KEJADIAN MASUK RUMAH SAKIT ATAU PUSKESMAS AKIBAT

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) adalah obat yang berkhasiat
analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Di Indonesia, akses masyarakat untuk
menggunakan NSAIDs didukung regulasi pemerintah dalam penggolongan obat,
seperti obat wajib apotek: diklofenak dan piroksikam (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1999), obat bebas terbatas: ibuprofen (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1993), dan obat bebas: aspirin (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2006). Prevalensi penyakit sendi yang membutuhkan
pengobatan analgesik seumur hidup (van Laar et al., 2012) adalah sebesar 24,7%
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sementara itu, penggunaan
harian aspirin dosis rendah diindikasikan sebagai antikoagulan untuk pencegahan
serangan jantung dan stroke (FDA, 2016). Pada tahun 2015, penggunaan NSAIDs
di Jawa Tengah dengan jumlah penduduk 33.774.141 adalah sebagai berikut:
metampiron, tablet 500 mg: 19.352.092; aspirin, tablet 100 mg: 152.692 dan tablet
500 mg: 3.498; ibuprofen, tablet 200 mg: 3.128.762 dan tablet 400 mg: 3.664.645
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015). Melihat cukup tingginya tingkat
penggunaan NSAIDs di masyarakat, diperlukan perhatian khusus pada keamanan
obatnya. Penggunaan aspirin dan ibuprofen jangka panjang menyebabkan ulkus
1
2
peptikum (FDA, 2007; National Digestive Diseases Information Clearinghouse,
2014) atau penyakit ginjal kronis (Plantinga et al., 2011).
Efek samping obat, adverse drug reaction (ADR), adalah respon yang terjadi
pada dosis penggunaan yang sesuai namun berefek merugikan, maka diperlukan
pengawasan untuk menjamin keselamatan pasien. Di Indonesia, peran regulasi ini
dipegang oleh Pusat MESO Nasional, bagian dari Direktorat Pengawasan
Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI
(Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT, 2012).
Pengawasan efek samping obat merupakan bagian dari farmakovigilans,
karena dengannya banyak kejadian efek samping obat dapat dicegah seperti yang
terungkap dalam riset-riset farmakovigilans. Penelitian di Belanda oleh
Leendertse et al. (2008) menunjukkan, hampir separuh dari angka kejadian tak
diinginkan akibat penggunaan obat dapat dicegah. Penelitian lain menunjukkan
bahwa sebanyak 32,0% dari total kejadian ADR dapat dicegah (Bénard-Laribière
et al., 2015) dan kejadian masuk rumah sakit akibat NSAIDs juga dapat dicegah
(Howard et al., 2007). Pencegahan ADR penting untuk menghindari pengeluaran
biaya dan penurunan kualitas hidup yang tidak perlu. ADR menambah waktu
rawat inap sebesar 1,91 hari (Commission of The European Communities, 2008),
penanganannya dapat menghabiskan biaya US$ 2262 untuk tiap ADR (Classen et
al., 1997), dan NSAIDs termasuk penyebab utama pengeluaran biaya terkait ADR
(White et al., 1999).
3
Di Indonesia, pelaporan ADR ke Pusat MESO Nasional masih bersifat
sukarela sehingga belum dapat terpeta dengan baik. Pendataan baru sebatas pada
penggunaan obat, seperti dalam Profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2015
di mana penggunaan metampiron, aspirin, dan ibuprofen cukup tinggi. Kota
Surakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Jawa Tengah yakni 11.633,14
per km2 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015) sehingga ada
kemungkinan bahwa penggunaan NSAIDs di Kota Surakarta juga tinggi.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu menyediakan data mengenai prevalensi
dan profil penggunaan NSAIDs yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya
gangguan gastrointestinal dan gangguan ginjal. Dengan demikian, penelitian ini
turut terlibat dalam farmakovigilans di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi penggunaan NSAIDs pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal dan gangguan ginjal di Kota Surakarta?
