Penegakan Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan Sebaiknya Di Luar Pengadilan Terganjal RTRW Senin, 05/05/2014 JAKARTA- Penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan hingga tuntasnyaRencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau danInstruksi Presiden (Inpres) mengenai Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan di Riau yang yang kini drafnya tengah disusun. “Penyelesaian RTRW sebagai dasar pemetaan lahan konsesi perusahaan kehutanan,perkebunan dan lainnya serta percepatan penyelesaian Inpres sebagai payung hukum bagi pemda dan instansi terkait dalam menangani darurat bencana asap di Riau harus menjadiprioritas agar penyelesaian tidak menjadi debat panjang tanpa penyelesaian,” kata Ahli Hukum Lingkungan dan Guru Besar Administrasi Negara Universitas Pajajaran, Daud Silalahi di Jakarta, Sabtu (3/5). Menurut Daud, jika dipaksakan melalui pengadilan akan memakan waktu panjang dan belum tentu memenuhi rasa keadilan. “Hasilnya sangat ditentukan oleh kepiawaian debat pengacara korporasi yang belum tentu memahami persoalan lingkungan dengan baik. Belum lagi persoalan, saksi, alat bukti dan lain-lain yang memakan waktu waktu panjang,” kata Daud. Daud mengingatkan, pengenaan pasal berlapis seperti undang-undang UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, dan Pasal 187 UU Hukum Pidana harus diakomodasi dan harmonisasi. “Tidak bisa Kementerian Lingkungan hidup langsung menvonis sekian puluh perusahaan bersalah hanya dengan mengacu kepada perangkat peraturannya sendiri.” ke depan, imbuh daud, penerapan teknologi ekohidro menjadi sangat penting dalam pengelolaan di kawasan gambut. Pada dasarnya, gambut sulit terbakar karena sifat basah di akarnya. Kebakaran terjadi karena di kanal-kanal terdapat sungai kecil yang dibuat oleh oknum-oknum tertentu untuk mengeringkan gambut dari air sehingga mudah terbakar. “Karena itu penerapan ekohidro seperti yang diterapkan salah satu HTI di Kampar menjadi sangat penting,” kata Daud. Pernyataan senada dikemukakan Ketua Bidang HTI APHI Pusat, Nana Suparna. Nana berpendapat beberapa persoalan mendasarnya seperti penyelesaian RTRW perlu segera dituntaskan karena menyangkut kejelasan hak, tugas dan tanggung jawab para pihak terkait lahan. “Ini berarti pada setiap jengkal lahan harus ada lembaga/kelompok/perorangan yang bertanggung jawab sebagai pengelola di tingkat tapak,” kata Nana. Nana juga menilai perlu adanya harmonisasi peraturan. Pasalnya hukum yang ada saat ini saling tumpang dan tidak berjalan efektif dan konsisten.”Harus segera dicari terobosan untuk mempercepat penyelesaiannya,” ujarnya. Nana mencontohkan, saat ini banyak kondisi status areal kerja IUPHHK tumpang tindih. Saling klaim antara pemerintah dan masyarakat/hukum adat akan mempersulit pengelolaannya, termasuk pencegahan kebakaran. Namundemikian di lain pihak, banyak kawasan hutan eks HPH yang terlantar dan belum ada pengelolanya. “Di satu sisi ada rebutan lahan. Disisi lain sebenarnya banyak eks HPH yang terlantar yang bisa dimanfaatkan.Dengan demikian penegakan hukum atas terjadinya kebakaran di IUPHHK harus benar-benar bisa dibuktikan siapa pelakunya, “ kata dia. Nana menegaskan, tidak selalu kebakaran di IUPHHK disebabkan pemegang Izin. Sebab di hampir semua IUPHHK HT ada persoalan konflik lahan dengan masyarakat, artinya lokasi IUPHHK-HT tidak steril dari kegiatan pihak lain. Nana menilai, penerapan PP No.4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan karhutla sangat lemah karena sebagian peraturan yang mendasarinya sudah dicabut. Mandat PP.4/2001 telah dicabut dengan terbitnya UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, dalam PP.4/2001 sama sekali tidak ada ukuran batas pada tiap parameter yang digunakan. Karena itu, tidak mungkin dapat menentukan kriteria baku kerusakan tanpa acuan ukuran. Sumber: http://www.neraca.co.id/article/41135/Penegakan-hukum-kebakaran-hutandan-lahan-Sebaiknya-Di-Luar-Pengadilan