PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syariah Oleh ABDUL FAIZIN NIM 211 02 025 JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syariah Oleh ABDUL FAIZIN NIM 211 02 025 JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010 DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA Jl. Stadion No. 2 Salatiga (0298) 323706 PERSETUJUAN PEMBIMBING Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudari: Nama : Abdul Faizin NIM : 211 02 025 Jurusan : Syariah Program studi : Al Ahwal Al Syakhsiyyah Judul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006) Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan. Salatiga, 3 Maret 2010 Pembimbing Dra. Siti Zumrotun. M. Ag NIP. 19670115 199803 2 002 DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA Jl. Stadion No. 2 Salatiga (0298) 323706 PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi saudari : Siti Susanti dengan Nomor Induk Mahasiswa 12107036 yang berjudul Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru di MTs As Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan Tahun 2009 telah dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Salatiga, pada hari……………….2010, dan telah di terima sebagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) Salatiga,………………………. Panitia ujian Ketua sidang Sekretaris Sidang Drs. Imam Sutomo, M. Ag NIP. 19580827 198303 1 002 Dr, H. Muh. Saerozi, M. Ag NIP. 19660215 199103 1 001 Pengiji I Penguji II Pembimbing Drs. Abdul Syukur, M.Si NIP. 19670307 199403 1 002 DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA Jl. Stadion No. 2 Salatiga (0298) 323706 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Abdul Faizin NIM : 211 02 025 Jurusan : Syariah Program Studi : Al Ahwal Al Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, Maret 2010 Penulis Abdul Faizin 211 02 025 MOTTO Anak belajar dari kehidupanya Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah hati Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri Jika nak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia dukungan, ia belajar mempercayai Jika anak dibesarkan dengan belajar menyukai diri Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan (Jalaludin Rahmat) PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan kepada : 1. Ayah dan Ibuku Bapak H. Sarpidi dan Ibu Hj. Sri Haryati Bapak H. Nur Rahman dan Ibu Hj. Nur Rohmah tercinta yang telah rela dan ikhlas berkorban baik berupa moril maupun materiil, serta selalu memberikan do’a, nasehat dan bimbingan dengan kasih sayang yang terhingga nilainya. 2. Adik-adiku, Ahmad Sugiyanto, Nurul Arifin, Afiq Subiyanto, Saddam dan Putri yang tercinta. 3. Keluarga Besar Bani H. Syamsuddin dan Keluarga besar Bani H. Duryat, yang telah memberikan motifasi dan dorongan moril serta materiil. 4. Teman- teman AHS 02, terutama kepada Muhlisin dan M. Ali As’ad yang selalu membantu dalam segala hal. 5. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag yang telah membimbing dalam penyusunan skripsiku KATA PENGANTAR Puji syukur selalau saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan semua Rahmat, Hidayah serta Inayahnya pada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa suatu halanagan apapun. Sholawat serta salam semoga selalau terlimpahkan kepada suri tauladan kita, uswah kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menyelamatkan kita dari zaman kekafiran menuju zaman yang penuh kedamaian yaitu diinul islam. Laporan skripsi ini disusun guna memenuhi kewajiban dan sebagai pelengkap untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu tarbiyah. Adapun judul skripsi ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Korban Anak Korban Kekerasan Seksual (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006) Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun secara materiil. Untuk itu penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drs. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Muh Khusen, MA, M.Ag selaku progdi AHS Jurusan Syariah STAIN Salatiga. 3. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah STAIN Salatiga. 4. Bapak serta Ibu Dosen beserta bagian Akademik STAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta bantuan pada saya. 5. AIPTU Indah Peni Esti di Polres Salatiga yang telah membantu dalam memberikan data untuk menyelesaikan penulisan ini. 6. Bapak Bambang Sutanto dan segenap keluarga besar Polres Salatiga. 7. Bapak H. Sarpidi, Ibu Hj. Sri Haryati, Bapak H. Nur Rohman dan Ibu Nur Rohmah yang telah memberikan dorongan moril dan materiil dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Dalam penulisan laporan skripsi ini, masih banyak kekeliruan dan kekurangan. Untuk itu penulis sangat berharap adanya saran dan kritik yang bersifat membangun sebagai perbaikan dalam penulisan mendatang. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya demikemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Amin…..Amin….Ya Robbalalamiin. Salatiga, Maret 2010 Abdul Faizin ABSTRAK Susanti, Siti. 2010. Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru di MTs As Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggung Harjo Kabupaten Grobogan tahun 2009. Skripsi, Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs.Abdul Syukur,MSi. Kata kunci: Supervisi Kepala dan Kinerja Guru. Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan pendidikan, maka kewajiban dan tanggung jawab para pemimpin pendidikan umumnya dan kepala sekolah pada khususnya mengalami perkembangan dan perubahan pula. Adapun perubahan tersebut dan tujuan, lingkup tanggung jawab dan kepemimpinan kepala sekolah. Berkaitan dengan lingkup tanggung jawab dan kepemimpinan kepala sekolah tidak terkecuali peninjauan (supervisi) kepala sekolah terhadap kinerja guru juga harus diperhatikan. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan bagaimana supervisi kepala sekolah, bagaimanakinerja guru, bagaimana pengaruh supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif, karena metode ini dianggap tepat digunakan apabila penelitian ditujukan untuk menggambarkan kondisi faktual penyelenggaraan pendidikan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Sedangkan pengumpulan data di lakukan dengan angket, observasi, dan kajian kepustakaan. Sempel sebanyak 19 responden yang merupakan seluruh guru MTs As Salafiyah. Analisis datanya menggunakan dua pendekatan yaitu analisis personal dan analisis korelasi. Berdasarkan analisis data, dapat disimpulakan sebagai berikut,Bahwa supervisi kepala sekolah di MTs As Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggung Harjo Kbupaten Groboga Tahun 2009bada tiga kategori yaitu kategori tinggi, sedang, rendah. Kategori tinggi sebesar 68% kategori sedang sebesar 21%dan kategori rendah sebesar 11%. Bahwa kinerja guru MTs Sa Salafiyah Mrisi Kecamatan Tanggung Harjo Kabupaten Grobogan Tahun 2009 ada tiga kategori yaitu kategori tinggi, sedang, rendah. Kategori tinggi terdapat53 %, kategori sedang terdapat 42 % dan kategori rendah terdapat 5 %. Berdasarkan analisis lanjut untuk mencari jawaban dari hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif antara supervisi kepala sekolah dengan kinerja guru. Penulis mendapatkan kesimpulan bahwa hipotesis tersebut dapat diterima kebenarannya. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan korelasi product moment yaitu hasil rxy adalah 0.67. Kemudian dikonsultasikan dengan r tabel dengan N= 19 pada taraf signifikansi 1% sebesar 0.456 dan pada taraf signifikansi 5% sebesar 0.575 ternyata nilai rxy lebih besar dari pada r tabel. DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... iv MOTTO ....................................................................................................... v PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi KATA PENGANTAR .................................................................................. vii ABSTRAK ................................................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................... x DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiii BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................... 6 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................... 7 D. Telaah Pustaka ................................................................. 8 E. Kerangka Teori ................................................................ 11 F. Metode Penelitian ............................................................ 13 TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Umum Tentang Anak ..................................... 18 B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak ............................. 20 1. Perlindungan anak ...................................................... 20 2. Pengertian Tentang Hak Anak.................................... 28 BAB III C. Pengertian Umum tentang Kekerasan ............................. 45 1. Pengertian Kekerasan ................................................. 45 2. Pengertian Kekerasan terhadap Anak ......................... 54 3. Pengertian Kekerasan Seksual .................................... 64 POTRET KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI WILAYAH HUKUM POLRES SALATIGA A. Kekerasan Seksual terhadap Anak di Polres Salatiga Tahun 2004-2006 .............................................................. 70 B. Penanganan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di Wilayah Hukum Polres Salatiga ........................................ 75 C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual terhadap Anak di Polres Salatiga ....................................... 79 D. Perlindungan Hukum yang Diberikan Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Salatiga .................... BAB IV 83 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Di POLRES SALATIGA A. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual ............................................................. 86 B. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Salatiga .................................................. 92 C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ................................................ 95 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 98 B. Saran-saran ....................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian dari generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa pada masa yang akan datang. Dalam kedudukan demikian, anak mempunyai ciri dan sifat khusus, yaitu anak secara fisik maupun mental belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri sehingga anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Masa yang paling lemah dalam perjalanan hidup seseorang manusia adalah masa kanak-kanak. Dengan kondisi ruhaniah dan badaniahnya yang belum lengkap dalam berkembang sehingga ketrampilan untuk menunjang hidup amat minim serta kecenderungan mereka yang amat berbeda dengan orang dewasa, menyebabkan anak memiliki dunia tersendiri. Meski anak memiliki dunia tersendiri yang amat berbeda dengan realita orang dewasa, akan tetapi kehidupan mereka bergantung sepenuhnya kepada kebaikan orang dewasa di sekitarnya. Tanpa orang dewasa, tidak mungkin seorang mampu bertahan hidup sendirian. Keadaan yang perlu mendapat perhatian khusus kita temukan di dalam masyarakat dewasa ini adalah kekerasan seksual terhadap anak. Tabloid Mom and Kiddie pada tahun 2003-2007 menjelaskan bahwa pelecehan seksual dengan melibatkan anak-anak sebagai korban terus berjatuhan. Diantara tindak pelecehan tersebut adalah sebagai berikut 1: 1. Senin, 21 Juli 2003, pelecehan seksual dengan anak-anak sebagai korbannya, terus berjatuhan. Beberapa media, pada 13 Mei juga diberitakan, seorang kakek berusia 57 tahun divonis 8 tahun penjara karena memperkosa dua anak perempuan usia 12 tahun dan 13 tahun. Kasus sodomi kembali diberikan pada 17 Mei, yakni yang dilakukan oleh tersangka berusia 27 tahun terhadap korban berusia 7 sebanyak 6 kali selama tiga bulan terakhir. 2. Rabu, 03 Maret 2004, Brown William Stuart alias Toni berusia 52 tahun, mantan diplomat Australia untuk Indonesia yang didakwa melakukan aksi paedopolia terhadap sejumlah krobannya. Toni bersalah melakukan aksi pelanggaran seksual terhadap dua korban laki-laki di bawah umur. 3. Selasa, 21 Juni 2005, Robet Gedek yaitu seorang pria yang menyodomi belasan bocah di Jakarta dan sejumlah daerah di Jawa Tengah kemudian membunuh mereka untuk menutupi jejaknya. Setelah kasusnya terkuak, Robet Gedek alias Siswanto ditangkap dan diganjar hukuman mati. Selain itu, pada 26 Mei kasus serupa menyentak warga kecamatan Tampan Pekanbaru, Riau. Enam siswa sekolah ditemukan tewas dengan bekas sodomi. Korban terakhir yang ditemukan tinggal tulang belulang. Disusul lagi Rabu 28 September juga diberitakan dalam kasus pelecehan seksual 1 Tabloid Mom and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang Terdekat, PT. Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007 terhadap anak-anak pelakunya hadalah Heller Michel Rene berusia 55 tahun, warga negara Prancis, yang kini mendekam dalam tahanan. 4. Kamis, 24 Agustus 2006 Peter William Smith berusia 48 tahun, guru Bahasa Inggris Australia yang didakwa melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur. Dia melakukan pelecehan seksual di berbagai negara, yaitu Vietnam, India dan Indonesia. Di Indonesia tak kurang dari 50 anak-anak di Patang, Bali, Sumbawa, Bogor dan Jakarta. 5. Senin, 26 Maret 2007 Kepolisian Resor Karangasem, Bali menangkap Robert Ort wisatawan asal Belanda yang diduga mencabuli dua bocah kakak beradik. 6. Selasa, 30 Juni 2009 orang tua korban bersama pendampingan Pusat Penelitian Anak dan Gender (PPAG) Unsoed melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialamin oleh Mawar berusia 17 tahun akibat diperkosa oleh 14 orang ke Polwil Banyumas. Akibat pengaduan ini pelaku dikenai sanksi Pasal 81 Junto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.2 Kemudian dari hasil laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak Tahun 2005 modus kekerasan seksual terhadap anak terungkap, bahwa modus yang dipakai pelaku adalah incest (hubungan seksual dengan orang yang sedarah/dalam keluarga) baik pemerkosaan maupun pencabulan. Hasil ini 2 Suara Merdeka, Juni 1999, hlm. 10 membuktikan, seringkali pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah orang terdekat korban. Terhadap gejala kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat yang demikian Ratna Megawati dalam bukunya yang berjudul Budaya Kekerasan dalam Perspektif Keseimbangan Kualitas Gender mengemukakan bahwa didalam masyarakat modern terdapat berbagai macam permasalahan sosial, yaitu mulai longgarnya ikatan kekeluargaan, persaingan tidak sehat, rusaknya lingkungan hidup, menurunnya solidaritas sosial dan meningkatnya kriminalitas.3 Potret keadaan anak di atas adalah sebagian dari kasus kekerasan yang terungkap dalam pemberitaan. Oleh karena itu, masih banyak nasib anak di bawah umur mengalami tindak kekerasan fisik, seksual, psikologis tidak terpantau oleh publik. Keadaan ini disebabkan oleh faktor internal maupun struktural korban yaitu4 : 1. Penolakan korban sendiri, sehingga korban tidak melaporkan kasusnya karena takut mendapat ancaman dari pelaku; 2. Manipulasi dari pelaku yang umumnya lebih dewasa sering menolak tuduhan bahwa ia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan adalah pelaku menuduh anak melakukan kebohongan; 3. Keluarga menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan jika diungkap kepada publik; 3 Ratna Megawati, Budaya Kekerasan dalam Perspektif Keseimbangan Kualiatas Jender,Kanisius, Bandung, 1982, hlm. 21 4 Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Krisis di Indonesia, Nuansa, Bandung, cet. I, Juli 2006, hlm. 18 4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga tidak patut dicampuri oleh masyarakat; 5. