PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
(Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syariah
Oleh
ABDUL FAIZIN
NIM 211 02 025
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2010
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
(Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syariah
Oleh
ABDUL FAIZIN
NIM 211 02 025
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2010
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
Jl. Stadion No. 2 Salatiga (0298) 323706
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudari:
Nama
: Abdul Faizin
NIM
: 211 02 025
Jurusan
: Syariah
Program studi
: Al Ahwal Al Syakhsiyyah
Judul
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Studi Kasus
di Polres Salatiga Tahun 2004-2006)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 3 Maret 2010
Pembimbing
Dra. Siti Zumrotun. M. Ag
NIP. 19670115 199803 2 002
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
Jl. Stadion No. 2 Salatiga (0298) 323706
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi saudari : Siti Susanti dengan Nomor Induk Mahasiswa 12107036
yang berjudul Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru di
MTs As Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan
Tahun 2009 telah dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Salatiga, pada hari……………….2010, dan
telah di terima sebagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
Salatiga,……………………….
Panitia ujian
Ketua sidang
Sekretaris Sidang
Drs. Imam Sutomo, M. Ag
NIP. 19580827 198303 1 002
Dr, H. Muh. Saerozi, M. Ag
NIP. 19660215 199103 1 001
Pengiji I
Penguji II
Pembimbing
Drs. Abdul Syukur, M.Si
NIP. 19670307 199403 1 002
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
Jl. Stadion No. 2 Salatiga (0298) 323706
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
    

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Abdul Faizin
NIM
: 211 02 025
Jurusan
: Syariah
Program Studi
: Al Ahwal Al Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, Maret 2010
Penulis
Abdul Faizin
211 02 025
MOTTO
Anak belajar dari kehidupanya
Jika
anak
dibesarkan
dengan
celaan,
ia
belajar memaki
Jika
anak
dibesarkan
dengan
permusuhan,
ia
belajar berkelahi
Jika
anak
dibesarkan
dengan
cemoohan,
ia
belajar rendah hati
Jika
anak
dibesarkan
dengan
penghinaan,
ia
belajar menyesali diri
Jika
nak
dibesarkan
dengan
toleransi,
ia
belajar menahan diri
Jika
anak
dibesarkan
dengan
dorongan,
ia
belajar percaya diri
Jika
anak
dibesarkan
dengan
pujian,
ia
belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik,
ia belajar keadilan
Jika
anak
dibesarkan
dengan
rasa
aman,
ia
dukungan,
ia
belajar mempercayai
Jika
anak
dibesarkan
dengan
belajar menyukai diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan
persahabatan, ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan
(Jalaludin Rahmat)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada :
1. Ayah dan Ibuku Bapak H. Sarpidi dan Ibu Hj. Sri Haryati Bapak H. Nur Rahman
dan Ibu Hj. Nur Rohmah tercinta yang telah rela dan ikhlas berkorban baik berupa
moril maupun materiil, serta selalu memberikan do’a, nasehat dan bimbingan dengan
kasih sayang yang terhingga nilainya.
2. Adik-adiku, Ahmad Sugiyanto, Nurul Arifin, Afiq Subiyanto, Saddam dan Putri
yang tercinta.
3. Keluarga Besar Bani H. Syamsuddin dan Keluarga besar Bani H. Duryat, yang telah
memberikan motifasi dan dorongan moril serta materiil.
4. Teman- teman AHS 02, terutama kepada Muhlisin dan M. Ali As’ad yang selalu
membantu dalam segala hal.
5. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag yang telah membimbing dalam penyusunan skripsiku
KATA PENGANTAR
Puji syukur selalau saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan semua Rahmat, Hidayah serta Inayahnya pada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa suatu halanagan apapun.
Sholawat serta salam semoga selalau terlimpahkan kepada suri tauladan kita,
uswah kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menyelamatkan kita dari zaman
kekafiran menuju zaman yang penuh kedamaian yaitu diinul islam.
Laporan skripsi ini disusun guna memenuhi kewajiban dan sebagai
pelengkap untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu tarbiyah. Adapun
judul skripsi ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Korban Anak Korban
Kekerasan Seksual (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006)
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, baik secara moril maupun secara materiil. Untuk itu penulis
menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Drs. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua STAIN Salatiga.
2. Muh Khusen, MA, M.Ag selaku progdi AHS Jurusan Syariah STAIN
Salatiga.
3. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah STAIN Salatiga.
4. Bapak serta Ibu Dosen beserta bagian Akademik STAIN Salatiga yang telah
memberikan layanan serta bantuan pada saya.
5. AIPTU Indah Peni Esti di Polres Salatiga yang telah membantu dalam
memberikan data untuk menyelesaikan penulisan ini.
6.
Bapak Bambang Sutanto dan segenap keluarga besar Polres Salatiga.
7. Bapak H. Sarpidi, Ibu Hj. Sri Haryati, Bapak H. Nur Rohman dan Ibu Nur
Rohmah yang telah memberikan dorongan moril dan materiil dalam
penyelesaian skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
Dalam penulisan laporan skripsi ini, masih banyak kekeliruan dan
kekurangan. Untuk itu penulis sangat berharap adanya saran dan kritik yang
bersifat membangun sebagai perbaikan dalam penulisan mendatang.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya demikemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan
datang. Amin…..Amin….Ya Robbalalamiin.
Salatiga,
Maret 2010
Abdul Faizin
ABSTRAK
Susanti, Siti. 2010. Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru
di MTs As Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggung Harjo Kabupaten Grobogan
tahun 2009. Skripsi, Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs.Abdul
Syukur,MSi.
Kata kunci: Supervisi Kepala dan Kinerja Guru.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan pendidikan,
maka kewajiban dan tanggung jawab para pemimpin pendidikan umumnya dan
kepala sekolah pada khususnya mengalami perkembangan dan perubahan pula.
Adapun perubahan tersebut dan tujuan, lingkup tanggung jawab dan
kepemimpinan kepala sekolah. Berkaitan dengan lingkup tanggung jawab dan
kepemimpinan kepala sekolah tidak terkecuali peninjauan (supervisi) kepala
sekolah terhadap kinerja guru juga harus diperhatikan.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan bagaimana
supervisi kepala sekolah, bagaimanakinerja guru, bagaimana pengaruh supervisi
kepala sekolah terhadap kinerja guru. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
peneliti ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif,
karena metode ini dianggap tepat digunakan apabila penelitian ditujukan untuk
menggambarkan kondisi faktual penyelenggaraan pendidikan atau hal-hal lain
yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Sedangkan pengumpulan data di
lakukan dengan angket, observasi, dan kajian kepustakaan. Sempel sebanyak 19
responden yang merupakan seluruh guru MTs As Salafiyah. Analisis datanya
menggunakan dua pendekatan yaitu analisis personal dan analisis korelasi.
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulakan sebagai berikut,Bahwa
supervisi kepala sekolah di MTs As Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggung Harjo
Kbupaten Groboga Tahun 2009bada tiga kategori yaitu kategori tinggi, sedang,
rendah. Kategori tinggi sebesar 68% kategori sedang sebesar 21%dan kategori
rendah sebesar 11%. Bahwa kinerja guru MTs Sa Salafiyah Mrisi Kecamatan
Tanggung Harjo Kabupaten Grobogan Tahun 2009 ada tiga kategori yaitu
kategori tinggi, sedang, rendah. Kategori tinggi terdapat53 %, kategori sedang
terdapat 42 % dan kategori rendah terdapat 5 %. Berdasarkan analisis lanjut
untuk mencari jawaban dari hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif
antara supervisi kepala sekolah dengan kinerja guru. Penulis mendapatkan
kesimpulan bahwa hipotesis tersebut dapat diterima kebenarannya. Hal ini
dibuktikan dengan perhitungan korelasi product moment yaitu hasil rxy adalah
0.67. Kemudian dikonsultasikan dengan r tabel dengan N= 19 pada taraf
signifikansi 1% sebesar 0.456 dan pada taraf signifikansi 5% sebesar 0.575
ternyata nilai rxy lebih besar dari pada r tabel.
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................
ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .....................................................
iv
MOTTO .......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................
vii
ABSTRAK ...................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................
6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................
7
D. Telaah Pustaka .................................................................
8
E. Kerangka Teori ................................................................
11
F. Metode Penelitian ............................................................
13
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Umum Tentang Anak .....................................
18
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak .............................
20
1. Perlindungan anak ......................................................
20
2. Pengertian Tentang Hak Anak....................................
28
BAB III
C. Pengertian Umum tentang Kekerasan .............................
45
1. Pengertian Kekerasan .................................................
45
2. Pengertian Kekerasan terhadap Anak .........................
54
3. Pengertian Kekerasan Seksual ....................................
64
POTRET KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP
ANAK DI WILAYAH HUKUM POLRES SALATIGA
A. Kekerasan Seksual terhadap Anak di Polres Salatiga
Tahun 2004-2006 ..............................................................
70
B. Penanganan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di
Wilayah Hukum Polres Salatiga ........................................
75
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual
terhadap Anak di Polres Salatiga .......................................
79
D. Perlindungan Hukum yang Diberikan Terhadap Anak
Korban Kekerasan Seksual di Polres Salatiga ....................
BAB IV
83
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL Di POLRES SALATIGA
A. Bentuk Perlindungan Hukum
terhadap Anak Korban
Kekerasan Seksual .............................................................
86
B. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan
Seksual di Polres Salatiga ..................................................
92
C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan
Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak ................................................
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................
98
B. Saran-saran ....................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah bagian dari generasi muda yang
berperan sebagai
penerus cita-cita perjuangan bangsa pada masa yang akan datang. Dalam
kedudukan demikian, anak mempunyai ciri dan sifat khusus, yaitu anak secara
fisik maupun mental belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri
sehingga
anak
memerlukan
perlindungan
dalam
rangka
menjamin
pertumbuhan dan perkembangan secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Masa yang paling lemah dalam perjalanan hidup seseorang manusia
adalah masa kanak-kanak. Dengan kondisi ruhaniah dan badaniahnya yang
belum lengkap dalam berkembang sehingga ketrampilan untuk menunjang
hidup amat minim serta kecenderungan mereka yang amat berbeda dengan
orang dewasa, menyebabkan anak memiliki dunia tersendiri. Meski anak
memiliki dunia tersendiri yang amat berbeda dengan realita orang dewasa,
akan tetapi kehidupan mereka bergantung sepenuhnya kepada kebaikan orang
dewasa di sekitarnya. Tanpa orang dewasa, tidak mungkin seorang mampu
bertahan hidup sendirian.
Keadaan yang perlu mendapat perhatian khusus kita temukan di dalam
masyarakat dewasa ini adalah kekerasan seksual terhadap anak. Tabloid Mom
and Kiddie pada tahun 2003-2007 menjelaskan bahwa pelecehan seksual
dengan melibatkan anak-anak sebagai korban terus berjatuhan. Diantara tindak
pelecehan tersebut adalah sebagai berikut 1:
1. Senin, 21 Juli 2003, pelecehan seksual dengan anak-anak sebagai
korbannya, terus berjatuhan. Beberapa media, pada 13 Mei juga
diberitakan, seorang kakek berusia 57 tahun divonis 8 tahun penjara
karena memperkosa dua anak perempuan usia 12 tahun dan 13 tahun.
Kasus sodomi kembali diberikan pada 17 Mei, yakni yang dilakukan oleh
tersangka berusia 27 tahun terhadap korban berusia 7 sebanyak 6 kali
selama tiga bulan terakhir.
2. Rabu, 03 Maret 2004, Brown William Stuart alias Toni berusia 52 tahun,
mantan diplomat Australia untuk Indonesia yang didakwa melakukan aksi
paedopolia terhadap sejumlah krobannya. Toni bersalah melakukan aksi
pelanggaran seksual terhadap dua korban laki-laki di bawah umur.
3. Selasa, 21 Juni 2005, Robet Gedek yaitu seorang pria yang menyodomi
belasan bocah di Jakarta dan sejumlah daerah di Jawa Tengah kemudian
membunuh mereka untuk menutupi jejaknya. Setelah kasusnya terkuak,
Robet Gedek alias Siswanto ditangkap dan diganjar hukuman mati. Selain
itu, pada 26 Mei kasus serupa menyentak warga kecamatan Tampan
Pekanbaru, Riau. Enam siswa sekolah ditemukan tewas dengan bekas
sodomi. Korban terakhir yang ditemukan tinggal tulang belulang. Disusul
lagi Rabu 28 September juga diberitakan dalam kasus pelecehan seksual
1
Tabloid Mom and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang Terdekat, PT.
Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007
terhadap anak-anak pelakunya hadalah Heller Michel Rene berusia 55
tahun, warga negara Prancis, yang kini mendekam dalam tahanan.
4. Kamis, 24 Agustus 2006 Peter William Smith berusia 48 tahun, guru
Bahasa Inggris Australia yang didakwa melakukan pelecehan seksual
terhadap anak-anak di bawah umur. Dia melakukan pelecehan seksual di
berbagai negara, yaitu Vietnam, India dan Indonesia. Di Indonesia tak
kurang dari 50 anak-anak di Patang, Bali, Sumbawa, Bogor dan Jakarta.
5. Senin, 26 Maret 2007 Kepolisian Resor Karangasem, Bali menangkap
Robert Ort wisatawan asal Belanda yang diduga mencabuli dua bocah
kakak beradik.
6. Selasa, 30 Juni 2009 orang tua korban bersama pendampingan Pusat
Penelitian Anak dan Gender
(PPAG) Unsoed melaporkan kejadian
kekerasan seksual yang dialamin oleh Mawar berusia 17 tahun akibat
diperkosa oleh 14 orang ke Polwil Banyumas. Akibat pengaduan ini
pelaku dikenai sanksi Pasal 81 Junto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.2
Kemudian dari hasil laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak
Tahun 2005 modus kekerasan seksual terhadap anak terungkap, bahwa modus
yang dipakai pelaku adalah incest (hubungan seksual dengan orang yang
sedarah/dalam keluarga) baik pemerkosaan maupun pencabulan. Hasil ini
2
Suara Merdeka, Juni 1999, hlm. 10
membuktikan, seringkali pelaku kekerasan seksual terhadap anak
adalah orang terdekat korban.
Terhadap gejala kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat yang
demikian Ratna Megawati dalam bukunya yang berjudul Budaya Kekerasan
dalam Perspektif Keseimbangan Kualitas Gender mengemukakan bahwa
didalam masyarakat modern terdapat berbagai macam permasalahan sosial,
yaitu mulai longgarnya ikatan kekeluargaan, persaingan tidak sehat, rusaknya
lingkungan hidup, menurunnya solidaritas sosial dan meningkatnya
kriminalitas.3
Potret keadaan anak di atas adalah sebagian dari kasus kekerasan yang
terungkap dalam pemberitaan. Oleh karena itu, masih banyak nasib anak di
bawah umur mengalami tindak kekerasan fisik, seksual, psikologis tidak
terpantau oleh publik. Keadaan ini disebabkan oleh faktor internal maupun
struktural korban yaitu4 :
1. Penolakan korban sendiri, sehingga korban tidak melaporkan kasusnya
karena takut mendapat ancaman dari pelaku;
2. Manipulasi dari pelaku yang umumnya lebih dewasa sering menolak
tuduhan bahwa ia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan adalah
pelaku menuduh anak melakukan kebohongan;
3. Keluarga menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang
memalukan jika diungkap kepada publik;
3
Ratna Megawati, Budaya Kekerasan dalam Perspektif Keseimbangan Kualiatas
Jender,Kanisius, Bandung, 1982, hlm. 21
4
Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Krisis di
Indonesia, Nuansa, Bandung, cet. I, Juli 2006, hlm. 18
4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga tidak
patut dicampuri oleh masyarakat;
5. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri anak,
khususnya pada kasus sexual abuse, sebab tidak ada tanda-tanda fisik yang
terlihat jelas;
6. Sistem dan prosedur pelaporan belum diketahui secara pasti dan jelas oleh
masyarakat luas.
