P licy - Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan

advertisement
No.: PB01-4-04-2014
P
f
e
i
Br
licy
EVALUASI SUSUT HASIL
PASCAPANEN PERIKANAN
Pesan utama
1.
Angka susut hasil perikanan 30-40% bukan angka terkini (diacuan sejak 1970-an), dan
metoda yang digunakan untuk evaluasi dak diketahui secara pas serta belum
menggambarkan secara komprehensif sejak ikan ditangkap hingga konsumen.
2. Metoda evaluasi susut hasil QLAM yang digunakan banyak Negara mampu menghasilkan
data susut hasil yang representa f bagi kebijakan dan dapat menghasilkan informasi
tentang pe, frekuensi, dan penyebab susut hasil serta faktor yang mempengaruhinya.
Metoda ini lebih sesuai digunakan untuk monitoring susut hasil secara periodik pada
wilayah yang luas dengan biaya yang dapat dikendalikan.
3. Hasil peneli an Balai Besar Peneli an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan mengindikasikan bahwa total susut hasil yang
selama ini diacu (30 – 40%) adalah over es mate dan angka susut hasil di bawah 30% lebih
realis s. Total susut hasil usaha pengolahan fillet ikan 10,67% (di tempat pelelangan ikan
4,05%, pengolahan fillet 6,62%), pengolahan fillet ikan kuniran mencapai 11,11% (5,80% di
pelelangan, dan 5,31% di UPI).
4 . Rekomendasi:
 Susut hasil perikanan perlu dievaluasi kembali menggunakan QLAM untuk mendapatkan angka terkini dan
dilakukan monitoring secara periodik serta komprehensif sejak ikan ditangkap hingga konsumen. Metoda
QLAM dapat diformalkan dan digunakan untuk evaluasi angka susut hasil perikanan secara nasional dengan
memperhitungkan susut hasil fisik, mutu dan financial sebagai basis perhitungan.
 Perlu dikembangkan sistem monitoring yang komprehensif yang dapat menggambarkan kondisi perikanan
Indonesia yang sangat beragam dengan menetapkan lokasi pengambilan data, jenis armada, jenis ikan,
waktu pengambilan data, jenis olahan, dan responden yang digunakan. Selain itu, diperlukan enumerator
yang memiliki kompetensi dan pengetahuan memadai dengan pela han dan bimbingan secara periodik dan
terus menerus.
5. Implikasi:
 Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu membentuk Tim Evaluasi Susut Hasil yang melibatkan Ditjen
Perikanan Tangkap, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan bersama dengan Badan Litbang
Kelautan dan Perikanan untuk mengembangkan sistem dan model evaluasi susut hasil perikanan secara
online.
 Pelaksanaan monitoring susut hasil perlu melibatkan Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait dalam
koordinasi dan penyediaan tenaga enumerator.
 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Badan Litbang
Kelautan dan Perikanan melakukan pela han dan pembinaan secara periodik dan terus menerus terhadap
enumerator sehingga memiliki kompetensi dalam monitoring susut hasil perikanan.
BBP4BKP
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENGOLAHAN PRODUK DAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Jl. K.S. Tubun, Petamburan VI Jakarta Pusat 10260 T: +6221-53650157 F: +6221-53650158
Website : www.bbp4b.litbang.kkp.go.id Email : [email protected]
LATAR BELAKANG
Pemanfaatan sumberdaya ikan di sebagian besar perairan
Indonesia sudah mencapai atau bahkan melebihi (overfishing) batas
maksimum tangkapan lestari (maximum sustainable yield; MSY),
sementara permintaan cenderung meningkat sejalan dengan
meningkatnya permintaan ikan di dunia akibat pertambahan jumlah
penduduk. Terdapat indikasi bahwa sumberdaya ikan dieksploitasi
besar-besaran sementara kemampuan alam untuk memperbaharui
sumberdaya yang ada memerlukan waktu yang lama. Hal ini berakibat
terjadinya ke mpangan supply-demand dalam penyediaan ikan.
