PERSEPSI MASYARAKAT HINDU TERHADAP

advertisement
PERSEPSI MASYARAKAT HINDU TERHADAP ILMU PANGLEAKAN DI DESA
PAKRAMAN SUSUT, KECAMATAN SUSUT, KABUPATEN BANGLI
Oleh:
NAMA: ANAK AGUNG WIBAWA PUTRA
[email protected]
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Pembimbing I
Ni Made Sri P. Purnamawati, S.Ag., M.A., M.Erg
Pembimbing II
I Gede Sutarya, SST.Par., M.Ag
ABSTRAK
Penelitian ini sangat menarik, karena dalam ilmu Pangleakan yang dalam sejarahnya
merupakan ajaran yang terdapat dalam kitab suci Hindu yakni kitab Atharwaweda dan
merupakan bagian dari kitab suci Weda, perkembangan Hindu di Bali mendapat pengaruh
dari Majapahit yang berkaitan dengan Calon arang yang berhubungan dengan ilmu
pangleakan, tetapi dalam perkembangannya ilmu pangleakan dianggap sesat, negative dan
cenderung Black Magic. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui jika benar ilmu
pangleakan ajaran negative, mengapa ia berasal dari kitab suci Hindu, padahal dalam
Hinduisme mengajarkan ajaran dharma menuju moksa (panglepasan). Berdasarkan latar
belakang masalah, untuk memudahkan analisis masalah ada beberapa permasalahan yang
akan diteliti dalam penelitian ini: 1). Bagaimana persepsi masyarakat Hindu terhadap ilmu
pangleakan di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli? 2). Bagaimana penerapan aksiologi
ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli? 3). Apa makna ilmu pangleakan
bagi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli? Berdasarkan tiga
permasalahan ini akan dibahas dalam penulisan ini pemaparan mengenai persepsi masyarakat
Hindu di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli terhadap ilmu pangleakan, penerapan
aksiologi ilmu pangleakan, makna ilmu pangleakan bagi kehidupan masyarakat.
Penelitian ini mengunakan tiga teori yaitu 1). Teori Persepsi, 2). Teori Aksiologi, 3).
Teori Makna. Kontribusi yang diberikan oleh masing-masing teori ialah untuk membedah
permasalahan mengenai persepsi masyarakat, penerapan aksiologi dan makna dari ilmu
pangleakan. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif data-datanya
diperoleh melalui: observasi, wawancara, dokumenrasi, study kepustakaan;, pengolahan data.
Persepsi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli terhadap ilmu
pangleakan memiliki berbagai macam persepsi, seperti pangiwa dan panengen, dalam konsep
pangiwa dan panengen keduanya saling melengkapi, pangleakan memiliki sarana yang dapat
dibagi beberapa bagian yang diantaranya ada pengasih-asih, rerajahan, cetik dan pangleakan
itu sendiri.Penerapan ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, susut, Bangli dalam
sosioculture, etika dan estetika. Penerapan sosio culture memandang penerapannya di
masyarakat masih dirahasiakan (aja wera), penerapan etika, yakni terdapatnya kode etik
dalam ilmu pangleakan, sedangkan estetikanya ilmu pangleakan mengandung nilai seni di
dalamnya. Makna dalam ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli terdiri dari
makna sarana, makna kebahagia, makna kebebasan, makna pendidikan.
Kata Kunci: Persepsi masyarakat, Ilmu Pangleakan, Penerapan Aksiologi
I. PENDAHULUAN
Agama Hindu merupakan agama yang bersumber dari Weda dan merupakan
agama yang membawa pengaruh besar bagi kebudayaan masyarakat indonesia pada
umumnya dan khususnya di Bali. Agama hindu juga merupakan agama wahyu yang
diterima oleh maharsi berdasarkan pengalaman spritual, dalam kitab-kitab (upanisad)
pengalaman – pengalaman ini bersifat langsung dan sempurna. Kekuatan spiritual
maharsi mampu mendengarkan suara alam yang diwahyukan Tuhan dan dipercaya oleh
umat manusia sebagai seebuah ajaran agama yaitu agama Hindu (Shivananda, 2003:2)
Kekuatan spritual yang diterima oleh maharsi merupakan warisan kepada
seluruh umat manusia untuk mencapai kebebasan. Dalam kitab suci Weda terdiri dari
empat macam bagian yang ditulis dalam bahasa sansekerta kuno, bahasa suci india dan
Weda merupakan otoritas religi yang tertinggi bagi hampir seluruh tradisi hinduisme.