2. Bagaimana profil penggunaan NSAIDs yang meliputi jenis, dosis harian,
waktu penggunaan, paparan obat, dan demografi pada pasien dengan
gangguan gastrointestinal dan gangguan ginjal di Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
prevalensi
penggunaan
NSAIDs
pada
pasien
yang
terdiagnosis gangguan gastrointestinal dan gangguan ginjal di rumah sakit
dan puskesmas di Kota Surakarta.
4
2. Mengetahui profil penggunaan NSAIDs yang meliputi jenis, dosis harian,
waktu penggunaan, paparan obat, dan demografi pada pasien yang
terdiagnosis gangguan gastrointestinal dan gangguan ginjal di rumah sakit
dan puskesmas di Kota Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah
Penelitian ini turut mendukung penyediaan data terkait kegiatan
farmakovigilans di Indonesia khususnya dalam penggunaan NSAIDs.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota dan Provinsi
Penelitian ini dapat menyediakan data berupa penggunaan NSAIDs di
Surakarta sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pengadaan dan
distribusi obat.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian akan meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya
keamanan dalam penggunaan NSAIDs oleh masyarakat secara khusus dan
turut meningkatkan kesehatan masyarakat secara umum.
4. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendahulu dalam penyediaan data
untuk farmakovigilans di Indonesia, juga dapat mendorong peneliti lain
untuk merekam gambaran dan analisis kausalitas kejadian pasien masuk
rumah sakit dan puskesmas akibat adverse drug reaction.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Farmakovigilans dan Adverse Drug Reaction
a. Definisi dan Ruang Lingkup Farmakovigilans
Ilmu dan aktivitas untuk mendeteksi, menilai, memahami, hingga
mencegah reaksi yang tidak diinginkan dari suatu obat disebut
farmakovigilans (WHO, 2006). Reaksi ini dapat berupa adverse drug
reaction, yang didefinisikan sebagai suatu respon terhadap obat yang
tidak diinginkan yang terjadi pada penggunaan dengan dosis normal
(WHO, 1975). ADR juga dapat terjadi akibat penggunaan obat di luar apa
yang dicantumkan pihak yang memiliki hak penjualan seperti indikasi offlabel, overdosis, penyalahgunaan obat, serta medication errors (European
Medicines Agency, 2014). Food and Drug Administration (FDA)
menyebutkan kejadian hospitalisasi atau berobatnya pasien ke rumah
sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap, sebagai salah satu akibat dari
serious adverse event (Kessler, 1993).
Ada dua jenis ADR, yakni tipe A dan tipe B. ADR tipe A paling
sering terjadi, dapat dialami oleh 25-45% pasien, dan berkaitan dengan
sifat farmakologi obat sehingga reaksinya bergantung pada dosis atau
disebut juga dose-related; dan karenanya lebih memungkinkan untuk
diprediksi dan dicegah dibandingkan ADR tipe B yang hanya timbul pada
individu-individu yang memiliki faktor risiko (Moore, 2001; Srinivasan
& Ramya, 2011).
6
b. Pelaporan dan Pengawasan ADR
Pelaporan ADR suatu obat akan menentukan berhasil atau tidaknya
farmakovigilans. Beberapa cara pelaporan ADR antara lain:
1) Laporan spontan oleh tenaga profesional kesehatan maupun
industri farmasi kepada pusat farmakovigilans nasional.
2) Metode lain seperti case-control study, record linkage, dan
prescription event monitoring.
3) Pusat farmakovigilans nasional.
4) WHO Programme for International Drug Monitoring.
(WHO, 2006)
c. Penilaian Kausalitas
Dalam kejadian ADR adalah penting untuk menilai ada atau
tidaknya hubungan kausal (sebab-akibat) antara obat yang dicurigai
dengan kejadian tersebut (Naranjo et al., 1981). Hal ini dikarenakan,
terkadang sulit untuk membedakan manifestasi klinis yang tidak spesifik
timbul oleh obat atau oleh penyakit; faktor-faktor di luar obat juga
berpengaruh (Kramer et al., 1979; Naranjo et al., 1981).
2. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs)
a. Definisi dan Indikasi NSAIDs
NSAIDs (nonsteroidal antiinflammatory drugs) adalah obat-obatan
yang bekerja mengatasi nyeri dengan menghambat sintesis prostaglandin
dan memiliki efek analgesik-antipiretik serta antiinflamasi pada dosis
7
tinggi (Neal, 2002). Secara kimiawi, NSAIDs merupakan asam organik
dengan pKa rendah sehingga akan terakumulasi di daerah inflamasi (IRA,
2014). NSAIDs diindikasikan untuk pengobatan nyeri, inflamasi, serta
berbagai jenis artritis (FDA, 2007). Kadang diperlukan penggunaan
jangka panjang, seperti pada penderita osteoartritis dan artritis reumatoid
yang memerlukan pengobatan analgesik seumur hidup (van Laar et al.,
2012) atau untuk pencegahan stroke dengan aspirin (FDA, 2016).
Kebanyakan NSAIDs diabsorpsi di saluran gastrointestinal;
sebanyak 90% membentuk ikatan dengan protein plasma dan sisanya
merupakan obat aktif yang tidak terikat. Bila terjadi saturasi protein
plasma, kadar obat aktif dapat meningkat dengan cepat (IRA, 2014).
Di Indonesia, akses masyarakat untuk menggunakan NSAIDs
cukup mudah dengan adanya peraturan perundang-undangan. Beberapa
NSAIDs seperti natrium diklofenak dan piroksikam termasuk dalam
daftar obat wajib apotek, yakni obat-obatan golongan keras (obat Daftar
G, gevaarlijk, berbahaya) yang dapat dibeli tanpa resep dokter
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1999). Ibuprofen yang juga
merupakan NSAIDs termasuk golongan obat bebas terbatas (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1993) dan aspirin termasuk golongan obat
bebas (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
sebanyak 35,2% rumah tangga Indonesia menyimpan obat untuk tujuan
swamedikasi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
8
b. Klasifikasi NSAIDs
Berdasarkan
Rekomendasi
Perhimpunan
Reumatologi
Indonesia tentang Obat Anti Inflamasi Non Steroid oleh IRA—
Indonesian
Rheumatism
Association
(2014),
klasifikasi
NSAIDs
didasarkan pada struktur kimia, waktu paruh obat dalam plasma, dan
selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2.
1) Aspirin
Aspirin (asam asetil salisilat) cepat diabsorpsi dan terhidrolisis
menjadi asam salisilat yang adalah penghambat nonselektif
siklooksigenase dan asam asetat. Sebagian salisilat diabsorpsi
cepat di lambung dalam bentuk utuh dan sisanya di usus halus
bagian atas pada pemberian oral (Ganiswarna et al., 1995), dan
jalur ekskresi melalui ginjal. Ada tiga tingkat dosis: dosis rendah
(<300 mg/hari) untuk mencegah agregasi trombosit; dosis sedang
(300-2400 mg/hari), antipiretik dan analgesik; serta dosis tinggi
2400-4000 (mg/hari), berefek antiinflamasi (Trevor et al., 2008).
2) NSAIDs nonselektif (Trevor et al., 2008)
Ibuprofen
dan
naproxen
memiliki
efektivitas
menengah;
indometasin lebih berefek antiinflamasi; dan ketorolak lebih kuat
potensinya sebagai analgesik. Naproxen dan piroxicam dapat
digunakan dengan frekuensi rendah karena waktu paruhnya lebih
panjang (12-24 jam). Seperti aspirin, NSAIDs nonselektif cepat
diabsorpsi setelah pemberian oral dan diekskresikan lewat ginjal.
