Perpajakan dalam Rangka Pengadaan Langsung Oleh

advertisement
Perpajakan dalam Rangka Pengadaan Langsung
Oleh: Mandar Trisno Hadisaputra
Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mulai memperkenalkan istilah
Pengadaan Langsung. Pengadaan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa, tanpa
melalui pelelangan/seleksi/penunjukan langsung. Pengadaan langsung dilaksanakan berdasarkan
harga yang berlaku di pasar kepada penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.
Perpres 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua Perpres 54 tahun 2010 memperjelas bahwa
pemilihan penyedia dengan metode pengadaan langsung dilakukan sebagai berikut :
1. Pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia untuk pengadaan barang/jasa lainnya
yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta pengadaan pekerjaan konstruksi
yang menggunakan kuitansi,
2. Permintaan penawaran yang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi teknis dan harga
kepada penyedia untuk pengadaan langsung yang menggunakan SPK.
Adapun tanda bukti perjanjian terdiri atas :
a. Bukti pembelian, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan
Rp 10 juta.
b. Kuitansi, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp 50 juta.
c. SPK, digunakan untuk pengadaan barang/jasa lainnya/pekerjaan konstruksi yang nilainya
sampai dengan Rp 200 juta dan untuk pekerjaan jasa konsultansi dengan nilai sampai
dengan Rp 50 juta.
d. Surat Perjanjian, digunakan untuk pengadaan barang/jasa lainnya/pekerjaan konstruksi yang
nilainya diatas Rp 200 juta dan untuk pekerjaan jasa konsultansi dengan nilai diatas Rp 50
juta.
Seperti dalam penjelasan diatas, pengadaan langsung dengan menggunakan bukti pembelian dan
kuitansi dilakukan dengan cara pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia barang/jasa
tanpa harus melakukan tahapan-tahapan proses pengadaan seperti mengundang penyedia
memasukkan penawaran dan lain-lain. Pejabat pengadaan satuan kerja atau seseorang yang
ditugaskan dapat langsung melakukan pembelian terkait barang langsung kepada penyedia barang
seperti toko, atau unit usaha lainnya, tentunya dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengadaan.
Ketentuan Pengelolaan Keuangan
Dalam pengelolaan keuangan yang bersumber pada APBN dikenal 2 mekanisme pembayaran APBN,
yaitu mekanisme langsung (LS) dan mekanisme Uang Persediaan (UP). Pembayaran dalam
mekanisme LS dilakukan oleh Bendaharawan Umum Negara (BUN) atau Kuasa BUN (KPPN) kepada
pihak ketiga/penyedia atas tagihan yang diajukan oleh satuan kerja, sedangkan pembayaran dalam
mekanisme UP dilakukan oleh bendahara pengeluaran satker kepada pihak ketiga/penyedia atas
tagihan yang diajukan PPK kepadanya.
Bendahara pengeluaran dapat melakukan pembayaran maksimal untuk pembayaran sampai dengan
Rp 20 juta per kuitansi kepada setiap penyedia barang/jasa. (dalam rancangan Peraturan Menteri
Keuangan yang baru nilainya naik menjadi Rp 50 juta). Tidak tertutup kemungkinan dalam pembelian
atas barang/jasa tersebut terkait dengan pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau
pajak penghasilan (PPh) yang harus dikenakan dan disetor kepada negara. Penyedia atau pengusaha
yang melaksanakan pekerjaan tersebut dapat berupa pengusaha kena pajak (PKP) atau pengusaha
kecil yang bukan PKP.
Pada saat melakukan pembayaran dana APBN, seorang bendaharawan berperan sebagai wajib
pungut pajak atas seluruh transaksi yang dikenakan pajak dan wajib menyetorkan seluruh
penerimaan pajak yang dipungutnya.