Masing-masing bagian Weda memiliki beberapa periode berbeda kemungkinan antara
tahun 1500 dan 500 SM. Bagian tertua dari Weda adalah Reg Weda yang berisikan
kidung pujian dan doa-doa suci dilanjutkan dengan ritual-ritual pengorbanan yang
berkenaan dengan kidung pujian vedik dan terakhir adalah kitab-kitab upanisad. Kitab
upanisad berisikan mengenai intisari pesan spritual hinduisme, filosofis dan praktisnya
(Capra, 2000:80).
Veda adalah catatan keagamaan yang paling penting dan telah menjadi adat-adat
kebiasaan dari bangsa Aryan. Weda yang terakhir dan terbaru adalah Atharvaveda.Veda
ini tidak termasuk di dalam Trayividya, yang membuktikan asal mulanya yang terakhir
ini. Seperti setiap bagian atau pembagian Veda, Atharvaveda memiliki beberapa cirri-ciri
mendasar dari sejumlah Veda yang telah dipeajari oleh orang-orang yang
menganggapnya menarik. Bagian-bagian Veda mereka memiliki petunjuk-petunjuk
khusus sendiri, tetapi ketika kami membicarakan Atharvaveda, mereka tampak seperti
menyimpan suatu kehidupan dengan semua maksud di dalam cita-citanya. Misteri alam
yang paling tidak jelas, doa-doa yang suci, penerapan dari persembahan (yadnya), obat
bagi penyakit-penyakit, pernikahan, perkembangbiakan keluarga, pola sosial,
perlindungan diri dan lain-lain. (Sayanacarya: 2005)
Dalam Atharvaveda terdapat XIII kitab yang ada di dalamnya terdapat kitab
Melawan ilmu hitam dan orang yang mempraktekannya , penggunaan jimat, kidung
bernuansa mistik, melawan ilmu sihir dengan kekuatan jimat, melawan musuh, melawan
serangan demam yang tiada henti, melawan racun, dan masih banyak pelajaran tentang
masalah perlindungan diri, pengobatan dan misteri alam yang dibahas di dalam
Atharvaveda,(Sayanacarya:2005)
Ilmu Pangleakan secara tersirat dan tersurat menjadi icon ajaran kadiatmikan
masyarakat Bali. Begitu pula perkembangan ilmu pangleakan yang perlahan-lahan
berubah menjadi ajaran sesat terutama ajaran pangiwa yang dikenal dengan ilmu
pangleakannya, karena ajaran yang dipergunakan untuk melindungi kerajaan dan wabah
penyakit digantikan oleh perubahan zaman, seperti sistem bermasyarakat yang sekarang
sudah mulai memudar. Jadi saling melindungi dan menjaga antar sesama tidak lagi
menjadi peran dari ilmu pangleakan dan juga banyak lagi peranan dari ilmu pangleakan
ini yang telah digantikan oleh mesin-mesin modern, berbeda dengan zaman dulu
siapapun yan menguasai ilmu pangleakan sampai tingkat tinggi, secara otomatis pemula
yang baru belajar menguasai ilmu tersebut akan menghormati yang lebih menguasai ilmu
tersebut, sehingga orang yag menguasai ilmu Pangleakan yang sudah mencapai tigkatan
tertinggi, akan senantiasa mencintai maupun mengayomi masyarakat dan
kerajaannya,maka kerajaan dan rakyatnya akan bertambah agung dan harmonis.