Kondisi ini diperberat oleh praktek-praktek penanganan ikan yang
belum sepenuhnya mengiku kaidah penanganan yang baik dan
benar (good handling prac ces; GHP) yang berakibat masih ngginya
ngkat susut hasil. Akibatnya, ketersediaan ikan (stock) hasil es masi
yang dilakukan di se ap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) masih
belum menggambarkan jumlah ikan yang dapat dimanfaatkan karena
harus dikoreksi dengan susut hasil yang ada.
Susut hasil pascapanen dapat terjadi dalam rantai distribusi
yang panjang, sejak ikan ditangkap hingga ikan sampai di konsumen.
Susut hasil ini dapat terjadi karena ikan terbuang atau hilang karena
sesuatu hal seper jatuh, dibuang atau diambil. Susut hasil dapat juga
terjadi karena ikan mengalami kerusakan baik secara fisik atau mutu
atau karena hal lain yang menyebabkan ikan dak dalam kondisi yang
seharusnya. Dalam rentang ratai distribusi tersebut susut hasil dapat
terjadi saat ikan ditangkap, saat didaratkan, saat berada di pelabuhan
atau tempat pelelangan, selama transportasi, selama pengolahan
hingga penyimpanan dan pemasaran. Angka susut hasil yang saat ini
ada dan banyak dijadikan referensi adalah dalam kisaran 30-40% yang
diacu sejak tahun 1970-an yang dak diketahui secara pas metode
penghitungan dan kapan dilakukan. Untuk itu, angka susut hasil yang
terkini yang dihitung dengan metoda yang benar sangat diperlukan.
MASALAH YANG DIHADAPI
2
Angka es masi ketersediaan ikan (stock) di se ap WPP
mungkin dapat mencerminkan besarnya sumberdaya ikan yang dapat
ditangkap dan didaratkan namun belum dapat menggambarkan
jumlah ikan yang sebenarnya yang dapat dimanfaatkan karena
sebagian dari ikan yang didaratkan tersebut hilang akibat susut hasil.
Akibatnya, strategi pemanfaatan hasil tangkapan menjadi dak
akurat. Angka susut hasil yang terkini dapat digunakan untuk
mengkoreksi jumlah tersebut sehingga dapat mencerminkan jumlah
ikan sebenarnya yang dapat dimanfaatkan.
Angka susut hasil juga dapat menjadi indikasi cara-cara
penanganan yang dilakukan, baik selama penangkapan, pendaratan,
pengolahan hingga distribusi dan pemasaran. Tingginya angka susut
hasil juga dapat menjadi indikasi bahwa perbaikan cara penanganan
yang selama ini dilakukan masih berlum efek f. Informasi yang tepat
dan benar tentang penyebab terjadinya susut hasil akan sangat
berharga bagi upaya-upaya perbaikan agar dapat berfungsi secara
efek f dan efisien.
Angka susut hasil terkini yang representa f dan akurat berlum
tersedia, baik angka susut hasil per daerah, per WWP maupun
nasional. Sementara itu, metoda yang baik untuk mengukur susut
hasil masih belum berkembang di Indonesia. Angka susut hasil 30-40%
sampai saat ini masih diacu meskipun angka tersebut telah digunakan
sejak tahun 1970-an. Angka tersebut masih belum mengalami
perubahan meskipun berbagai upaya perbaikan penanganan hasil
perikanan telah dilakukan. Belum berubahnya angka tersebut
mungkin karena belum dilakukan evaluasi kembali terhadap susut
hasil atau karena perbaikan penanganan yang dilakukan belum efek f
dalam mengurangi susut hasil tersebut.
Terlepas dari hal tersebut di atas, evaluasi terhadap susut hasil
tampaknya perlu segera dilakukan mengingat angka susut hasil yang
ada adalah angka es masi yang telah digunakan sejak tahun 1970-an.