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menjelaskan, bahwa terhadap kasus kekerasan seksual pemerintah dan
lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam kondisi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika
dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah serta penelantaran.
Kemudian perlindungan khusus yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 69
disebutkan sebagai berikut :
1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud
pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui
upaya :
a) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
b) Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi
2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan
Penelitian pendahuluan yang dilakukan di Polres Salatiga pada tanggal
3 Mei 2006 didapatkan hasil bahwa wilayah hukum kepolisian meliputi
seluruh Kodya Salatiga dan kewenangan Polres Salatiga hanya sampai batas
penyelidikan dan bentuk-bentuk perlindungan sementara yang diberikan pada
pihak korban yang melapor adalah, memeriksa saksi, melakukan visum
kepada korban dan mencari barang bukti lain, melakukan konseling untuk
menguatkan agar memberikan rasa aman pada korban dan melakukan
penangkapan pada pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.
Berawal dari sini penulis tertarik untuk mengambil pembahasan
dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006)
sebagai bahan penulisan skripsi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam materi latar belakang masalah di atas, maka
penulis kemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk dan faktor-faktor kekerasan seksual
terhadap anak di Polres Salatiga ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan kepada korban
kekerasan seksual di Polres Salatiga ?
3. Apakah perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan
seksual di Polres Salatiga sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor kekerasan seksual
di Polres Salatiga.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban
kekerasan seksual di Polres Salatiga.
c. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban
kekerasan seksual di Polres Salatiga sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang perlindungan hukum
yang diberikan terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres
Salatiga.
b. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan
kontribusi kepada khasanah ilmu pengetahuan.
c. Untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Sarjana Program Strata
Satu (S1) dalam bidang Hukum Islam (Syari’ah)
D. Telaah Pustaka
Perlindungan hukum terhadap anak dalam arti umum memiliki
pengertian tentang segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Penelitian terhadap masalah yang terkait dengan perlindungan hukum
dalam keluarga baik terhadap perempuan (istri) maupun anak sebenarnya telah
dilakukan oleh beberapa mahasiswa untuk menyelesaikan jenjang studi yang
diambil. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama skripsi Eni Kusrini mahasiswa Jurusan Syariah Hukum Islam
STAIN Salatiga dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di
Polres Salatiga Tahun 2004-2006). Pembahasan dalam skripsi ini
menguraikan tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga dan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada
pihak korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kedua skripsi Suyono mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga
dengan judul Pelaksanaan Penyelesaian Kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga ( Studi Kasus di Polres Salatiga). Pembahasan skripsi ini menjelaskan
permasalahan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, faktor-faktor korban kekerasan dalam rumah
tangga melaporkan ke polisi serta sebab-sebab korban tidak meneruskan kasus
yang dialami ke pengadilan.
Ketiga skripsi Ferry mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga
dengan judul Masalah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuuan Dalam
Rumah Tangga (Studi Kasus terhadap Penangganan oleh LRC-KJHAM).
Pembahasan dalam skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan penanganan
korban kekerasan dalam rumah tangga oleh LRC-KJHAM kota Semarang
beserta kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani korban kekerasan
dalam rumah tangga.
Keempat skripsi Harry Leasiwal mahasiswa Fakultas Hukum UKSW
Salatiga dengan judul Kajian Kriminologi dan Victimologis terhadap Marital
Rape. Skripsi ini menjelaskan tentang faktor penyebab marital rape dari sisi
korban maupun masyarakat dan perlindungan hukum terhadap korban (isteri).
Kelima skripsi Hastin D Elisabeth mahasiswa Fakultas Hukum UKSW
Salatiga dengan judul Studi Kasus Terhadap Perempuan Yang Mengalami
Tindak Kekerasan Oleh Pacar/Suami Dalam Kajian Kriminologi. Pembahasan
skripsi ini bertujuan untuk membahas tentang latar belakang laki-laki
melakukan kekerasan dan usaha perempuan untuk mengatasi kekerasan dalam
rumah tangga.
Keenam skripsi Muhlisin mahasiswa Jurusan Syariah Hukum Islam
STAIN Salatiga dengan judul Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Akibat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga). pembahasan
dalam skrisi ini menguraikan tentang konsep perlindungan anak menurut
Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dalam proses perceraian serta
penegakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Pengadilan Agama
Salatiga terhadap anak akibat perceraian.
Ketujuh skripsi Harun Al Rasyid mahasiswa Jurusan Syariah Hukum
Islam STAIN Salatiga dengan judul Kekerasan Terhadap Anak Dalam
Tinjauan Hukum Islam Dan UU RI NO. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak ( Studi Kasus di Desa Kunir Kec. Dempet Kab. Demak). Penulisan
dalam skripsi ini menjelaskan tentang konsep kekerasan terhadap anak
menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan anak serta faktor
dan dampak terjadinya kekerasan terhadap anak di Desa Kunir Kecamatan
Dempet Kabupaten Demak.
Selanjutnya penelitian penulis terdapat perbedaan terhadap masalah
perlindungan hukum kekerasan dalam rumah tangga maupun penulisan yang
membahas tentang masalah perlindungan hukum terhadap anak yang sudah
ada sebelumnya. Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada objek
perlindungan hukum kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur,
yang bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk, faktor-faktor kekerasan
seksual terhadap anak di Polres Salatiga, perlindungan hukum yang diberikan
kepada korban kekerasan seksual anak di bawah umur di Polres Salatiga dan
perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di
Polres Salatiga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
E. Kerangka Teori
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual
merupakan potret realitas kehidupan dalam masyarakat. Pernyataan tersebut
mengandung pemahaman bahwa setiap anak berhak mendapatkan
perlindungan tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi. Oleh sebab itu,
perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual menekankan kepada
kita semua akan pentingnya melindungi anak yang mempunyai kedudukan
sama dihadapan hukum.
Ketentuan perlindungan terhadap anak akibat kekerasan seksual, dalam
beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah disebutkan sebagai berikut :
a. Ketentuan umum kewajiban dan tanggung jawab dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan Pasal 20,
bahwa negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. Ketentuan penyelenggaraan perlindungan dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan sebagai
berikut :
“pemerintah dan lembaga negara lainya berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada
anak dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara
ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainya (nazpa), anak korban penculikan, penjualan,
perdagangan, anak korban, kekerasan baik fisik dan mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.”
c.
Ketentuan penyelenggaraan perlindungan Pasal 66 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkann,
bahwa perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan seksual merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan
masyarakat.
d. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah sebagai berikut :
1. Pasal
80
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak disebutkan, bahwa setiap orang yang melakukan
kekejaman kekerasan atau ancaman kekerasan dan penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun
enam bulan atau denda paling banyak Rp. 72.000000 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
2. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3
tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta
rupiah) dan palin sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
3. Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan bahwa pidana dalam pasal 82 ayat 1
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk
melakukan persetubuhan.
4. Pasal
82
Undang-Undang
Nomor
Perlindungan Anak disebutkan, bahwa
23
Tahun
2002
tentang
setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling
singkat 3 tahun dengan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta
rupiah).
5. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak disebutkan, bahwa setiap orang mengeksploitasi ekonomi atau
seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau
denda palng banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah field research, yaitu
dengan terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada
obyek yang akan dibahas.5
5
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yayasan Penelitian Fakultas UGM, Yogyakarta,
1981, hlm. 4
Adapun data yang digunakan dalam penelitian adalah :
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
yakni data yang diperoleh di Polres Salatiga melalui penelitian.6
b. Data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.7
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini,
maka penulis menggunakan metode antara lain :
a. Observasi yaitu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan
secara langsung terhadap fenomena yang diselidiki. Observasi ini
digunakan untuk mendapatkan data laporan kekerasan seksual yang
ada di Polres Salatiga.8
b. Wawancara yaitu merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.
Dalam proses ini hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor
yang berinteraksi dan mempengaruhi untuk memperoleh informasi.
Terutama wawancara dengan korban maupun keluarga korban.9
c. Studi pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dan bahan-bahan
tertulis (khususnya berupa teori-teori).10
d. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel, yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen,
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Yogyakarta, 1986, hlm. 12
Ibid., hlm. 12
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bina Aksara,
Jakarta, 1987, hlm. 128
9
Irawati Singarimbun, Teknik Wawancara, Masri Singarimbun, Sofiana Efendi,
Metodologi Penelitian Survei, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta, cet. 1 Januari 1999, hlm. 145
10
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka
Cipta, Jakarta, 1986, hlm. 236
7
agenda yang ada hubunganya dengan kasus kekerasan seksual terhadap
anak di bawah umur11
Dokumen yang dimaksud di sini adalah mengambil data jumlah korban
yang melaporkan tindak kekerasan seksual di Polres Salatiga, dari
tahun 2004-2006.
e. Populasi yaitu keseluruhan subyek penelitian.12
3. Metode Analisa Data
Yang dimaksud analisa dalam penelitian ini adalah semua
rangkaian kegiatan untuk menarik kesimpulan dari hasil kajian teori yang
mengandung penelitian ini. Untuk menganalisa perlindungan hukum
terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga penulis
menggunakan metode :
a. Metode
diskriptif
yaitu
dengan
seteliti
mungkin
seluruh
perkembangan, dengan peralihan dan pengaruh satu sama lain arti
diuraikan secara lengkap dan teratur.13
b. Metode penalaran yang meliputi :
1) Deduktif yaitu apa saja yang dipandang luas pada peristiwa dalam
suatu kelas atau jenis berlaku juga pada semua peristiwa yang
termasuk dalam kelas atau jenis itu.14
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 1986, hlm. 236
12
Ibid., hlm. 115
13
Anton Baker, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, t.t.,
hlm. 86
14
Sutrisno Hadi, op. cit., hlm. 36
2) Induktif yaitu berangkat dari fakta yang khusus dari peristiwa yang
konkrit
kemudian
dari
peristiwa
yang
khusus
ditarik
generalisasinya yang sifatnya umum.15
4. Pendekatan masalah
Pendekatan masalah yang penulis pergunakan adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan
yuridis
yaitu
pendekatan
masalah
yang
diteliti
berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
baik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
b. Pendekatan kasus yaitu pendekatan norma-norma atau kaidah hukum
terutama mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
menjadi fokus dalam penelitian.16
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang judul skripsi yang
disusun, maka dirumuskan sistematika sebagai berikut :
BAB I
Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan pustaka yang berisi tentang tinjauan umum
pengertian anak, perlindungan hukum terhadap anak, pengertian umum
15
Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito,
Bandung, cet. II 1985, hlm. 143
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Jakarta, cet. II, 2006, hlm. 321
tentang kekerasan terhadap anak dan pengertian kekerasan seksual terhadap
anak, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, dampak kekerasan terhadap
anak, faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, bentukbentuk kekerasan seksual terhadap anak, penyebab terjadinya kekerasan
seksual terhadap anak, dampak kekerasan seksual terhadap anak.
BAB III
Penelitian di Polres Salatiga yang berisi tentang kasus-
kasus kekerasan seksual terhadap Anak di Polres Salatiga, bentuk-bentuk
kekerasan seksual terhadap anak di Polres Salatiga, faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan seksual di Polres Salatiga, perlindungan hukum yang
diberikan terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga.
BAB IV
Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual
yang berisi tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasan seksual, efektivitas perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasanseksual di Polres Salatiga.
BAB V
Penutup yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran,
daftar pustaka, dan lampiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Umum Tentang Anak
1. Pengertian Anak
Menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
ketentuan batas kedewasaan merupakan tolak ukur pengertian anak,
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Anak menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa
anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum kawin. 17
b. Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dinyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin. 18
c. Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak adalah seorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun baik anak yang masih berada dalam
kandungan.19
d. Anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pengertian mengenai anak
17
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
19
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
18
secara tegas, namun terdapat dua pasal yang dapat memberikan
batasan mengenai pengertian anak yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7
ayat (1). Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengemukakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin dari orang tua. 20 Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
e. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan pengertian
anak pada batasan belum cukup umur tampak dalam Pasal 45 yang
menyatakan dalam menuntut orang yang belum cukup umur
(minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas
tahun. 21 Pada Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
mendefinisikan anak adalah yang orang belum dewasa atau belum
berumur enam belas tahun. Oleh karena itu, apabila seseorang
tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya
tersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya pemeliharaannya
dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya
20
21
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 22
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu
hukuman. 22
f. Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) menyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu
telah kawin. 23
Bertitik tolak dari aspek pengertian anak di atas, ternyata
hukum positif Indonesia tidak mengatur unifikasi hukum pasti dan
berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur terhadap
seorang anak. Oleh sebab itu, mengenai batas anak yang masih
digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan. Dalam hal
ini, Irma Setyowati Soemitro mengambil garis batas bahwa terhadap
perbedaan batasan umur yang ada di dalam hukum positif Indonesia
terdapat perbedaan, maka diambil garis batas pengertian anak berlaku
untuk anak yang berusia 18 (delapan belas) tahun.24
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
1. Perlindungan anak
Anak merupakan generasi penerus orang tua, generasi penerus
masyarakat, generasi penerus bangsa, bahkan generasi penerus kehidupan
umat manusia sedunia. Kehidupan anak secara mutlak membutuhkan
22
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 3
R. Soebekti, R. Tjitosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pramadya
Paramita, Jakarta, 1999, hlm. 90
24
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Bandung,
1990,hlm. 20
23
perhatian, pengamatan, dan bimbingan orang yang lebih tua, orang tua dan
masyarakat.
Untuk mendalami sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan
anak, maka terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian
perlindungan. Oleh sebab itu, di bawah ini dikemukakan beberapa
pendapat mengenai perlindungan anak. Menurut Arif Gosita perlindungan
anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya hubungan antara fenomena
yang ada dan saling mempengaruhi.25
Menurut Santy Dellyana perlindungan anak adalah suatu usaha
menjadikan diri yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.26Seperti termaktub dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
berbunyi:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dan kekerasan dan diskriminasi”.
J.E. Doek dan H.M.A. Drewes memberikan pengertian hukum
perlindungan anak atau remaja dengan pengertian jengdrecht. Kemudian
perlindungan anak dikelompokkan ke dalam dua bagian, berikut ini: 27
25
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989, hlm. 12
Santy Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 6
27
Maulana hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta,
2000, hlm. 41
26
a.
Dalam pengertian luas, hukum perlindungan anak adalah segala aturan
hidup yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum
dewasa dan memberikan kewajiban bagi mereka untuk berkembang.
b. Dalam pengertian sempit : hukum perlindungan anak meliputi
perlindungan hukum yang terdapat dalam
1) Ketentuan hukum perdata (regles van givilrecht)
2) Ketentuan hukum pidana (regles van stafredit)
3) Ketentuan hukum acara (regles van telijkeregels).
Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis ini, menyangkut
semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan
seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan
anak.
Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara,
masyarakat ataupun keluarga. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka
perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik
fisik, mental dan rohaninya. Adapun perlindungan yang diberikan kepada
anak oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut: 28
a. Menjaga Kesopanan Anak
Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melarang
orang untuk menawarkan, menyewakan buat selamanya atau
sementara, menyampaikan di tangan atau menunjukkan suatu tulisan,
28
hlm. 99-100
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,
gambar, barang yang menyinggung perasaan atau kesopanan. Misalnya
gambar porno, tulisan-tulisan purno atau alat-alat kontrasepsi.
b. Larangan Bersetubuh dengan Orang yang Belum Dewasa
Pasal 287 Undang-Undang Hukum Pidana melarang orang
bersetubuh dengan perempuan yang belum genap berusia 15 (lima
belas) tahun. Baik persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama
suka antara pelakunya.
c. Larangan Berbuat Cabul dengan Anak
Hal ini diatur dalam pasal 290, 294, 295 dan 297 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 290 dijekaskan tentang
larangan berbuat cabul dengan orang dewasa baik laki-laki maupun
perempuan yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pasal 294
tentang larangan orang berubat cabul dengan anaknya sendiri atau anak
pelihara atau orang yang belum dewasa, anak pungut, anak pelihara
yang berada di bawah pengawasannya. Pasal 295 tentang larangan
orang memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tiri atau anak
angkatnya yang belum dewasa yang berada di bawah pengawasannya
dengan orang lain. Selanjutnya pasal 297 melarang orang menyuruh
anak perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa untuk berbuat
cabul.
Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai
berikut :
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus pada anak
dalam situasi darurat anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik
dengan hukum dan anak kroban tindak pidana, merupakan kewajiban
dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli,
baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
a. Penyebarluasan
dan/atau
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja,
lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan
eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 67
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dan terlibat dalam produksi
dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 68
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan
perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan
melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan
rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan,
penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 69
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual
dilakukan melalui upaya :
a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 71
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan
penelantaran sebagaimana dalam pasal 59
dilakukan melalui
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah
dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan
penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
2. Pengertian Tentang Hak Anak
a. Hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of
The Child)
Pembicaraan tentang perlindungan hukum bagi anak, rasanya
tak dapat dilaksanakan dengan pembicaraan tentang apa yang menjadi
hak anak itu. Hak-hak anak hanya dapat difahami melalui penelusuran
perundang-undangan yang mengatur tentang hak-hak anak.
Di lingkungan masyarakat internasional dikenal sebagai
“Kesepakatan dunia” tentang hak-hak anak, antara lain misalnya :
Deklarasi Jenewa tentang hak-hak anak tahun 1924, Deklarasi Hak-hak
Anak dengan 10 asasnya tahun 1958, dan Konvensi Hak Anak tahun
1989.29
Konvensi hak anak tahun 1989 yang disepakati dalam sidang
majlis umum (general assembly) PBB ke- 44, yang selanjutnya telah
dituangkan dalam Revolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember
1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum internasional yang
mengikat negara peserta (state parties), termasuk Indonesia.30
Materi Hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak
Anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak
anak yaitu : 31
29
Romli Atmasasmita, et.al., Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1997, hlm. 85
30
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Prespektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999, hlm. 33
31
Ibid., hlm. 35
1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak
anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan
untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang
sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and
medical care attainable). Mengenai hak terhadap kelangsungan
hidup di dalam Konvensi Hak Anak terdapat pada pasal 6 dan
pasal 24 Konvensi Hak Anak. Dalam pasal 6 Konvensi Hak Anak
tercantum ketentuan yang mewajibkan kepada setiap negara
peserta untuk menjamin kelangsungan hak hidup (rights to life),
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (the survival and
development of the child). Pasal 6 Konvensi Hak Anak
selengkapnya berbunyi sebagai berikut : 32
b) Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki
hak yang merupakan kodrat hidup
c) Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin
kelangsungan hidup dan pengembangan anak.
Pasal 24 Konvensi Hak Anak selengkapnya mengatur
mengenai kewajiban negara-negara peserta untuk menjamin hak
atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya
perawan kesehatan primer (rights to the child enjoyment of the
32
Pasal 6 Konvensi Hak Anak
hightest attainable standart of health and facilities for the
treatment of illness and rehabilitation health)
Pasal 24 Konvensi Hak Anak berbunyi : 33
“Negara-negara peserta mengakui hak anak untuk
memperoleh standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai
serta atas fasilitas penyembuhan dan rehabilitasi kesehatan.
Negara-negara peserta akan berupaya menjamin agar tak
seorangpun akan dirampas haknya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan seperti dimaksud”.
Mengenai hak terhadap kelangsungan hidup (survival
rights) dalam Konvensi Hak Anak berkaitan pula dengan beberapa
pasal yang relevan dengan hak kelangsungan hidup (survival
rights) itu, pasal-pasal tersebut yang mengatur mengenai hak anak
yakni :
a) Pasal 8, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi
dan bilamana perlu, memulihkan aspek dasar jati diri seorang
anak, (nama kewarganegaraan dan ikatan keluarga);
b) Pasal 9, mengatur tentang hak anak untuk hidup bersama orang
tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan
kepentingan terbaiknya. Hak anak untuk mempertahankan
hubungan dengan keduanya orang tuanya jika terpisah dari
salah satu atau keduanya. Kewajiban negara dalam kasus
dimana pemisahan seperti itu terjadi akibat tindakan negara.
c) Pasal 19, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi
anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang
33
Pasal 24 Konvensi Hak Anak
dilakukan oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung
jawab atas pengasuhan mereka untuk menyelenggarakan
program-program pencegahan dan perawatan sehubungan
dengan hal ini;
d) Pasal
20,
mengatur
tentang
kewajiban
negara
untuk
memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang
kehilangan lingkungan keluarga mereka serta untuk menjamin
tersedianya alternatif pengasuhan keluarga atau penempatan
institusional yang sesuai bagi mereka dengan mempertimbangkan latar budaya anak;
e) Pasal 21, mengatur tentang adopsi dimana di negara-negara
peserta dimana adopsi diakui dan/atau diperbolehkan, adopsi
hanya akan dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak,
dengan segala perlindungan yang perlu bagi anak yang
disahkan oleh pejabat yang berwewenang;
f) Pasal 26, mengatur tentang hak anak atas tunjangan dari
jaminan sosial;
g) Pasal 28, mengatur tentang hak-hak anak atas pendidikan dan
kewajiban negara untuk menjamin agar setidaknya pendidikan
dasar diadakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib.
Penyelenggaraan
disiplin
sekolah
harus
mencerminkan
martabat kemanusiaan anak. Penekanan diletakkan pada
perlunya kerja sama internasional guna menjamin hak ini;
h) Pasal 30, mengatur tentang hak-hak anak dari kelompok
masyarakat minoritas dan penduduk asli untuk hidup dalam
alam budaya serta mengamalkan dan menggunakan bahasa
mereka sendiri;
i) Pasal 32, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi
anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam
kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka, untuk
menetapkan batas usia minimum untuk bekerja, serta
menetapkan aturan bagi kondisi kerja;
j) Pasal 34, mengatur tentang hak anak atas perlindungan dari
eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan
keterlibatan dalam pornografi;
k) Pasal 35, mengatur tentang kewajiban negara untuk menjalani
segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan dan
penculikan anak;
l) Pasal
38,
mengatur
tentang
kewajiban
negara
untuk
menghormati dan menjamin dihormatinya undang-undang
kemanusiaan yang berlaku bagi anak-anak
2) Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari
diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang
tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.34 Mengenai
34
Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, loc. cit., hlm. 35
hak terhadap perlindungan (protection rights) dalam Konvensi Hak
Anak, dikemukakan atas 3 (tiga) kategori; yaitu :35
a) Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi anak
b) Pasal-pasal mengenai larangan eksploitasi anak
Untuk menjelaskan hak-hak anak mengenai
perlindungan atas eksploitasi anak dapat dirujuk dalam pasalpasal berikut ini :
(1) Pasal 10, tentang hak anak untuk berkumpul kembali
bersama orang tuanya dalam kesatuan keluarga, apakah
dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu
untuk maksud tersebut;
(2) Pasal 11, tentang kewajiban negara untuk mencegah dan
mengatasi penculikan atau penguasaan anak di luar negeri;
(3) Pasal
16,
tentang
hak
anak
untuk
memperoleh
perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi;
(4) Pasal 19, tentang kewajiban negara untuk melindungi anak
dari segala bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh
orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas
pengasuhan mereka;
(5) Pasal 20, tentang kewajiban negara untuk memberikan
perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan
lingkungan keluarga mereka;
35
Ibid., hlm. 40
(6) Pasal 21, tentang adopsi dimana pada negara yang
mengakui adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan
terbaik bagi anak;
(7) Pasal 25, tentang peninjauan secara periodik terhadap
anak-anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh
negara karena alasan perawatan, perlindungan dan
penyembuhan;
(8) Pasal 32, tentang kewajiban negara untuk melindungi
anak-anak
dari
keterlibatan
dari
pekerjaan
yang
mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan
mereka;
(9) Pasal 33, tentang hak anak atas perlindungan dari
penyalah gunaan obat bius dan narkotika serta keterlibatan
dari produksi dan distribusi;
(10) Pasal 34, tentang hak anak atas perlindungan dari
eksploitasi dan penganiayaan seksual terhadap prostitusi
dan keterlibatan dalam pornografi;
(11) Pasal 35, tentang kewajiban negara untuk menjajaki segala
upaya guna mencegah penjualan penyelundupan dan
penculikan anak;
(12) Pasal 36, tentang hak anak atas perlindungan dari semua
bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam pasal 32,
pasal 33, pasal 34 dan pasal 35;
(13) Pasal 37, tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan
atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur
hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan
kebebasan terhadap anak;
(14) Pasal 39, tentang kewajiban negara untuk menjamin agar
anak
yang
penganiayaan,
menjadi
korban
penelantaran,
konflik
salah
bersenjata,
perlakuan
atau
eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi
penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka;
(15) Pasal 40, tentang hak bagi anak-anak yang didakwa
ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran
untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya, untuk
menerima manfaat dari segenap proses hukum atau
bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan
pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan penetapan
institusional sedapat mungkin dihindari.
c) Pasal-pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak
Untuk menjelaskan hak-hak anak atas perlindungan dari
keadaan darurat (energency) dan keadaan kritis (crisis) dapat
dirujuk dalam pasal-pasal berikut :
(1) Pasal 10, tentang mengembalikan anak dalam kesatuan
keluarga;
(2) Pasal 22, tentang perlindungan anak dalam pengungsian;
(3) Pasal 38, tentang konflik bersenjata atau peperangan yang
menimpa anak;
(4) Pasal 39, tentang perawatan rehabilitasi.
3) Hak untuk tumbuh berkembang (development right), yaitu hakhak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk
pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral dan sosial anak.36
Menurut pasal 28 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yang menyebutkan
hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan sekaligus
memberikan langkah konkret untuk terselenggaranya hak terhadap
pendidikan. Secara lengkap pasal 28 ayat 1 berbunyi : 37
“Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan
untuk pencapaian hak ini secara bertahap dan berdasarkan
kesempatan yang merata, mereka akan pada khususnya :
a) Mewajibkan pendidikan dasar dan menyediakannya secara
cuma-cuma bagi semua;
b) Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan
menengah,
termasuk
pendidikan
umum
dan
kejuruan,
mengadakannya dan membuatnya mudah dijangkau oleh setiap
anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat seperti
36
37
Ibid., hlm. 35
Pasal 28 ayat 1 Konvensi Hak Anak
mengenalkan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan
keuangan jika diperlukan;
c) Membuat pendidikan tinggi mudah dijangkau oleh semua
berdasarkan kemampuan dengan semua cara yang tepat;
d) Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampilan
tersedia bagi dan dapat diperoleh oleh semua anak;
e) Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirna
secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Dengan demikian dapat berdasarkan dari bentuknya, dapatlah
dikualifikasi beberapa hak untuk tumbuh kembang (the right to
development) yang terdapat dengan Konvensi Hak Anak, yaitu :
a) Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information);
b) Hak untuk memperoleh pendidikan (the rights to education);
c) Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play to
recreation);
d) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to
participation in cultural activities);
e) Hak untuk kebebasan berfikir, berkarya dan beragama (the
rights to thought and religion);
f) Hak
untuk
pengembangan
kepribadian
(the
rights
personality development);
g) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);
to
h) Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the
rights to health and physical development);
i) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be hear)
j) Hak atas keluarga (the rights to family).
4) Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk
menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak
(the rights of a child to express her/his views in alimetters affecting
that child)38
Dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak diatur bahwa negara peserta
menjamin hak anak untuk menyatakan pendapat, dan untuk
memperoleh pertimbangan atas pendapatnya itu, dalam segala hal
atau prosedur yang menyangkut diri si anak. Selengkapnya pasal
12 Konvensi Hak Anak berbunyi sebagai berikut : 39
a) Negara-negara peserta akan menjamin anak-anak yang mampu
mengembangkan
pandangan-pandangannya,
hak
untuk
menyatakan pendapat itu secara bebas dalam segala hal yang
berpengaruh
pada
anak,
dan
pandangan
anak
akan
dipertimbangkan secara semestinya seusai usia dan kematangan
anak.
b) Untuk tujuan itu, anak akan diberi kesempatan khusus untuk
didengar dalam setiap tatalaksana hukum dan administrasi yang
38
39
Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, loc. cit., hlm. 35
Pasal 12 Konvensi Hak Anak
bersangkutan dengan diri si anak, baik secara langsung ataupun
melalui seorang wakil atau badan yang memadai, dalam suatu
cara yang sesuai dengan hukum acara perundang-undangan
nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disebutkan beberapa hak
anak atas partisipasi di dalam Konvensi Hak Anak, yang terdiri
atas : 40
a) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan
atas pendapatnya;
b) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta
untuk berekspresi;
c) Hak anak untuk berserikat; dan menjalin hubungan untuk
bergabung;
d) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan
terlindungi dari informasi yang tidak sehat;
e) Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak
Anak
c.
Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar,
baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam
40
Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 62
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Konsiderans Undang-undang ini mengacu pada pasal 34 UUD 1945.
Selengkapnya Pasal 34 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut : 41
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara”
Menurut kebiasaan, anak hidup bersama orang tuanya, yaitu
ayah dan/atau ibu kandungnya (pasal 1 angka 3 huruf b UndangUndang Nomor 4 tahun 1979). Akan tetapi adakalanya seorang anak
tidak lagi mempunyai orang tua (ayah dan/atau ibu). Ini
mengakibatkan anak menjadi terlantar. Keadaan terlantar ini juga
disebabkan hal-hal lain seperti emiskinan. Akibatnya kebutuhan hidup
anak baik rohani, jasmani maupun sosial tidak dapat dipenuhi (pasal 1
huruf 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979).42
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, Pasal 2 sampai dengan
9 mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, sebagai berikut :
1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan,
terdapat pada pasal 2 ayat 1, selengkapnya adalah :
“Anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan,
dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam
keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar”
2) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, terdapat dalam pasal 2
ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya
berbunyi :
41
42
hlm. 79-80
Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,
“Anak berhak atas perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan”.