Mengenai beberapa tempat-tempat penekun ilmu pangleakan masyarakat Bali
mengenal beberapa tempat yakni daerah karangasem, Baturiti,Bangli, daerah ini dikenal
masyarakat Hindu di Bali sebagai daerah yang angker dan berbahaya, khususnya ilmu
Pangleakan. Oleh karena itu penulis tertarik mengadakan penelitian di daerah kabupaten
Bangli, khususnya di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli. Alasan penelitian di Desa
Pakraman Susut, Susut, Bangli, karena daerah ini memiliki banyak penekun kebatinan,
memiliki banyak tradisi upacara local genius yang dilaksanakan hampir setiap bulan di
beberapa daerah di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli dan yang unik ialah pada saat
upacara ngerebeg, Ida Bhatara Mas yang berwujud barong mesolah di catus pata,
sambil mengundang penekun lmu pangleakan (Leak) agar datang ke tempat Ida Bhatara
Mas masolah, di samping itu berdasarkat letak geografisnya berada di daerah
persawahan dan tegalan,yang sangat memungkinkan orang banyak mempelajari ilmu
Pangleakan karena sebagian besar masyarakatnya homogen memeluk agama hindu dan
sebagian besar profesi penduduk yang beraneka ragam. Berdasarkan hal tesebut peneliti
ingin mengetahui persepsi dan pandangan ilmu Pangleakan menurut masyarakat hindu di
Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli.
Penelitian ini sangat menarik, karena membahas mengenai persepsi masyarakat
mengenai ilmu pangleakan yang pada umumnya ilmu pangleakan dikatekorikan sebagai
ilmu yang negatif dan sesat, padahal ilmu Pangleakan dalam historisnya merupakan
ajaran yang berasal dari salah satu kitab suci Hindu yakni dari Atharwaweda, Hal ini
dibuktikan di dalam Atharwaweda tercantum tentang ilmu sihir dan rahasia alam semesta
dalam ilmu Pangleakan, tetapi dalam perkembangannya khususnya ilmu pangiwa
dianggap sesat dan negative dan cenderung ilmu hitam. Oleh karena itu peneliti ingin
mengetahui jika benar ilmu Pangleakan ajaran hitam, mengapa ia berasal dari kitab
Weda, padahal ajaran Weda mengajarkan tentang dharma yang menuju penglepasan
(moksa).
II. METODE
2.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan
data yang ada hubungannya dengan subyek dan obyek penelitian, baik berupa data tertulis
maupun lisan dari informan, terutama terhadap data yang dijadikan gambaran umum
penelitian (Nazir, 1983:211). Adapun metode-metode yang perlu dipergunakan dalam
melaksanakan penelitian ini sebagai berikut:
2.2 Wawancara
Metode wawancara adalah suatu cara yang dipergunakan untuk memperoleh keterangan
secara langsung dari informan,wawancara dilaksanakan dengan beberapa informan yang
dianggap atau mengetahui obyek penelitian serta dapat dipercaya kebenarannya. Menurut
pendapat Suprayogo dan Tabrani (2001:167), mengemukakan wawancara adalah
percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut.
Sasaran yang ingin diperoleh melalui metode wawancara adalah (1). Memperoleh dan
memastikan suatu fakta, (2). Mengetahui alasan-alasan atas fenomena yang terjadi terkait
dengan tema penelitian ini, (3). Mengetahui validitas secara akurat sebagai bahan
interprentasi dan komposisi atas data-data sebelumnya.
Dalam penelitian ini peneliti akan melalukan wawancara beberapa informan yang
dikatagorikan, berkompetensi dalam tema penelitian ini dengan asumsi setiap informan
memiliki cukup informasi tentang segala sesuatunya mengenai Pangleakan di Bali untuk
menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian..
2.3 Dokumentasi
Istilah dokumentasi merupakan istilah pengumpulan data dalam suatu penelitian yang
berarti mengumpulkan data langsung ditujukan pada subyek penelitian namun melalui
dokumen. Dokumen yang dimaksud dapat berupa buku-buku, laporan maupun dokumen
lainya(iqbal, 2002:87).
Metode dokumentasi adalah pengumpulan dengan mengamati dan menganalisa dokumen
yang ada sebelumnya, baik berupa gambar, diagram, maupun foto-foto (moleong, 1998).
Dalam penelitian ini dipergunakan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang
dibahas, sehingga senantiasa bisa dipadukan atntara teori dan praktek.
2.4 Observasi
Menurut koentjaraningrat (1977:137). Metode observasi adalah suatu cara untuk
memperoleh data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung ketempat penelitian
dengan mencatat secara sistematis masalah yang diteliti. Berdasarkan uraian tersebut
observasi adalah pengumpulan data atau pencarian data dengan cara mengamati secara
langsung obyek penelitian.
