Mencegah Kebakaran Hutan dengan Pajak 1_0

advertisement
Mencegah Kebakaran Hutan dengan Pajak
Kebakaran hutan Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Pada tahun 2015 ini yang terbesar
sepanjang sejarah kebakaran hutan. Kebakaran hutan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor yaitu
fakto alam dan faktor manusia. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Syaufina pada tahun 2008
disebutkan dalam bukunya bahwa, hampir 99 persen kebakaran hutan di Indonesia disebabkan
perbuatan manusia. Dari persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir semua kebakaran hutan
yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh masyarakat atau perusahaan dalam rangka memanfaatkan
hutan
Pemanfaatan hutan secara besar-besaran di Indonesia terjadi karena perijinan yang mudah dan
berbiaya murah. Ditambah lagi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup masyarakat diperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar.
Membuka lahan dengan cara membakar adalah cara yang paling mudah dan murah. Sehingga cara ini
lebih digemari oleh masyarakat maupun perusahaan.
Retribusi dan pajak yang dibayar oleh pengusaha yang memanfaatkan hutan pun sangat kecil.
Kontribusi yang dibayarkan kepada negara tidak sebanding dengan hasil dan keuntungan yang diperoleh
oleh perusahaan. Berdasarkan laporan riset yang dilkukan oleh Wasef dan Ilyas tahun 2011 tentang
kerugian negara akibat pemanfaatan hutan menyebutkan bahwa terdapat selisih penerimaan negara
termasuk biaya ijin dan setoran pajak dari pemanfaatan hutan negara dengan yang seharusnya diterima
negara sebesar 169.8 triliyun rupiah sejak tahun 2004-2009. Jumlah tersebut belum ditambahkan
potensial loss pendapatan daerah Kalimantan Tengah. Kerugian tersebut dikarenakan jumlah uang
diterima negara hanya sebesar 20% dari asset hutan negara yang dimanfaatkan.
Dalam mengolah hutan seharusnya diperhitungkan efek sampingnya terhadap kerusakan
lingkungan baik secara langsung seperti; berkurangnya mata air, hilangnya keanekaragaman hayati,
kebakaran hutan dan lain-lain, maupun secara tidak langsung sebagai akibat emisi carbon yang
dikeluarkan sebagai efek samping pemanfaatan hutan. Kerugian karena penurunan nilai lingkungan
sampai dengan kerusakan lingkungan tersebut tidak diperhitungkan dalam pemugutan pajak dan
retribusi.
Dalam prinsip ekonomi pegovian atau yang lebih dikenal dengan konsep green economy
menyebutkan bahwa faktor kerusakan lingkungan dalam rangka melakukan kegiatan perekonomian
harus diperhitungkan. Karena kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan perokonomian akan
meng-offset dampak positif pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh pembuatan lahan sawit secara
perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Karena dengan pembukaan lahan
sawit akan membuka lapangan kerja baru, menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar, meningkat
ekspor maupun penjualan lokal dan lain-lain sehingga akan meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto
(PDB). Di sisi negatif, pembukaan lahan sawit akan menurunkan perekonomian akibat dari kerusakan
lingkungan seperti kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan hilangnya keragaman hayati. Sehingg
secara gross, sektor sawit bisa jadi memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah mempunyai peran penting agar sektor pengelolaan hutan seperti
sawit ini tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan PDB. Salah satu intrumen yang bisa
dimainkan yaitu pajak. Pajak mempunyai dua fungsi selain berfungsi sebagai budgeter yaitu mengumpul
uang untuk membiayai pengeluaran negara juga mempunyai fungsi reguler yaitu mengatur agar
efektifitas pembangunan terjaga. Instrumen pajak yang ditetapkan terhadap perusahaan yang
memanfaatkan hutan ini adalah pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak bumi dan
bangunan perkebunan dan pertambangan.
Dalam struktur pajak sekarang baik PPh, PPN maupun PBB P3 tidak memperhitungkan
kerusakan lingkungan, sebagai contoh adalah PBB P3. Dalam struktur PBB P3, Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB P3 hanya terdapat dua unsur perhitungan yaitu nilai area non
produktif yang dihitung dari nilai tanah dan bangunan dan area produktif yang dihitung dengan Standar
Investasi Tanaman (SIT). Dalam SE-SE-149/PJ/2010, SIT adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alat
yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman berumur panjang.
Kerugian lingkungan ditimbulkan dari perkebunan tersebut tidak dimasukan ke dalam unsur perhitungan
PBB P3. Dalam PPh dan PPN juga tidak memasukan unsur kerusakan lingkungan. Padahal unsur
kerusakan lingkungan seharusnya dapat dihitung sebagai faktor tawar negara dalam menentukan pajak.