3) Hak atas perlindungan lingkungan hidup, terdapat dalam Pasal 2
ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya
berbunyi :
“Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan
dan perkembangannya dengan wajar”
4) Hak mendapat pertolongan pertama, terdapat dalam pasal 3 ayat 4
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi :
“Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang
pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan
dan perlindungan”
5) Hak memperoleh asuhan, terdapat dalam pasal 4 ayat 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, selengkapnya berbunyi :
“Anak tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh
asuhan oleh negara, atau orang, atau badan”
6) Hak memperoleh bantuan, terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, selengkapnya berbunyi :
“Anak tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar
dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan
berkembang dengan wajar”
7) Hak diberi pelayanan dan asuhan, terdapat dalam pasal 6 ayat 1
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi :
“Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan
dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi
hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya”
8) Hak mendapat bantuan dan pelayanan, terdapat dalam pasal 8
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi :
“Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa
membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik,
dan kedudukan sosial”
d. Hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa anak
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bahasa, negara,
masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan
masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat ataupun keluarga. Oleh
karena kondisinya sebagai anak, maka perlu perlindungan khusus agar
dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental, dan
rohaninya.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur tentang hak
dan kewajiban anak, sebagai berikut : 43
1) Hak hidup, tumbuh dan berkembang, terdapat dalam pasal 4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
“Setiap anak berhak dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”
2) Hak atas kewarganegaraan, terdapat dalam pasal 5 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 selengkapnya berbunyi :
43
Bab III Hak dan Kewajiban Anak, UU No. 23 Tahun 2002
“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan”
3) Hak atas orang tua, terdapat dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
“Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”
4) Hak atas pelayanan kesehatan, terdapat dalam pasal 8 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spritual, dan sosial”
5) Hak atas pendidikan, terdapat dalam pasal 9 ayat 1 dan 2 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya
dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat
pendidikan khusus
6) Hak atas kesejahteraan sosial, terdapat dalam pasal 12 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
“Setiap anak berhak menyandang cacat berhak
memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial”
7) Hak atas perlindungan, terdapat dalam pasal 13 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali
atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perakuan
: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasaan, dan
penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah
lainnya”
8) Hak atas memperoleh perlindungan dari ancaman, terdapat dalam
pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya
berbunyi :
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan
dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan
sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan”
9) Hak atas perlindungan dan kebebasan sesuai dengan hukum,
terdapat dalam Pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari
sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi
(2) Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum
10) Hak atas perlakuan secara manusiawi, terdapat dalam Pasal 17
ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
selengkapnya berbunyi :
“1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
untuk :
a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya
secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum
yang berlaku; dan
c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan
pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum”
11) Hak atas bantuan hukum, terdapat dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi :
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan
lainnya”
C. Pengertian Umum tentang Kekerasan
1. Pengertian Kekerasan
Sebagaimana kita ketahui tindak pidana kekerasan yang terjadi
dalam masyarakat dapat menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak, baik
pihak yang menjadi korban kekerasan maupun pihak-pihak lainnya secara
umum. Untuk itu perlu dikaji secara lebih mendalam mengenai kekerasan
itu sendiri supaya dapat dicari akar permasalahan yang sesungguhnya yang
kemudian dapat digunakan untuk mencari penyelesaian dari kasus yang
terjadi dan upaya perlindungan hukum bagi korban tindakan kekerasan.
Secara etimologi kekerasan berasal dari bahasa latin violence yaitu
gabungan kata vis (daya, kekuatan) dan “latus” (membawa) yang
kemudian diterjemahkan membawa kekuatan.44 Pengertian ini dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai sifat atau hal
yang keras; kekuatan; paksaan, sedangkan paksaan berarti tekanan,
desakan yang keras. Kata-kata ini bersinonim dengan kata memperkosa
yang berarti menundukkan dengan kekerasan; menggagahi; memaksa
44
Marsana Windu, Kekuasaan
Bandung, 1971. Hlm. 62
dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius,
dengan kekerasan dan melanggar dengan kekerasan. Jadi kekerasan berarti
membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.45
Kemudian pengertian secara terminologi kekerasan merupakan
suatu keadaan dan sifat menghancurkan kehidupan manusia. Manusia
sebagai makhluk yang berakal budi dan mulia menjadi terperosok pada
sifat-sifat kebinatangan. Merusak, menekan, memeras, memperkosa,
menteror, mencuri, membunuh, dan memusnahkan merupakan tindakan
yang menodai dan menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk
Tuhan.46
Kekerasan itu terjadi ketika seseorang bertindak dengan cara-cara
yang tidak patut dan menggunakan kekuatan fisik yang melanggar hukum
dan melukai diri sendiri, orang lain atau lingkungannya. Tindak kekerasan
merupakan konsekuensi. Ia merupakan manifestasi dari jiwa dan hati yang
kacau karena terganggu. Kegoncangan jiwa dan hati itu begitu kuat
sehingga mengalahkan akal sehat. Dalam pengaruh seperti itu, individu
betul-betul dipengaruhi oleh nafsunya dan hanya memfokuskan pemikiran
pada dirinya dan pelaku tidak mempedulikan keselamatan atau
kesejahteraan orang lain.47
R. Audi merumuskan violence sebagai serangan atau
penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan,
45
Ibid.
Haidar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
cet. II Juni 1999, hlm. 66
47
Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan, Yogyakarta, 1998, LKS Yogyakarta,
hlm. 142
46
penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas
milik atau sesuatu yang secara personal dapat menjadi milik seseorang.48
Menurut Johan Galtung kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi
sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di
bawah realisasi potensialnya.49 Kata kunci yang perlu diterangkan yaitu
aktual (nyata) dan potensial (mungkin) dibiarkan, diatasi atau
disingkirkan. Bila yang potensial lebih tinggi maka di sini berarti terjadi
kekerasan. Galtung mendefinisikan kekerasan dalam sangat luas dan
menolak konsep kekerasan sempit, yaitu menghancurkan kemampuan
somatis atau menghilangkan kesehatan belaka dengan pembunuhan
sebagai bentuk ekstrimnya oleh seorang pelaku yang memang sengaja
melakukannya. Perlu ditambah di sini bahwa Galtung tidak membedakan
violent acts (tindakan-tindakan yang keras dimana keras di sini sebagai
sifat) dalam acts of violence (tindakan-tindakan kekerasan). 50
Galtung membedakan kekerasan menjadi dua, yaitu kekerasan
personal dan kekerasan struktural. Sifat kekerasan personal adalah
dinamis, mudah diamati, memperhatikan fluktuasi yang hebat yang dapat
menimbulkan perubahan. Sementara struktural sifatnya statis,
memperlihatkan stabilitas tertentu yang sifatnya tidak tampak. Dalam
masyarakat statis, kekerasan personal akan diperlihatkan, sementara
kekerasan struktural dianggap wajar. Namun dalam masyarakat yang
48
Ibid., hlm. 63
Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung dalam Thomas
Santoso, Teori-teori Kekerasan, Ibid., hlm. hlm. 64
50
Ibid., hlm. 65
49
dinamis, kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan
salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menampilkan diri.51
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik
yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat
menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai penggunaan
kekuatan pada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang
dapat diidentifikasi.52
a.
Kekerasan terbuka yaitu kekerasan yang dapat dilihat, seperti
perkelahian
b.
Kekerasan tertutup yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan
langsung, seperti perilaku mengancam
c.
Kekerasan agresif yaitu kekerasan yang dilakukan bukan untuk
perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjarahan
d.
Kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan diri.
Galtung juga menguraikan enam dimenais dari kekerasan, yaitu
sebagai berikut : 53
a.
Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia
disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan
kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir
kemampuan mental atau otak.
51
52
Ibid., hlm. 73
Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. 1 Maret 2002,
hlm. 11
53
Marsana Windhu, loc.cit., hlm. 168-169
b. Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan (reward
oriented) yang sebenarnya terdapat “pengendalian”, tidak bebas,
kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan
kenikmatan.
c.
Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman
kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban
tetapi membatasi tindakan manusia.
d. Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika
ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural.
Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu
(strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang
tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.
e.
Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan,
pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja atau tidak cukup
melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan
tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap
kekerasan.
f.
Yang tampak dan tersebunyi. Kekerasan yang tampak, nyata
(manifest) baik yang personal maupun yang struktural, dapat dilihat
meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersebunyi adalah
sesuatu
yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan
mudah meledak. Kekerasan tersebunyi akan terjadi jika situasi
menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat
menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural
terjadi ketika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah
menjadi feodal, atau evolusi hasil dukungan militer yang hierarkis
dapat berubah lagi menjadi struktur hiarkis setelah tantangan utama
terlewati.
Berbicara tentang kekerasan ini tidak bisa hanya dari sudut
pandang saja. Karena kekerasan itu beragam bentuk dan motifnya.
a. Bentuk-bentuk Kekerasan
Secara umum Eka Hendry membagi kekerasan menjadi 3
kategori berdasarkan skala besar kecilnya sebagai berikut : 54
1) Kekerasan domestik, yaitu kekerasan yang terjadi di dalam
lingkup keluarga inti (nuclear family). Motif kekerasan biasanya
didasarkan karakter pribadi anggota keluarga, baik yang dibentuk
oleh watak (perlakuan kasar) seorang suami terhadap istri. Orang
tua terhadap anak, atau kekerasan tuan rumah terhadap pembantu,
dan lain-lain) dan pengaruh faktor yang sifatnya temporal, seperti
kelelahan,
stress
akibat
pekerjaan,
situasi
ekonomi
dan
sebagainya. Meskipun tidak jarang kekerasan domestik menjadi
faktor penyebab terjadinya kriminalitas.
2) Kekerasan kriminal, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang, dengan motif kepentingannya
54
Eka Hendry, Monopoli Tafsir Kebenaran Wacana Keagamaan Kritis dan Kekerasan
Kemanusiaan, Persadar Press, Kalimantan, cet. I Maret 2003, hlm. 105
murni kriminal. Contohnya pencurian, pemerkosaan dan kasus
pembunuhan.
3) Kekerasan massa, yaitu kekerasan yang melibatkan komunitas
orang atau kelompok yang lebih luas, motif kepentingannya
relatif lebih besar berupa kepentingan untuk mengaakan
perubahan sosial, baik secara kultural maupun secara struktural.
Berdasarkan pendapat dari Eka Hendry di atas dapat ditarik
garis besar bahwa tindak pidana kekerasan mencakup berbagai bentuk,
mulai dari skala kecil sampai dengan bentuk yang berskala besar.
Tindakan kekerasan ini dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, baik
rakyat biasa maupun golongan tertentu.
Sejalan dengan itu, Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky
mengemukakan adanya empat kategori yang mencakup hampir semua
kekerasan, yakni : 55
1) Kekerasan Legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh
hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan,
maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya
tindakan-tindakan tertentu untuk mempertahankan diri.
2) Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah
tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya :
55
Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-kejahatan Kekerasan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. I September 1982, hlm. 25
tindakan kekerasan seorang suami atas pezina akan memperoleh
dukungan sosial.
3) Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi
tidak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang
rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya : pembunuhan dalam
rangka suatu kejahatan terorganisasi.
4) Kekerasan yang tidak berperasaan (irrational violence)
Terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa
memperhatikan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak
dikenal oleh pelakunya. Berdasarkan pernyataan ini, pada intinya
suatu tindakan kekerasan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
tetapi juga dapat dilakukan oleh aparat penegak negara yang
diberikan wewenang untuk itu. Ini terbukti dengan adanya tindakan
kekerasan yang dilegalkan karena kekerasan ini dilakukan demi
tujuan yang baik. Tempat terjadinya tindak kekerasan inipun sangat
bervariasi tidak hanya pada tempat-tempat rawan tetapi juga di
tempat umum seperti perkantoran, rumah sakit, lembaga
pendidikan, bahkan sampai terjadi dalam lingkup rumah tangga
atau keluarga.
Bentuk-bentuk kekerasan juga dapat digolongkan menjadi
beberapa macam, yaitu : 56
1) Kekerasan fisik: pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata
untuk melukai, penyiksaan, penggunaan obat untuk menyakiti,
penghancuran fisik, pembunuhan, dengan segala manifestasinya.
2) Kekerasan seksual/reproduksi: serangan atau upaya fisik untuk
melukai pada alat seksual/reproduksi, ataupun serangan psikologis
kegiatan merendahkan atau menghina yang diarahkan pada
penghayatan seksual subjek. Misal manipulasi seksual pendidikan
anak, pemaksaan hubungan seksual/pemerkosaan, sadisme dalam
relasi
seksual,
mutilasi
alat
seksual,
pemaksaan
aborsi,
penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain.
3) Kekerasan psikologis : penyerangan harga diri, penghancuran
motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat
kuat, teror dalam banyak manifestasinya. Misal : makian kata-kata
kasar, ancaman, penguntitan, penghinaan dan banyak bentuk
kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis, (misal :
penelanjangan, pemerkosaan).
4) Kekerasan deprivasi : penelantaran kebutuhan dasar dalam
berbagai bentuknya, seperti pengurangan, pembiaran tanpa
makanan dan minuman, pembiaran orang sakit terus.
56
E. Kristi Poerwandari, Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia,
Kepustakaan Eja Insani, Bandung, cet. I November 2004, hlm. 12
b. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong perilaku
kekerasan di tengah masyarakat Dom Helder Camara, penggagas teori
spiral kekerasan mengemukakan kekerasan dalam perspektif structural
dikategorikan dalam tiga tindakan kekerasan yang saling mengait satu
dengan lainnya, bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan adalah
ketidakadilan (unjustice).57 Oleh karena itu, Ketidakadilan tersebut
akan menyebabkan terjadinya kemiskinan, sementara kemiskinan akan
merusak seluruh sendi kehidupan manusia dan menciptakan subhuman , yaitu realitas kehidupan yang berada di bawah standar; standar
kesejahteraan, standar kesehatan dan standar pendidikan. Kondisi
semacam ini akan menciptakan rasa frustasi di kalangan masyarakat,
yaitu rasa ketidakberdayaan, penistaan, tanpa harapan dan kepastian
masa depan.
2. Pengertian Kekerasan terhadap Anak
Pengertian kekerasan terhadap anak dalam istilah sangat terkait
dengan kata Abuse yaitu kata yang biasa diterjemahkan menjadi
kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.58 Kata ini
didefinisikan sebagai “improper behavior intended to cause phisycal,
psychological, or financial harm to an individual or group’ (kekerasan
adalah perilaku tidak layak dan mengakibatkan kerugian atau bahaya
secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun
57
Eka Hendry AR., op. cit., hlm. 116-117
Abu Hurairah, Kekerasan terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Krisis di
Indonesia, Nuansa (Anggota IKAPI), Bandung, cet. 1, Juli 2006, hlm. 36
58
kelompok).59 Sedangkan kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah
istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak.60
Marzuki Umar Sa’abah mengemukakan (child abuse) adalah
tindakan orang dewasa terhadap anak dengan cara yang disadari ataupun
tidak yang berakibat menganggu proses tumbuh kembang anak. Sehingga
dapat menimbulkan cacat fisik, mental bahkan kematian pada anak.61
a. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut Mieke Diah
Anjar Yanti adalah sebagai berikut :62
1) Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau
potensi menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat
terjadi sekali atau berulang kali seperti dipukul, ditendang,
ditempeleng, dijewer, dicubit, dilempar dengan benda keras,
dijemur di bawah terik sinar matahari.
2) Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam kegiatan seksual
yang tidak dipahaminya seperti perlakuan tidak senonoh dari orang
lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan
porno, perbuatan cabul dan persetubuhan pada anak-anak yang
dilakukan orang lain dengan tanpa tanggung jawab, tingkatan
59
Barker dalam Abu Hurairah, Ibid.
Abu Hurairah, op. cit.
61
Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer
Umat Islam, UII Press, Yogyakarta, hlm. 91
62
Mieke Diah Anjar Yanit, dkk., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak dan
Perempuan Korban Kekerasan, Bapenas, Propinsi Jateng, 2006, hlm. 9-11
60
mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual
yang melanggar hukum seperti dilibatkan pada kegiatan prostitusi.
3) Kekerasan psikis adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan
terhambatnya perkembangan psikologis anak seperti kata-kata yang
mengancam, menakut-nakuti, berkata-kata kasar, mengolok-olok,
perlakuan diskriminatif, membatasi kegiatan sosial dan kreasi.
4) Kekerasan ekonomi (eksploitasi komersial) adalah penggunaan
anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi kebutuhan orang
tuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja secara
berlebihan, menjerumuskan anak kepada dunia prostitusi untuk
kepentingan ekonomi.
5) Tindak pengabaian dan penelantaran adalah ketidakpedulian orang
tua, orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan
mereka seperti pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan
penelantaran
pada
pengembangan emosi,
pendidikan
anak,
pengabaian
pada
penelantaran pada pemenuhan gizi,
pengabaian dan penelantaran pada penyediaan perumahan,
pengabaian pada kondisi keamanan dan kenyamanan.
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut
Mufidah ada tujuh bentuk kekerasan yang lazim ditemukan,
diantaranya adalah sebagai berikut : 63
63
Mufidah, dkk., Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media (Anggota
IKAPI), Papringan, 2006, hlm. 18-19
1) Kekerasan dalam bentuk fisik seperti pemukulan, penganiayaan
berat yang menyebabkan jatuh sakit, bahkan kematian
2) Kekerasan psikis seperti ancaman, pelecehan, sikap kurang
menyenangkan yang menyebabkan rasa takut, rendah diri, trauma,
depresi atau gila.
3) Kekerasan ekonomi, misalnya menelantarkan anak.
4) Kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual, pencabulan dan
pemerkosaan.
5) Eksploitasi kerja dan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
6) Eksploitasi seksual komersial anak
7) Trafiking (perdagangan) anak
Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai kekerasan yang
telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik suatu garis besar
bahwa tindakan kekerasan yang terjadi pada anak sudah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berpijak dari pengertian-pengertian kekerasan yang telah diungkapkan
sebelumnya maka tindakan kekerasan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat
digolongkan menjadi tindakan kekerasan secara fisik, tindakan
kekerasan psikis, dan tindakan kekerasan seksual, yang akand iuraikan
seperti di bawah ini :
1) Tindakan kekerasan secara fisik terlihat dalam beberapa ketentuan
sebagai berikut:
Pasal 80
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.0000,(tujuh puluh dua juta rupiah)
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) luka berat,
maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah)
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) mati, maka
pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (seratus
juta rupiah)
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila
melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak
untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002, bagi orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dikenai
sanksi yang tidak ringan bahkan denda yang diberikan jumlahnya
sangat banyak. Juga bagi orang yang memperdagangkan, menjual,
atau menculik anak yang akan dimiliki sendiri maupun akan dijual
kepada orang lain, akan mendapatkan sanksi pidana dan juga
ditambah dengan pidana denda. Hal ini menunjukkan bahwa anak
sangat dilindungi dari tindakan kekerasan secara fisik.
2) Tindakan kekerasan secara psikis terlihat dalam beberapa
ketentuan sebagai berikut :
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
 Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya; atau
 Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun
sosial.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah)
Berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak,
maka bagi orang yang melakukan diskriminasi terhadap anak dan
juga penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian secara fisik atau mental yang dapat
menghambat fungsi sosial anak, dikenai sanksi pidana dan/atau
juga pidana denda.
3) Tindakan kekerasan seksual terlihat dalam beberapa ketentuan di
sebagai berikut :
Pasal 81
(1)
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)
b. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan oleh berbagai
faktor yang mempengaruhinya. Menurut Suharto dalam bukunya Abu
Hurairah, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor
internal yang berasal dari anak sendiri maupun eksternal yang berasal
dari kondisi keluarga dan masyarakat, diataranya adalah sebagai
berikut :64
1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah
laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah,
ketidaktahuan anak akan hak-haknya.
2) Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak
cukup, banyak anak.
3) Keluarga tunggal anak keluarga pecah (broken home), misalnya
perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa
64
Suharto dalam Abu Hurairah, op. cit., hlm. 39
ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara
ekonomi.
4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan
mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang
tidak diinginkan, anak yang lahir di luar nikah.
5) Penyakit parah atau gangguan mental apda salah satu kedua orang
tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena
gangguan emosional dan depresi
6) Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya
mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anakanaknya.
7) Kondisi lingkungan yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya
tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan
eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah,
meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum,
tidak ada mekanisme kontrol sosial yang stabil.
Sementara Rusmil dalam bukunya Abu Hurairah menjelaskan
bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran
terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu 65:
65
Rusmil dalam Abu Hurairah, Ibid., hlm. 40
1) Faktor orang tua dan keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya
kekerasan dan penelantaran anak. Faktor-faktor yang menyebabkan
orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya :
a) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak :
-
Kepatuhan anak kepada orang tua
-
Hubungan asimetris
b) Dibesarkan dengan penganiayaan
c) Gangguan mental
d) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial,
terutama merupakan yang mempunyai anak sebelum berusia 20
tahun.
e) Pecandu minuman keras dan obat
2) Faktor lingkungan sosial
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus
terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang
dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak
diantaranya :
a) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis
b) Kondisi sosial ekonomi yang rendah
c) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang
tua sendiri
d) Status wanita yang dipandang rendah
e) Sistem keluarag patrialkal
f) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis
3) Faktor anak sendiri
a) Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis
disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.
b) Perilaku menyimpang pada anak.
c. Dampak kekerasan terhadap anak
Dari berbagai bentuk kekerasan di atas kita akan melihat
dampak kekerasan terhadap anak yang dapat menyebabkan anak
kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam hidupnya,
sebagaimana yang telah disimpulkan oleh YKAI (Yayasan
Kesejahteraan Indonesia), sebagai berikut :66
1) Cacat tubuh permanen
2) Kegagalan belajar
3) Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan
kepribadian
4) Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai
atau mencintai orang lain
5) Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan
baru dengan orang lain.
6) Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal
7) Menjadi penganiaya ketika dewasa
66
Suharto dalam Abu Hurairah, Ibid., hlm. 45
8) Menggunakan obat-obatan atau alkohol
9) Kematian
3. Pengertian kekerasan seksual
Istilah kekerasan seksual berasal dari bahasa Inggris sexual
Hardness, dalam bahasa Inggris kata hardness mempunyai arti kekerasan,
tidak menyenangkan, dan tidak bebas.67 Sementara kata sexual
mempunyai arti sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas. Sehingga
istilah sexual Hardness berarti perbuatan seksual yang tidak diinginkan
oleh si penerima, dimana di dalam terdapat ancaman, tekanan, tidak
menyenangkan dan tidak bebas. Ternyata dalam KUHP telah mengatur
tentang kekerasan yaitu pasal 89 yang mendefinisikan kekerasan berarti
menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara sah,
misalnya menendang, memukul dengan tangan atau dengan segala macam
senjata.68
a. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak
Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap
anak menurut Resna dan Darmawan dapat dibagi atas tiga kategori
sebagai berikut :
1) Pemerkosaan. Pemerkosaan biasanya terjadi pada suatu saat
dimana pelaku (biasanya) lebih dulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak.
67
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1997, hlm. 517
68
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentar
Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 98
2) Incest. Hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara
individu yang mempunyai hubungan kerabat, yang perkawinan
diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.
3) Eksploitasi. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi.
Hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara
berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di
luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan
dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak Sawitri
Supardi Sadarjoen mengelompokkan perilaku seksual dalam beberapa
bentuk penyimpangan sebagai berikut :69
1) Untuk tujuan obyek seksual
a) Pedophilia, terdiri dari pedophilia homoseksual dan pedophilia
heteroseksual.
b) Incest
c) Hiperseksualitas
d) Keterbatasan kesempatan dan keterbatasan kemampuan sosial
ekonomis.
2) Untuk tujuan sebagai pencari nafkah keluarga
a) Orang tua dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai tenaga
pencari uang dengan memaksa anak menjual diri, melakukan
kegiatan prostitusi
69
Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, PT. Refika
Aditama, Bandung, cet. I Mei 2005, hlm. 70
b) Germo (pengelola praktek prostitusi) yang berusaha mencari
gadis muda untuk melayani para pelanggannya.
3) Untuk tujuan avonturis seksual
Anak perempuan dan laki-laki mencari kehangatan
emosional di luar rumah melalui perilaku seksual eksesif dan
bersivat avonturir, baik dengan rekan sebaya maupun pasangan
dewasa.
b. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak
Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan kekerasan
seksual terhadap anak antara lain sebagai berikut : 70
1) Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan
ketidakmampuan penderita menjalin relasi heterososial dan
homososial yang wajar
2) Kecenderungan kepribadian antisosial yang ditandai dengan
hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh
hambatan perkembangan moral
3) Terdapat kombinasi regresi, ketakutan impoten, serta rendahnya
tekanan etika dan moral.
c. Dampak kekerasan seksual terhadap anak
Dari berbagai bentuk kekerasan di atas kita akan melihat
beberapa hal dampak yang dapat terjadi : 71
70
Ibid., hlm. 15
Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan, Kelompok Kerja, Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 41-42
71
1) Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan
keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya : anak
akan menganggap wajar perilaku orang dewasa, meniru tindakan
yang dilakukan kepadanya, menyalahkan ibu atau orang dewasa
yang mengasuhnya yang dianggapnya tidak membelanya dari halhal buruk yang dialaminya. Yang sering terjadi adalah merasa
bersalah, merasa menjadi penanggung jawab kejadian yang
dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial (misal : sudah
dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang
lain dan sebagainya).
2) Anak merasa dikhianati. Bila pelaku kekerasan adalah orang dekat
dan dipercaya, apalagi orang tua sendiri, anak akan mengembangkan
perasaan dikhianati, dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan
ketidakpercayaan pada orang-orang lain dan kehidupan pada
umumnya. Hal ini akan sangat berdampak pada kemampuan
sosialisasi, kebahagiaan dan hampir semua dimensi kehidupan
psikologis pada umumnya.
3) Stigmatisasi : di satu sisi, masyarakat yang mengetahui sejarah
kehidupan anak akan melihatnya dengan kacamata berbeda,
misalnya dengan rasa kasihan sekaligus merendahkannya, atau
menghindarinya. Di sisi lain, anak mengembangkan gambaran
negatif tentang diri sendiri. Anak merasa malu dan rendah diri, dan
yakin bahwa yang terjadi pada dirinya adalah karena adanya
sesuatu yang memang salah dengan dirinya tersebut (misalnya
melihat diri sendiri anak sial)
4) Traumatisasi seksual : pemaparan pengalaman seksual terlalu dini,
juga yang terjadi secara salah, dapat berdampak pada munculnya
trauma seksual. Trauma seksual dapat tertampilkan dalam dua
bentuk, inhibisi seksual, yakni hambatan-hambatan untuk dapat
tertarik dan menikmati seks, atau justru disinhibisi seksual, yakni
obsesi dan perhatian berlebihan pada aktivitas atau hal-hal terkait
dengan hubungan seksual.
Dampak kekerasan seksual terhadap anak bisa dilihat dengan
tanda-tanda bahaya yang dimiliki oleh anak sebagai berikut : 72
1) Usia balita
a) Tanda fisik : memar pada kelamin atau mulut, kesulitan atau
iritasi saat kencing, penyakit kelamin dan sakit kerongkongan
dengan sebab tidak jelas
b) Tanda psikologis dan emosional : sangat takut kepada siapa
saja, tempat tertentu, atau orang tertentu. Perubahan perilaku
tiba-tiba. Gangguan tidur (susah tidur, mengompol, mimpi
buruk), menarik diri, depresi atau perkembangan terhambat.
2) Usia pra sekolah
Gejala yang sama, ditambah hal-hal berikut ini :
72
Majalah Femina No.2/ XXXIV, 12-18 Januari 2006, hlm. 47
a) Gejala fisik. Ada perilaku regresif, seperti mengisap jempol,
hiperaktif, keluhan somatik, antara lain sering sakit kepala,
sakit perut atau sembelit
b) Perilaku emosional dan sosial : kelakuan anak-anak tiba-tiba
berubah. Di sini bisa jadi sudah mengeluh mengalami
perlakuan seksual
c) Ada perilaku seksual yang tidak wajar, seperti masturbasi
berlebihan, mencium berlebihan, mendesakkan tubuh, tahu
banyak atau melakukan aktivitas seksual terang-terangan
kepada saudara atau teman. Atau rasa ingin tahu berlebihan
untuk masalah seksual.
3) Usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas dan perubahan
kemampuan belajar, antara lain konsentrasi terganggu, nilai
menurun, hubungan dengan teman terganggu, tak percaya pada
orang dewasa, depresi, sedih, tak suka disentuh dan menghindari
secara berlebihan untuk membuka pakaian.
4) Usia remaja
Sama seperti di atas, disertai dengan kelakuan merusak diri,
pikiran untuk bunuh diri, gangguan makan, melarikan diri,
berbagai kenakalan remaja, menggunakan obat terlarang.
BAB III
POTRET KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI
WILAYAH HUKUM POLRES SALATIGA
A. Kekerasan Seksual terhadap Anak di Polres Salatiga Tahun 2004-2006
Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan realitas
yang ada dalam masyarakat dan berlangsung sepanjang sejarah kehidupan
manusia di dunia ini. Bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya pelanggaran hak dasar
yang dimiliki anak dalam tahap pertumbuhanya. Potret buram kondisi anak di
Jawa Tengah menurut hasil monitoring yang dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) pada tahun 2003 adalah sebanyak 285 kasus
dengan
melibatkan anak-anak usia kurang dari 18 tahun sebagai korban.
