in villages (70%) and in average the household stored one type of diarrhea is 81.4%. The proportions of drug that stored in households is comparable between bought from pharmacy (34.2%) and drug stores/stalls (33.7%), and most of purchased without a prescription (75.9%). Drug status that is stored in the household comes from previous treatment (47.8%) and for emergency stock (43.6%). The duration of treatment for diarrhea is 1-3 days (44.4%) and percentage of household using stored diarrhea medication if needed is 41%. Most drugs are kept in good condition (94.1%). Based on province, the proportion of diarrhea medications stored in households highest in East Java province ( 19.9 % ), followed by West Java province ( 17.4 % ) and Central Java province ( 10.5 % ) . Conclusion : The analysis reveals that many households have self medication for treated diarrhea by using adsorbans and antibiotics. Antibiotics can be bought at pharmacies and drug store without prescription. Keywords: diarrhea, household, diarrhea medicine, antibiotic. Pendahuluan Swa-medikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit1. Swa medikasi banyak dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan obat-obat bebas yang mudah diperoleh di pasaran untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan seperti demam, batuk, pilek, pusing, diare, sakit mag dan lain-lain. Di negara-negara berkembang, swamedikasi merupakan pilihan pengobatan yang cepat, murah dan tidak mengeluarkan biaya untuk jasa dokter2,3. Penelitian melaporkan, di India swamedikasi dilakukan oleh sekitar 31% masyarakat3, di Pakistan 51% masyarakat4 dan di Mandau City, Filipina 81% rumah tangga menyimpan obat5. Riskesdas 2013 mengungkapkan proporsi penduduk Indonesia yang mengobati sendiri dalam satu bulan terakhir sebanyak 26,4% dan sebanyak 35,2% rumah tangga menyimpan obat di rumahnya untuk swamedikasi, diantaranya 27,8% antibiotik dan 47% merupakan obat sisa6. Swamedikasi yang dilakukan dengan benar sangat bermanfaat untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat, namun jika tidak, swamedikasi dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti tidak tercapai efek pengobatan, timbulnya efek samping, peningkatan morbiditas, dan lain-lain7,8. Swamedikasi yang tidak tepat di antaranya timbul akibat kesalahan memilih obat, salah cara penggunaan, salah dosis, adanya interaksi obat dan lain lain7,8. Diare merupakan salah satu penyakit yang banyak dilakukan swamedikasi. Survei morbiditas diare tahun 2010 menunjukkan 17,62% penderita diare melakukan swamedikasi9. Diare tidak selalu berbahaya, namun diare berat dapat menimbulkan dehidrasi dan ini sangat berbahaya terutama bagi balita, orang tua dan penderita dengan imunitas rendah karena dapat menimbulkan masalah serius seperti kerusakan organ, syok hingga koma. Pada kondisi ini tubuh akan kekurangan cairan dan elektrolit sehingga untuk mengatasinya diperlukan cairan pengganti. Pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi akibat diare di antaranya dengan menerbitkan Buku Pedoman Pengendalian Diare berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1216/Menkes/SK/XI/200110. Di negara maju maupun berkembang, diare sering disebabkan oleh infeksi virus yang tidak memerlukan pengobatan11. Meskipun demikian, penggunaan antibiotika dalam pengobatan diare banyak dilakukan baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat. Hasil pantauan cakupan kualitas dan tata laksana diare tahun 2011 menunjukkan pemberian antibiotika untuk pengobatan diare di Puskesmas tanpa indikasi tahun 2010 cukup tinggi yaitu 72%13. Seharusnya pemberian antibiotika pada pengobatan diare berdasarkan biakan bakteri yang menunjukkan positif terinfeksi bakteri11 atau sesuai dengan indikasi (diare berdarah, kolera, diare disertai penyakit lain)11,12. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat, selain dapat membunuh flora normal yang justru dibutuhkan tubuh, juga dapat menimbulkan efek samping antara lain resistensi bakteri terhadap antibiotika7,11,12. Analisis hasil Riskesdas 2013 ini bertujuan untuk mengungkapkan profil (jenis, jumlah, sumber obat/perolehan, status, lama pengobatan, indikasi, kondisi) obat diare yang disimpan di rumah tangga di seluruh Indonesia sehingga dapat memberi informasi kepada Program Pengendalian Diare Kementerian Kesehatan. Metode Disain penelitian ini adalah cross sectional, menganalisis data sekunder hasil Riskesdas tahun 2013. Populasi adalah rumah tangga di seluruh Indonesia. Sampel adalah 300.000 rumah tangga, mengikuti sampel rumah tangga Riskesdas 2013 yang menyimpan obat diare. Kriteria inklusi adalah data rumah tangga yang menyimpan obat diare dan diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dengan ibu rumah tangga atau anggota rumah tangga yang mengetahui tentang penyimpanan obat. Wawancara dan observasi dilakukan untuk menjawab kuisioner pada Blok Farmasi (Blok VI A) yang mencakup jenis, indikasi, lama penggunaan, status obat, sumber, kondisi obat , sedangkan kriteria eksklusi adalah data obat yang tidak lengkap. Hasil Berdasarkan hasil analisis ditemukan sekitar 8339 Rumah Tangga (RT) menyimpan sejumlah 10175 jenis obat diare. Jumlah ini diperoleh karena tiap rumah tangga menyimpan tidak hanya 1 jenis tetapi ada yang menyimpan 2 jenis bahkan ada yang menyimpan lebih dari 3 jenis obat. Proporsi obat diare berdasarkan jenis obat diare yang disimpan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1, diketahui bahwa jenis obat diare yang paling banyak disimpan adalah atapulgit (30%), termasuk dalam golongan adsorban, diikuti obat tradisional Indonesia (17,9%) pengganti cairan tubuh (9,7%) dan kotrimoksazol (9,0%) termasuk dalam golongan antibiotika. Gambar 1. Proporsi jenis obat diare yang disimpan di rumah tangga (n = 10175) Penggolongan dari obat-obat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Pada analisis ini, penggolongan obat diare dilakukan berdasarkan 3 jenis penggunaan terbesar yang mencakup 78,8%. Sisanya (22,2%) tersebar pada obat diare lain seperti pengganti cairan tubuh, suplemen zink, loperamid, antispasmodik dan lain-lain. Tabel 1. Penggolongan obat diare berdasarkan 3 penggunaan terbesar Penggolongan Total (%) obat (n=10175) Adsorban 39,4 Antibiotika 20,2 Obat Tradisional 19,2% Rincian jenis obat Atapulgit Pektin Kaolin Kotrimoksazol Antibiotik lain Tetrasiklin Metronidazol OT Indonesia OT Cina Prosentase (%) 30 7,7 1,7 9 4,7 3,8 2,7 17,9 1,3 Dari tabel di atas diketahui bahwa adsorban (39,4%) merupakan golongan obat terbanyak yang disimpan di rumah tangga. Adsorban yang disimpan di rumah tangga terdiri atapulgit, pektin dan kaolin. Penggunaan kedua terbanyak adalah Antibiotika (20,2%) dengan jenis kotrimoksazol, sedangkan Obat Tradisional (19,2%) merupakan golongan ketiga yang terbanyak. Dari hasil wawancara dan observasi, proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan kombinasi jenis obat yang disimpan, sumber obat, cara perolehan, status (obat sedang digunakan, obat sisa atau untuk persediaan), lama pengobatan, kondisi penyimpanan dan daerah tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel2. Tabel 2. Proporsi beberapa variabel obat diare (kombinasi jenis obat, sumber, cara perolehan, status, kondisi obat diare dan lama pengobatan dan daerah tempat tinggal) yang disimpan di rumah tangga No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Variabel obat diare Kombinasi jenis obat 1 jenis obat 2 jenis obat 3 jenis obat >3 jenis obat Sumber obat Apotek Toko obat/warung Pemberian orang lain Yankes formal Nakes Yankes tradisional Penjual jamu/OT keliling Cara memperoleh obat Resep Tidak Status obat Sedang digunakan Sisa pengobatan sebelumnya Untuk persediaan Kondisi obat Baik Tidak baik Lama pengobatan 1-3 hari 4-7 hari Lebih dari 7 hari Lebih dari sebulan/rutin Jika perlu saja