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri anak, khususnya pada kasus sexual abuse, sebab tidak ada tanda-tanda fisik yang terlihat jelas; 6. Sistem dan prosedur pelaporan belum diketahui secara pasti dan jelas oleh masyarakat luas. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan, bahwa terhadap kasus kekerasan seksual pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam kondisi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah serta penelantaran. Kemudian perlindungan khusus yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 69 disebutkan sebagai berikut : 1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : a) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b) Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi 2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan Penelitian pendahuluan yang dilakukan di Polres Salatiga pada tanggal 3 Mei 2006 didapatkan hasil bahwa wilayah hukum kepolisian meliputi seluruh Kodya Salatiga dan kewenangan Polres Salatiga hanya sampai batas penyelidikan dan bentuk-bentuk perlindungan sementara yang diberikan pada pihak korban yang melapor adalah, memeriksa saksi, melakukan visum kepada korban dan mencari barang bukti lain, melakukan konseling untuk menguatkan agar memberikan rasa aman pada korban dan melakukan penangkapan pada pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Berawal dari sini penulis tertarik untuk mengambil pembahasan dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006) sebagai bahan penulisan skripsi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam materi latar belakang masalah di atas, maka penulis kemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk dan faktor-faktor kekerasan seksual terhadap anak di Polres Salatiga ? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di Polres Salatiga ? 3. Apakah perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di Polres Salatiga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan dari penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan faktor-faktor kekerasan seksual di Polres Salatiga. b. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di Polres Salatiga. c. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di Polres Salatiga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga. b. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan kontribusi kepada khasanah ilmu pengetahuan. c. Untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) dalam bidang Hukum Islam (Syari’ah) D. Telaah Pustaka Perlindungan hukum terhadap anak dalam arti umum memiliki pengertian tentang segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Penelitian terhadap masalah yang terkait dengan perlindungan hukum dalam keluarga baik terhadap perempuan (istri) maupun anak sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa untuk menyelesaikan jenjang studi yang diambil. Diantaranya adalah sebagai berikut : Pertama skripsi Eni Kusrini mahasiswa Jurusan Syariah Hukum Islam STAIN Salatiga dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga Tahun 2004-2006). Pembahasan dalam skripsi ini menguraikan tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak korban kekerasan dalam rumah tangga. Kedua skripsi Suyono mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga dengan judul Pelaksanaan Penyelesaian Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Studi Kasus di Polres Salatiga). Pembahasan skripsi ini menjelaskan permasalahan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, faktor-faktor korban kekerasan dalam rumah tangga melaporkan ke polisi serta sebab-sebab korban tidak meneruskan kasus yang dialami ke pengadilan. Ketiga skripsi Ferry mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga dengan judul Masalah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuuan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus terhadap Penangganan oleh LRC-KJHAM). Pembahasan dalam skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga oleh LRC-KJHAM kota Semarang beserta kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani korban kekerasan dalam rumah tangga. Keempat skripsi Harry Leasiwal mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga dengan judul Kajian Kriminologi dan Victimologis terhadap Marital Rape. Skripsi ini menjelaskan tentang faktor penyebab marital rape dari sisi korban maupun masyarakat dan perlindungan hukum terhadap korban (isteri). Kelima skripsi Hastin D Elisabeth mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga dengan judul Studi Kasus Terhadap Perempuan Yang Mengalami Tindak Kekerasan Oleh Pacar/Suami Dalam Kajian Kriminologi. Pembahasan skripsi ini bertujuan untuk membahas tentang latar belakang laki-laki melakukan kekerasan dan usaha perempuan untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga. Keenam skripsi Muhlisin mahasiswa Jurusan Syariah Hukum Islam STAIN Salatiga dengan judul Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga). pembahasan dalam skrisi ini menguraikan tentang konsep perlindungan anak menurut Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dalam proses perceraian serta penegakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Pengadilan Agama Salatiga terhadap anak akibat perceraian. Ketujuh skripsi Harun Al Rasyid mahasiswa Jurusan Syariah Hukum Islam STAIN Salatiga dengan judul Kekerasan Terhadap Anak Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan UU RI NO. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Kasus di Desa Kunir Kec. Dempet Kab. Demak). Penulisan dalam skripsi ini menjelaskan tentang konsep kekerasan terhadap anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan anak serta faktor dan dampak terjadinya kekerasan terhadap anak di Desa Kunir Kecamatan Dempet Kabupaten Demak. Selanjutnya penelitian penulis terdapat perbedaan terhadap masalah perlindungan hukum kekerasan dalam rumah tangga maupun penulisan yang membahas tentang masalah perlindungan hukum terhadap anak yang sudah ada sebelumnya. Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada objek perlindungan hukum kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur, yang bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk, faktor-faktor kekerasan seksual terhadap anak di Polres Salatiga, perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual anak di bawah umur di Polres Salatiga dan perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di Polres Salatiga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. E. Kerangka Teori Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual merupakan potret realitas kehidupan dalam masyarakat. Pernyataan tersebut mengandung pemahaman bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi. Oleh sebab itu, perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual menekankan kepada kita semua akan pentingnya melindungi anak yang mempunyai kedudukan sama dihadapan hukum. Ketentuan perlindungan terhadap anak akibat kekerasan seksual, dalam beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah disebutkan sebagai berikut : a. Ketentuan umum kewajiban dan tanggung jawab dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan Pasal 20, bahwa negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. b. Ketentuan penyelenggaraan perlindungan dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan sebagai berikut : “pemerintah dan lembaga negara lainya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (nazpa), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban, kekerasan baik fisik dan mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.” c. Ketentuan penyelenggaraan perlindungan Pasal 66 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkann, bahwa perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan seksual merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. d. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut : 1. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa setiap orang yang melakukan kekejaman kekerasan atau ancaman kekerasan dan penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau denda paling banyak Rp. 72.000000 (tujuh puluh dua juta rupiah). 2. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan palin sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). 3. Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa pidana dalam pasal 82 ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan. 4. Pasal 82 Undang-Undang Nomor Perlindungan Anak disebutkan, bahwa 23 Tahun 2002 tentang setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dengan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). 5. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa setiap orang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda palng banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah field research, yaitu dengan terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang akan dibahas.5 5 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yayasan Penelitian Fakultas UGM, Yogyakarta, 1981, hlm. 4 Adapun data yang digunakan dalam penelitian adalah : a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yakni data yang diperoleh di Polres Salatiga melalui penelitian.6 b. Data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.7 2. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode antara lain : a. Observasi yaitu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang diselidiki. Observasi ini digunakan untuk mendapatkan data laporan kekerasan seksual yang ada di Polres Salatiga.8 b. Wawancara yaitu merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi untuk memperoleh informasi. Terutama wawancara dengan korban maupun keluarga korban.9 c. Studi pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dan bahan-bahan tertulis (khususnya berupa teori-teori).10 d. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel, yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Yogyakarta, 1986, hlm. 12 Ibid., hlm. 12 8 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 128 9 Irawati Singarimbun, Teknik Wawancara, Masri Singarimbun, Sofiana Efendi, Metodologi Penelitian Survei, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta, cet. 1 Januari 1999, hlm. 145 10 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hlm. 236 7 agenda yang ada hubunganya dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur11 Dokumen yang dimaksud di sini adalah mengambil data jumlah korban yang melaporkan tindak kekerasan seksual di Polres Salatiga, dari tahun 2004-2006. e. Populasi yaitu keseluruhan subyek penelitian.12 3. Metode Analisa Data Yang dimaksud analisa dalam penelitian ini adalah semua rangkaian kegiatan untuk menarik kesimpulan dari hasil kajian teori yang mengandung penelitian ini. Untuk menganalisa perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga penulis menggunakan metode : a. Metode diskriptif yaitu dengan seteliti mungkin seluruh perkembangan, dengan peralihan dan pengaruh satu sama lain arti diuraikan secara lengkap dan teratur.13 b. Metode penalaran yang meliputi : 1) Deduktif yaitu apa saja yang dipandang luas pada peristiwa dalam suatu kelas atau jenis berlaku juga pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas atau jenis itu.14 11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hlm. 236 12 Ibid., hlm. 115 13 Anton Baker, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, t.t., hlm. 86 14 Sutrisno Hadi, op. cit., hlm. 36 2) Induktif yaitu berangkat dari fakta yang khusus dari peristiwa yang konkrit kemudian dari peristiwa yang khusus ditarik generalisasinya yang sifatnya umum.15 4. Pendekatan masalah Pendekatan masalah yang penulis pergunakan adalah sebagai berikut : a. Pendekatan yuridis yaitu pendekatan masalah yang diteliti berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, baik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Pendekatan kasus yaitu pendekatan norma-norma atau kaidah hukum terutama mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menjadi fokus dalam penelitian.16 G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang judul skripsi yang disusun, maka dirumuskan sistematika sebagai berikut : BAB I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan. BAB II Tinjauan pustaka yang berisi tentang tinjauan umum pengertian anak, perlindungan hukum terhadap anak, pengertian umum 15 Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito, Bandung, cet. II 1985, hlm. 143 16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Jakarta, cet. II, 2006, hlm. 321 tentang kekerasan terhadap anak dan pengertian kekerasan seksual terhadap anak, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, dampak kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, bentukbentuk kekerasan seksual terhadap anak, penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, dampak kekerasan seksual terhadap anak. BAB III Penelitian di Polres Salatiga yang berisi tentang kasus- kasus kekerasan seksual terhadap Anak di Polres Salatiga, bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak di Polres Salatiga, faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di Polres Salatiga, perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga. BAB IV Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual yang berisi tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual, efektivitas perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasanseksual di Polres Salatiga. BAB V Penutup yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka, dan lampiran. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Umum Tentang Anak 1. Pengertian Anak Menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, ketentuan batas kedewasaan merupakan tolak ukur pengertian anak, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Anak menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. 17 b. Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 18 c. Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun baik anak yang masih berada dalam kandungan.19 d. Anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pengertian mengenai anak 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 18 secara tegas, namun terdapat dua pasal yang dapat memberikan batasan mengenai pengertian anak yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengemukakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari orang tua. 20 Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. e. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan pengertian anak pada batasan belum cukup umur tampak dalam Pasal 45 yang menyatakan dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun. 21 Pada Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mendefinisikan anak adalah yang orang belum dewasa atau belum berumur enam belas tahun. Oleh karena itu, apabila seseorang tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya tersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya pemeliharaannya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya 20 21 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 22 diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. 22 f. Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. 