2.5 Studi Kepustakaan
Pudja (1999:13), menguraikan bahwa metode kepustakaan (library Reseach) adalah suatu
cara yang di tempuh untuk memperoleh pengetahuan melalui membaca tulisan-tulisan
para ahli, termasuk pula membaca Kitab-kitab Suci Weda, serta mencatat hal-hal yang
relevan terkait dengan penelitian yang dilakukan.
Studi kepustakaan adalah metode untuk memperoleh data yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan segala macam dokumen serta mengadakan pencatatan secara sistematis
(Netra, 1977:73).
III. HASIL PENELITIAN
Persepsi Ilmu Pangleakan Menurut Masyarakat Hindu Di Desa Pakraman Susut,
Susut, Bangli (Kajian Aksiologi).
Pangiwa dan Panengen
Menurut Jro Mangku Nyoman (Wawancara pribadi 1 Maret 2013) mengatakan
pangiwa dan panengen merupakan dua cabang ilmu mistik bali yang saling melengkapi.
Kata kiwa dalam bahasa jawa kuno yang berarti kiri; kiwan; sebelah kiri,
Ngiwa=nyalanang aji wegig (menjalankan aliran kiri), seperti; pengleakan penestian,
menggal ngiwa= nyemak (melaksanakan) gegaen dadua (pekerjaan kiri dan kanan).
Sedangkan kata penengen berasal dari kata tengen berarti kanan, sering diidentikkan
dengan kebenaran, positif. Penengen dalam penelitian ini berarti ilmu putih atau lawan
dari pangiwa. Pangiwa dan panengen tidak jauh beda, yang merupakan dua ilmu mistik
di Bali Yang saling melengkapi antara ilmu hitam (pangiwa) dan ilmu putih (panengen).
Orang yang melaksanakan pangiwa bisa saja melaksanakan ilmu putih dan ilmu hitam,
perbedaan antara pangiwa dan panengen, kalau panengen tidak mau melaksanakan aji
wegig tetapi dia tau tentang aji wegig, kalau panengen itu lebih cenderung ke pengobatan
dan penenangan diri seperti ajaran kebatinan positif salah satunya seperti yoga, meditasi
dan kebanyakan orang yang mendalami panengen lebih cenderung menolong orang, tapi
kalau pangiwa sifatnya lebih cenderung menyakiti orang, lebih identik ke arah yang
negatif karena kebanyakan oknum yang mendalami ilmu pangiwa menyalahgunakan
ilmu kadiatmikan yang luar biasa hebat itu. Pangiwa itu banyak dalam pelajarannya
mendalami sastra-sastra dan lontar-lontar yang di pelajari adalah sastra magic dan lontar-
lontar yang ada di bali khususnya lontar waringinsungsang, baligodawa, kaputusan
pudak setegal, kaputusan cambraberag dan lain-lain.
Menurut Anak Agung Ngurah Mangku Arsana (Wawancara, 11 Maret 2013)
pangiwa dan panengen adalah dasar ilmu kadharman. Artinya kalau ingin mempelajari
kadharman, maka harus mengetahui pangiwa dan panengen terlebih dahulu, dengan
mengetahui pangiwa dan panengen, maka mengetahui rahasia alam semesta, sehingga
mencapai kesadaran dan sempurnalah menjadi seorang manusia. Kalau kita logikakan
apabila seseorang hanya memakai tangan kanan dalam kehidupan sehari-hari, tentu tidak
seimbang, tapi jika kedua tangan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka
kedamaian dan keseimbangan pasti tercapai, begitu pula saat mempelajari ajaran
kadiatmikan, tentunya harus mengetahui pangiwa dan panengen terlebih dahulu sehingga
mengetahui kejelekan dan kebaikan, penyakit dan obatnya. Ketika kita sudah mengetahui
kejelekan serta dampak yang akan diperoleh, maka kita tidak akan melaksanakannya,
sehingga kebaikan dan dharmalah terus dijalankan untuk mencapai kebahagiaan dan
keharmonisan.