Evaluasi tersebut dak hanya dapat untuk memperbaiki angka susut
hasil yang ada, namun sekaligus dapat digunakan untuk mengevaluasi
masalah yang ada yang menyebabkan terjadinya susut hasil. Angka
susut hasil juga diperlukan untuk membuat es masi volume hasil
tangkapan efek f yang dapat didaratkan berdasarkan potensi
lestarinya. Di sisi lain, angka susut hasil sangat diperlukan untuk
perhitungan ekonomi se ap usaha pengolahan produk perikanan.
PENGERTIAN SUSUT HASIL
Dalam menghitung susut hasil diperlukan
intepretasi yang sama terhadap penger an susut
hasil itu sendiri. Yang dimaksud dengan susut hasil
pascapanen perikanan adalah keseluruhan nilai
kerugian pascapanen hasil perikanan akibat
terjadinya kerusakan pada ikan, baik kerusakan
fisik, mutu, atau lainnya yang terjadi mulai dari
saat ikan ditangkap sampai ke tangan konsumen.
Hal ini berkaitan erat dengan alur pascapanen
perikanan yang dimulai sejak ikan ditangkap dan
berakhir di konsumen. Ada beberapa pe susut
hasil yang dikenal, yaitu susut fisik (physical loss),
susut mutu (quality loss), susut akibat tekanan
pasar (market force loss), susut nutrisi (nutri onal
loss), susut fungsional (func onal loss), dan susut
finansial (financial loss) (Ward & Jeffries, 2000).
Angka susut hasil yang diperlukan
merupakan angka yang dapat dimonitor se ap
saat yang merupakan keseluruhan atau akumulasi
dari susut hasil yang terjadi. Untuk itu diperlukan
metode yang cepat dan tepat dengan biaya yang
dapat dikendalikan. Dari keenam jenis susut hasil
tersebut, susut akibat tekanan pasar, susut nutrisi,
dan susut fungsional, merupakan jenis susut hasil
yang dak mudah untuk dihitung, memerlukan
waktu yang lama dan biaya yang besar. Ke ga jenis
susut hasil ini lebih banyak diperlukan untuk
kepen ngan peneli an yang spesifik. Untuk
kepen ngan monitoring, jenis susut hasil yang
sesuai adalah susut fisik, susut mutu, dan susut
finansial.
Susut fisik (physical loss) merupakan nilai
kerugian akibat hilangnya berat ikan (diukur
beratnya) karena kerusakan fisik, busuk, dimakan
binatang, terbuang karena dak laku, dicuri,
jatuh, sebagai hasil samping tangkapan, dan
sebagainya. Ikan yang diambil untuk anak buah
kapal ( A B K), petugas, atau lainnya yang
merupakan bagian dari kegiatan dak dihitung
sebagai susut fisik. Susut fisik diukur berat yang
hilang dan dikonversikan ke dalam nilai (rupiah)
berdasarkan nilai ikan jika dijual dalam mutu
prima. Susut mutu (quality loss) merupakan nilai
kerugian akibat terjadinya kerusakan atau
kemunduran mutu. Dengan kata lain, susut mutu
merupakan perbedaan antara nilai ikan jika dak
terjadi kerusakan (mutu terbaik) dengan nilai ikan
setelah ikan mengalami kerusakan mutu (mutu
rendah) dan dijual dengan harga murah. Susut
mutu diukur berat yang turun mutunya dan
dikonversikan dalam nilai (rupiah) berdasarkan
nilai ikan jika dijual dalam mutu prima. Susut
finansial (financial loss) merupakan gabungan
antara susut hasil yang ada (susut fisik dan susut
mutu) yang sekaligus mencerminkan susut hasil
secara keseluruhan. Keseluruhan nilai kerugian
tersebut dikonversikan dalam persen dan
merupakan total susut hasil.
METODE PERHITUNGAN
Terdapat 3 ( ga) metode perhitungan yang
dapat digunakan untuk menghitung susut hasil
(Ward & Jeffries, 2000), yaitu Informal Fish Loss
Assessment Method (IFLAM), Ques onnaire Loss
Assessment Method (QLAM), dan Load Tracking
(LT). Dalam perhitungan IFLAM, data yang
digunakan diperoleh melalui survei dengan
metode RRA (rapid rural appraisal) & PRA
(par cipatory rural appraisal) yang dapat
memberikan data kualita f indika f secara cepat.