9
3) COX-2-selective inhibitor (Trevor et al., 2008)
Merupakan NSAIDs golongan baru dengan efek samping lebih
ringan terhadap gastrointestinal daripada aspirin dan NSAIDs
nonselektif. Meski demikian, insidensi timbulnya trombosis juga
lebih tinggi daripada aspirin maupun NSAIDs nonselektif.
Tabel I. Klasifikasi NSAIDs
Obat
Waktu Kadar Waktu Paruh
Puncak (jam)
(jam)
Salisilat
Aspirin
0,5-1
Diflunisal
2-3
Asam Asetat
Indometasin
1,5
Sulindac
8
Etodolac
1
Asam Antranilat
Asam mefenamat
2-4
Sulfonanilida
Nimelsulide
1-3
Asam Asetat Heteroaril
Diklofenak
2-3
Ketorolak
0,5-1
Asam Arilpropionat
Ibuprofen
1-2
Naproxen
2
Ketoprofen
1-2
Asam Enolat
Piroxicam
3-5
Meloxicam
5-10
Alkanone
Nabumetone
4-5
Coxib
Celecoxib
2-3
Etoricoxib
2-3
Selektivitas terhadap
COX
0,3
12
COX 1 = COX 2
tad
2,5
13
7
COX 1 > COX 2
tad
COX 2 > COX 1
3-4
tad
2-5
COX 2 >> COX 1
1-2
5
COX 2 >> COX 1
tad
2
14
2
COX 1 > COX 2
COX 1 > COX 2
tad
45-50
15-20
COX 1 > COX 2
COX 2 > COX 1
24
COX 1 = COX 2
11
15-22
COX 2 >> COX 1
COX 2 >> COX 1
tad = tidak ada data
Sumber: Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia tentang Obat Anti Inflamasi
Non Steroid (IRA, 2014)
10
c. Efek Samping NSAIDs
Efek samping NSAIDs yang paling sering timbul adalah gangguan
gastrointestinal, antara lain perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus
atau perforasi dan obstruksi serta dispepsia. Di Amerika Serikat, terdapat
sekitar 100.000 kasus ulkus peptikum akibat penggunaan NSAIDs setiap
tahunnya dan sebanyak 10.000-15.000 dari kasus tersebut menyebabkan
kematian. Hal ini berhubungan dengan sifat kimia obat yang relatif asam
dan mekanisme kerjanya secara sistemik yang memengaruhi sekresi
mukus, bikarbonat, dan prostaglandin (IRA, 2014). Aspirin pada
pemberian dosis besar atau penggunaan kronis dapat menyebabkan
perdarahan lambung yang berat (Ganiswarna et al., 1995). NSAIDs
nonselektif juga memiliki efek samping terhadap gastrointestinal, namun
dengan insidensi lebih rendah daripada aspirin (Trevor et al., 2008).
Beberapa
NSAIDs
bekerja
dengan
menghambat
sintesis
prostaglandin yaitu PGE2 dan PGI2, padahal senyawa ini berfungsi
menghambat sekresi asam lambung, meningkatkan aliran darah melalui
mukosa lambung, dan memiliki sifat sitoprotektif. Penghambatan sintesis
prostaglandin akan menurunkan pertahanan mukosa lambung sehingga
rawan terjadi ulkus. Pemberian misoprostol, analog prostaglandin, dapat
digunakan
sebagai
pencegahan
pada
pasien
yang
tidak
dapat
menghentikan penggunaan NSAIDs (Neal, 2002).
Risiko timbulnya efek samping ini dapat meningkat pada
penggunaan bersamaan dengan kortikosteroid/antikoagulan; penggunaan
11
jangka panjang; penggunaan dosis tinggi; riwayat gangguan pencernaan
sebelumnya; merokok; konsumsi alkohol; usia lanjut, lebih dari 60 tahun;
status kesehatan yang kurang baik atau adanya riwayat penyakit berat
(Castellsague et al., 2012; FDA, 2007; IRA, 2014; Lanza et al., 2009).