Untuk menghitung berapa pajak yang seharusnya dibayar oleh perusahaan tersebut memang
sangat sulit karena pemerintah harus mampu mengkuantifikasi berapa sebenarnya kerugian yang
ditanggung negara dari penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan pemanfaatan hutan yang tidak
sustainable. Berdasarkan penelitian dari ilmuwan David Pearce tahun 2001, bahwa hutan tropis
Indonesia sangat berharga secara ekonomis. Dalam jurnalnya yang berjudul How Valuable Are The
Tropical Forests? Demonstrating And Capturing Economic Value As A Means Of Addressing The Causes
Of Deforestation, Pearce menyebutkan bahwa nilai ekonomis hutan tropis dihitung cadangan kayu,
keanekaragaman hayati sampai dengan existence value. Berikut tabel yang menunjukan nilai ekonomis
hutan tropis di Indonesia dalam dolar per hektare per tahun.
Table: Tropical Forest Economic Values ($/ha/pa)
Forest good and service
Value
Condition
Estimation Value
Timber
- Conventional logging
- Sustainable
- Fuelwood
NTPFs
Genetic Information
Recreation
Watershed benefits
Climate benefit
Nonuses Values
Existence values
200-4400
300-2660
40
0-100
0-3000
2-470
15-850
360-2200
n.a
2-12
general, NPV 10%
general, NPV 10%
2300
1480
40
50
206
236
15
1280
0
7
Source: Pearce 2001
General
SEA Area
General
SEA Area
general, NPV 10%
General
Pada tabel di atas nilai hutan tropis Indonesia secara moderat atau rata-rata kurang lebih $
5.614 per hectare per tahun apabila hutan tropis Indonesia di kelola secara sustainable. Beberapa
komponen di atas, seperti watershed benefits, climate benefits, nonuses dan existence values adalah
nilai-nilai karena keberadaan hutan, meskipun hutan tersebut tidak tidak dikelelo. Nilai tersebut dapat
menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran pajak baik PPh, PPN atau PPB P3 yang dikenakan
terhadap perusahaan pengelola hutan.
Selain nilai ekonomis hutan, dapat juga memperhitungkan nilai emisi karbon ke dalam faktor
penentu besarnya pajak. Emisi karbon yang dihasilkan dari pengolahan lahan gambut menjadi lahan
perkebunan juga sangat besar. Pelepasan emisi karbon ke atmosfer sangat berbahaya karena selain
mengakibatkan polusi juga mengakibatkan efek rumah kaca atau Green House Gas (GHG). Belum lagi
resiko terjadi kebakaran yang disebabkan oleh land clearing yang tidak bertanggung jawab. Untuk
kondisi normal atau business as usual pengolahan lahan gambut tanpa pembakaran akan mengeluarkan
emisi karbon 61.5 ton per hectare per tahun (Agus dan Subiaksa, 2008) . Belum lagi apabila land clearing
dengan sistem pembakaran emisi karbon yang dikeluarkan akan berlipat-lipat.
Mengapa kita perlu memperhitungkan emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer dalam sektor
sawit. Karena pasar karbon (carbon market) di Chicago yaitu Chicago Climae Change (CCX) harga per ton
emisi yang berhasil dikonservasi atau dijaga agar tidak terlepas ke udara adalah 3.5 dollar per ton.
Sehingga apabila lahan gambut tersebut dibiarkan saja maka emisi karbon yang didalamnya bernilai
jutaan dolar pada pasar karbon di Chicago.
Selain dua hal di atas, ada satu lagi yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan besarnya
pajak, yaitu emisi gas buang dari pabrikasi pengolahan hasil kebun menjadi produk jadi, seperti tandan
buah segar menjadi CPO, getah karet menjadi karet dan lain-lain. Gas buang pabrik tersebut, selain
dapat menyebabkan polusi udara juga dapat mengakibatkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca dari
pengolahan lahan gambut dan pabrikan ini secara tidak langsung akan meningkatkan level permukaan
air laut karena pencairan es di kedua kutub bumi. Peningkatan permukaan air laut akan mengubur
daerah daerah pertanian, pemukiman bahkan daerah daerah komersial. Semua daerah tersebut bernilai
ekonomis. Berdasarkan laporan Kementerian Kelautan permukaan air laut di Jakarta naik 5 s.d 8
milimiter per tahun. Diperkirakan 25 tahun mendatang sebanyak 2000 kecil yang tenggelam
dikarenakan naiknya permukaan air laut.
Pemikiran singkat dan dangkal di atas mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengambil
langkah penting di tahun mendatang. Pemikiran tersebut masih perlu dikaji lebih banyak dengan
pendekatan-pendekatan yang dapat kita adopsi dari negara-negara maju. Peranan pajak yang berfungsi
sebagai budgeter dan reguler harus kembali dijalankan dengan tepat. Pengelolaan hutan yang tidak
sustainable dan tidak ramah lingkungan seharusnya dikenakan pajak yang lebih besar. Pembayaran
pajak yang lebih besar bukan sekaligus melegalkan perusahan tersebut dalam merusak hutan.
Pengawasan dari instansi terkait sangat diperlukan. Peranan pajak hanya untuk menghitung secara
proposional kerugian negara akibat perusakan lingkungan dalam jangka panjang. Sehingga negara
memnpunyai dana yang cukup untuk melakukan pengawasan, pencegahan dan penanggulangan
bencana akibat kerusakan lingkungan.
Download