Namun demikian, metode ini belum dapat
menghasilkan data yang valid karena masih
bersifat predik f sehing ga memerlukan
pendalaman lebih jauh. Metoda ini sering
digunakan untuk merencanakan LT atau QLAM.
Dalam pelaksanaannya, untuk pengumpulan data
pada IFLAM diperlukan tenaga yang terla h,
peneli yang berpendidikan dan bermo fasi kuat
untuk berlajar dari komunitas perikanan. Selain
itu, diperlukan pemahaman dan pengalaman
dalam menggunakan dan mengumpulkan data
melalui RRA dan PRA.
Metode LT dilakukan dengan sampling,
replikasi, dan disain biometrik untuk mengukur
perubahan susut hasil mutu dan fisik (kuan tas)
antar tahapan di dalam rantai distribusi yang
dapat menghasilkan data yang representa f
dengan akurasi bagus untuk indikasi susut hasil.
Dengan demikian hasilnya masih bersifat indika f.
Metode ini dapat dimanfaatkan untuk intervensi
suatu cara untuk mereduksi susut hasil terhadap
sistem yang telah berjalan dan sekaligus
mengukur pengaruh intervensi untuk mengurangi
susut hasil. Namun demikian, LT memerlukan
waktu dan biaya yang nggi. Selain itu, dalam
metoda ini diperlukan staf terla h yang
berpengetahuan dalam angka, komunikasi,
kerjasama dengan masyarakat, dsb.
Pada QLAM, pengumpulan data dilakukan
melalui survei menggunakan kuisioner oleh
petugas survei (enumerator) dengan
mewawancarai responden yang telah dipilih di
suatu lokasi tertentu. Keberhasilan metode ini
b e r ga n t u n g p a d a d u k u n ga n b i o m a t r i k ,
pengalaman dalam merancang dan
mengimplementasikan survei dengan kuisioner,
disain database, dan enumerator. Kekuatan dari
metoda ini adalah mampu menghasilkan data
yang representa f bagi kebijakan dan dapat
menghasilkan informasi tentang pe, frekuensi,
dan penyebab susut hasil serta factor yang
mempengaruhinya. Karena itu, diantara ke ga
metode di atas, QLAM lebih sesuai digunakan
untuk monitoring susut hasil secara periodik.
Kesulitannya, data sangat beragam karena
beragamnya jenis ikan, harga, mutu, dan
sebagainya. Untuk pengumpulan data
menggunakan QLAM diperlukan enumerator
yang rajin, jujur dan berkemampuan bagus
meskipun keahlian khusus dak diperlukan. Oleh
karena itu, pada metoda ini kuisioner sangat
memegang peran pen ng.
SUSUT HASIL PASCAPANEN
PERIKANAN DI INDONESIA
Sebagaimana disinggung di depan, susut
hasil hendaknya mencerminkan kondisi yang ada
sejak ikan ditangkap sampai dengan ikan diterima
konsumen. Perhitungan ideal susut hasil
merupakan akumulasi susut hasil semua segmen
berikut ini.