Selain itu, menurut suatu Systematic Review and Meta-Analysis of
Observational Studies (SOS Project), terdapat variasi komplikasi
pencernaan akibat NSAIDs yakni relative risk <2 untuk ibuprofen dan
celecoxib; 2-4 untuk meloxicam, nimesulide, sulindac, diklofenak, dan
ketoprofen; 4-5 untuk tenoxicam, naproxen, diflunisal, dan indometasin;
>5 untuk piroxicam, azapropazone, dan ketorolak (Sostres et al., 2013).
Efek samping NSAIDs lainnya yang cukup umum adalah
nefrotoksisitas, yakni nefritis interstisial dan hiperkalemia. Sebanyak
5,0% populasi penduduk Amerika Serikat yang menggunakan NSAIDs
setiap hari selama 30 hari atau lebih mengalami penyakit ginjal kronis
dengan tingkat keparahan menengah hingga berat (Plantinga et al., 2011).
Hal ini dikarenakan prostaglandin, PGE2 dan PGI2 yang disintesis di
ginjal berfungsi sebagai vasodilator yang mengatur aliran darah ginjal
(renal blood flow) dan ekskresi garam serta air. Penurunan aliran darah
ginjal dapat menurunkan sintesis prostaglandin (Clive & Stoff, 1984).
Celecoxib, rofecoxib, dan valdecoxib memiliki risiko terhadap ginjal
sama besar dengan NSAIDs nonselektif dan penggunaan ketorolak lebih
dari 72 jam tidak diperbolehkan sehubungan dengan meningkatnya risiko
kerusakan ginjal dan gastrointestinal (Trevor et al., 2008).
12
Efek samping NSAIDs yang lebih jarang adalah bronkospasme
yang dapat terjadi pada pasien yang memiliki penyakit asma atau alergi
lainnya (Neal, 2002). Penggunaan aspirin secara oral juga berhubungan
dengan Reye’s syndrome yang meliputi gejala ensefalopati dan hepar
berlemak pada anak yang terinfeksi virus (Parfitt et al., 1999).
FDA telah menyusun dan mempublikasikan pedoman pengobatan
dengan NSAIDs, yang di antaranya mengandung informasi tentang
penggunaan NSAIDs. Obat-obatan ini hanya digunakan:
1) dengan tepat sesuai yang diresepkan,
2) pada dosis terendah yang mungkin, dan
3) pada waktu paling singkat sesuai kebutuhan.
(FDA, 2007)
3. Gangguan Gastrointestinal dan Gangguan Ginjal akibat NSAIDs
a. Dispepsia
Definisi dispepsia berkembang seiring waktu, namun secara umum
gejalanya meliputi nyeri ulu hati, heartburn, mual, muntah, bloating, dan
anoreksia. Patogenesis dispepsia dengan NSAIDs belum terlalu jelas,
namun esofagitis erosif yang diinduksi NSAIDs mungkin menjadi salah
satu faktor yang terlibat (Straus et al., 2002; Yap & Goh, 2015). Kalium
klorida, kuinidin, zat besi, dan alendronat (bifosfonat) merupakan iritan
terhadap mukosa esofagus selain aspirin dan NSAIDs lainnya. Sementara
antikolinergik, barbiturat, kafein, calcium channel blockers golongan
13
dihidropiridin (amlodipin, nifedipin), dopamin, estrogen, progesteron,
etanol, nikotin, nitrat, tetrasiklin, dan teofilin dapat menurunkan tekanan
lower
esophageal
sphincter
(LES)
yang
menimbulkan
gejala
gastroesophageal reflux disease (Wells et al., 2015). Penggunaan proton
pump inhibitors (PPI) dan obat-obatan antiulkus juga dapat menjadi
penyebab gangguan pencernaan (Castellsague et al., 2012).