23 Bertitik tolak dari aspek pengertian anak di atas, ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur unifikasi hukum pasti dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur terhadap seorang anak. Oleh sebab itu, mengenai batas anak yang masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan. Dalam hal ini, Irma Setyowati Soemitro mengambil garis batas bahwa terhadap perbedaan batasan umur yang ada di dalam hukum positif Indonesia terdapat perbedaan, maka diambil garis batas pengertian anak berlaku untuk anak yang berusia 18 (delapan belas) tahun.24 B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1. Perlindungan anak Anak merupakan generasi penerus orang tua, generasi penerus masyarakat, generasi penerus bangsa, bahkan generasi penerus kehidupan umat manusia sedunia. Kehidupan anak secara mutlak membutuhkan 22 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 3 R. Soebekti, R. Tjitosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pramadya Paramita, Jakarta, 1999, hlm. 90 24 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Bandung, 1990,hlm. 20 23 perhatian, pengamatan, dan bimbingan orang yang lebih tua, orang tua dan masyarakat. Untuk mendalami sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan anak, maka terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian perlindungan. Oleh sebab itu, di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai perlindungan anak. Menurut Arif Gosita perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya hubungan antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.25 Menurut Santy Dellyana perlindungan anak adalah suatu usaha menjadikan diri yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.26Seperti termaktub dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi”. J.E. Doek dan H.M.A. Drewes memberikan pengertian hukum perlindungan anak atau remaja dengan pengertian jengdrecht. Kemudian perlindungan anak dikelompokkan ke dalam dua bagian, berikut ini: 27 25 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989, hlm. 12 Santy Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 6 27 Maulana hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 41 26 a. Dalam pengertian luas, hukum perlindungan anak adalah segala aturan hidup yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberikan kewajiban bagi mereka untuk berkembang. b. Dalam pengertian sempit : hukum perlindungan anak meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam 1) Ketentuan hukum perdata (regles van givilrecht) 2) Ketentuan hukum pidana (regles van stafredit) 3) Ketentuan hukum acara (regles van telijkeregels). Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis ini, menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara, masyarakat ataupun keluarga. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohaninya. Adapun perlindungan yang diberikan kepada anak oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut: 28 a. Menjaga Kesopanan Anak Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melarang orang untuk menawarkan, menyewakan buat selamanya atau sementara, menyampaikan di tangan atau menunjukkan suatu tulisan, 28 hlm. 99-100 Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, gambar, barang yang menyinggung perasaan atau kesopanan. Misalnya gambar porno, tulisan-tulisan purno atau alat-alat kontrasepsi. b. Larangan Bersetubuh dengan Orang yang Belum Dewasa Pasal 287 Undang-Undang Hukum Pidana melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang belum genap berusia 15 (lima belas) tahun. Baik persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka antara pelakunya. c. Larangan Berbuat Cabul dengan Anak Hal ini diatur dalam pasal 290, 294, 295 dan 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 290 dijekaskan tentang larangan berbuat cabul dengan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pasal 294 tentang larangan orang berubat cabul dengan anaknya sendiri atau anak pelihara atau orang yang belum dewasa, anak pungut, anak pelihara yang berada di bawah pengawasannya. Pasal 295 tentang larangan orang memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tiri atau anak angkatnya yang belum dewasa yang berada di bawah pengawasannya dengan orang lain. Selanjutnya pasal 297 melarang orang menyuruh anak perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa untuk berbuat cabul. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut : Pasal 59 Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus pada anak dalam situasi darurat anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 64 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak kroban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. (3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Pasal 66 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 67 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 69 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 71 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dalam pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 2. Pengertian Tentang Hak Anak a. Hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of The Child) Pembicaraan tentang perlindungan hukum bagi anak, rasanya tak dapat dilaksanakan dengan pembicaraan tentang apa yang menjadi hak anak itu. Hak-hak anak hanya dapat difahami melalui penelusuran perundang-undangan yang mengatur tentang hak-hak anak. Di lingkungan masyarakat internasional dikenal sebagai “Kesepakatan dunia” tentang hak-hak anak, antara lain misalnya : Deklarasi Jenewa tentang hak-hak anak tahun 1924, Deklarasi Hak-hak Anak dengan 10 asasnya tahun 1958, dan Konvensi Hak Anak tahun 1989.29 Konvensi hak anak tahun 1989 yang disepakati dalam sidang majlis umum (general assembly) PBB ke- 44, yang selanjutnya telah dituangkan dalam Revolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum internasional yang mengikat negara peserta (state parties), termasuk Indonesia.30 Materi Hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu : 31 29 Romli Atmasasmita, et.al., Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 85 30 Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Prespektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999, hlm. 33 31 Ibid., hlm. 35 1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and medical care attainable). Mengenai hak terhadap kelangsungan hidup di dalam Konvensi Hak Anak terdapat pada pasal 6 dan pasal 24 Konvensi Hak Anak. Dalam pasal 6 Konvensi Hak Anak tercantum ketentuan yang mewajibkan kepada setiap negara peserta untuk menjamin kelangsungan hak hidup (rights to life), kelangsungan hidup dan perkembangan anak (the survival and development of the child). Pasal 6 Konvensi Hak Anak selengkapnya berbunyi sebagai berikut : 32 b) Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup c) Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan anak. Pasal 24 Konvensi Hak Anak selengkapnya mengatur mengenai kewajiban negara-negara peserta untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawan kesehatan primer (rights to the child enjoyment of the 32 Pasal 6 Konvensi Hak Anak hightest attainable standart of health and facilities for the treatment of illness and rehabilitation health) Pasal 24 Konvensi Hak Anak berbunyi : 33 “Negara-negara peserta mengakui hak anak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai serta atas fasilitas penyembuhan dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara peserta akan berupaya menjamin agar tak seorangpun akan dirampas haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan seperti dimaksud”. Mengenai hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights) dalam Konvensi Hak Anak berkaitan pula dengan beberapa pasal yang relevan dengan hak kelangsungan hidup (survival rights) itu, pasal-pasal tersebut yang mengatur mengenai hak anak yakni : a) Pasal 8, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi dan bilamana perlu, memulihkan aspek dasar jati diri seorang anak, (nama kewarganegaraan dan ikatan keluarga); b) Pasal 9, mengatur tentang hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Hak anak untuk mempertahankan hubungan dengan keduanya orang tuanya jika terpisah dari salah satu atau keduanya. Kewajiban negara dalam kasus dimana pemisahan seperti itu terjadi akibat tindakan negara. c) Pasal 19, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang 33 Pasal 24 Konvensi Hak Anak dilakukan oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka untuk menyelenggarakan program-program pencegahan dan perawatan sehubungan dengan hal ini; d) Pasal 20, mengatur tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka serta untuk menjamin tersedianya alternatif pengasuhan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai bagi mereka dengan mempertimbangkan latar budaya anak; e) Pasal 21, mengatur tentang adopsi dimana di negara-negara peserta dimana adopsi diakui dan/atau diperbolehkan, adopsi hanya akan dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak, dengan segala perlindungan yang perlu bagi anak yang disahkan oleh pejabat yang berwewenang; f) Pasal 26, mengatur tentang hak anak atas tunjangan dari jaminan sosial; g) Pasal 28, mengatur tentang hak-hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar setidaknya pendidikan dasar diadakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib. Penyelenggaraan disiplin sekolah harus mencerminkan martabat kemanusiaan anak. Penekanan diletakkan pada perlunya kerja sama internasional guna menjamin hak ini; h) Pasal 30, mengatur tentang hak-hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli untuk hidup dalam alam budaya serta mengamalkan dan menggunakan bahasa mereka sendiri; i) Pasal 32, mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka, untuk menetapkan batas usia minimum untuk bekerja, serta menetapkan aturan bagi kondisi kerja; j) Pasal 34, mengatur tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi; k) Pasal 35, mengatur tentang kewajiban negara untuk menjalani segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak; l) Pasal 38, mengatur tentang kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin dihormatinya undang-undang kemanusiaan yang berlaku bagi anak-anak 2) Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.34 Mengenai 34 Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, loc. cit., hlm. 35 hak terhadap perlindungan (protection rights) dalam Konvensi Hak Anak, dikemukakan atas 3 (tiga) kategori; yaitu :35 a) Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi anak b) Pasal-pasal mengenai larangan eksploitasi anak Untuk menjelaskan hak-hak anak mengenai perlindungan atas eksploitasi anak dapat dirujuk dalam pasalpasal berikut ini : (1) Pasal 10, tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya dalam kesatuan keluarga, apakah dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu untuk maksud tersebut; (2) Pasal 11, tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan atau penguasaan anak di luar negeri; (3) Pasal 16, tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi; (4) Pasal 19, tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka; (5) Pasal 20, tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka; 35 Ibid., hlm. 40 (6) Pasal 21, tentang adopsi dimana pada negara yang mengakui adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak; (7) Pasal 25, tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara karena alasan perawatan, perlindungan dan penyembuhan; (8) Pasal 32, tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dari pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka; (9) Pasal 33, tentang hak anak atas perlindungan dari penyalah gunaan obat bius dan narkotika serta keterlibatan dari produksi dan distribusi; (10) Pasal 34, tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual terhadap prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi; (11) Pasal 35, tentang kewajiban negara untuk menjajaki segala upaya guna mencegah penjualan penyelundupan dan penculikan anak; (12) Pasal 36, tentang hak anak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan pasal 35; (13) Pasal 37, tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak; (14) Pasal 39, tentang kewajiban negara untuk menjamin agar anak yang penganiayaan, menjadi korban penelantaran, konflik salah bersenjata, perlakuan atau eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka; (15) Pasal 40, tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya, untuk menerima manfaat dari segenap proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan penetapan institusional sedapat mungkin dihindari. c) Pasal-pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak Untuk menjelaskan hak-hak anak atas perlindungan dari keadaan darurat (energency) dan keadaan kritis (crisis) dapat dirujuk dalam pasal-pasal berikut : (1) Pasal 10, tentang mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga; (2) Pasal 22, tentang perlindungan anak dalam pengungsian; (3) Pasal 38, tentang konflik bersenjata atau peperangan yang menimpa anak; (4) Pasal 39, tentang perawatan rehabilitasi. 3) Hak untuk tumbuh berkembang (development right), yaitu hakhak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.36 Menurut pasal 28 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yang menyebutkan hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan sekaligus memberikan langkah konkret untuk terselenggaranya hak terhadap pendidikan. Secara lengkap pasal 28 ayat 1 berbunyi : 37 “Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan untuk pencapaian hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang merata, mereka akan pada khususnya : a) Mewajibkan pendidikan dasar dan menyediakannya secara cuma-cuma bagi semua; b) Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan menengah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan, mengadakannya dan membuatnya mudah dijangkau oleh setiap anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat seperti 36 37 Ibid., hlm. 35 Pasal 28 ayat 1 Konvensi Hak Anak mengenalkan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan jika diperlukan; c) Membuat pendidikan tinggi mudah dijangkau oleh semua berdasarkan kemampuan dengan semua cara yang tepat; d) Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampilan tersedia bagi dan dapat diperoleh oleh semua anak; e) Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirna secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah. Dengan demikian dapat berdasarkan dari bentuknya, dapatlah dikualifikasi beberapa hak untuk tumbuh kembang (the right to development) yang terdapat dengan Konvensi Hak Anak, yaitu : a) Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information); b) Hak untuk memperoleh pendidikan (the rights to education); c) Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play to recreation); d) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities); e) Hak untuk kebebasan berfikir, berkarya dan beragama (the rights to thought and religion); f) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights personality development); g) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity); to h) Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the rights to health and physical development); i) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be hear) j) Hak atas keluarga (the rights to family). 4) Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views in alimetters affecting that child)38 Dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak diatur bahwa negara peserta menjamin hak anak untuk menyatakan pendapat, dan untuk memperoleh pertimbangan atas pendapatnya itu, dalam segala hal atau prosedur yang menyangkut diri si anak. Selengkapnya pasal 12 Konvensi Hak Anak berbunyi sebagai berikut : 39 a) Negara-negara peserta akan menjamin anak-anak yang mampu mengembangkan pandangan-pandangannya, hak untuk menyatakan pendapat itu secara bebas dalam segala hal yang berpengaruh pada anak, dan pandangan anak akan dipertimbangkan secara semestinya seusai usia dan kematangan anak. b) Untuk tujuan itu, anak akan diberi kesempatan khusus untuk didengar dalam setiap tatalaksana hukum dan administrasi yang 38 39 Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, loc. cit., hlm. 35 Pasal 12 Konvensi Hak Anak bersangkutan dengan diri si anak, baik secara langsung ataupun melalui seorang wakil atau badan yang memadai, dalam suatu cara yang sesuai dengan hukum acara perundang-undangan nasional. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disebutkan beberapa hak anak atas partisipasi di dalam Konvensi Hak Anak, yang terdiri atas : 40 a) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya; b) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi; c) Hak anak untuk berserikat; dan menjalin hubungan untuk bergabung; d) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindungi dari informasi yang tidak sehat; e) Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak Anak c. Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam 40 Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 62 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Konsiderans Undang-undang ini mengacu pada pasal 34 UUD 1945. Selengkapnya Pasal 34 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut : 41 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Menurut kebiasaan, anak hidup bersama orang tuanya, yaitu ayah dan/atau ibu kandungnya (pasal 1 angka 3 huruf b UndangUndang Nomor 4 tahun 1979). Akan tetapi adakalanya seorang anak tidak lagi mempunyai orang tua (ayah dan/atau ibu). Ini mengakibatkan anak menjadi terlantar. Keadaan terlantar ini juga disebabkan hal-hal lain seperti emiskinan. Akibatnya kebutuhan hidup anak baik rohani, jasmani maupun sosial tidak dapat dipenuhi (pasal 1 huruf 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979).42 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, Pasal 2 sampai dengan 9 mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, sebagai berikut : 1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan, terdapat pada pasal 2 ayat 1, selengkapnya adalah : “Anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar” 2) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, terdapat dalam pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi : 41 42 hlm. 79-80 Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, “Anak berhak atas perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan”. 3) Hak atas perlindungan lingkungan hidup, terdapat dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi : “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar” 4) Hak mendapat pertolongan pertama, terdapat dalam pasal 3 ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi : “Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan dan perlindungan” 5) Hak memperoleh asuhan, terdapat dalam pasal 4 ayat 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, selengkapnya berbunyi : “Anak tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan” 6) Hak memperoleh bantuan, terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, selengkapnya berbunyi : “Anak tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar” 7) Hak diberi pelayanan dan asuhan, terdapat dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi : “Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya” 8) Hak mendapat bantuan dan pelayanan, terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979, selengkapnya berbunyi : “Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial” d. Hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bahasa, negara, masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat ataupun keluarga. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka perlu perlindungan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental, dan rohaninya. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur tentang hak dan kewajiban anak, sebagai berikut : 43 1) Hak hidup, tumbuh dan berkembang, terdapat dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak berhak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” 2) Hak atas kewarganegaraan, terdapat dalam pasal 5 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 selengkapnya berbunyi : 43 Bab III Hak dan Kewajiban Anak, UU No. 23 Tahun 2002 “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan” 3) Hak atas orang tua, terdapat dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri” 4) Hak atas pelayanan kesehatan, terdapat dalam pasal 8 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual, dan sosial” 5) Hak atas pendidikan, terdapat dalam pasal 9 ayat 1 dan 2 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapat pendidikan khusus 6) Hak atas kesejahteraan sosial, terdapat dalam pasal 12 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak berhak menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial” 7) Hak atas perlindungan, terdapat dalam pasal 13 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perakuan : a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasaan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya” 8) Hak atas memperoleh perlindungan dari ancaman, terdapat dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan” 9) Hak atas perlindungan dan kebebasan sesuai dengan hukum, terdapat dalam Pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (2) Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum 10) Hak atas perlakuan secara manusiawi, terdapat dalam Pasal 17 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum” 11) Hak atas bantuan hukum, terdapat dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, selengkapnya berbunyi : “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya” C. Pengertian Umum tentang Kekerasan 1. Pengertian Kekerasan Sebagaimana kita ketahui tindak pidana kekerasan yang terjadi dalam masyarakat dapat menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak, baik pihak yang menjadi korban kekerasan maupun pihak-pihak lainnya secara umum. Untuk itu perlu dikaji secara lebih mendalam mengenai kekerasan itu sendiri supaya dapat dicari akar permasalahan yang sesungguhnya yang kemudian dapat digunakan untuk mencari penyelesaian dari kasus yang terjadi dan upaya perlindungan hukum bagi korban tindakan kekerasan. Secara etimologi kekerasan berasal dari bahasa latin violence yaitu gabungan kata vis (daya, kekuatan) dan “latus” (membawa) yang kemudian diterjemahkan membawa kekuatan.44 Pengertian ini dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan, sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Kata-kata ini bersinonim dengan kata memperkosa yang berarti menundukkan dengan kekerasan; menggagahi; memaksa 44 Marsana Windu, Kekuasaan Bandung, 1971. Hlm. 62 dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius, dengan kekerasan dan melanggar dengan kekerasan. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.45 Kemudian pengertian secara terminologi kekerasan merupakan suatu keadaan dan sifat menghancurkan kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan mulia menjadi terperosok pada sifat-sifat kebinatangan. Merusak, menekan, memeras, memperkosa, menteror, mencuri, membunuh, dan memusnahkan merupakan tindakan yang menodai dan menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan.46 Kekerasan itu terjadi ketika seseorang bertindak dengan cara-cara yang tidak patut dan menggunakan kekuatan fisik yang melanggar hukum dan melukai diri sendiri, orang lain atau lingkungannya. Tindak kekerasan merupakan konsekuensi. Ia merupakan manifestasi dari jiwa dan hati yang kacau karena terganggu. Kegoncangan jiwa dan hati itu begitu kuat sehingga mengalahkan akal sehat. Dalam pengaruh seperti itu, individu betul-betul dipengaruhi oleh nafsunya dan hanya memfokuskan pemikiran pada dirinya dan pelaku tidak mempedulikan keselamatan atau kesejahteraan orang lain.47 R. Audi merumuskan violence sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, 45 Ibid. Haidar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. II Juni 1999, hlm. 66 47 Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan, Yogyakarta, 1998, LKS Yogyakarta, hlm. 142 46 penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara personal dapat menjadi milik seseorang.48 Menurut Johan Galtung kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.49 Kata kunci yang perlu diterangkan yaitu aktual (nyata) dan potensial (mungkin) dibiarkan, diatasi atau disingkirkan. Bila yang potensial lebih tinggi maka di sini berarti terjadi kekerasan. Galtung mendefinisikan kekerasan dalam sangat luas dan menolak konsep kekerasan sempit, yaitu menghancurkan kemampuan somatis atau menghilangkan kesehatan belaka dengan pembunuhan sebagai bentuk ekstrimnya oleh seorang pelaku yang memang sengaja melakukannya. Perlu ditambah di sini bahwa Galtung tidak membedakan violent acts (tindakan-tindakan yang keras dimana keras di sini sebagai sifat) dalam acts of violence (tindakan-tindakan kekerasan). 50 Galtung membedakan kekerasan menjadi dua, yaitu kekerasan personal dan kekerasan struktural. Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperhatikan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sementara struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu yang sifatnya tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan diperlihatkan, sementara kekerasan struktural dianggap wajar. Namun dalam masyarakat yang 48 Ibid., hlm. 63 Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung dalam Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, Ibid., hlm. hlm. 64 50 Ibid., hlm. 65 49 dinamis, kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menampilkan diri.51 Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan pada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi.52 a. Kekerasan terbuka yaitu kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian b. Kekerasan tertutup yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam c. Kekerasan agresif yaitu kekerasan yang dilakukan bukan untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjarahan d. Kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Galtung juga menguraikan enam dimenais dari kekerasan, yaitu sebagai berikut : 53 a. Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak. 51 52 Ibid., hlm. 73 Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. 1 Maret 2002, hlm. 11 53 Marsana Windhu, loc.cit., hlm. 168-169 b. Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat “pengendalian”, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan. c. Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia. d. Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. e. Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja atau tidak cukup melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan. f. Yang tampak dan tersebunyi. Kekerasan yang tampak, nyata (manifest) baik yang personal maupun yang struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersebunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersebunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi ketika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau evolusi hasil dukungan militer yang hierarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hiarkis setelah tantangan utama terlewati. Berbicara tentang kekerasan ini tidak bisa hanya dari sudut pandang saja. Karena kekerasan itu beragam bentuk dan motifnya. a. Bentuk-bentuk Kekerasan Secara umum Eka Hendry membagi kekerasan menjadi 3 kategori berdasarkan skala besar kecilnya sebagai berikut : 54 1) Kekerasan domestik, yaitu kekerasan yang terjadi di dalam lingkup keluarga inti (nuclear family). Motif kekerasan biasanya didasarkan karakter pribadi anggota keluarga, baik yang dibentuk oleh watak (perlakuan kasar) seorang suami terhadap istri. Orang tua terhadap anak, atau kekerasan tuan rumah terhadap pembantu, dan lain-lain) dan pengaruh faktor yang sifatnya temporal, seperti kelelahan, stress akibat pekerjaan, situasi ekonomi dan sebagainya. Meskipun tidak jarang kekerasan domestik menjadi faktor penyebab terjadinya kriminalitas. 2) Kekerasan kriminal, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dengan motif kepentingannya 54 Eka Hendry, Monopoli Tafsir Kebenaran Wacana Keagamaan Kritis dan Kekerasan Kemanusiaan, Persadar Press, Kalimantan, cet. I Maret 2003, hlm. 105 murni kriminal. Contohnya pencurian, pemerkosaan dan kasus pembunuhan. 3) Kekerasan massa, yaitu kekerasan yang melibatkan komunitas orang atau kelompok yang lebih luas, motif kepentingannya relatif lebih besar berupa kepentingan untuk mengaakan perubahan sosial, baik secara kultural maupun secara struktural. Berdasarkan pendapat dari Eka Hendry di atas dapat ditarik garis besar bahwa tindak pidana kekerasan mencakup berbagai bentuk, mulai dari skala kecil sampai dengan bentuk yang berskala besar. Tindakan kekerasan ini dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, baik rakyat biasa maupun golongan tertentu. Sejalan dengan itu, Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky mengemukakan adanya empat kategori yang mencakup hampir semua kekerasan, yakni : 55 1) Kekerasan Legal Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya tindakan-tindakan tertentu untuk mempertahankan diri. 2) Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya : 55 Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. I September 1982, hlm. 25 tindakan kekerasan seorang suami atas pezina akan memperoleh dukungan sosial. 3) Kekerasan rasional Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya : pembunuhan dalam rangka suatu kejahatan terorganisasi. 4) Kekerasan yang tidak berperasaan (irrational violence) Terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperhatikan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Berdasarkan pernyataan ini, pada intinya suatu tindakan kekerasan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi juga dapat dilakukan oleh aparat penegak negara yang diberikan wewenang untuk itu. Ini terbukti dengan adanya tindakan kekerasan yang dilegalkan karena kekerasan ini dilakukan demi tujuan yang baik. Tempat terjadinya tindak kekerasan inipun sangat bervariasi tidak hanya pada tempat-tempat rawan tetapi juga di tempat umum seperti perkantoran, rumah sakit, lembaga pendidikan, bahkan sampai terjadi dalam lingkup rumah tangga atau keluarga. Bentuk-bentuk kekerasan juga dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu : 56 1) Kekerasan fisik: pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk melukai, penyiksaan, penggunaan obat untuk menyakiti, penghancuran fisik, pembunuhan, dengan segala manifestasinya. 2) Kekerasan seksual/reproduksi: serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual/reproduksi, ataupun serangan psikologis kegiatan merendahkan atau menghina yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Misal manipulasi seksual pendidikan anak, pemaksaan hubungan seksual/pemerkosaan, sadisme dalam relasi seksual, mutilasi alat seksual, pemaksaan aborsi, penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain. 3) Kekerasan psikologis : penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat kuat, teror dalam banyak manifestasinya. Misal : makian kata-kata kasar, ancaman, penguntitan, penghinaan dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis, (misal : penelanjangan, pemerkosaan). 4) Kekerasan deprivasi : penelantaran kebutuhan dasar dalam berbagai bentuknya, seperti pengurangan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit terus. 56 E. Kristi Poerwandari, Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia, Kepustakaan Eja Insani, Bandung, cet. I November 2004, hlm. 12 b. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong perilaku kekerasan di tengah masyarakat Dom Helder Camara, penggagas teori spiral kekerasan mengemukakan kekerasan dalam perspektif structural dikategorikan dalam tiga tindakan kekerasan yang saling mengait satu dengan lainnya, bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan adalah ketidakadilan (unjustice).57 Oleh karena itu, Ketidakadilan tersebut akan menyebabkan terjadinya kemiskinan, sementara kemiskinan akan merusak seluruh sendi kehidupan manusia dan menciptakan subhuman , yaitu realitas kehidupan yang berada di bawah standar; standar kesejahteraan, standar kesehatan dan standar pendidikan. Kondisi semacam ini akan menciptakan rasa frustasi di kalangan masyarakat, yaitu rasa ketidakberdayaan, penistaan, tanpa harapan dan kepastian masa depan. 2. Pengertian Kekerasan terhadap Anak Pengertian kekerasan terhadap anak dalam istilah sangat terkait dengan kata Abuse yaitu kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.58 Kata ini didefinisikan sebagai “improper behavior intended to cause phisycal, psychological, or financial harm to an individual or group’ (kekerasan adalah perilaku tidak layak dan mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun 57 Eka Hendry AR., op. cit., hlm. 116-117 Abu Hurairah, Kekerasan terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Krisis di Indonesia, Nuansa (Anggota IKAPI), Bandung, cet. 1, Juli 2006, hlm. 36 58 kelompok).59 Sedangkan kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak.60 Marzuki Umar Sa’abah mengemukakan (child abuse) adalah tindakan orang dewasa terhadap anak dengan cara yang disadari ataupun tidak yang berakibat menganggu proses tumbuh kembang anak. Sehingga dapat menimbulkan cacat fisik, mental bahkan kematian pada anak.61 a. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut Mieke Diah Anjar Yanti adalah sebagai berikut :62 1) Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potensi menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau berulang kali seperti dipukul, ditendang, ditempeleng, dijewer, dicubit, dilempar dengan benda keras, dijemur di bawah terik sinar matahari. 2) Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya seperti perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno, perbuatan cabul dan persetubuhan pada anak-anak yang dilakukan orang lain dengan tanpa tanggung jawab, tingkatan 59 Barker dalam Abu Hurairah, Ibid. Abu Hurairah, op. cit. 61 Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, UII Press, Yogyakarta, hlm. 91 62 Mieke Diah Anjar Yanit, dkk., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan, Bapenas, Propinsi Jateng, 2006, hlm. 9-11 60 mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual yang melanggar hukum seperti dilibatkan pada kegiatan prostitusi. 3) Kekerasan psikis adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan psikologis anak seperti kata-kata yang mengancam, menakut-nakuti, berkata-kata kasar, mengolok-olok, perlakuan diskriminatif, membatasi kegiatan sosial dan kreasi. 4) Kekerasan ekonomi (eksploitasi komersial) adalah penggunaan anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi kebutuhan orang tuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja secara berlebihan, menjerumuskan anak kepada dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi. 5) Tindak pengabaian dan penelantaran adalah ketidakpedulian orang tua, orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka seperti pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan penelantaran pada pengembangan emosi, pendidikan anak, pengabaian pada penelantaran pada pemenuhan gizi, pengabaian dan penelantaran pada penyediaan perumahan, pengabaian pada kondisi keamanan dan kenyamanan. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut Mufidah ada tujuh bentuk kekerasan yang lazim ditemukan, diantaranya adalah sebagai berikut : 63 63 Mufidah, dkk., Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media (Anggota IKAPI), Papringan, 2006, hlm. 18-19 1) Kekerasan dalam bentuk fisik seperti pemukulan, penganiayaan berat yang menyebabkan jatuh sakit, bahkan kematian 2) Kekerasan psikis seperti ancaman, pelecehan, sikap kurang menyenangkan yang menyebabkan rasa takut, rendah diri, trauma, depresi atau gila. 3) Kekerasan ekonomi, misalnya menelantarkan anak. 4) Kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual, pencabulan dan pemerkosaan. 5) Eksploitasi kerja dan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak 6) Eksploitasi seksual komersial anak 7) Trafiking (perdagangan) anak Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai kekerasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik suatu garis besar bahwa tindakan kekerasan yang terjadi pada anak sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berpijak dari pengertian-pengertian kekerasan yang telah diungkapkan sebelumnya maka tindakan kekerasan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat digolongkan menjadi tindakan kekerasan secara fisik, tindakan kekerasan psikis, dan tindakan kekerasan seksual, yang akand iuraikan seperti di bawah ini : 1) Tindakan kekerasan secara fisik terlihat dalam beberapa ketentuan sebagai berikut: Pasal 80 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.0000,(tujuh puluh dua juta rupiah) (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) luka berat, maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah) (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) mati, maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (seratus juta rupiah) (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Berdasarkan pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, bagi orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dikenai sanksi yang tidak ringan bahkan denda yang diberikan jumlahnya sangat banyak. Juga bagi orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak yang akan dimiliki sendiri maupun akan dijual kepada orang lain, akan mendapatkan sanksi pidana dan juga ditambah dengan pidana denda. Hal ini menunjukkan bahwa anak sangat dilindungi dari tindakan kekerasan secara fisik. 2) Tindakan kekerasan secara psikis terlihat dalam beberapa ketentuan sebagai berikut : Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) Berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak, maka bagi orang yang melakukan diskriminasi terhadap anak dan juga penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian secara fisik atau mental yang dapat menghambat fungsi sosial anak, dikenai sanksi pidana dan/atau juga pidana denda. 3) Tindakan kekerasan seksual terlihat dalam beberapa ketentuan di sebagai berikut : Pasal 81 (1) (2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) b. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Suharto dalam bukunya Abu Hurairah, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, diataranya adalah sebagai berikut :64 1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya. 2) Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak. 3) Keluarga tunggal anak keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa 64 Suharto dalam Abu Hurairah, op. cit., hlm. 39 ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi. 4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak yang lahir di luar nikah. 5) Penyakit parah atau gangguan mental apda salah satu kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi 6) Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anakanaknya. 7) Kondisi lingkungan yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak ada mekanisme kontrol sosial yang stabil. Sementara Rusmil dalam bukunya Abu Hurairah menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu 65: 65 Rusmil dalam Abu Hurairah, Ibid., hlm. 40 1) Faktor orang tua dan keluarga Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya : a) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak : - Kepatuhan anak kepada orang tua - Hubungan asimetris b) Dibesarkan dengan penganiayaan c) Gangguan mental d) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama merupakan yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun. e) Pecandu minuman keras dan obat 2) Faktor lingkungan sosial Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya : a) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis b) Kondisi sosial ekonomi yang rendah c) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri d) Status wanita yang dipandang rendah e) Sistem keluarag patrialkal f) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis 3) Faktor anak sendiri a) Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya. b) Perilaku menyimpang pada anak. c. Dampak kekerasan terhadap anak Dari berbagai bentuk kekerasan di atas kita akan melihat dampak kekerasan terhadap anak yang dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam hidupnya, sebagaimana yang telah disimpulkan oleh YKAI (Yayasan Kesejahteraan Indonesia), sebagai berikut :66 1) Cacat tubuh permanen 2) Kegagalan belajar 3) Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian 4) Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain 5) Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain. 6) Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal 7) Menjadi penganiaya ketika dewasa 66 Suharto dalam Abu Hurairah, Ibid., hlm. 45 8) Menggunakan obat-obatan atau alkohol 9) Kematian 3. Pengertian kekerasan seksual Istilah kekerasan seksual berasal dari bahasa Inggris sexual Hardness, dalam bahasa Inggris kata hardness mempunyai arti kekerasan, tidak menyenangkan, dan tidak bebas.67 Sementara kata sexual mempunyai arti sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas. Sehingga istilah sexual Hardness berarti perbuatan seksual yang tidak diinginkan oleh si penerima, dimana di dalam terdapat ancaman, tekanan, tidak menyenangkan dan tidak bebas. Ternyata dalam KUHP telah mengatur tentang kekerasan yaitu pasal 89 yang mendefinisikan kekerasan berarti menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara sah, misalnya menendang, memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata.68 a. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak menurut Resna dan Darmawan dapat dibagi atas tiga kategori sebagai berikut : 1) Pemerkosaan. Pemerkosaan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku (biasanya) lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. 67 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 517 68 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentar Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 98 2) Incest. Hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan kerabat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. 3) Eksploitasi. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak Sawitri Supardi Sadarjoen mengelompokkan perilaku seksual dalam beberapa bentuk penyimpangan sebagai berikut :69 1) Untuk tujuan obyek seksual a) Pedophilia, terdiri dari pedophilia homoseksual dan pedophilia heteroseksual. b) Incest c) Hiperseksualitas d) Keterbatasan kesempatan dan keterbatasan kemampuan sosial ekonomis. 2) Untuk tujuan sebagai pencari nafkah keluarga a) Orang tua dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai tenaga pencari uang dengan memaksa anak menjual diri, melakukan kegiatan prostitusi 69 Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, PT. Refika Aditama, Bandung, cet. I Mei 2005, hlm. 70 b) Germo (pengelola praktek prostitusi) yang berusaha mencari gadis muda untuk melayani para pelanggannya. 3) Untuk tujuan avonturis seksual Anak perempuan dan laki-laki mencari kehangatan emosional di luar rumah melalui perilaku seksual eksesif dan bersivat avonturir, baik dengan rekan sebaya maupun pasangan dewasa. b. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap anak antara lain sebagai berikut : 70 1) Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan ketidakmampuan penderita menjalin relasi heterososial dan homososial yang wajar 2) Kecenderungan kepribadian antisosial yang ditandai dengan hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh hambatan perkembangan moral 3) Terdapat kombinasi regresi, ketakutan impoten, serta rendahnya tekanan etika dan moral. c. Dampak kekerasan seksual terhadap anak Dari berbagai bentuk kekerasan di atas kita akan melihat beberapa hal dampak yang dapat terjadi : 71 70 Ibid., hlm. 15 Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Kelompok Kerja, Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 41-42 71 1) Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya : anak akan menganggap wajar perilaku orang dewasa, meniru tindakan yang dilakukan kepadanya, menyalahkan ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggapnya tidak membelanya dari halhal buruk yang dialaminya. Yang sering terjadi adalah merasa bersalah, merasa menjadi penanggung jawab kejadian yang dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial (misal : sudah dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang lain dan sebagainya). 2) Anak merasa dikhianati. Bila pelaku kekerasan adalah orang dekat dan dipercaya, apalagi orang tua sendiri, anak akan mengembangkan perasaan dikhianati, dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang-orang lain dan kehidupan pada umumnya. Hal ini akan sangat berdampak pada kemampuan sosialisasi, kebahagiaan dan hampir semua dimensi kehidupan psikologis pada umumnya. 3) Stigmatisasi : di satu sisi, masyarakat yang mengetahui sejarah kehidupan anak akan melihatnya dengan kacamata berbeda, misalnya dengan rasa kasihan sekaligus merendahkannya, atau menghindarinya. Di sisi lain, anak mengembangkan gambaran negatif tentang diri sendiri. Anak merasa malu dan rendah diri, dan yakin bahwa yang terjadi pada dirinya adalah karena adanya sesuatu yang memang salah dengan dirinya tersebut (misalnya melihat diri sendiri anak sial) 4) Traumatisasi seksual : pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang terjadi secara salah, dapat berdampak pada munculnya trauma seksual. Trauma seksual dapat tertampilkan dalam dua bentuk, inhibisi seksual, yakni hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan menikmati seks, atau justru disinhibisi seksual, yakni obsesi dan perhatian berlebihan pada aktivitas atau hal-hal terkait dengan hubungan seksual. Dampak kekerasan seksual terhadap anak bisa dilihat dengan tanda-tanda bahaya yang dimiliki oleh anak sebagai berikut : 72 1) Usia balita a) Tanda fisik : memar pada kelamin atau mulut, kesulitan atau iritasi saat kencing, penyakit kelamin dan sakit kerongkongan dengan sebab tidak jelas b) Tanda psikologis dan emosional : sangat takut kepada siapa saja, tempat tertentu, atau orang tertentu. Perubahan perilaku tiba-tiba. Gangguan tidur (susah tidur, mengompol, mimpi buruk), menarik diri, depresi atau perkembangan terhambat. 2) Usia pra sekolah Gejala yang sama, ditambah hal-hal berikut ini : 72 Majalah Femina No.2/ XXXIV, 12-18 Januari 2006, hlm. 47 a) Gejala fisik. Ada perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik, antara lain sering sakit kepala, sakit perut atau sembelit b) Perilaku emosional dan sosial : kelakuan anak-anak tiba-tiba berubah. Di sini bisa jadi sudah mengeluh mengalami perlakuan seksual c) Ada perilaku seksual yang tidak wajar, seperti masturbasi berlebihan, mencium berlebihan, mendesakkan tubuh, tahu banyak atau melakukan aktivitas seksual terang-terangan kepada saudara atau teman. Atau rasa ingin tahu berlebihan untuk masalah seksual. 3) Usia sekolah Memperlihatkan tanda-tanda di atas dan perubahan kemampuan belajar, antara lain konsentrasi terganggu, nilai menurun, hubungan dengan teman terganggu, tak percaya pada orang dewasa, depresi, sedih, tak suka disentuh dan menghindari secara berlebihan untuk membuka pakaian. 