Dalam UU Nomor 42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang
PPN dan PPnBM disebutkan bahwa pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang/jasa
kena pajak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. Selain itu
diatur dalam Keppres Noor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dalam pasal 20 ayat
(3) disebutkan bahwa setiap bendaharan, instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD
dan badan-badan lain, sebagai wajib pungut pajak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan bendaharawan pemerintah dan Kuasa BUN (KPPN)
untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003. Pemungutan PPN dimaksud diatas dilakukan pada saat
pembayaran atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak oleh Pengusaha Kena
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah atas nama Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah. Kewenangan memungut dan menyetorkan PPN atas penyerahan barang/jasa kena
pajak tersebut yang dimiliki Bendaharawan Pemerintah lebih diunggulkan dari pada kewenangan
sebagai wajib pungut yang dimiliki oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut. Kewajiban untuk melakukan
pemungutan PPN tersebut diatas oleh bendaharawan pemerintah dalam hal pembayaran yang
jumlahnya diatas Rp 1 juta dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
Kendala di Lapangan
Kegiatan pembelian barang/jasa kena pajak seperti pembelian ATK dan keperluan perkantoran
lainnya atau belanja modal lainnya pada prakteknya dilakukan oleh penyedia yang merupakan
Pengusaha Kena Pajak seperti perusahaan retail besar Carrefour, Hypermart, Indomaret dan
sejenisnya, serta penyedia bukan PKP seperti toko atau unit usaha kecil lainnya.
Kedua jenis penyedia tersebut pada kenyataannya sangat sulit untuk dipungut PPN. Terutama
penyedia PKP yang secara sistem sudah mengenakan PPN pada setiap harga barang. Penyedia PKP,
dalam hal pembayaran/pembelian dilakukan oleh bendaharawan pemerintah karena termasuk
pembelian dalam jumlah kecil menolak untuk dipungut PPN oleh bendaharawan.
Sementara bendahara pengeluaran sebagaimana dimanatkan dalam KMK 563/KMK.03/2003
diamanatkan untuk melakukan pemungutan dan menyetorkan PPN atas pembayaran terhadap
penyerahan barang/jasa kena pajak. Selain itu Kuasa BUN (KPPN) wajib menolak permintaan
pembayaran berikutnya yang diajukan bendaharawan pemerintah baik menggunakan mekanisme LS
maupun mekanisme UP apabila bendahara pengeluaran tidak melakukan ketentuan sebagaimana
diamanatkan dalam peraturan tersebut.
Usulan perubahan regulasi
Melihat kondisi tersebut, kewajiban bendahara pemerintah untuk melakukan pemungutan PPN
mungkin perlu ditinjau ulang. Kewajiban tersebut bisa saja diterapkan untuk pembayaran/pembelian
kepada PKP rekanan pemerintah dengan nilai diatas Rp 50 juta. Sedangkan kewajiban memungut
PPN untuk nilai sampai dengan Rp 50 juta dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan
barang/jasa tersebut.
Bila hal tersebut dilakukan, negara tetap tidak akan kehilangan potensi penerimaan pajak dari PPN,
karena pengusaha kena pajak tersebut memiliki kewajiban yang sama seperti bendaharawan untuk
menyetor dan melaporkannya kepada negara melalui mekanisme penyampaian SPT tahunan dan
SPT masa.
Untuk memberikan dampak positif bagi terlaksana pengelolaan keuangan negara melalui
peningkatan penyerapan anggaran dimana telah diatur beberapa kemudahan dalam mekanisme
pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam perpres 70 tahun 2012, serta adanya
pelimpahan kewenangan administratif beheer sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dari Kementeian Keuangan ke Kementerian Negara/Lembaga
dikaitkan dengan kewajiban KPPN melakukan pengujian atas pemungutan pajak yang dilakukan oleh
bendaharawan pemerintah, maka dipandang perlu bahwa peraturan KMK Nomor 563/KMK.03/2003
terkait kewajiban bendaharawan sebagai wajib pungut ditinjauan kembali untuk dilakukan
perubahan. Sehingga kewajiban bendahara untuk melakukan pemungutan atas PPN terkait dengan
pengadaan langsung beralih kepada PKP rekanan pemerintah.
Sumber Tulisan :
❖ Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan
Jasa dan PPn BM.
❖ Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
❖ Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
563/KMK.03/2003
tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan KPKN
untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN dan PPnBM
atas
Barang
Mewah
beserta
Tata
Cara
Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporannya.
❖ Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas
Beban APBN.
Download