Tidak tahu Desa/Kota Desa Kota Jumlah RT n = 8339 % 6788 1305 203 43 81,4 15,7 2,4 0,5 2849 2813 53 1059 1546 11 8 34,2 33,7 0,6 12,8 18,5 0,1 0,1 2013 6326 24,1 75,9 717 3983 3639 8,6 47,8 43,6 7847 492 94,1 5,9 3698 824 238 104 3416 59 44,4 9,9 2,9 1,2 41 0,7 5810 2529 75,9 24,1 Pada umumnya, rumah tangga menyimpan hanya 1 jenis obat diare (81,4%) dan sumber obat diperoleh dari apotek atau toko obat dengan proposi seimbang (34,2% dan 33,7%), sedangkan cara memperolehnya terbanyak tidak menggunakan resep dokter (75,9%). Kondisi obat yang disimpan adalah baik (94,1%), status obat dari sisa pengobatan dan untuk persediaan ditemukan dengan porposi yang seimbang (47,8% dan 43,6%). Lama pengobatan umumnya 13 hari (44,4%). Rumah tangga yang menyimpan obat diare terbanyak berada di Desa (75,1%). Adapun proporsi rumah tangga yang menyimpan obat diare di 33 provinsi di Indonesia dapat diketahui pada Gambar 2. Rumah tangga yang menyimpan obat diare terbesar adalah provinsi Jawa Timur (19,5%), kedua terbesar adalah provinsi Jawa Barat (16.2%) dan ke tiga adalah provinsi Jawa Tengah (10,5%) dan ketiganya berada di Pulau Jawa. Adapun provinsi yang menyimpan obat diare terendah adalah : Bengkulu dan Maluku Utara dengan proporsi yang sama yaitu 0,2 %. Gambar 2. Proporsi obat diare yang disimpan di rumah tangga berdasarkan provinsi Pembahasan Obat diare yang paling banyak disimpan di rumah tanggga adalah golongan adsorbans (39,4%), diikuti dengan antibiotika (20,2%) dan obat tradisional (19,2%). Adsorbans dan obat tradisional merupakan obat bebas yang mudah didapat. Berdasarkan masing-masing jenis obat diare, atapulgit (30%) merupakan jenis obat diare yang paling banyak disimpan di rumah tangga diikuti obat tradisional Indonesia (17,9%) dan pengganti cairan tubuh sebesar 9,7%. Adsorbans ini diperlukan untuk penanganan diare awal12,13, sehingga banyak disimpan di rumah tangga, meskipun menurut Pedoman Global World Gastroenterology Organisation, adsorbans sebaiknya tidak diberikan karena tidak cukup bukti dapat meringankan diare dan hanya menambah biaya11. Data ini berbeda dibandingkan dengan Pakistan. Sekitar 7% rumah tangga di Pakistan menyimpan antidiare (loperamid) dan 4,2% pengganti cairan tubuh14. Proporsi antibiotika untuk swamedikasi diare yang disimpan di rumah tangga sekitar 20,2%, dan terdiri dari kotrimoksazol (9%), tetrasiklin (3,8%) dan metronidazol (2,7%). Di Basrah, Irak proporsi antibiotika untuk swamedikasi diare yang disimpan di rumah tangga lebih kecil yaitu 11,26%15. Di Bangladesh, secara umum metronidazol (30%) merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan masyarakat untuk swamedikasi dan 69% di antaranya diperoleh tanpa resep dokter16. Pedoman pengendalian diare untuk petugas kesehatan atau Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa penggunaan antibiotik hanya jika ada indikasi seperti diare berdarah, atau diare karena kolera atau penyakit lain11. Pada kenyataannya banyak rumah tangga yang menyimpan antibiotik untuk pengobatan diare, baik sebagai sisa pengobatan ataupun dibeli bebas untuk persediaan17. Antibiotika merupakan jenis obat tertinggi penyebab ketidak rasionalan swamedikasi diare, baik di Indonesia17 maupun di negara-negara lain seperti Eropa18, Irak15, Bangladesh16,Vietnam19dan lain-lain. Ketidak rasionalan penggunaan antibiotika ini dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotika8,18,20. Oleh karena itu, persepsi masyarakat ini harus diperbaiki karena tidak semua diare memerlukan antibiotik. Antibiotik juga harus dihabiskan, tidak boleh bersisa. Proporsi sumber perolehan obat diare pada rumah tangga, paling banyak dari apotek (34,2%) dan hampir sebanding dengan perolehan dari toko obat/warung (33,7%). Proporsi cara perolehan obat tanpa resep (75,9%) lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan resep (24,1%). Cara perolehan obat ini lebih rendah jika dibandingkan dengan survei yang