1. Rantai penangkapan, dimulai sejak ikan
ditangkap hingga ikan siap diturunkan di
t e m p a t p e n d a ra t a n i ka n
(TPI/PPI/tangkahan);
2. Rantai pendaratan, dimulai sejak kapal
merapat di pelabuhan pendaratan hingga
selesai pelelangan;
3. Rantai pengolahan, dimulai dari sejak ikan
keluar dari tempat pelelangan menuju
tempat pengolahan hingga ikan selesai diolah dan siap untuk
didistribusikan;
4. Rantai transportasi dan distribusi, mulai dari ikan keluar dari
tempat pelelangan hingga ke pasar (untuk ikan yang dipasarkan
segar) atau sejak ikan keluar dari tempat pengolahan hingga ke
pasar (untuk ikan olahan);
5. Rantai distribusi penyimpanan, dimulai sejak ikan masuk ke dalam
gudang hingga keluar gudang untuk dipasarkan; dan
6. Rantai distribusi pemasaran, mulai dari ikan ada di pasar hingga
ikan dibeli oleh konsumen
Sejauh ini Indonesia masih belum memiliki data susut hasil
yang komprehensif mulai dari ikan ditangkap hingga konsumen. Hasil
monitoring yang dilakukan oleh Ditjen Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan yang menggunakan model yang dikembangkan
peneli Badan Peneli an dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
(berdasarkan QLAM) masih terbatas pada monitoring susut hasil pada
saat ikan didaratkan. Monitoring dilakukan mulai 2008-2012 di 33
kota/kabupaten di seluruh Indonesia untuk mendapatkan gambaran
susut hasil nasional. Di k tersebut, pada kurun waktu 2010-2012,
susut hasil berkisar antara 7,11 - 5,85% dan cenderung menurun dari
tahun ke tahun (Koeshendrajana, 2013). Besar-kecilnya susut hasil
tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana cara penanganan yang
dilakukan. Faktor lain yang berpengaruh adalah waktu, jenis ikan,
lama & cara penangkapan, ukuran kapal dan lokasi.
Kajian susut hasil disegmen pengolahan telah dilakukan oleh
Balai Besar Peneli an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4B-KP) pada tahun 2013
dengan mengaplikasikan QLAM. Kajian dilakukan pada rantai
pendaratan yang diukur sejak ikan didaratkan sampai ikan keluar dari
tempat pelelangan, dan rantai pengolahan di unit pengolahan fillet
ikan di kota Tegal, Jawa Tengah (pantai utara Jawa). Jenis ikan yang
dikaji adalah manyung, cumi, kakap, kurisi, kuniran, dan pari. Diantara
jenis ikan tersebut, kurisi dan kuniran, merupakan dua jenis ikan yang
banyak digunakan dalam pengolahan fillet ikan di Tegal. Angka susut
hasil pelelangan ikan di TPI Kota Tegal untuk kedua jenis ikan tersebut
cukup nggi dibandingkan dengan ikan dominan yang lain (Tabel 1 dan
2). Hal ini disebabkan karena penanganan yang kurang baik sehingga
memungkinkan terjadinya susut mutu dan fisik ikan.
Pada proses pengolahan fillet ikan kurisi dan kuniran, evaluasi
susut hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi penanganan yang
kurang baik saat melakukan pengolahan fillet yang berakibat pada
kemunduran mutu. Faktor lain yang mempengaruhi ngginya nilai
susut hasil, yaitu jumlah ikan hilang selama proses distribusi dari
pelelangan ke UPI, yaitu sekitar 2 – 3%, sehingga diperkirakan susut
hasil akibat kemunduran mutu berkisar 2 – 4% (Utomo et.al., 2013).
Kajian susut hasil pascapanen perikanan di kota Tegal tersebut
difokuskan pada industri pengolahan fillet ikan kurisi dan kuniran
sehingga hasil perhitungan tersebut belum dapat dijadikan sebagai
acuan susut hasil perikanan provinsi atau nasional karena jenis
industri dan ikan yang dikaji dak mewakili kondisi yang ada. Susut
hasil ke ka ikan ditangkap (ikan kuniran dan kurisi) dan saat ikan
tersebut dipasarkan belum diperoleh. Selain itu, jenis ikan yang dikaji
juga belum dapat mewakili jumlah ikan yang ditangkap.
Berdasarkan hasil tersebut, susut hasil untuk dua jenis rantai
distribusi pelelangan sebesar 4,05% dan pengolahan fillet sebesar
6,62% atau total susut hasil 10,67%. Contoh lain yang menggunakan
jenis ikan yang sama untuk rantai distribusi pendaratan hingga
pengolahan adalah ikan kuniran masing-masing 5,80% dan 5,31% atau
Tabel 1. Susut hasil pascapanen saat pendaratan ikan
di kota Tegal tahun 2013
No
Jenis Ikan
Rata-Rata Nilai
Susut Hasil (%)
3,25
1
Manyung (Netuma thalassina )
2
Cumi/sotong (Loligo pealii/ Sepia oficinalis )
3,69
3
Kakap (Latjanus al frontalis)
2,28
4
Kurisi (Nemipterus nematoporus)
4,16
5
Kuniran (Upenephelus sephureus)
5,80
6
Pari (Trygon sp.)