Kemudian menurut data laporan dari LRC-KJ HAM pada tahun 2004 di
Jawa Tengah tercatat 577 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah
umur. 73
Selanjutnya terhadap kasus kekerasan anak di wilayah hukum Polres
Salatiga selama periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2006
didapatkan hasil tindak kekerasan seksual secara keseluruhan terdapat 18
kasus, 12 kasus diantaranya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga (KDRT) sedangkan 6 kasus merupakan tindak kekerasan
seksual terhadap anak usia antara 0-17 tahun. Dari berbagai kasus kekerasan
terhadap 6 korban anak di bawah umur tersebut pelaku melakukan tindak
73
Data acuan pelaksanaan monitoring dan pelayanan terpadu bagi korban kekerasan di
wilayah Kota Salatiga
pidana asusila dengan motif pelanggaran yang berbeda-beda. Berikut diantara
korban yang ada di Polres Salatiga :
1. Kasus No.LP/195/VI/2004/SPK 14-06-2004
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban
(STM)
mengalami tindak kekerasan seksual sehingga hamil di luar
tanggung jawab (pemerkosaan). Korban
masih berusia 14 tahun
merupakan seorang anak dari pasangan JSM dan STF, lahir di Grobogan
7 Maret 1990. Aktifitas sehari-hari STM adalah seorang pelajar pada
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di kota Salatiga. Namun
menurut keterangan tetangga korban, setelah kejadian asusila yang dialami
oleh korban (STM) sekitar awal bulan Juni 2004, maka korban tidak
bersekolah lagi dan menutup diri dari lingkungan sekitar tempat korban
(STM) tinggal.74 Sampai saat ini korban melahirkan seorang anak
perempuan dengan nama (DL) berusia kurang lebih 2 tahun 5 bulan dan
kelahiran anak tersebut tidak diketahui siapa ayah biologisnya. Akan tetapi
dari keterangan warga di Munduran korban hamil di luar tanggung jawab
karena diperkosa oleh (BS) saudaranya yang bertempat tinggal di Salatiga,
tepatnya di Bugel. Dari keterangan
warga tersebut, sebelum Korban
(STM) dikeluarkan dari sekolanya, STM menginap bertempat tinggal dan
ikut dengan korban (BS) agar menghemat pengeluaran atau ongkos
perjalanan kesekolah. Dan disitulah korban STM mengalami tindak
kekerasan seksual anak di bawah umur disertai ancaman agar kejadian
yang dialami tidak diberitahukan kepada orang lain. Menurut data yang di
74
Wawancara dengan bapak Yasrin tetangga korban pada hari Rabu tanggal 5 November
2008 di Munduran, Bantar Kabupaten Grobogan
berikan oleh Polres Salatiga, keluarga korban melaporkan kejadian yang
dialami oleh STM pada tanggal 16 Juni 2004.
2. Kasus No.LP/294/VII/SPK 06-08-2004
Kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi kepada korban (
BNG) 10 tahun merupakan seorang pelajar Sekolah Dasar (SD) di kota
Salatiga. Mengalami tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual
(pemerkosaan) pada hari Jum’at tanggal 6 Agustus 200475. Korban (BNG)
adalah putri dari pasangan AHJ dan DHY. Korban lahir di Kabupaten
Semarang 12 Januari 1994. Korban bertempat tinggal di Lemah Ireng,
Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Sampai saat ini pelaku tidak di
ketahui keberadaanya. Menurut keterangan ibu korban, (BNG) mengalami
kejadian tersebut di tempat pembuangan sampah dekat daerah Salatiga.
Dari
keteranngan
korban dijelaskan bahwa korban tidak mengenal
pelaku.76
3. Kasus No.LP/289/IX/2004/SPK 10-9-2004
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban
(SST) 14 tahun mengalami tindak kekerasan seksual (Pemerkosaan). SST
merupakan seorang seorang pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) di kota Salatiga, bertempat tinggal di Jalan Imam Bonjol Gang
Durian RT 03 Rw 01 Kecamatan Sidorejo Lor Salatiga. Korban
mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh ayah
tiri korban (TN) 50 tahun.
75
Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah
Jawa Tengah Resort Salatiga
76
Wawancara dengan korban (BNG) pada hari Sabtu tanggal 24 Februari 2007 di Lemah
Ireng
4. Kasus No.LP/37/II/2005/SPK 3-2-2005
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban
(NNC)
5,5 tahun
mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual
(pencabulan) merupakan seorang anak dari pasangan ACH dan DLY yang
bertempat tinggal di perumahan Argomulyo blok C RT 04 RW 10
Kelurahan Ledok Kecamatan Argomulyo Salatiga. Korban mengalami
tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh saudara korban, yaitu YS 34
tahun.
5. Kasus No.LP/143/VII/2006/SPK 18-07-2006
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban
(NBT) 5 tahun merupakan seorang anak dari pasangan AI dan RM
bertempat tinggal di Jalan Ki Penjawi Kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan
Sidorejo Salatiga. Pada tanggal 8 Juli 2006 mengalami tindak kekerasan
pelecehan seksual (pencabulan) yang dilakukan oleh SH (paman korban
NBT). Korban mengalami luka pada alat vital. Kejadian ini terjadi dan
diketahui oleh orang tua korban pada akhir bulan Juni 2006. 77
6. Kasus No.LP/99/III/2005/SPK 31-3-2005
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban
(MTA) berusia 14 tahun seorang pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) Kabupaten Semarang. Korban
mengalami pelecehan
seksual ditempat (rumah) Pelaku (JS). Menurut keterangan ibu korban,
peristiwa tersebut terjadi pada hari selasa tanggal 3 juni 2005 ketika
77
Wawancara dengan bapak Mahmud pada hari sabtu tanggal 17 November 2007 di
Sidorejo Salatiga
(MTA) tidak pulang kerumah setelah pelajaran sekolah telah selesai. Dari
keterangan diperoleh hasil bahwa korban MTA pergi bersama pelaku JS
tanpa sepengetahuan orang tua korban MTA.78 Korban (MTA) merupakan
anak dari pasangan MMD dan YL, lahir di Kebupaten Semarang 19 Maret
1991. Kemudian pelaku JS adalah seorang anak dari pasangan DNR dan
YTM, berusia 16 tahun dan aktifitas sehari-hari merupakan pelajar
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di kota Salatiga.
Data keterangan dari Polres Salatiga dan dari keterangan orang tua
korban dijelaskan bahwa tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah
umur rata-rata pelaku merupakan orang yang dikenal dekat oleh korban,
baik saudara, ayah tiri maupun teman dekat korban. Dari data laporan
kekerasan seksual tersebut korban (anak di bawah umur) cenderung
mengalami luka fisik dan trauma psikis akibat tindak kekerasan yang
dialami yaitu :
1. Korban sering menyendiri dan menutup dari lingkunganya.
Akibat dari kekerasan seksual yang dialami oleh korban
berdampak pada aktifitas sehari-hari korban terkadang menutup diri
dari pergaulan masyarakat, hal ini terjadi terhadap korban (STM)
dengan nomor laporan di Polres Salatiga No.LP/195/VI/2004/SPK 1406-2004
78
Kalibeji
Wawancara dengan ibu Yuliana pada hari Selasa tanggal 20 November 2007 di
2. Korban mengalami luka pada alat vital (kelamin)
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban pelecehan seksual anak di bawah umur secara mayoritas
mengalami luka pada alat vital (kelamin)79
3. Datang bulan tidak teratur yang dialami oleh korban, hal ini terjadi
terhadap korban (SST) dengan kasus laporan No.LP/289/IX/2004/SPK
10-9-2004
dan
korban
(BNG)
dengan
kasus
laporan
No.LP/249/VIII/2004 06-08-2004
4. Trauma seksual, yang terjadi terhadap korban (SST)
5. Hamil di luar tanggung jawab, dalam penelitian didapatkan satu
korban yaitu SST
6. Depresi, hal ini dialami oleh rata-rata korban kekerasan seksual anak di
bawah umur.
7. Ketakutan yang berlebihan dalam hal ini korban adalah NBT , NNC .80
B. Penanganan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di Wilayah
Hukum Polres Salatiga
Wilayah hukum Polres Salatiga yang terdiri dari 4 kecamatan
sebenarnya sangat
mudah untuk memantau dan memonitoring kasus
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang sering terjadi. Akan
tetapi, data laporan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan
fenomena yang tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga tidak sebanding
79
Data laporan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur Polres Salatiga 2004-
2006
80
Wawancara dengan bapak Bambang Sutanto di Polres Salatiga pada hari Rabu tanggal
17 Januari 2007 di Polres Salatiga
dengan kasus yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan
rendahnya laporan yang dilakukan oleh keluarga korban, dengan anggapan
bahwa kekerasan yang dialami merupakan aib dan urusan internal keluarga,
sehingga orang tua korban terkadang sering menutup diri dan tidak ingin
urusan rumah tangga mereka dicampuri oleh pihak lain.
Menurut keterangan Kasat Reskrim Bambang Sutanto bahwa tindak
kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur sering terjadi karena krisis
moral yang terjadi dalam masyarakat. Kemudian minimnya penanaman
pondasi agama serta pendidikan tentang kondisi lingkungan yang diberikan
oleh orang tua korban tidak tepat melihat anak adalah seorang yang
mempunyai kondisi lemah lebih mudah diintimidasi serta dibujuk. Oleh
karena itu, anak di bawah umur merupakan target potensial terhadap tindak
kekerasan seksual baik tindak pemerkosaan, pencabulan maupun eksploitasi
seksual anak di bawah umur.81
Penelitian yang dilakukan di Polres Salatiga pada tanggal 20 Desember
2006 selama periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2006 didapatkan
hasil bahwa tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur adalah
sebagai berikut 82:
81
Wawancaara dengan bapak Bambang Sutanto pada hari Kamis tanggal 4 Mei 2006 di
Polres Salatiga
82
Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah
Jawa Tengah Resort Salatiga
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Jumlah
2004
1
2
3
2005
1
1
2
2006
1
1
Menurut keterangan yang diperoleh di Polres Salatiga angka
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur jumlahnya sedikit apabila
dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat saat ini.
Hal ini disebabkan karena minimnya tingkat kesadaran hukum masyarakat
yang beranggapan bahwa kasus tindak kekerasan seksual terhadap anak di
bawah umur merupakan aib bagi keluarga korban jika diangkat dalam
pemberitaan publik.83
Dari hasil penelitian di Polres Salatiga didapatkan hasil bahwa
diantara 6 bentuk tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur adalah
sebagai berikut84 :
No
83
Inisial korban
Bentuk kekerasan seksual terhadap anak
Wawancara dengan bapak Pratomo pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2006 di
Polres Salatiga
84
Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah
Jawa Tengah Resort Salatiga
1
2
3
4
5
6
STM
BNG
SST
NNC
MTA
NBT
Hamil di luar tanggungjawab
Pemerkosaan
Pemerkosaan oleh ayah tiri korban
Pencabulan
Pemerkosaan
Pencabulan
Menurut keterangan yang diperoleh di Polres Salatiga ada beberapa
macam-macam bentuk kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur
sebagai berikut :
a. Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
b. Pencabulan terhadap anak di bawah umur.
c. Incest atau hubungan tidak wajar antara pelaku yang masih
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan korban.
Selanjutnya dari tabel bentuk kekerasan terhadap anak di atas
dalam penelitian didapatkan hasil bahwa korban kekerasan seksual dapat
diklasifikasikan berdasarkan tingkat usia adalah sebagai berikut85 :
No
85
Korban
Umur
Tempat kejadian perkara
Keterangan
Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah
Jawa Tengah Resort Salatiga
1
STM
14 tahun
Kamar korban
-
2
BNG
10 tahun
Tempat pembuangan sampah
-
3
SST
14 tahun
Kamar tamu
-
4
NNC
5,5 tahun
Rumah pelaku
DPO
5
MTA
14 tahun
Di rumah pelaku
P21
6
NBT
5 tahun
Di belakang rumah
Proses sidik
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual terhadap Anak
di Polres Salatiga
Selanjutnya 2 tabel di atas terlihat bahwa korban kekerasan terhadap
tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah umur merupakan
tindakan yang paling dominan dialami oleh anak. Adapun faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya kekerasan seksual anak di bawah umur antara lain
adalah sebagai berikut86:
1. Karena faktor ketidaktahuan orang tua dan kurangnya pengawasan
terhadap anak
Penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak di bawah
umur yang dilakukan oleh pelaku merupakan kasus yang perlu mendapat
perhatian oleh kalangan orang tua. Hal ini dalam penelitian yang dilakukan
di Polres Salatiga diperoleh hasil bahwa diantara 6 korban tersebut, 5
pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dapat
dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa dan 1 pelaku masih
86
Data dari Polres Salatiga yang dipadukan dengan wawancara kepada korban kekerasan
seksual anak di bawah umur tahun 2004-2006 di Polres Salatiga
dikategorikan anak di bawah umur. Oleh sebab itulah peran pengawasan
orang tua perlu di tingkatkan untuk mengurangi kasus-kasus yang sama,
dan selebihnya diperoleh hasil juga bahwa dari 6 pelaku tersebut adalah
orang-orang yang kenal dekat dengan korban.87 Keadaan inilah celah
yang dapat memberikan pelaku leluasa melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam masyarakat.
2. Karena faktor gangguan psikis yang dialami oleh pelaku
Tindakan kekerasan seksual akibat gangguan psikologis ini
biasanya terjadi atau dipengaruhi oleh faktor kejiwaan seseorang yang
sedang labil, beberapa diantaranya adalah
adanya pengaruh seringya
pelaku menonton VCD porno maupun potensi seksual pelaku tindak
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terjadi karena pelaku
kurang merasakan kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, bahkan adanya
perilaku seks menyimpang dan berlebihan. Oleh sebab itu pelaku
cenderung mencari kepuasan dengan cara lain yang tidak sesuai norma dan
aturan yang sesuai dalam masyarakat.
Seperti halnya pelaku JAS seorang pelajar 16 tahun menurut
keterangan yang diperoleh di Polres Salatiga, pelaku sering menonton
VCD porno di tempat tetangganya dan mengaku setelah melihat film
ditempat temanya berkeinginan untuk melakukan hal yang sama serta
mempraktekkan film yang ditonton kepada orang lain. 88 Dalam hal ini,
87
Wawancara dengan ibu Peni Esti pada hari Sabtu tanggal 23 Desember Tahun 2006 di
Polres Salatiga
88
Wawancara dengan bapak Bambang di dusun Cabean Salatiga pada hari Kamis
tanggal 10 April tahun 2008
pelaku melakukan apa yang pernah dilihat kepada pacarnya (MTA). Cara
yang dilakukan oleh pelaku yaitu, dengan megajak korban menginap
ditempat pelaku tanpa sepengetahuan orang tua masing-masing, baik orang
tua korban maupun orang tua pelaku.
3. Faktor ekonomi keluarga kemudian terjadi percekcokan yang akhirnya
anak dijadikan tempat pelampiasan kemarahan.