Berbagai Macam Sarana Pangleakan
1. Pengasih-asih
Menurut Jro Mangku Nyoman (Wawancara, 1 Maret 2013) Pengasih-asih
terdapat dalam ajaran pangiwa, pengasih-asih merupakan pengasih terhadap seseorang.
Pengasih-asih memiliki beberapa jenis yakni, pengasihmerta, pengasih Asmara,
pengasih kekebalan, kalau pengasih merta yakni memberikan sejenis penglaris mudah
rejeki, kalau pengasih asmara yakni gunanya untuk menarik wanita atau pria agar sang
pemakai disenangi oleh pria atau pun wanita tersebut. Pengasih kekebalan yang disebut
juga bergolan yakni gunanya agar sang pemakai ditakuti atau agar orang lain tunduk
terhadap sang pemakai. Pengasih-asih sarananya banyak bisa saja berupa rerajahan, bisa
saja berbentuk alat perhiasan yg dipasupati dan lain-lain. Ada berbagai macam lontar
yang memuat tentang pengasih-asih seperti Suwer Mas,Tanting Mas, Budha Kecapi,
Mpu Bahula, Rama dewa, dan Arda Nareswari itulah beberapa lontar yang memuat
mengenai pengasih-asih.
2 Rerajahan
Menurut Anak Agung Wisnu Wardana (Wawancara, 7 Maret 2013) rerajahan
merupakan sarana dari pangleakan. Seseorang yang bisa ngeleak bisa juga
menggunakan rerajahan, penggunaan rerajahan sudah tentu dengan cara membeli
kepada gurunya yang memberikan ilmu pangleakan tersebut. Mereka hanya bisa
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh gurunya. Dengan demikian, mereka
membeli rerajahan yang sudah jadi, sama seperti kita memebeli handphone kita tidak
perlu lagi memikirkan bagaimana cara membuat handphone tersebut, langsung pakai
saja secara instan. Cara memasang rerajahan inipun sama dengan cara memasang
pepasangan hanya saja sarana (bahan) yang digunakannya berbeda. Pada umumnya
rerajahan atau gambar yang digunakan teresebut sangat dirahasaian oleh guru ataupun
dukun penjual karena hal itu merupakan pendapatan yang luar biasa besarnya apabila
dengan bantuannya itu yang di bantu dengan rerajahan tersebut berhasil.
3. Cetik
Menurut Jro Mangku Nyoman (Wawancara pribadi, 1 Maret 2013) cetik yang
berarti racun tersebut memiliki beberapa jenis cetik yakni ada yang bernama
cadanggaleng, cetik buntek, cetik kerikan gangsa, cetik sukik, cetik sukik memiliki
beberapa bagian juga yakni sukik brahma, sukik wisnu, dan sukik angin. Cetik yang
gampang diperoleh yakni cetik kerikan gangsa atau (cetik kerawang) yang bahanya
dibuat menggunakan bubuk kerawang (perunggu) bekas parutan gamelan. Cara
memasangnya juga sangat sulit karena kadang-kadang bisa mengenai orang lain (salah
sasaran), maka calon korbannya atau kalau orang yang akan dikenai juga lihai memiliki
ilmu panengen atau pangiwa yang lebih tinggi tingkatnnya, cetik tersebut bisa
mengenai pemasangnya. Dengan demikian, akan terjadi proses senjata makan tuan,
tanda-tanda orang yang terkena penyakit cetik jenis ini, adalah cekehan (batuk-batuk)
tubuhnya makin lama makin kurus dengan demikian, orang yang dikenai cetik jenis ini
akan banyak mengahabiskan dana pengobatan dan akhirnya tidak dapat tertolong juga
(meninggal). Cetik kebanyakan bersumber dari alam, contohnya ialah cetik lis busung
yang dirajah yang dapat dipergunakan dengan mudah, dan banyak lagi bahan-bahan
cetik yang bersumber dari alam.