dilakukan di Pakistan dan Irak, rumah tangga yang menyimpan obat diperoleh dari apotek di Pakistan dan Irak adalah 53,8%14 dan 66%15, sedangkan perolehan obat dengan resep di Pakistan dan Irak adalah 30,5%14 dan 31%15. Meskipun umumnya obat diare merupakan obat bebas yang diperoleh tanpa menggunakan resep, namun masih terdapat rumah tangga memperoleh obat keras seperti antibiotik, antidiare (loperamid), spasmolitik di toko obat dan tanpa menggunakan resep dokter. Status obat diare yang disimpan di rumah tangga, paling banyak merupakan sisa pengobatan sebelumnya (47,8%), diikuti dengan untuk persediaan jika sakit (43,6%). Secara umum, di Irak, obat yang disimpan di rumah tangga, merupakan sisa pengobatan sebelumnya adalah 45% dan untuk persediaan adalah 31%15. Pada umumnya kondisi penyimpanan obat diare pada rumah tangga dalam keadaan baik (94,1%) dan lebih baik dari pada di Basrah Irak (57%)15. Masyarakat mengetahui cara penyimpanan obat diare, terlindung dari cahaya dan di tempat kering. Rata-rata lama pengobatan diare pada rumah tangga 1-3 hari (44,4%), diikuti dengan penggunaan obat diare jika perlu saja (41%) dan kemudian 4-7 hari (9,9%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat diare di pedesaan (70%), lebih banyak dibandingkan dengan di perkotaan (30%). Hal ini sesuai dengan Laporan Riskesdas 2013 yang menyatakan period prevalence diare lebih tinggi dipedesaan (7,3%) dibandingkan dengan diperkotaan (6,8%)6. Juga dapat menunjukkan pedesaan jauh dari apotek/toko obat sehingga banyak rumah tangga menyimpan obat diare untuk persediaan dan digunakan bila perlu. Berdasarkan provinsi, proporsi obat diare yang disimpan di rumah tangga tertinggi pada provinsi Jawa Timur (19,9%), Jawa Barat (17,4%) dan Jawa Tengah (10,5%), namun period prevalen kejadian diare dari hasil Riskesdas pada tahun yang sama (tahun 2013) menunjukkan Jawa Timur 7,4 %, Jawa Barat 7,5%, sedangkan Jateng 6,7%6. Ketiga provinsi ini mempunyai penduduk padat, akses kepelayanan kesehatan, apotek, toko obat dekat dibandingkan dengan daerah lain, sehingga rumah tangga mudah mendapatkan obat diare baik dari apotek/toko, maupun pelayanan kesehatan. Oleh karena itu penyimpanan obat diare di tiga provinsi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan period prevalen kejadian diare. Selain itu kemungkinan rumah tangga berjaga-berjaga jika sewaktu-waktu terjadi diare pada anggota di rumah tangga. Proporsi provinsi yang menyimpanan obat diare terendah adalah provinsi Bengkulu dan Maluku Utara masing-masing 0,2%, sedangkan period prevalen kejadian diare di provinsi Bengkulu 5,2 % dan di Maluku Utara 4,7 %. Ini menunjukkan period prevalen kejadian diare di kedua provinsi ini lebih besar dari pada rata-rata rumah tangga menyimpan obat diare. Rumah tangga yang tidak menyimpan obat diare, jika ada anggota keluarga yang terserang diare penanganan awal akan lebih lambat dibandingkan dengan rumah tangga yang menyimpan obat diare karena obat tidak tersedia. Kesimpulan Proporsi obat diare yang disimpan di rumah tangga sebagian besar adalah adsorbans, seperlima bagian masing-masing adalah antibiotika dan obat tradisional. Masyarakat banyak melakukan swamedikasi menggunakan antibiotika untuk pengobatan diare. Adanya antibiotika sebagai sisa pengobatan menunjukkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang cara penggunaan antibiotika, mudahnya antibiotika diperoleh, mudahnya apotek dan toko obat menjual antibiotika untuk pengobatan diare tanpa menggunakan resep dokter. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan resistensi bakteri terhadap antimikroba yang saat ini merupakan ancaman global. Saran Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan perlu melakukan penyuluhan pada ibu rumah tangga atau anggota rumah tangga yang berperan dalam pemberian obat diare agar menggunakan antibiotika dengan benar (berkonsultasi dengan dokter, antibiotika harus dihabiskan, jangan menggunakan obat keras tanpa resep dokter). Penyuluhan dapat melalui media elektronik seperti TV, radio. Selain itu, perlu adanya regulasi untuk memperketat penggunaan antibiotika pada pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Apotek, toko obat dan lain-lain) sehingga penggunaan antibiotika khususnya untuk diare sesuai dengan indikasi. Ucapan Terimakasih Laporan penelitian analisis lanjut ini telah diselesaikan atas kerja sama tim peneliti, tim manajemen data Riskesdas 2013, tim administrasi, untuk itu kami mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan yang membantu terselenggaranya penelitian ini dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan selaku penyandang dana. Daftar Pustaka 1. WHO, The Role of Pharmacist in Self Care and Self Medication, diperoleh dari apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jwhozip32e/3.3.html, 9 Februari 2015 2. Keshari SS, Kesarwani P, Mishra M, Prevalence and Pattern of Self-Medication Practices in Rural Area of Babaranki, Indian J. Cli. Prac.,2014, Vol 5 (7), 636 – 639. 3. Gupta P, Bhobhate P, Shrivastava Sr, Determinants of Self Medication Practices in an Urban Slum Community, Asian J. Pharm. Clin. Res., Vol 4 (3), 2011; 54 – 57 4. Rajput MS, Mathur V.Pharmacoepidemological study of self-medication in Indore city.Indian journal of pharmacy practice. 2010; 3(1):25-30. 5. Galeos DC, Quiza MPE, Household Drug Storing Practices Among Community Residents in Paknaan Mandaue City Philippines 2010, Abstract; Third International Conference for improving Use Medicine, November 2011 6. Kementerian Kesehatan RI, Laporan Riskesdas 2013 7. Badan POM, Menuju Swamedikasi yang Aman, 2014, Info POM Vol. 15, No.1; 3 – 5 8. Ruiz ME, Risk of Self Medication Practices, Current Drug Safety, 2010 Oct;5(4):31523. 9. Departeman Kesehatan RI, Survey Morbiditas Diare, tahun 2010. Laporan Subdit Diare, Ditjen P2MPLP, 2011 10. Kementerian Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1216/Menkes/SK/XI/2001 tentang Pedoman pemberantasan penyakit diare, 2001. 11. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Acute Diarrhea in Adults and Children a Global Prospective, Febuary 2012 12. Unicef & WHO, Diarrhoea : Why children are still dying and what can be done, 2009 diperoleh dari www.unicef.org/media/files/Final_Diarrhoea_Report_October_2009. 13. Kementerian Kesehatan, Situasi Diare Di Indonesia, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, triwulan II, 2011 14. HUssain S, Malik F, Ashfaq KM, Parveen G, Hameed A, Ahmad S, et al., Prevalence of self medication and health seeking behavior in developing country, African Journal of Pharmacy and Pharmacology, 2011, Vol. 5 (7); 972-978. 15. Jassim AM, In Home Drug Store and Self Medication with Antimicrobial Drug in Basrah, Irak, Oman Med. J, 2010 Apr, 25 (2); 79 - 87 1. doi: 10.5001/omj.2010.25 16. Nishat C, Rashedul MI, Mehedi H, Rouf M, Prevalence of Self-medication of Antibiotics among People in Bangladesh, Indian Journal of Pharmacy Practice, 2012, Vol 5 (4); 65 – 72 17. Raini M, Gitawati R, Rooslamiati I, Kerasionalan Penggunaan Obat Diare yang Disimpan Di Rumah Tangga Di Indonesia, Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol.5 No. 1 Februari 2015. 18. Grigoryan L, Haaijer-Ruskamp FM, Burgerhof JGM, Mechtler M, Deschepper R, Andrasevic AT et al., Self Medivation with Antibiotimicrobial Drugs in Europe, Emerging Infectious Diseases, 2006, Vol3, No.3, www.cdc.gov/eid 19. Le TH, Ottoson E, Nguyen TKC, Kim BG, Allebeck P, Drug use and self-medication among children with respiratory illness or diarrhea in a rural district in Vietnam: a qualitative study, J Multidiscip Healthc. 2011; 4: 329–336. Published online 2011 Sep 13. doi: 10.2147/JMDH.S22769 20. Sherazi BA, Mahmood KT, Amin F, Zaka M, Riaz M, Javed A, Prevalence and Measure of Self Medication : A Review, J. Pharm. Sci. Res.,Vol 4 (3), 2012; 1774 – 1778