Melihat kondisi masyarakat yang telah berubah dan pola hidup
konsumerisme melekat dalam kehidupan mengakibaatkan setiap orang
berlomba dengan waktu untuk mendapatkan hasil dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam kaitanya dengan kekerasan seksual
terhadap anak di sebabkan karena pengaruh faktor ekonomi dapat di
ketahui dari status pekerjaan pelaku sebagai berikut89:
No
Inisial pelaku
1
BS
Buruh
49 tahun
2
-
-
-
3
TN
Buruh
50 tahun
4
YL
Swasta
34 tahun
5
JAS
Pelajar
16 tahun
6
SH
Swasta
47 tahun
89
Pekerjaan
Usia
Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah
Jawa Tengah Resort Salatiga
Dari data tabel di atas faktor ekonomi dapat dikategorikan sebagai
pengaruh kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, korban SST
14 tahun seorang pelajar di bangku SLTP mengaku telah diperkosa dan
diperlakukan tidak pantas oleh pelaku. Dalam 1 minggu harus di paksa
melayani kebutuhan seksual ayah tirinya sebanyak 4 kali. Peristiwa ini
berakhir ketika SST dengan terpaksa mengaku kepada ibunya. Alasan
pelaku memperlakukan korban dikarenakan pelaku kurang terpenuhi
kebutuhan seksual dengan istrinya, sehingga ketika istrinya sedang
beraktifitas di pasar, pelaku mengancam korban tidak akan memberikan
uang saku dan uang untuk membayar SPP sekolah jika korban tidak mau
menuruti permintaan pelaku.
D. Perlindungan
Hukum
yang
Diberikan
Terhadap
Anak
Korban
Kekerasan Seksual di Polres Salatiga
Dalam menanggapi permasalahan kasus kekerasan seksual terhadap anak
di bawah umur dalam wawancara di Polres Salatiga mendapat hasil sebagai
berikut90 :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari keluarga korban kekerasan
Unsur terpenting yang sangat membantu pihak kepolisian
khususnya Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap anak korban tindak kekerasan seksual adalah adanya laporan dan
pemberitahuan dari keluarga korban, baik secara lisan maupun tertulis. Hal
90
Wawancara dengan ibu Peni Esti di pada hari Sabtu tanggal 23 Desesmber tahun 2006
di Polres Salatiga
ini akan mempermudah dan mempercepat penyidik dalam menyelesaikan
permasalahan yang meresahkan masyarakat dewasa ini. Setelah pihak
kepolisian menerima laporan atau aduan, maka pada tahap berikutnya
bagian penyidik akan melakukan serangkaian tindakan yang sesuai dengan
tata cara yang diatur dalam undang-undang yaitu:
a. Mengumpulkan barang bukti
b. Membuat surat keterangan atau pengantar untuk Visum et repertum ke
rumah sakit untuk keperluan barang bukti
c. Memberikan konseling terhadap anak korban kekerasan seksual
d. Memberikan pengayoman dan perlindungan terhadap anak korban
kekerasan seksual
e.
Melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak kekerasan seksual.91
2. Terhadap bentuk-bentuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah
umur, baik pemerkosaan maupun pencabulan Polres Salatiga menerapkan
beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai
berikut:92
a. Dalam Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Ketentuan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang disebutkan barang siapa dengan sengaja baik dengan ancaman
memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh karena
91
Wawancara dengan bapak Bambang Sutanto pada hari Senin tanggal 25 Desember
2006 di Polres Salatiga
92
Ibid.,
perkosaan dipidana dengan pidana penjara dua belas tahun. Ketentuan
ancaman pidana ini berlaku pada BS dan TK.
Kemudian Ketentuan Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang dinyatakan bahwa tpelaku bersetubuh dengan perempuan
yang bukan isterinya, padahal diketahui bahwa umur perempuan itu
belum cukup 15 tahun dan belum pantas untuk dikawini maka pelaku
diancam dengan pidan penjara maksimal sembilan bulan. Pasal 332
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan bahwa
Pasal 1
tentang melarikan wanita di pidana :
-
Dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun terhadap pelaku yang
melarikan wanita di bawah umur tanpa ijin orang tua atau walinya
maupun dengan kemauan wanita itu sendiri dengan maksud untuk
memiliki baik dengan perkawinan maupun tidak.
-
Dengan pidan penjara maksimal sembilan tahun terhadap pelaku
yang melarikan wanita dengan tipu daya, kekerasan maupun
dengan ancaman kekerasan untuk memiliki wanita tersebut baik
dengan perkawinan maupun tidak.
Ketentuan ancaman pidana di atas dalam Pasal 287 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidan berlaku pada YS. Kemudian dalam
ketentuan sanksi pidana rangkap yaitu dalam Pasal 287 dan Pasal 332
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diberlakukan kepada pelaku
JAS.
b.
Ketentuan
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak.
Penelitian yang dilakukan di Polres Salatiga diperoleh hasil bahwa
penerapan dan implementasi perlindungan terhadap korban kekerasan
seksual anak di bawah umur terdapat pada Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disebutkan bahwa,
terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan kekerasan maupun
dengan ancaman kekerasan, tipu muslihat, kebohongan serta membujuk
anak di bawah umur untuk melakukan perbuatan cabul, maka terhadap
pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara atau
serendah-rendahnya 3 tahun. Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 23 tahunn 2002 tentang Perlindungan Anak ini berlaku terhadap
pelaku SH yang dengan sengaja melakukan tindakan atau perbuatan cabul
terhadap korban NBT (5 tahun).93
93
Wawancara dengan ibu Peni Esti pada hari Senin Tanggal 1 Januari Tahun 2007 di
Polres Salatiga
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL Di POLRES SALATIGA
A. Bentuk Perlindungan Hukum
terhadap Anak Korban Kekerasan
Seksual
Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur (sexual abuse)
merupakan kejahatan kemanusiaan yang masuk dalam kategori pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam ketentuan Konvensi Hak Anak Pasal 1
ayat 2 dijelaskan bahwa negara menjamin hak setiap anak tanpa diskriminasi
baik ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, suku bangsa ataupun
status lain dari anak yang sah menurut hukum. Akan tetapi ketentuan yang
dijamin oleh Konvensi Hak Anak dalam kenyataan yang ada belum
sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dengan baik
dan tepat. Seperti dalam Firman Allah Q.S Al-Isro' ayat 31:
              
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan
juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
dosa yang besar. 94
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau
94
hlm. 285
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI., PT. Syamil Cipta Media, 1987,
sejumlah orang yang berposisi lemah atau dilemahkan yang dengan sarana
kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan sengaja dilakukan
perbuatan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.95 Oleh
karena itu, kekerasan terhadap anak dapat di pahami bahwa kekerasan pada
anak adalah tindakan kekerasan secara fisik, psikologis, sosial, seksual
yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh orang lain termasuk di
dalamnya adalah orang tua, keluarga, pendidik masyarakat dan pelaku
pemerintah.96
Kondisi tersebut menurut data laporan dan pantauan Komisi Nasional
Perlindungan Anak pada tahun 2005 dijelaskan bahwa dari 331 pelaku tindak
kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 226 pelaku ( 68,28% ) adalah
orang yang dikenal oleh korban, mulai dari keluarga inti, kerabat, tetangga,
atau orang lain yang mempunyai hubungan baik dengan korban. Kemudian
sebanyak 105 pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak (31,72%) adalah
orang yang tidak dikenal oleh korban. 97
Angka laporan Komisi Perlindungan Anak di atas Candara Gautama
menyoroti bahwa data laporan kekerasan seksual terhadap anak usia di bawah
18 tahun memang sangat sedikit apabila dibandingkan dengan realitas yang
ada saat ini. 98 Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
95
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media, (Anggota
IKAPI), Papringan, 2006, hlm. 2
96
Mieke Diah Anjar Yanti, et.al., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak dan
Perempuan Korban Kekerasan, Bapernas, Propinsi Jateng, 2006
97
Tabloid Mom and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang Terdekat, PT.
Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007
98
Candra Gautama, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2000, Hlm. 53
1. Penolakan yang dilakukan oleh korban sehingga korban tidak melaporkan
kasusnya dengan alasan takut adanya ancaman dan akibat yang kelak
diterima dari pelaku (trauma)
2. Manipulasi dari pelaku sering menolak tuduhan bahwa dia adalah
pelakunya. Strategi ini digunakan pelaku dengan menuduh korban
melakukan kebohongan dan membuat rekayasa.
3. Keluarga korban menganggap bahwa kekerasan seksual terhadap anak
adalah aib memalukan jika diungkap dihadapan umum.
4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga tidak
layak dicampuri oleh orang lain.
5. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri anak
(korban) yang mengalami kekerasan seksual, khususnya pada kasus sexual
abuse, karena tidak adanya tanda-tanda fisik yang terlihat jelas.
6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan jelas
oleh masyarakat.
Memperhatikan
kondisi
masyarakat
yang
demikian,
upaya
perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan seksual perlu
dilakukan secara nyata, hati-hati, tepat, dan berkesinambungan. Sehingga
upaya perlindungan hukum tersebut memerlukan peran serta pemerintah,
lembaga-lembaga yang terkait dalam perlindungan anak, masyarakat, serta
peraturan perundang-undangan yang menjadi pelaksanaannya. Di samping itu,
sosialisasi, promosi dan penegakan hak-hak anak perlu dilakukan secara terusmenerus dan sungguh-sungguh. Hal ini disebabkan karena kodrat anak adalah
sebagai seorang individu yang lemah dalam masa pertumbuhan dan harus
mendapat perlindungan, tidak dapat dibiarkan untuk berjuang sendiri dalam
memperoleh haknya secara utuh.
Selanjutnya Arif Gosita mengemukakan beberapa hal yang diperlukan
dalam memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasan seksual agar terlaksana dengan baik, yaitu :
1. Dalam hal telaksananya perlindungan hukum
terhadap anak korban
kekerasan seksual perlu dipahami tentang pengertian tepat berkaitan
dengan masalah perlindungan anak, seperti pengertian manusia,hak dan
kewajiban asasi manusia, pencegahan kejahatan, pencegahan penimbulan
korban dan pelaksanaan kepentingan perlindungan yang bertanggung
jawab dan bermanfaat.
2. Perlindunngan hukum terhadap anak korban kekerasan sekaual harus
dilakukan antara warga negara, anggota masyarakat baik secara individual,
kolektif demi kepentingan bersama. Hal ini dapat dilakukan dengan
sosialisasi dan penyuluhan mengenai perlindungan anak agar masyarakat
sadar akan arti pentingnya perlindungan anak.
3. Kerjasama dan koordinasi yang diperlukan untuk melancarkan kegiatan
perlindungan anak.
4. Perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual harus mempunyai
dasar filosofis, etis dan yuridis sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan
bermanfaat bagi semua komponen masyarakat.
5. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual harus
tercermin dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu dalam rangka
terwujudnya perlindungan anak setiap anggota masyarakat perlu adanya
koordinasi dengan pemerintah dan aparat penegak hukum.99
Kemudian dalam praktek perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasan seksual (sexual abuse ) Suatu tindakan disebut kekerasan apabila
ada pihak yang dirugikan, yang berupa pemaksaan, perampasan kemerdekaan
secara
sewenang-wenang
bahkan
mengakibatkan
kesengsaraan
dan
penderitaan. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mendapatkan jaminan
hukum yang pasti, korban dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum
maupun lembaga swadaya masyarakat pemerhati anak untuk mendapatkan
perlindungan dan pendampingan hukum.
Salah satu prilaku seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk
kekerasan seksual (sexual violence), artinya praktik hubungan seksual yang
dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah
merupakan praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan
ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekerasan fisik yang
lebih atau kekuatan fisiknya dan dijadikan alat untuk melancarkan usahausaha jahatnya.100
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Polres Salatiga,
pelaksanaan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah sesuai
99
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004,
hlm. 19-20
100
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advodkasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 32
dan memenuhi ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak yaitu, pihak kepolisian lansung menerima
laporan korban baik secara lisan maupun tertulis. Setelah itu dilanjutkan
dengan pembuatan surat visum ke dokter sebagai bukti adanya kekerasan
seksual terhadap anak di bawah umur. Dengan demikian apabila pelaku
terbukti bersalah, maka pelaku akan ditetapkan sebagai tersangka tindak
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur untuk selanjutnya membuat
BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang kemudian diproses untuk dilimpahkan
ke Kejaksaan Negeri dalam proses penuntutan di Pengadilan Negeri.
Bentuk perlindungan terhadap anak di bawah umur secara umum dapat
diklasifikasikan dalam berbagai macam. Akan tetapi terhadap perlindungan
kekerasan seksual di katergorikan dalam beberapa pemahaman yaitu:
Pertama, kekerasan fisik yang berarti perbuatan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit terhadap diri korban, sehingga dalam implementasi
penanganan terhadap korban memerlukan pendampingan dan penyelesaian
tepat agar kasus kekerasan yang dialami dapat teselesaikan dengan tepat. Hal
ini perlu mendapat perhatian khusus disebebkan dalam penelitian di Polres
Salatiga dari wawancara dengan keluarga korban setelah mengadukan kasus
yang dialami oleh anaknya ternyata setelah ditunggu sekian lama tidak
mendapatkan tanggapan dan tindak lanjut yang pasti.
Kedua, kekerasan psikis yang dapat dipahami sebagai perbuatan yang
mengakibatkan rasa ketakutan dan hilangnya rasa percaya diri untuk bertindak
dan menempatkan diri dalam masyarakat, sehingga korban mengalami
penderitaan yang sangat berat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat
untuk selebihnya dapat menerima dengan baik terhadap diri korban dan
menerima secara utuh akibat kekerasan yang dialami dengan memberikan
dorongan dan motifasi agar tahap perkembanganya berjalan baik.
Ketiga, kekerasan seksual yang berarti pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan oleh orang lain yang secara hukum dilarang. Keadaan ini
dalam masyarakat sangat dibutuhkan pola kesadaran hukum lebih, bahwa
perilaku tidak wajar terhadap anak merupakan bentuk pelanggaran hukum dan
pelanggaran norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
B. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di
Polres Salatiga
Kekerasan seksual pada anak adalah tindakan kekerasan secara fisik,
psikologis, sosial, seksual yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh
orang lain. Masalah perlindungan anak korban kekerasan seksual pada
dasarnya adalah sama dengan penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh
karena itu implementasi penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti peraturan hukum, aparat penegak hukum, budaya hukum masyarakat
(tingkat kesadaran hukum) dan budaya yang ada di masyarakat itu sendiri.
Bobot masalah terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres
Salatiga sepanjang tahun 2004-2006 merupakan kasus yang terkait dengan
masalah sosial terutama perilaku menyimpang dari masyarakat. Data kasus
kekerasan seksual baik pemerkosaan, pencabulan dan motif lain yang ada
merupakan kondisi yang bersifat eksploitatif, berbahaya dan menekan
perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak. Data laporan di Polres
Salatiga terhadap masalah kekerasan seksual anak di bawah umur dijelaskan
bahwa dari 6 korban tindak kekerasan berkisar antara usia 0-17 tahun. Oleh
sebab itu, kekerasan seksual yang terjadi memberikan dampak signifikan
terhadap anak untuk perkembangan dan cita-cita pada masa mendatang.
Dampak kekerasan terhadap anak ini berupa, trauma atau ketakutan yang
mendalam, menutup diri dari lingkungan tempat tinggal karena beban yang
dialami serta dampak-dampak lain akibat kekerasan seksual yang dialami oleh
korban.
Langkah-langkah dalam mencermati isu kasus kekerasan seksual
terhadap anak setidaknya memerlukan penyelenggaraan nyata untuk
mengatasi dan mencegah perilaku menyimpang dari masyarakat. Diantaranya
perlu di galakkan program aksi perlindungan terhadap anak, baik oleh
pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat luas secara keseluruhan.