4 Pangleakan
Menurut Anak Agung Gede Rai Wija Suadnyana (Wawancara, 19 Maret 2013)
Dasar kita beragama hindu di Bali percaya akan adanya konsep Rwa Bhineda, ada baikburuk, ada hitam- putih dan ada pangiwa dan panengen. Pangleakan berasal dari ajaran
pangiwa, leak yang berasal dari kata LI=lintang, AK= aksara Lintang aksara diartikan
sebagai kekuatan dalam diri yang diperoleh dengan menarikan aksara dengan kekuatan
jnana.Pangleakan bermanfaat bisa mengobati orang dengan ilmu pangleakan, bisa
membantu orang dengan pangleakan, namun bila pangleakan dipergunakan untuk halhal yang tidak baik sangatlah mudah, karena jauh lebih gampang melaksankan hal yang
tidak baik, berhubungan dengan konsep yoga yakni yoga kundalini teorinya
mengatakan bahwa untuk membangkitkan api dalam diri mulai dari lubang anus dan
alat kelamin itu disebut Numuladaracakra, kalau itu dimanfaatkan ditarik ke atas dan
dibawa kedepan itulah yang disebut dengan pangleakan, kalau hal itu dimanfaatkan
lewat tulang punggung adalah sumsuna idadanpindala itu ditarik naik ke Siwaduara
(ubun-ubun) jadilah yoga murni untuk kebaikan dan mestinya pangleakan itu bisa
digunakan untuk kebaikan.
Berhubungan dengan pangleakan yang memiliki sifat baik dan buruk, kalau kita
menggunakan pangleakan untuk kebaikan ada yang disebut dengan Satwika, Tamasika,
Rajasika, kalau kita menggunakan pangleakan yang identik dengan Rajasika dan
Tamasika watak dari Rajasika sangat mirip dengan watak seorang raja yakni ingin
menguasai segala sesuatunya dengan paksa waluaupun dengan cara tidak baik, diantara
Rajasika setiap kita membicarakan masalah pangleakan apalagi digunakan untuk hal
yang buruk cepat sekali dipengaruhi dengan sifat yang namanya Trimeda, itu tertuang
dalam ilmu pangiwa salah sati ajaran yang Aje Wera (dirahasiakan) ada sifat Trimeda,
yang dijabarkan ada tiga sifat yang tidak baik yaitu; Sasar, Lobha dan Murka, Sasar
yang berarti sesat, Lobha yang berarti serakah dan Murka yang berarti pamurtian
dengan jalan ngeleak,ngeleakin dan ngelekas (berubah menjadi leak). Berhubungan
dengan hal itulah maka pangleakan dibenci oleh masyarakat banyak karena sering
sekali pangleakan tersebut disalahgunakan atau ngewegig untuk mencelakai orang
bahkan membunuh orang, memasang guna-guna, cetik, pengasih-asih dan Anesti
Aneluh Anerangjana
Ciri-ciri Leak
Menurut Anak Agung Wisnu Wardana (Wawancara, 7 Maret 2013) Berbicara
mengenai ciri-ciri dan tanda-tanda orang bisa ngeleak,pandangan masyarakat yang
cenderung tidak masuk akal alias salah kaprah. Sebab kesalah kaprahan ini sering
menyebabkan cekcok di masyarakat. Dengan penjelasan yang salah maka kita akan
menuduh orang dengan sembarangan. Mengenai ciri-ciri orang yang bisa ngeleak yang
beredar di masyarakat, semua ciri yang dipaparkan diatas hanya dugaan yang kurang
mendasar. Hanya sebuah kecurigaan pribadi. Siapa saja bisa sering berkedip, atau
jarang berkedip karena fungsi dari kelopak mata yang melindungi mata dari kotorankotoran atau debu. Ubun-ubunnya botak (lengar) itu bisa karena faktor genetik,
penyakit yang menyebabkan kerontokan pada rambut, atau salah menggunakan shampo
yang menyebabkan kebotakan pada seseorang. Pada wajahnya terdapat bintik hitam,
nah ini juga belum tentu dan masih perlu diuji kebenarannya. Siapa tahu orang itu
terkena tilas (morbili virus) atau terkena penyakit kulit dan berbekas. Mengalihkan
pembicaraan saat diajak berbicara, nah bagaimana kalau hal ini kebiasaan orang Bali
yang pantang memandang orang tua bila sedang berbicara, bagaimana kalau matanya
jereng dan bisa saja orang tersebut pemalu. BB (bau badan) bau badannya menyengat
dan amis, ini juga salah kaprah. BB bukan disebabkan karena orang belajar ngeleak,
namun mungkin karena orang itu memiliki bau keringat yang kurang harum. Sebab ciriciri yang dikemukakan tadi adalah ciri manusia hidup dan normal. Siapa saja bisa
berpakaian kumal dan rambutnya gimbal karena jarang keramas yang disebabkan oleh
faktor kemiskinan.