b. Gastritis
Terdapat dua kategori gastritis, yakni gastritis erosif (termasuk
erosi perdarahan) dan nonerosif (yang biasanya disebabkan oleh infeksi
H. pylori). Selain NSAIDs, gastritis erosif dapat disebabkan oleh
konsumsi alkohol dan kokain, stres, radiasi, dan iskemia (Wehbi, 2016).
c. Ulkus peptikum
Gejala utama pada peptic ulcer disease adalah nyeri perut yang
dapat disebabkan oleh infeksi H. pylori maupun akibat penggunaan
NSAIDs. Penggunaan NSAIDs bersama kortikosteroid meningkatkan
risiko terkena ulkus peptikum dua kali lipat dibandingkan dengan
penggunaan kortikosteroid saja. Risiko juga meningkat pada perokok dan
bersifat proporsional dengan jumlah rokok per hari (Wells et al., 2015).
d. Gangguan ginjal akut (acute kidney injury)
Pasien dengan acute kidney injury (AKI) menunjukkan penurunan
mendadak fungsi ginjal yang berhubungan dengan parameter kreatinin
dalam serum (Scr), blood urea nitrogen, dan luaran urin. Dari berbagai
14
klasifikasi yang didasarkan pada etiologinya, AKI yang disebabkan oleh
penggunaan NSAIDs adalah functional prerenal AKI dan acute
interstitial nephritis meskipun juga dapat disebabkan obat lainnya.
Misalnya
antihipertensi
Angiotensin-converting
enzyme
inhibitors
(kaptopril, lisinopril, imidapril, ramipril) dan Angiotensin II receptor
blockers (kandesartan, valsartan) yang dapat menyebabkan functional
prerenal AKI maupun beberapa antibiotik yang dapat menyebabkan
acute interstitial nephritis. Antibiotik aminoglikosida bahkan bersifat
nefrotoksik sinergis dengan NSAIDs. Antikolinergik dan obat-obatan
nefrotoksik seperti neomisin dan lorazepam maupun penyakit lain seperti
hipertensi, benign prostatic hyperplasia, dan batu ginjal juga merupakan
etiologi dari AKI.
(Wells et al., 2015)
e. Gagal ginjal kronis (chronic kidney disease)
Pasien dengan chronic kidney disease (CKD) menunjukkan
abnormalitas dari struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung selama tiga
bulan atau lebih yang oleh Kidney Disease: Improving Global Outcomes
(KDIGO) diklasifikasikan berdasarkan penyebab, parameter glomerular
filtration rate (GFR), dan albuminuria. Beberapa penyakit yang
merupakan penyebabnya disebut faktor inisiasi yang dapat langsung
merusak
ginjal,
antara
lain
diabetes
mellitus,
hipertensi,
glomerulonefritis, dan penyakit ginjal polikistik. Ada pula faktor
kerentanan yang tidak secara langsung merusak ginjal, antara lain usia
15
lanjut, ras dan riwayat penyakit keluarga, inflamasi sistemik, dan
dislipidemia. Selain itu, merokok, obesitas, dan hiperlipidemia disebutkan
merupakan faktor progresi pada CKD.
(Wells et al., 2015).
F. Kerangka Konsep Penelitian
Jenis Kelamin
Pasien
Usia
Pasien
Gangguan
gastrointestinal
Komorbid
dan Riwayat
Penyakit
Riwayat Penggunaan
NSAIDs
Jenis NSAIDs
Dosis Harian
NSAIDs
Gangguan
ginjal
Waktu
Penggunaan
NSAIDs
Paparan
NSAIDs
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
G. Keterangan Empiris
Dari penelitian ini akan diperoleh gambaran prevalensi penggunaan NSAIDs pada
pasien yang terdiagnosis gangguan gastrointestinal dan gangguan ginjal di rumah
sakit dan puskesmas di Kota Surakarta. Selain itu, dapat diketahui juga profil
penggunaan NSAIDs pada pasien tersebut, yang meliputi nama obat, dosis harian,
waktu penggunaan, dan paparan.
Download