Upaya hukum ditingkatkan dengan memberikan sanksi kepada para pelaku
tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur serta adanya pemantauan dan
monitoring dari lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.
Tindak kekerasan pada anak merupakan tindakan yang menimbulkan
rasa sakit secara fisik dan psikologis serta membuat anak merasa tidak nyaman
(trauama berlebihan). Besar kecilnya luka yang dialami anak tergantung pada
kapasitas tindak kekerasan pelaku terhadap karakteristik anak di bawah
umur.101 Selanjutnya advokasi penanggulangan kekerasan terhadap anak di
bawah umur perlu disadari bahwa arah kebijakan yang ambil harus
mengutamakan kepentingan terbaik korban. Adapun langkah yang diambil
Polres Salatiga terhadap permasalahan kekerasan terhadap anak adalah
sebagai berikut:
1.
Bentuk-bentuk perlindungan sementara yang diberikan pada pihak korban
a.
memeriksa saksi
b.
melakukan visum kepada korban
c.
mencari barang bukti
d.
melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
pada korban dan
e. melakukan penangkapan pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual
terhadap anak.
2. Pemberian sanksi hukum pelanggaran sementara kepada pelaku
3. Membuat berita acara pemeriksaan
4. Melimpahkan perkara kepada kejaksaan yang selanjutnya diproses dalam
sidang pengadilan.102
Sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dalam memberikan perlindunngan khusus bagi
anak yang tereksploitasi secara ekonomi maupun seksuual merupakan
tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan Polres Salatiga secara khusus
101
Majalah Insipred Kids, Jangan Mudah Menyakiti Anak, PT. Tiga Visi Utama, Jakarta,
10 Maret 2006, hlm. 36
102
Wawancara dengan ibu Peni Esti pada hari-tanggal Rabu tanggal 17 Januari 2007 di
Polres Salatiga
untuk menanganinya. Peran perlindungan terhadap anak dalam temuan di
Polres Salatiga adalah sebagai berikut :
1. Penyebarluasan dan sosialisasi tentang ketentuan Undang-Undang
Perlindungan Anak yang berkaitan dengan perlindungan kekerasan seksual
yang dialami oleh anak di bawah umur. Dalam hal ini Polres Salatiga
bekerja sama dengan PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) yang
dibentuk oleh Polres Salatiga.
2. Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi.
3. Melibatkan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja,
lembaga
swadaya
masyarakat
dan
masyarakat
dalam
program
penghapusan eksploitasi terhadap anak baik secara ekonomi maupun
seksual. Dalam hal ini Polres Salatiga bekerja sama dengan LASKAR,
YMCA, PSW STAIN Salatiga dan Pusat Studi Gender UKS Salatiga.
Penelitian tentang perlindungan terhadap anak korban kekerasan
seksual di Polres Salatiga tahun 2004-2006 di atas dapat diketahui bahwa
perlindungan yang diberikan kepada korban adalah menerima laporan korban
tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur sehingga sudah sesuai dengan
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.
Selanjutnya kepolisian wajib melakukan penyidikan setelah menerima laporan
tentang terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah
umur.
C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Aspek perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual
merupakan usaha atau kegiatan bersama yang bertujuan untuk mengusahakan
pemenuhan hak anak dalam menjamin kemerdekaan hak asasinya. Usaha
perlindungan anak akibat kekerasan seksual menekankan pamahaman
terhadap penegakan peraturan yang sudah ada dengan melibatkan unsur
kepentingan bersama dan usaha bersama. Oleh karena itu, masalah
perlindungan anak korban kekerasan seksual mencakup aspek perlindungan
hak asasi anak dan kebebasan anak pada tahap perkembanganya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak merupakan alat hukum yang mampu untuk melindungi
anak dalam berbagai tindak pidana khususnya kekerasan seksual terhadap
anak. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa kekerasan seksual terhaap
anak merupakan tindak pidana sehingga pelaku dapat diajukan ke kepolisian
atas pendampingan pihak terkait.
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak Pasal 3 dinyatakan bahwa, perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Maksud perlindungan kekerasan terhadap anak di atas terhadap kasus
kekerasan seksual anak diperjelas dalam Pasal 69 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang meliputi kekerasan
fisik, psikologis dan kekerasan seksual. Permasalahan kekerasan seksual
terhadap anak di bawah umur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan
dan Bab XII tentang ketentuan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan
seksual terhadap anak di bawah umur.
Diantara implementasi perlindungan terhadap anak korban kekerasan
seksual dalam Pasal Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut
yaitu : Pertama, Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan perlindungan terhadap anak dalam
situasi
tereksploitasi
secara
ekonomi,
seksual
maupun
anak
yang
diperdagangkan, pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus. Kedua, Pasal 82
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
maupun dengan ancaman kekerasan, memaksa dengan tipu muslihat dan
serangkaian kebohongan serta membujuk anak untuk melakukan perbuatan
cabul dipidana dengan pidan maksimal 15 tahun dan serendah-rendahnya 3
tahun kurungan penjara.
BAB V
PENUTUP
Dari uraian yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, terutama dari
Bab I sampai Bab IV tentang
perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasan seksual di Polres Salatiga, pada akhirnya penulis sampaikan
kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Kekerasan seksual terhadap anak adalah tindak kejahatan kemanusiaan
khususnya perampasan hak asasi manusia (HAM) yang menimbulkan rasa
sakit baik fisik maupun psikologis. Kekerasan seksual terhadap anak
merupakan perilaku menyimpang yang terjadi dalam masyarakat, adapun
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Polres
Salatiga adalah pemerkosaan anak dibawah umur, pencabulan terhadap di
bawah umur dan perbuatan yang mengarah pada eksploitasi seksual anak
di bawah umur. Di Polres Salatiga kekerasan terhadap anak di bawah umur
dalam realitas yang ada sering dipengaruhi oleh faktor gangguan jiwa
pelaku yang tidak stabil, kurangnya pengawasan dan pemantauan orang
tua terhadap anak, rendahnya tingkat keasadaran hukum, kondisi ekonomi
dan sosial yang semakin berubah dalam masyarakat.
2. Penelitian terhadap korban kekerasan seksual anak di bawah umur secara
mayoritas kebanyakan korban menderita :
a. Korban sering menyendiri dan menutup dari lingkunganya.
b. Korban mengalami luka pada alat vital (kelamin).
c. Datang bulan tidak teratur yang dialami oleh korban.
d. Trauma seksual, yang terjadi terhadap korban.
e. Hamil di luar tanggung jawab.
f. Depresi, hal ini dialami oleh rata-rata korban kekerasan seksual anak di
bawah umur.
g. Ketakutan yang berlebihan dalam hal ini korban.
3. Peran serta Polres Salatiga dalam
memberikan perlindungan hukum
terhadap korban kekerasan seksual anak di bawah umur adalah bersifat
menunggu adanya laporan dari korban. Polres Salatiga dapat memberikan
perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual seperti :
menerima laporan korban, memberikan konseling terhadap anak korban
kekerasan seksual serta memberikan pengayoman dan pendampingan
hukum terhadap anak korban kekerasan seksual.
4. Ketentuan saksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual anak di
bawah umur sangat penting dalam mencegah dan mengurangi kasus-kasus
yang sering terjadi. P erlindungan hukum terhadap anak di polres Salatiga
telah sesuai denganUndang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 81 UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan
bahwa setiap orang dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan anak
dibawah umur, baik dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan
dipidana penjara maksimal 15 tahun dan serendah-rendahnya 3 tahun.
Kemudian Pasal 82 disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja
melakukan tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan disertai tipu
muslihat, kebohongan, untuk melakukan perbuatan cabul terhadap anak di
bawah umur, pelaku diancam pidana penajara maksimal 15 tahun dan
serendah-rendahnya 3 tahun.
B. Saran-saran
1. Polres Salatiga dalam menegakkan upaya perlindungan hukum terhadap
korban kekerasan seksual anak di bawah umur adalah bersifat menunggu
adanya laporan korban, maka untuk menekan angka kriminalitas terutama
tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur Polres Salatiga
harus melakukan upaya preventif dengan cara sosialisasai pentingya
melindungi anak dari bahaya tindak kekerasan.
2. Polres Salatiga harus meningkatkan peran serta terhadap upaya
perlindungan terhadap anak terutama dalam hal bimbingan pemahaman
kesadaran hukum kepada masyarakat serta memberi informasi tentang
motif-motif tindak kekerasan seksual terhadap anak.
3. Dari data penyelesaian kasus di Polres Salatiga menunjukkan minimnya
penanganan terhadap korban. Korban tidak menerima kepastian hukum
dan proses hukum pasti. Untuk meyakinkan kepada masyarakat Polres
Salatiga harus meningkatkan mutu pelayanan dan penyelesaian laporan
kekerasan seksual anak di bawah umur.
4. Terhadap orang tua korban setidaknya peran pengawasan terhadap anak
harus lebih ditingkatkan untuk berperan aktif dalam melindungi anak dari
tindak kekerasan sedini mungkin dan berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bina
Aksara, Jakarta, 1987.
Atmasasmita, Romli, et.al., Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1997.
Baker, Anton, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta.
Data acuan pelaksanaan monitoring dan pelayanan terpadu bagi korban kekerasan
di wilayah Kota Salatiga
Data dari Polres Salatiga yang dipadukan dengan wawancara kepada korban
kekerasan seksual anak di bawah umur tahun 2004-2006 di Polres Salatiga
Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah
Jawa Tengah Resort Salatiga
Dellyana, Santy, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Diah Anjar Yanit, Mieke, dkk., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak
dan Perempuan Korban Kekerasan, Bapenas, Propinsi Jateng, 2006.
Gautama, Candra, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2000, Hlm. 53
Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yayasan Penelitian Fakultas UGM,
Yogyakarta, 1981.
Hasan Wadong, Maulana, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, 2000.
Hendry, Eka, Monopoli Tafsir Kebenaran Wacana Keagamaan Kritis dan
Kekerasan Kemanusiaan, Persadar Press, Kalimantan, cet. I Maret 2003.
Hurairah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Krisis di
Indonesia, Nuansa, Bandung, cet. I, Juli 2006.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Jakarta, cet. II, 2006.
Joni, Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalam Prespektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999.
M. Amirin, Tatang, Menyusun Rencana Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta, Jakarta, 1986.
M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1997.
Majalah Insipred Kids, Jangan Mudah Menyakiti Anak, PT. Tiga Visi Utama,
Jakarta, 10 Maret 2006.
Marsana Windu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Mom, Tabloid and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang
Terdekat, PT. Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007.
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media, (Anggota
IKAPI), Papringan, 2006.
Nashir, Haidar, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, cet. II Juni 1999.
Poerwandari, E. Kristi, Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat
Manusia, Kepustakaan Eja Insani, Bandung, cet. I November 2004.
Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
R. Soebekti, R. Tjitosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pramadya
Paramita, Jakarta, 1999.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentar Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996.
SantosThomas, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. 1 Maret
2002.
Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Bandung, 1990.
Singarimbun, Irawati, Teknik Wawancara, Masri Singarimbun, Sofiana Efendi,
Metodologi Penelitian Survei, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta, cet. 1 Januari
1999.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Yogyakarta, 1986.
Suara Merdeka, Juni 1999.
Sudiarti Luhulima, Achie, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan, Kelompok Kerja, Convention Watch Pusat Kajian
Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
Surachmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik,
Tarsito, Bandung, cet. II 1985.
Tabloid Mom and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang
Terdekat, PT. Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007
Umar
Sa’abah, Marzuki, Perilaku Seks Menyimpang
Kontemporer Umat Islam, UII Press, Yogyakarta.
dan
Seksualitas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
W. Kusuma, Mulyana, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-kejahatan
Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. I September 1982.
Wahid, Abdurrahman, Islam Tanpa Kekerasan, Yogyakarta, 1998, LKS
Yogyakarta.
Instrumen daftar pertanyaan penelitian di Polres Salatiga
1. Sejauhmanakah peran Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan seksual ?
2. Ada berapakah laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak pada
tahun 2004-2006 ?
3. Dalam bentuk apakah pelindungan hukum yang diberikan terhadap
anak korban kekerasan seksual ?
4. Apakah di Polres Salatiga ada alternatif untuk mengurangi tindak
pelanggaran kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ?
5.
Sanksi apa yang diberikan kepada pelaku tindak kekerasan seksual
anak di bawah umur ?
 Sejauhmanakah kekuatan hukumnya terhadap pelaku tindak
kekerasan seksual anak di bawah umur ?
 Sanksi tegas apakah jika dalam masyarakat tindak kekerasan
seksual tehadap anak semakin meningkat ?
 Dasar hukum apakah yang diterapkan untuk pelaku tindak
kekerasan seksual anak di bawah umur ?
6. Seperti apakah langkah konkrit Polres Salatiga dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual ?
7. Apakah ada alternatif atau jalan lain yang ditempuh untuk membuat
para pelaku tidak mengulangi dan jera terhadap perbuatanya ?
8. Apakah Polres Salatiga telah menegakkan upaya perlindungan anak
korban kekerasan seksual ?
 Bagaimanakah langkah/tindakan Polres Salatiga dengan
diundangkanya UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak ?
 Bagaimanakah aplikasi penerapan UU No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dikaitkan dengan penerapan hukum
yang ada di Polres Salatiga ?
Instrumen Daftar Pertanyaan Terhadap anak Korban Kekerasan Seksual
A. Tahap pertama perkenalan dengan korban, keluarga korban serta pihak
lain yang mengetahui atau kenal dengan korban
1. Nama anda siapa ?
2. Siapakah nama bapak/ibu anda ?
3. Bekerja dimana bapak/ibu anda ?
4. Bagaimana kabar bapak/ibu anda ?
5. Apakah anda masih sekolah atau tidak ?
6.
Umur anda berapa ?
7. Kesibukan sehari-hari selain disekolah apa ?
8. Pelajaran apakah yang anda sukai di sekolah ?
9. Hobby apa yang anda sukai ?
10. Apakah anda mempunyai teman akrab untuk bermain ?
11. Siapakah teman anda bermain di rumah ?
12. Apa yang anda tidak sukai dalam keseharian anda ?
B. Tahap kedua masuk pada inti permasalahan atau kejadian yang dialami
korban
1. Apakah anda pernah mempunyai perasaan yang mungkin bagi anda
sangat menakutkan sekali ?
 Ketakutan seperti apakah yang anda alami ?
 Bagaimana anda menghilangkan ketakutan yang anda alami ?
 Bagaimana pengaruh ketakutan tersebut dalam hidup anda ?
2. Bagaimanakah cerita atau kejadian yang membuat anda takut ?
3. Siapakah yang membuat anda mengalami ketakutan dalam hidup anda
?
4. Bagaimana perasaan anda terhadap kejadian yang anda alami ?
5. Apakah anda sangat membenci orang yang membuat anda takut dan
trauma ?
6. Sekarang dimanakah orang yang membuat anda ketakutan dan trauma
?
 Apakah masih mempunyai hubungan saudara dengan anda ?
 Ataukah anda sudah mengenal pelaku sebelumya ?
 Dimana anda kenal ?
7. Apakah anda langsung melaporkan kejadian yang anda alami ?
 Kepada siapakah pertama kali anda melaporkan kejadian yang
anda alami?
 Apakah sampai saat ini juga kejadian yang anda alami sudah
terselesaikan?
Download