Belajar ilmu spritual atau leak tidak sama dengan belajar ilmu bela diri. Belajar
ilmu bela diri seperti tinju, karate, dan lain-lain, maka akan nampak jelas ciri fisiknya.
Orang yang bisa ngelak tidak akan nampak pada penampakan fisik yang sangat
mencolok. Justru terkadang kita tidak menyangka orang tersebut bisa ngeleak. Bahkan
sering terjadi hal yang sebaliknya. Jadi dengan demikian ciri non fisik dari orang yang
bisa ngeleak bisa saja seperti; tidak sombong/menyombongkan diri, berpenampilan
kalem dan mudah menolong sesama, berwajah cerah (aura) positif terpancar dari
wajahnya, lemah lembut, rapi dan bersih dalam berpenampilan dan rajin sembahyang.
Sifat ilmu leak ini sangat rahasia, dirahasiakan (Aje Wera) maka belajarnya pun
sembunyi-sembunyi. Orang yang bisa ilmu ini biasanya tidak ada yang mau
mengakukarena takut dicemooh oleh masyarakat banyak. Di Bali belum ada perguruan
ilmu leak secara terbuka, sehingga untuk mempelajari ilmu ini sangat susah untuk
mendapatkan guru yang mumpuni. Artinya jangan coba-coba mengatakan seseorang
bisa ngeleak. Atau jangan gampang menuduh orang bisa ngeleak hanya berdasarkan
ciri-ciri fisik tersebut. Jadi mengenai ciri-ciri orang bisa ngeleak sangat tidak sehat dan
tidak baik di masyarakat sebab sekali orang sudah disangka bisa ngeleak oleh seseorang
yang sentimen, maka predikat tersebut akan melekat seumur hidup dalam diri yang
bersangkutan, bahkan setelah ia meninggal.
Penrapan Nilai Sosio Culture Ilmu Pangleakan
Ajaran ilmu pangleakan merupakan ajaran yang masih sembunyi-sembunyi di
masyarakat dan bisa dikatakan masih dirahasiakan (Aje Wera). Banyak masyarakat
memberikan penilaian tentang maksud dari ajaran yang masih dirahasiakan ini, berikut
ini ialah beberpa pendapat masyarakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Kecamatan
Susut, Kabupaten Bangli mengenai penerapan ilmu pangleakan yang masih
dirahasiakan (Aje Wera).
Menurut Ida Pandita Manuaba (Wawancara, 12 Maret 2013) Ilmu pangleakan
masih sulit diterapkan secara terbuka karena konsepnya masih Aje Wera, ilmu
pangleakan merupakan sebuah ajaran yang diwariskan para tetua masyarakat Bali
kepada seluruh manusia, khususnya mengenai proses pembelajaran mengenai hakekat
rahasia alam semesta. Berhubungan mengenai proses ilmu ini, memerlukan banyak
tahapan-tahapan untuk menguak misteri dari ilmu tersebut, sehingga jarang orang yang
dapat menemukannya, karena ajaran ini sangat menakjubkan dan istimewa, maka perlu
adanya sebuah doktrin agar ajaran ini tetap dirahasiakan (Aje Wera), sebab jika
dipublikasikan secara langsung ajaran ini tidak akan istimewa lagi.
Penerapan Nilai Etika Ilmu Pangleakan
Berbicara mengenai etika, yang terkadung dalam etika yakni nilai dan norma
moral yang menentukan prilaku manusia dalam kehidupannya, etika adalah sebuah
refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan
terwujud dalam sikap dan pola prilaku kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun
kelompok. Kata Etika juga mengandung pengertian ilmu pengetahuan tentang asas-asas
ahlak/moral-moral (Poerwadarmita, 1976: 278).