4) Usia remaja Sama seperti di atas, disertai dengan kelakuan merusak diri, pikiran untuk bunuh diri, gangguan makan, melarikan diri, berbagai kenakalan remaja, menggunakan obat terlarang. BAB III POTRET KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI WILAYAH HUKUM POLRES SALATIGA A. Kekerasan Seksual terhadap Anak di Polres Salatiga Tahun 2004-2006 Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan realitas yang ada dalam masyarakat dan berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya pelanggaran hak dasar yang dimiliki anak dalam tahap pertumbuhanya. Potret buram kondisi anak di Jawa Tengah menurut hasil monitoring yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) pada tahun 2003 adalah sebanyak 285 kasus dengan melibatkan anak-anak usia kurang dari 18 tahun sebagai korban. Kemudian menurut data laporan dari LRC-KJ HAM pada tahun 2004 di Jawa Tengah tercatat 577 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. 73 Selanjutnya terhadap kasus kekerasan anak di wilayah hukum Polres Salatiga selama periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2006 didapatkan hasil tindak kekerasan seksual secara keseluruhan terdapat 18 kasus, 12 kasus diantaranya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT) sedangkan 6 kasus merupakan tindak kekerasan seksual terhadap anak usia antara 0-17 tahun. Dari berbagai kasus kekerasan terhadap 6 korban anak di bawah umur tersebut pelaku melakukan tindak 73 Data acuan pelaksanaan monitoring dan pelayanan terpadu bagi korban kekerasan di wilayah Kota Salatiga pidana asusila dengan motif pelanggaran yang berbeda-beda. Berikut diantara korban yang ada di Polres Salatiga : 1. Kasus No.LP/195/VI/2004/SPK 14-06-2004 Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban (STM) mengalami tindak kekerasan seksual sehingga hamil di luar tanggung jawab (pemerkosaan). Korban masih berusia 14 tahun merupakan seorang anak dari pasangan JSM dan STF, lahir di Grobogan 7 Maret 1990. Aktifitas sehari-hari STM adalah seorang pelajar pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di kota Salatiga. Namun menurut keterangan tetangga korban, setelah kejadian asusila yang dialami oleh korban (STM) sekitar awal bulan Juni 2004, maka korban tidak bersekolah lagi dan menutup diri dari lingkungan sekitar tempat korban (STM) tinggal.74 Sampai saat ini korban melahirkan seorang anak perempuan dengan nama (DL) berusia kurang lebih 2 tahun 5 bulan dan kelahiran anak tersebut tidak diketahui siapa ayah biologisnya. Akan tetapi dari keterangan warga di Munduran korban hamil di luar tanggung jawab karena diperkosa oleh (BS) saudaranya yang bertempat tinggal di Salatiga, tepatnya di Bugel. Dari keterangan warga tersebut, sebelum Korban (STM) dikeluarkan dari sekolanya, STM menginap bertempat tinggal dan ikut dengan korban (BS) agar menghemat pengeluaran atau ongkos perjalanan kesekolah. Dan disitulah korban STM mengalami tindak kekerasan seksual anak di bawah umur disertai ancaman agar kejadian yang dialami tidak diberitahukan kepada orang lain. Menurut data yang di 74 Wawancara dengan bapak Yasrin tetangga korban pada hari Rabu tanggal 5 November 2008 di Munduran, Bantar Kabupaten Grobogan berikan oleh Polres Salatiga, keluarga korban melaporkan kejadian yang dialami oleh STM pada tanggal 16 Juni 2004. 2. Kasus No.LP/294/VII/SPK 06-08-2004 Kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi kepada korban ( BNG) 10 tahun merupakan seorang pelajar Sekolah Dasar (SD) di kota Salatiga. Mengalami tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual (pemerkosaan) pada hari Jum’at tanggal 6 Agustus 200475. Korban (BNG) adalah putri dari pasangan AHJ dan DHY. Korban lahir di Kabupaten Semarang 12 Januari 1994. Korban bertempat tinggal di Lemah Ireng, Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Sampai saat ini pelaku tidak di ketahui keberadaanya. Menurut keterangan ibu korban, (BNG) mengalami kejadian tersebut di tempat pembuangan sampah dekat daerah Salatiga. Dari keteranngan korban dijelaskan bahwa korban tidak mengenal pelaku.76 3. Kasus No.LP/289/IX/2004/SPK 10-9-2004 Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban (SST) 14 tahun mengalami tindak kekerasan seksual (Pemerkosaan). SST merupakan seorang seorang pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di kota Salatiga, bertempat tinggal di Jalan Imam Bonjol Gang Durian RT 03 Rw 01 Kecamatan Sidorejo Lor Salatiga. Korban mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh ayah tiri korban (TN) 50 tahun. 75 Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah Jawa Tengah Resort Salatiga 76 Wawancara dengan korban (BNG) pada hari Sabtu tanggal 24 Februari 2007 di Lemah Ireng 4. Kasus No.LP/37/II/2005/SPK 3-2-2005 Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban (NNC) 5,5 tahun mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual (pencabulan) merupakan seorang anak dari pasangan ACH dan DLY yang bertempat tinggal di perumahan Argomulyo blok C RT 04 RW 10 Kelurahan Ledok Kecamatan Argomulyo Salatiga. Korban mengalami tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh saudara korban, yaitu YS 34 tahun. 5. Kasus No.LP/143/VII/2006/SPK 18-07-2006 Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban (NBT) 5 tahun merupakan seorang anak dari pasangan AI dan RM bertempat tinggal di Jalan Ki Penjawi Kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Salatiga. Pada tanggal 8 Juli 2006 mengalami tindak kekerasan pelecehan seksual (pencabulan) yang dilakukan oleh SH (paman korban NBT). Korban mengalami luka pada alat vital. Kejadian ini terjadi dan diketahui oleh orang tua korban pada akhir bulan Juni 2006. 77 6. Kasus No.LP/99/III/2005/SPK 31-3-2005 Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi pada korban (MTA) berusia 14 tahun seorang pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Kabupaten Semarang. Korban mengalami pelecehan seksual ditempat (rumah) Pelaku (JS). Menurut keterangan ibu korban, peristiwa tersebut terjadi pada hari selasa tanggal 3 juni 2005 ketika 77 Wawancara dengan bapak Mahmud pada hari sabtu tanggal 17 November 2007 di Sidorejo Salatiga (MTA) tidak pulang kerumah setelah pelajaran sekolah telah selesai. Dari keterangan diperoleh hasil bahwa korban MTA pergi bersama pelaku JS tanpa sepengetahuan orang tua korban MTA.78 Korban (MTA) merupakan anak dari pasangan MMD dan YL, lahir di Kebupaten Semarang 19 Maret 1991. Kemudian pelaku JS adalah seorang anak dari pasangan DNR dan YTM, berusia 16 tahun dan aktifitas sehari-hari merupakan pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di kota Salatiga. Data keterangan dari Polres Salatiga dan dari keterangan orang tua korban dijelaskan bahwa tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur rata-rata pelaku merupakan orang yang dikenal dekat oleh korban, baik saudara, ayah tiri maupun teman dekat korban. Dari data laporan kekerasan seksual tersebut korban (anak di bawah umur) cenderung mengalami luka fisik dan trauma psikis akibat tindak kekerasan yang dialami yaitu : 1. Korban sering menyendiri dan menutup dari lingkunganya. Akibat dari kekerasan seksual yang dialami oleh korban berdampak pada aktifitas sehari-hari korban terkadang menutup diri dari pergaulan masyarakat, hal ini terjadi terhadap korban (STM) dengan nomor laporan di Polres Salatiga No.LP/195/VI/2004/SPK 1406-2004 78 Kalibeji Wawancara dengan ibu Yuliana pada hari Selasa tanggal 20 November 2007 di 2. Korban mengalami luka pada alat vital (kelamin) Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban pelecehan seksual anak di bawah umur secara mayoritas mengalami luka pada alat vital (kelamin)79 3. Datang bulan tidak teratur yang dialami oleh korban, hal ini terjadi terhadap korban (SST) dengan kasus laporan No.LP/289/IX/2004/SPK 10-9-2004 dan korban (BNG) dengan kasus laporan No.LP/249/VIII/2004 06-08-2004 4. Trauma seksual, yang terjadi terhadap korban (SST) 5. Hamil di luar tanggung jawab, dalam penelitian didapatkan satu korban yaitu SST 6. Depresi, hal ini dialami oleh rata-rata korban kekerasan seksual anak di bawah umur. 7. Ketakutan yang berlebihan dalam hal ini korban adalah NBT , NNC .80 B. Penanganan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di Wilayah Hukum Polres Salatiga Wilayah hukum Polres Salatiga yang terdiri dari 4 kecamatan sebenarnya sangat mudah untuk memantau dan memonitoring kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang sering terjadi. Akan tetapi, data laporan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan fenomena yang tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga tidak sebanding 79 Data laporan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur Polres Salatiga 2004- 2006 80 Wawancara dengan bapak Bambang Sutanto di Polres Salatiga pada hari Rabu tanggal 17 Januari 2007 di Polres Salatiga dengan kasus yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan rendahnya laporan yang dilakukan oleh keluarga korban, dengan anggapan bahwa kekerasan yang dialami merupakan aib dan urusan internal keluarga, sehingga orang tua korban terkadang sering menutup diri dan tidak ingin urusan rumah tangga mereka dicampuri oleh pihak lain. Menurut keterangan Kasat Reskrim Bambang Sutanto bahwa tindak kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur sering terjadi karena krisis moral yang terjadi dalam masyarakat. Kemudian minimnya penanaman pondasi agama serta pendidikan tentang kondisi lingkungan yang diberikan oleh orang tua korban tidak tepat melihat anak adalah seorang yang mempunyai kondisi lemah lebih mudah diintimidasi serta dibujuk. Oleh karena itu, anak di bawah umur merupakan target potensial terhadap tindak kekerasan seksual baik tindak pemerkosaan, pencabulan maupun eksploitasi seksual anak di bawah umur.81 Penelitian yang dilakukan di Polres Salatiga pada tanggal 20 Desember 2006 selama periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2006 didapatkan hasil bahwa tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur adalah sebagai berikut 82: 81 Wawancaara dengan bapak Bambang Sutanto pada hari Kamis tanggal 4 Mei 2006 di Polres Salatiga 82 Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah Jawa Tengah Resort Salatiga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah 2004 1 2 3 2005 1 1 2 2006 1 1 Menurut keterangan yang diperoleh di Polres Salatiga angka kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur jumlahnya sedikit apabila dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Hal ini disebabkan karena minimnya tingkat kesadaran hukum masyarakat yang beranggapan bahwa kasus tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan aib bagi keluarga korban jika diangkat dalam pemberitaan publik.83 Dari hasil penelitian di Polres Salatiga didapatkan hasil bahwa diantara 6 bentuk tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur adalah sebagai berikut84 : No 83 Inisial korban Bentuk kekerasan seksual terhadap anak Wawancara dengan bapak Pratomo pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2006 di Polres Salatiga 84 Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah Jawa Tengah Resort Salatiga 1 2 3 4 5 6 STM BNG SST NNC MTA NBT Hamil di luar tanggungjawab Pemerkosaan Pemerkosaan oleh ayah tiri korban Pencabulan Pemerkosaan Pencabulan Menurut keterangan yang diperoleh di Polres Salatiga ada beberapa macam-macam bentuk kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur sebagai berikut : a. Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. b. Pencabulan terhadap anak di bawah umur. c. Incest atau hubungan tidak wajar antara pelaku yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan korban. Selanjutnya dari tabel bentuk kekerasan terhadap anak di atas dalam penelitian didapatkan hasil bahwa korban kekerasan seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat usia adalah sebagai berikut85 : No 85 Korban Umur Tempat kejadian perkara Keterangan Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah Jawa Tengah Resort Salatiga 1 STM 14 tahun Kamar korban - 2 BNG 10 tahun Tempat pembuangan sampah - 3 SST 14 tahun Kamar tamu - 4 NNC 5,5 tahun Rumah pelaku DPO 5 MTA 14 tahun Di rumah pelaku P21 6 NBT 5 tahun Di belakang rumah Proses sidik C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual terhadap Anak di Polres Salatiga Selanjutnya 2 tabel di atas terlihat bahwa korban kekerasan terhadap tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah umur merupakan tindakan yang paling dominan dialami oleh anak. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan seksual anak di bawah umur antara lain adalah sebagai berikut86: 1. Karena faktor ketidaktahuan orang tua dan kurangnya pengawasan terhadap anak Penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh pelaku merupakan kasus yang perlu mendapat perhatian oleh kalangan orang tua. Hal ini dalam penelitian yang dilakukan di Polres Salatiga diperoleh hasil bahwa diantara 6 korban tersebut, 5 pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa dan 1 pelaku masih 86 Data dari Polres Salatiga yang dipadukan dengan wawancara kepada korban kekerasan seksual anak di bawah umur tahun 2004-2006 di Polres Salatiga dikategorikan anak di bawah umur. Oleh sebab itulah peran pengawasan orang tua perlu di tingkatkan untuk mengurangi kasus-kasus yang sama, dan selebihnya diperoleh hasil juga bahwa dari 6 pelaku tersebut adalah orang-orang yang kenal dekat dengan korban.87 Keadaan inilah celah yang dapat memberikan pelaku leluasa melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam masyarakat. 2. Karena faktor gangguan psikis yang dialami oleh pelaku Tindakan kekerasan seksual akibat gangguan psikologis ini biasanya terjadi atau dipengaruhi oleh faktor kejiwaan seseorang yang sedang labil, beberapa diantaranya adalah adanya pengaruh seringya pelaku menonton VCD porno maupun potensi seksual pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terjadi karena pelaku kurang merasakan kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, bahkan adanya perilaku seks menyimpang dan berlebihan. Oleh sebab itu pelaku cenderung mencari kepuasan dengan cara lain yang tidak sesuai norma dan aturan yang sesuai dalam masyarakat. Seperti halnya pelaku JAS seorang pelajar 16 tahun menurut keterangan yang diperoleh di Polres Salatiga, pelaku sering menonton VCD porno di tempat tetangganya dan mengaku setelah melihat film ditempat temanya berkeinginan untuk melakukan hal yang sama serta mempraktekkan film yang ditonton kepada orang lain. 88 Dalam hal ini, 87 Wawancara dengan ibu Peni Esti pada hari Sabtu tanggal 23 Desember Tahun 2006 di Polres Salatiga 88 Wawancara dengan bapak Bambang di dusun Cabean Salatiga pada hari Kamis tanggal 10 April tahun 2008 pelaku melakukan apa yang pernah dilihat kepada pacarnya (MTA). Cara yang dilakukan oleh pelaku yaitu, dengan megajak korban menginap ditempat pelaku tanpa sepengetahuan orang tua masing-masing, baik orang tua korban maupun orang tua pelaku. 