5,13
RATA-RATA
4,05
3
Tabel 2. Susut hasil segmen pengolahan fillet ikan
di kota Tegal tahun 2013
No
Bahan Baku Fillet Ikan
Rata-Rata Nilai
Susut Hasil (%)
1
Kuniran (Upenephelus sephureus)
5,31
2
Demang (Priacanthus tayenus)
9,53
3
Kurisi (Nemipterus nematoporus)
6,73
4
Coklatan (Scholopsis taeniopterus)
4,90
RATA-RATA
6,62
total 11,11%. Berdasarkan kedua contoh ini, yang total susut
hasilnya 10 – 11%, maka ada kemungkinan angka total susut hasil
yang selama ini diacu, yaitu 30 – 40%, terlalu over es mate.
Tampaknya angka susut hasil di bawah 30% (sekitar 25%) lebih
realis s. Meskipun demikian, keseluruhan data dalam rantai
distribusi perlu dikumpulkan dan dihitung untuk mendapatkan
angka susut hasil yang realis s.
SISTEM DAN MODEL
MONITORING SUSUT HASIL
PERIKANAN NASIONAL
Selain itu, enumerator sebagai petugas surve atau
pengumpul data dan informasi perlu disiapkan agar
enumerator tersebut memiliki kompetensi memadai dalam
mengambil data susut hasil. Kompetensi enumerator ini
dapat diperoleh melalui pela han dan bimbingan yang
dilakukan secara periodik dan terus menerus. Selain itu,
enumerator dituntut untuk memiliki kemampuan melakukan
survei, memiliki pengetahuan yang baik tentang wilayahnya,
dan memiliki kemampuan dalam menilai mutu ikan. Jumlah
enumerator juga perlu mendapatkan perha an dan
disesuaikan jumlahnya sesuai dengan luasan wilayah surve.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Direktorat
Teknis (Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan) perlu bekerjasama dengan
Badan Litbang KP dan Badan PSDMKP dalam merancang
sistem monitoring dan memberikan pela han dan bimbingan
terhadap enumerator. Dalam pelaksanaannya, Kementerian
Kelautan dan Perikanan perlu bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait. Selain itu, untuk
menjamin kecepatan ketersediaan informasi, perlu disiapkan
sistem online untuk data entry dan pengolahan datanya.
KESIMPULAN
Untuk mendapatkan angka susut hasil perikanan secara
nasional, QLAM merupakan merota yang sesuai untuk
kepen ngan ini. Untuk itu diperlukan sistem monitoring yang
komprehensif yang dapat menggambarkan kondisi yang ada,
terutama kondisi perikanan Indonesia yang sangat beragam
mulai dari lokasi, penangkapan hingga pemanfaatannya, baik
jenis ikan, kapal dan alat tangkap, lamanya penangkapan, jenis
olahan, dan sebagainya. Untuk itu, perlu dibentuk model yang
dapat menggambarkan tentang apa yang terjadi pada ikan mulai
dari ditangkap hing ga konsumen (sepanjang rantai
distribusinya).
Evaluasi susut hasil harus memperha kan keragaman
kegiatan perikanan. Kriteria-kriteria harus ditetapkan untuk
mengurangi bias akibat beragamnya kegiatan perikanan di
Indonesia.
1. Lokasi pengambilan data untuk evaluasi susut hasil
hendaknya dapat menggambarkan kondisi perikanan di
Indonesia yang representa f, misalnya ditentukan
berdasarkan propinsi/kabupaten/kota, tempat pendaratan
ikan (781 tempat pendaratan ikan), kharakteris k lokasi
yang serupa (pantai utara Jawa, pantai Selatan Jawa, dsb.),
atau WPP. Evaluasi susut hasil berdasarkan WPP merupakan
salah satu alterna f ideal yang dapat diambil yang sekaligus
dapat memberikan informasi tambahan bagi es masi
ketersediaan ikan di WWP tersebut.