3. Faktor ekonomi keluarga kemudian terjadi percekcokan yang akhirnya anak dijadikan tempat pelampiasan kemarahan. Melihat kondisi masyarakat yang telah berubah dan pola hidup konsumerisme melekat dalam kehidupan mengakibaatkan setiap orang berlomba dengan waktu untuk mendapatkan hasil dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam kaitanya dengan kekerasan seksual terhadap anak di sebabkan karena pengaruh faktor ekonomi dapat di ketahui dari status pekerjaan pelaku sebagai berikut89: No Inisial pelaku 1 BS Buruh 49 tahun 2 - - - 3 TN Buruh 50 tahun 4 YL Swasta 34 tahun 5 JAS Pelajar 16 tahun 6 SH Swasta 47 tahun 89 Pekerjaan Usia Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah Jawa Tengah Resort Salatiga Dari data tabel di atas faktor ekonomi dapat dikategorikan sebagai pengaruh kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, korban SST 14 tahun seorang pelajar di bangku SLTP mengaku telah diperkosa dan diperlakukan tidak pantas oleh pelaku. Dalam 1 minggu harus di paksa melayani kebutuhan seksual ayah tirinya sebanyak 4 kali. Peristiwa ini berakhir ketika SST dengan terpaksa mengaku kepada ibunya. Alasan pelaku memperlakukan korban dikarenakan pelaku kurang terpenuhi kebutuhan seksual dengan istrinya, sehingga ketika istrinya sedang beraktifitas di pasar, pelaku mengancam korban tidak akan memberikan uang saku dan uang untuk membayar SPP sekolah jika korban tidak mau menuruti permintaan pelaku. D. Perlindungan Hukum yang Diberikan Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Salatiga Dalam menanggapi permasalahan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dalam wawancara di Polres Salatiga mendapat hasil sebagai berikut90 : 1. Menerima laporan atau pengaduan dari keluarga korban kekerasan Unsur terpenting yang sangat membantu pihak kepolisian khususnya Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan seksual adalah adanya laporan dan pemberitahuan dari keluarga korban, baik secara lisan maupun tertulis. Hal 90 Wawancara dengan ibu Peni Esti di pada hari Sabtu tanggal 23 Desesmber tahun 2006 di Polres Salatiga ini akan mempermudah dan mempercepat penyidik dalam menyelesaikan permasalahan yang meresahkan masyarakat dewasa ini. Setelah pihak kepolisian menerima laporan atau aduan, maka pada tahap berikutnya bagian penyidik akan melakukan serangkaian tindakan yang sesuai dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang yaitu: a. Mengumpulkan barang bukti b. Membuat surat keterangan atau pengantar untuk Visum et repertum ke rumah sakit untuk keperluan barang bukti c. Memberikan konseling terhadap anak korban kekerasan seksual d. Memberikan pengayoman dan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual e. Melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak kekerasan seksual.91 2. Terhadap bentuk-bentuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, baik pemerkosaan maupun pencabulan Polres Salatiga menerapkan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut:92 a. Dalam Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Ketentuan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disebutkan barang siapa dengan sengaja baik dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh karena 91 Wawancara dengan bapak Bambang Sutanto pada hari Senin tanggal 25 Desember 2006 di Polres Salatiga 92 Ibid., perkosaan dipidana dengan pidana penjara dua belas tahun. Ketentuan ancaman pidana ini berlaku pada BS dan TK. Kemudian Ketentuan Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dinyatakan bahwa tpelaku bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, padahal diketahui bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun dan belum pantas untuk dikawini maka pelaku diancam dengan pidan penjara maksimal sembilan bulan. Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan bahwa Pasal 1 tentang melarikan wanita di pidana : - Dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun terhadap pelaku yang melarikan wanita di bawah umur tanpa ijin orang tua atau walinya maupun dengan kemauan wanita itu sendiri dengan maksud untuk memiliki baik dengan perkawinan maupun tidak. - Dengan pidan penjara maksimal sembilan tahun terhadap pelaku yang melarikan wanita dengan tipu daya, kekerasan maupun dengan ancaman kekerasan untuk memiliki wanita tersebut baik dengan perkawinan maupun tidak. Ketentuan ancaman pidana di atas dalam Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Pidan berlaku pada YS. Kemudian dalam ketentuan sanksi pidana rangkap yaitu dalam Pasal 287 dan Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diberlakukan kepada pelaku JAS. b. Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penelitian yang dilakukan di Polres Salatiga diperoleh hasil bahwa penerapan dan implementasi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual anak di bawah umur terdapat pada Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disebutkan bahwa, terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan kekerasan maupun dengan ancaman kekerasan, tipu muslihat, kebohongan serta membujuk anak di bawah umur untuk melakukan perbuatan cabul, maka terhadap pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara atau serendah-rendahnya 3 tahun. Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahunn 2002 tentang Perlindungan Anak ini berlaku terhadap pelaku SH yang dengan sengaja melakukan tindakan atau perbuatan cabul terhadap korban NBT (5 tahun).93 93 Wawancara dengan ibu Peni Esti pada hari Senin Tanggal 1 Januari Tahun 2007 di Polres Salatiga BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Di POLRES SALATIGA A. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur (sexual abuse) merupakan kejahatan kemanusiaan yang masuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam ketentuan Konvensi Hak Anak Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa negara menjamin hak setiap anak tanpa diskriminasi baik ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, suku bangsa ataupun status lain dari anak yang sah menurut hukum. Akan tetapi ketentuan yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak dalam kenyataan yang ada belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dengan baik dan tepat. Seperti dalam Firman Allah Q.S Al-Isro' ayat 31: Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. 94 Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau 94 hlm. 285 Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI., PT. Syamil Cipta Media, 1987, sejumlah orang yang berposisi lemah atau dilemahkan yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan sengaja dilakukan perbuatan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.95 Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak dapat di pahami bahwa kekerasan pada anak adalah tindakan kekerasan secara fisik, psikologis, sosial, seksual yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh orang lain termasuk di dalamnya adalah orang tua, keluarga, pendidik masyarakat dan pelaku pemerintah.96 Kondisi tersebut menurut data laporan dan pantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2005 dijelaskan bahwa dari 331 pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 226 pelaku ( 68,28% ) adalah orang yang dikenal oleh korban, mulai dari keluarga inti, kerabat, tetangga, atau orang lain yang mempunyai hubungan baik dengan korban. Kemudian sebanyak 105 pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak (31,72%) adalah orang yang tidak dikenal oleh korban. 97 Angka laporan Komisi Perlindungan Anak di atas Candara Gautama menyoroti bahwa data laporan kekerasan seksual terhadap anak usia di bawah 18 tahun memang sangat sedikit apabila dibandingkan dengan realitas yang ada saat ini. 98 Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 95 Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media, (Anggota IKAPI), Papringan, 2006, hlm. 2 96 Mieke Diah Anjar Yanti, et.al., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan, Bapernas, Propinsi Jateng, 2006 97 Tabloid Mom and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang Terdekat, PT. Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007 98 Candra Gautama, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2000, Hlm. 53 1. Penolakan yang dilakukan oleh korban sehingga korban tidak melaporkan kasusnya dengan alasan takut adanya ancaman dan akibat yang kelak diterima dari pelaku (trauma) 2. Manipulasi dari pelaku sering menolak tuduhan bahwa dia adalah pelakunya. Strategi ini digunakan pelaku dengan menuduh korban melakukan kebohongan dan membuat rekayasa. 3. Keluarga korban menganggap bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah aib memalukan jika diungkap dihadapan umum. 4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga tidak layak dicampuri oleh orang lain. 5. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri anak (korban) yang mengalami kekerasan seksual, khususnya pada kasus sexual abuse, karena tidak adanya tanda-tanda fisik yang terlihat jelas. 6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan jelas oleh masyarakat. Memperhatikan kondisi masyarakat yang demikian, upaya perlindungan hukum terhadap anak korban tindak kekerasan seksual perlu dilakukan secara nyata, hati-hati, tepat, dan berkesinambungan. Sehingga upaya perlindungan hukum tersebut memerlukan peran serta pemerintah, lembaga-lembaga yang terkait dalam perlindungan anak, masyarakat, serta peraturan perundang-undangan yang menjadi pelaksanaannya. Di samping itu, sosialisasi, promosi dan penegakan hak-hak anak perlu dilakukan secara terusmenerus dan sungguh-sungguh. Hal ini disebabkan karena kodrat anak adalah sebagai seorang individu yang lemah dalam masa pertumbuhan dan harus mendapat perlindungan, tidak dapat dibiarkan untuk berjuang sendiri dalam memperoleh haknya secara utuh. Selanjutnya Arif Gosita mengemukakan beberapa hal yang diperlukan dalam memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual agar terlaksana dengan baik, yaitu : 1. Dalam hal telaksananya perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual perlu dipahami tentang pengertian tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak, seperti pengertian manusia,hak dan kewajiban asasi manusia, pencegahan kejahatan, pencegahan penimbulan korban dan pelaksanaan kepentingan perlindungan yang bertanggung jawab dan bermanfaat. 2. Perlindunngan hukum terhadap anak korban kekerasan sekaual harus dilakukan antara warga negara, anggota masyarakat baik secara individual, kolektif demi kepentingan bersama. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi dan penyuluhan mengenai perlindungan anak agar masyarakat sadar akan arti pentingnya perlindungan anak. 3. Kerjasama dan koordinasi yang diperlukan untuk melancarkan kegiatan perlindungan anak. 4. Perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual harus mempunyai dasar filosofis, etis dan yuridis sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi semua komponen masyarakat. 5. Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual harus tercermin dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu dalam rangka terwujudnya perlindungan anak setiap anggota masyarakat perlu adanya koordinasi dengan pemerintah dan aparat penegak hukum.99 Kemudian dalam praktek perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual (sexual abuse ) Suatu tindakan disebut kekerasan apabila ada pihak yang dirugikan, yang berupa pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang bahkan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mendapatkan jaminan hukum yang pasti, korban dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum maupun lembaga swadaya masyarakat pemerhati anak untuk mendapatkan perlindungan dan pendampingan hukum. Salah satu prilaku seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence), artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah merupakan praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekerasan fisik yang lebih atau kekuatan fisiknya dan dijadikan alat untuk melancarkan usahausaha jahatnya.100 Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Polres Salatiga, pelaksanaan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah sesuai 99 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 19-20 100 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advodkasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 32 dan memenuhi ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu, pihak kepolisian lansung menerima laporan korban baik secara lisan maupun tertulis. Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan surat visum ke dokter sebagai bukti adanya kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Dengan demikian apabila pelaku terbukti bersalah, maka pelaku akan ditetapkan sebagai tersangka tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur untuk selanjutnya membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang kemudian diproses untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri dalam proses penuntutan di Pengadilan Negeri. Bentuk perlindungan terhadap anak di bawah umur secara umum dapat diklasifikasikan dalam berbagai macam. Akan tetapi terhadap perlindungan kekerasan seksual di katergorikan dalam beberapa pemahaman yaitu: Pertama, kekerasan fisik yang berarti perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit terhadap diri korban, sehingga dalam implementasi penanganan terhadap korban memerlukan pendampingan dan penyelesaian tepat agar kasus kekerasan yang dialami dapat teselesaikan dengan tepat. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus disebebkan dalam penelitian di Polres Salatiga dari wawancara dengan keluarga korban setelah mengadukan kasus yang dialami oleh anaknya ternyata setelah ditunggu sekian lama tidak mendapatkan tanggapan dan tindak lanjut yang pasti. Kedua, kekerasan psikis yang dapat dipahami sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa ketakutan dan hilangnya rasa percaya diri untuk bertindak dan menempatkan diri dalam masyarakat, sehingga korban mengalami penderitaan yang sangat berat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat untuk selebihnya dapat menerima dengan baik terhadap diri korban dan menerima secara utuh akibat kekerasan yang dialami dengan memberikan dorongan dan motifasi agar tahap perkembanganya berjalan baik. Ketiga, kekerasan seksual yang berarti pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh orang lain yang secara hukum dilarang. Keadaan ini dalam masyarakat sangat dibutuhkan pola kesadaran hukum lebih, bahwa perilaku tidak wajar terhadap anak merupakan bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. B. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Salatiga Kekerasan seksual pada anak adalah tindakan kekerasan secara fisik, psikologis, sosial, seksual yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh orang lain. Masalah perlindungan anak korban kekerasan seksual pada dasarnya adalah sama dengan penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu implementasi penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa hal seperti peraturan hukum, aparat penegak hukum, budaya hukum masyarakat (tingkat kesadaran hukum) dan budaya yang ada di masyarakat itu sendiri. Bobot masalah terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga sepanjang tahun 2004-2006 merupakan kasus yang terkait dengan masalah sosial terutama perilaku menyimpang dari masyarakat. Data kasus kekerasan seksual baik pemerkosaan, pencabulan dan motif lain yang ada merupakan kondisi yang bersifat eksploitatif, berbahaya dan menekan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak. Data laporan di Polres Salatiga terhadap masalah kekerasan seksual anak di bawah umur dijelaskan bahwa dari 6 korban tindak kekerasan berkisar antara usia 0-17 tahun. Oleh sebab itu, kekerasan seksual yang terjadi memberikan dampak signifikan terhadap anak untuk perkembangan dan cita-cita pada masa mendatang. Dampak kekerasan terhadap anak ini berupa, trauma atau ketakutan yang mendalam, menutup diri dari lingkungan tempat tinggal karena beban yang dialami serta dampak-dampak lain akibat kekerasan seksual yang dialami oleh korban. Langkah-langkah dalam mencermati isu kasus kekerasan seksual terhadap anak setidaknya memerlukan penyelenggaraan nyata untuk mengatasi dan mencegah perilaku menyimpang dari masyarakat. Diantaranya perlu di galakkan program aksi perlindungan terhadap anak, baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat luas secara keseluruhan. Upaya hukum ditingkatkan dengan memberikan sanksi kepada para pelaku tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur serta adanya pemantauan dan monitoring dari lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Tindak kekerasan pada anak merupakan tindakan yang menimbulkan rasa sakit secara fisik dan psikologis serta membuat anak merasa tidak nyaman (trauama berlebihan). Besar kecilnya luka yang dialami anak tergantung pada kapasitas tindak kekerasan pelaku terhadap karakteristik anak di bawah umur.101 Selanjutnya advokasi penanggulangan kekerasan terhadap anak di bawah umur perlu disadari bahwa arah kebijakan yang ambil harus mengutamakan kepentingan terbaik korban. Adapun langkah yang diambil Polres Salatiga terhadap permasalahan kekerasan terhadap anak adalah sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk perlindungan sementara yang diberikan pada pihak korban a. memeriksa saksi b. melakukan visum kepada korban c. mencari barang bukti d. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman pada korban dan e. melakukan penangkapan pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. 2. Pemberian sanksi hukum pelanggaran sementara kepada pelaku 3. Membuat berita acara pemeriksaan 4. Melimpahkan perkara kepada kejaksaan yang selanjutnya diproses dalam sidang pengadilan.102 Sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam memberikan perlindunngan khusus bagi anak yang tereksploitasi secara ekonomi maupun seksuual merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan Polres Salatiga secara khusus 101 Majalah Insipred Kids, Jangan Mudah Menyakiti Anak, PT. Tiga Visi Utama, Jakarta, 10 Maret 2006, hlm. 36 102 Wawancara dengan ibu Peni Esti pada hari-tanggal Rabu tanggal 17 Januari 2007 di Polres Salatiga untuk menanganinya. Peran perlindungan terhadap anak dalam temuan di Polres Salatiga adalah sebagai berikut : 1. Penyebarluasan dan sosialisasi tentang ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak yang berkaitan dengan perlindungan kekerasan seksual yang dialami oleh anak di bawah umur. Dalam hal ini Polres Salatiga bekerja sama dengan PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) yang dibentuk oleh Polres Salatiga. 2. Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi. 3. Melibatkan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dalam program penghapusan eksploitasi terhadap anak baik secara ekonomi maupun seksual. Dalam hal ini Polres Salatiga bekerja sama dengan LASKAR, YMCA, PSW STAIN Salatiga dan Pusat Studi Gender UKS Salatiga. Penelitian tentang perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga tahun 2004-2006 di atas dapat diketahui bahwa perlindungan yang diberikan kepada korban adalah menerima laporan korban tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur sehingga sudah sesuai dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002. Selanjutnya kepolisian wajib melakukan penyidikan setelah menerima laporan tentang terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Aspek perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual merupakan usaha atau kegiatan bersama yang bertujuan untuk mengusahakan pemenuhan hak anak dalam menjamin kemerdekaan hak asasinya. Usaha perlindungan anak akibat kekerasan seksual menekankan pamahaman terhadap penegakan peraturan yang sudah ada dengan melibatkan unsur kepentingan bersama dan usaha bersama. Oleh karena itu, masalah perlindungan anak korban kekerasan seksual mencakup aspek perlindungan hak asasi anak dan kebebasan anak pada tahap perkembanganya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan alat hukum yang mampu untuk melindungi anak dalam berbagai tindak pidana khususnya kekerasan seksual terhadap anak. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa kekerasan seksual terhaap anak merupakan tindak pidana sehingga pelaku dapat diajukan ke kepolisian atas pendampingan pihak terkait. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak Pasal 3 dinyatakan bahwa, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Maksud perlindungan kekerasan terhadap anak di atas terhadap kasus kekerasan seksual anak diperjelas dalam Pasal 69 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang meliputi kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual. Permasalahan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Bab XII tentang ketentuan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Diantara implementasi perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual dalam Pasal Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut yaitu : Pertama, Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan perlindungan terhadap anak dalam situasi tereksploitasi secara ekonomi, seksual maupun anak yang diperdagangkan, pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus. Kedua, Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan maupun dengan ancaman kekerasan, memaksa dengan tipu muslihat dan serangkaian kebohongan serta membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidan maksimal 15 tahun dan serendah-rendahnya 3 tahun kurungan penjara. BAB V PENUTUP Dari uraian yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, terutama dari Bab I sampai Bab IV tentang perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Polres Salatiga, pada akhirnya penulis sampaikan kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut : A. Kesimpulan 1. Kekerasan seksual terhadap anak adalah tindak kejahatan kemanusiaan khususnya perampasan hak asasi manusia (HAM) yang menimbulkan rasa sakit baik fisik maupun psikologis. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan perilaku menyimpang yang terjadi dalam masyarakat, adapun kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Polres Salatiga adalah pemerkosaan anak dibawah umur, pencabulan terhadap di bawah umur dan perbuatan yang mengarah pada eksploitasi seksual anak di bawah umur. Di Polres Salatiga kekerasan terhadap anak di bawah umur dalam realitas yang ada sering dipengaruhi oleh faktor gangguan jiwa pelaku yang tidak stabil, kurangnya pengawasan dan pemantauan orang tua terhadap anak, rendahnya tingkat keasadaran hukum, kondisi ekonomi dan sosial yang semakin berubah dalam masyarakat. 2. Penelitian terhadap korban kekerasan seksual anak di bawah umur secara mayoritas kebanyakan korban menderita : a. Korban sering menyendiri dan menutup dari lingkunganya. b. Korban mengalami luka pada alat vital (kelamin). c. Datang bulan tidak teratur yang dialami oleh korban. d. Trauma seksual, yang terjadi terhadap korban. e. Hamil di luar tanggung jawab. f. Depresi, hal ini dialami oleh rata-rata korban kekerasan seksual anak di bawah umur. g. Ketakutan yang berlebihan dalam hal ini korban. 3. Peran serta Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual anak di bawah umur adalah bersifat menunggu adanya laporan dari korban. Polres Salatiga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual seperti : menerima laporan korban, memberikan konseling terhadap anak korban kekerasan seksual serta memberikan pengayoman dan pendampingan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual. 4. Ketentuan saksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual anak di bawah umur sangat penting dalam mencegah dan mengurangi kasus-kasus yang sering terjadi. P erlindungan hukum terhadap anak di polres Salatiga telah sesuai denganUndang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 81 UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa setiap orang dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan anak dibawah umur, baik dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan dipidana penjara maksimal 15 tahun dan serendah-rendahnya 3 tahun. Kemudian Pasal 82 disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja melakukan tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan disertai tipu muslihat, kebohongan, untuk melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, pelaku diancam pidana penajara maksimal 15 tahun dan serendah-rendahnya 3 tahun. B. Saran-saran 1. Polres Salatiga dalam menegakkan upaya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual anak di bawah umur adalah bersifat menunggu adanya laporan korban, maka untuk menekan angka kriminalitas terutama tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur Polres Salatiga harus melakukan upaya preventif dengan cara sosialisasai pentingya melindungi anak dari bahaya tindak kekerasan. 2. Polres Salatiga harus meningkatkan peran serta terhadap upaya perlindungan terhadap anak terutama dalam hal bimbingan pemahaman kesadaran hukum kepada masyarakat serta memberi informasi tentang motif-motif tindak kekerasan seksual terhadap anak. 3. Dari data penyelesaian kasus di Polres Salatiga menunjukkan minimnya penanganan terhadap korban. Korban tidak menerima kepastian hukum dan proses hukum pasti. Untuk meyakinkan kepada masyarakat Polres Salatiga harus meningkatkan mutu pelayanan dan penyelesaian laporan kekerasan seksual anak di bawah umur. 4. Terhadap orang tua korban setidaknya peran pengawasan terhadap anak harus lebih ditingkatkan untuk berperan aktif dalam melindungi anak dari tindak kekerasan sedini mungkin dan berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bina Aksara, Jakarta, 1987. Atmasasmita, Romli, et.al., Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997. Baker, Anton, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta. Data acuan pelaksanaan monitoring dan pelayanan terpadu bagi korban kekerasan di wilayah Kota Salatiga Data dari Polres Salatiga yang dipadukan dengan wawancara kepada korban kekerasan seksual anak di bawah umur tahun 2004-2006 di Polres Salatiga Data kekerasan terhadap anak di bawah umur tahun 2004-2006 Kepolisian Daerah Jawa Tengah Resort Salatiga Dellyana, Santy, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988. Diah Anjar Yanit, Mieke, dkk., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan, Bapenas, Propinsi Jateng, 2006. Gautama, Candra, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2000, Hlm. 53 Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1989. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yayasan Penelitian Fakultas UGM, Yogyakarta, 1981. Hasan Wadong, Maulana, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000. Hendry, Eka, Monopoli Tafsir Kebenaran Wacana Keagamaan Kritis dan Kekerasan Kemanusiaan, Persadar Press, Kalimantan, cet. I Maret 2003. Hurairah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Krisis di Indonesia, Nuansa, Bandung, cet. I, Juli 2006. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Jakarta, cet. II, 2006. Joni, Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Prespektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999. M. Amirin, Tatang, Menyusun Rencana Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1986. M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Majalah Insipred Kids, Jangan Mudah Menyakiti Anak, PT. Tiga Visi Utama, Jakarta, 10 Maret 2006. Marsana Windu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999. Mom, Tabloid and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang Terdekat, PT. Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007. Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media, (Anggota IKAPI), Papringan, 2006. Nashir, Haidar, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. II Juni 1999. Poerwandari, E. Kristi, Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia, Kepustakaan Eja Insani, Bandung, cet. I November 2004. Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. R. Soebekti, R. Tjitosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pramadya Paramita, Jakarta, 1999. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentar Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996. SantosThomas, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. 1 Maret 2002. Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Bandung, 1990. Singarimbun, Irawati, Teknik Wawancara, Masri Singarimbun, Sofiana Efendi, Metodologi Penelitian Survei, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta, cet. 1 Januari 1999. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Yogyakarta, 1986. Suara Merdeka, Juni 1999. Sudiarti Luhulima, Achie, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Kelompok Kerja, Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Surachmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito, Bandung, cet. II 1985. Tabloid Mom and Kiddie, Awas Pelaku Kekerasan Adalah Orang-orang Terdekat, PT. Pramata Komunikasi Massa, Jakarta, 21 Mei 2007 Umar Sa’abah, Marzuki, Perilaku Seks Menyimpang Kontemporer Umat Islam, UII Press, Yogyakarta. dan Seksualitas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak W. Kusuma, Mulyana, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. I September 1982. Wahid, Abdurrahman, Islam Tanpa Kekerasan, Yogyakarta, 1998, LKS Yogyakarta. Instrumen daftar pertanyaan penelitian di Polres Salatiga 1. Sejauhmanakah peran Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual ? 2. Ada berapakah laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2004-2006 ? 3. Dalam bentuk apakah pelindungan hukum yang diberikan terhadap anak korban kekerasan seksual ? 4. Apakah di Polres Salatiga ada alternatif untuk mengurangi tindak pelanggaran kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ? 5. Sanksi apa yang diberikan kepada pelaku tindak kekerasan seksual anak di bawah umur ? Sejauhmanakah kekuatan hukumnya terhadap pelaku tindak kekerasan seksual anak di bawah umur ? Sanksi tegas apakah jika dalam masyarakat tindak kekerasan seksual tehadap anak semakin meningkat ? Dasar hukum apakah yang diterapkan untuk pelaku tindak kekerasan seksual anak di bawah umur ? 6. Seperti apakah langkah konkrit Polres Salatiga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual ? 7. Apakah ada alternatif atau jalan lain yang ditempuh untuk membuat para pelaku tidak mengulangi dan jera terhadap perbuatanya ? 8. Apakah Polres Salatiga telah menegakkan upaya perlindungan anak korban kekerasan seksual ? Bagaimanakah langkah/tindakan Polres Salatiga dengan diundangkanya UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ? Bagaimanakah aplikasi penerapan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikaitkan dengan penerapan hukum yang ada di Polres Salatiga ? Instrumen Daftar Pertanyaan Terhadap anak Korban Kekerasan Seksual A. Tahap pertama perkenalan dengan korban, keluarga korban serta pihak lain yang mengetahui atau kenal dengan korban 1. Nama anda siapa ? 2. Siapakah nama bapak/ibu anda ? 3. Bekerja dimana bapak/ibu anda ? 4. Bagaimana kabar bapak/ibu anda ? 5. Apakah anda masih sekolah atau tidak ? 6. Umur anda berapa ? 7. Kesibukan sehari-hari selain disekolah apa ? 8. Pelajaran apakah yang anda sukai di sekolah ? 9. Hobby apa yang anda sukai ? 10. Apakah anda mempunyai teman akrab untuk bermain ? 11. Siapakah teman anda bermain di rumah ? 12. Apa yang anda tidak sukai dalam keseharian anda ? B. Tahap kedua masuk pada inti permasalahan atau kejadian yang dialami korban 1. Apakah anda pernah mempunyai perasaan yang mungkin bagi anda sangat menakutkan sekali ? Ketakutan seperti apakah yang anda alami ? Bagaimana anda menghilangkan ketakutan yang anda alami ? Bagaimana pengaruh ketakutan tersebut dalam hidup anda ? 2. Bagaimanakah cerita atau kejadian yang membuat anda takut ? 3. Siapakah yang membuat anda mengalami ketakutan dalam hidup anda ? 4. Bagaimana perasaan anda terhadap kejadian yang anda alami ? 5. Apakah anda sangat membenci orang yang membuat anda takut dan trauma ? 6. Sekarang dimanakah orang yang membuat anda ketakutan dan trauma ? Apakah masih mempunyai hubungan saudara dengan anda ? Ataukah anda sudah mengenal pelaku sebelumya ? Dimana anda kenal ? 7. Apakah anda langsung melaporkan kejadian yang anda alami ? Kepada siapakah pertama kali anda melaporkan kejadian yang anda alami? Apakah sampai saat ini juga kejadian yang anda alami sudah terselesaikan?