2. Jenis armada (kapal tangkap), terutama dalam hal ukuran
(GT), lama penangkapan, dan alat tangkap, dan jumlah
kapal.
3. Jenis ikan yang dievaluasi, misalnya dievaluasi berdasarkan
beberapa jenis ikan dominan dalam nilai atau volume.
4. Waktu pengambilan data yang dapat menggambarkan
kondisi saat musim ikan dan musim paceklik ikan.
5. Jenis olahan yang dievaluasi, misalnya berdasarkan jenis
olahan dominan di se ap lokasi.
6. Responden yang digunakan sebagai sumber data dan
informasi (kriteria dan jumlah responden) yang dapat
mewakili se ap rantai distribusi. Sebagai contoh, responden
adalah nahkoda, pemilik kapal, nelayan, pengolah,
pedagang, atau narasumber lain yang sekurang-kurangnya
masih ak f dalam 2 minggu terakhir sehingga masih mampu
mengingat kegiatan selama itu.
1. Evaluasi susut hasil perlu dilakukan untuk untuk
mendapatkan data yang terkini dengan menggunakan
metoda yang baik;
2. Metode penghitungan QLAM dapat diformalkan dan
digunakan untuk evaluasi angka susut hasil perikanan
secara nasional dengan memperhitungkan susut hasil
fisik, mutu dan financial sebagai basis perhitungan;
3. Angka susut hasil perikanan nasional tahun 2010 – 2012
yang diperoleh pada tahap pendaratan ikan cenderung
mengalami penurunan, dimana secara berturut-turut
angka susut hasilnya adalah 7,11%; 6,26%; dan 5,85%.
Sementara, angka susut hasil pada rantai distribusi
pengolahan (fillet ikan tahun 2013 di Jawa Tengah) adalah
6,62%.
4. Total susut hasil dari pendaratan hingga pengolahan
berkisar 10 – 11% dan dies masikan susut hasil total
nasional masih dibawah 30%.
5. Sistem dan model evaluasi susut hasil nasional perlu
dirancang dengan mengakomodasikan keragaman
kondisi perikanan di Indonesia mulai dari penangkapan
sampai dengan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Koeshendrajana, S. 2013. Data dan Informasi: Metode Pengumpulan,
Analisis dan Interpretasi. Pela han Peningkatan Pemahaman
tentang Evaluasi Susut Hasil pada Industri Pengolahan Hasil
Perikanan. Jakarta.
Utomo, B. S. B., Wibowo, S., Syamdidi, Agusman, Badaruddin, dan
Peranginangin, R. 2013. Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen pada
I n d u s t r i Pe r i ka n a n . L a p o ra n Te k n i s Pe n e l i a n d a n
Pengembangan. Balai Besar Peneli an dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Ward, A.R. and D.J. Jeffries. 2000. A manual for assessing post-harvest
fisheries losses. Natural Resources Ins tute, Chatam, UK.
Wibowo, S. 2013. Pemahaman Susut Hasil Pascapanen dalam Industri
Pengolahan Hasil Perikanan. Pela han Peningkatan Pemahaman
tentang Evaluasi Susut Hasil pada Industri Pengolahan Hasil
Perikanan. Jakarta.
Wibowo, S. 2011. Susut hasil perikanan di berbagai rantai supplay ikan segar
dan olahan. Sosialisasi enumerator susut hasil perikanan
Direktorat Pengolahan Hasil Perikanan, Direktorat Jenderal
Pengolahan Hasil dan Pemasaran Hasil Perikanan. Batam –
Surabaya, 2011
TIM PENYUSUN
Disusun oleh : Singgih Wibowo, Bagus SB Utomo, Syamdidi, Rinta Kusumawa
Evaluator/Editor: Singgih Wibowo, Agus Heri Purnomo
Desain grafis: Puguh Aji M. P.
Download