Menurut Anak Agung Wisnu Wardana (Wawancara, 7 Maret 2013) Penerapan
etika dalam ilmu pangleakan dapat dilihat dari sikap seseorang yang berilmu pasti
orang tersebut kebanyakan bersifat rendah hati dan tidak sombong, seperti ibaratkan
padi yang semakin berisi semakin merunduk. Sikap seseorang yang telah belajar ilmu
kadiatmikan dengan jnana tinggi mereka cenderung bersikap lebih dewasa, baik dan
ramah pada semua orang bahkan menjadi panutan bagi banyak orang, beda halnya
dengan sikap orang yang sok tau tentang ilmu kadiatmikan mulutnya jauh lebih
sombong ibarat “tong kosong nyaring bunyinya”, yang sering menipu seseorang dengan
panampilan luarnya saja.
Penerapan Nilai Estetika Ilmu Pangleakan
Estetika artinya keindahan, mempunyai pengertian yang sama dengan seni
budaya itu sendiri yang mana seni budaya itu ialah kalau ditinjau dari segi
etimologinya, kata seni budaya berasal dari dua suku kata yaitu seni dan budaya. Seni
artinya indah, halus dan luhur (Purwadarminta, 1976). Sedangkan budaya yang berarti
segala hasil dari cipta karsa manusia yang diciptakan dengan tangan (Budiono, 2009).
Menurut Jro Mangku Nyoman (Wawancara, 1 Maret 2013) dalam ilmu
pangleakanmenggunakan sarana berupa goresan tangan yang berupa gambar maupun
aksara suci yang disebut dengan rerajahan, gambar rerajahan yang diperoleh dari
belajar ilmu pangleakan terdapat karya seni manusia yakni berupa seni lukis gambar
yang bernilai spiritual yang dipergunakan belajar ilmu pangleakan. Sudah jelas bahwa
dalam ilmu pangleakan terdapat nilai estetika yang diterapkan melalui karya seni, seni
lukis yang berupa goresan tangan manusia yang berbentuk gambar maupun aksara suci
yang mempunyai kekuatan spiritual.
Makna Ilmu Pangleakan Bagi Masyrakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Kecamatan
Susut, Kabupaten Bangli.
Makna Sarana
Menurut Jro Nyoman Rinti (Wawancara, 10 Maret 2013) mengatakan bahwa
sarana upacara merupakan wadah atau sebuah alat untuk mencapai sebuah tujuan.
Seperti halnya kita akan meminta air dengan tangan hampa maka tujuan kita tidak akan
dapat terpenuhi dengan maksimal, namun bila kita bertujuan meminta air,
menggunakan gelas atau alat yang dapat menampung air maka tujuan kita dapat
terpenuhi dengan maksimal. Begitulah ibaratnya sarana ritual yang dipergunakan dalam
setiap ritual upacara di Bali yang bersifat bebas, namun tetap berpacu pada refrensi
sastra-sastra suci Hindu.
Makna Kebahagian dan Keharmonisan
Makna kebahagian dan keharmonisan dalam ilmu pangleakan akan dapat
diperoleh, apabila yang bersangkutan telah mencapai tingkat pangleakan tertinggi (leak
sari) dan tidak berbuat negatif pada seseorang dengan cara menyakiti orang, berikut ini
beberapa pandangan mencapai kebahagian dalam ilmu pangleakan.
Makna Kebebasan
Menurut Ida Pandita Manuaba (Wawancara, 12 Maret 2013), mengatakan bahwa
seseorang yang mempelajari ilmun pangleakan secara mendalam dengan ajaran dharma
dan tidak membunuh, ugig dan berbuat tidak baik, tentunya akan ada hasil yang
diperoleh yakni kebebasan atau moksa di dunia maupun di akhiratnya nanti, bahkan
orang tersebut mampu mengetahui, menentukan kematian dan tahu kapan dia akan
dipanggil menuju jalan panglepasan yang utama untukmencapai kebebasan yang utama
yaitu tidak mengalami punarbawa (kelahiran kembali), melainkan dia akan menyatu
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Makna Pendidikan
makna pendidikan yang terdapat dalam ilmu pangleakan ialah, tidak ada cara
yang instan untuk pintar dalam mempelajari suatu ilmu apapun, apalagi ilmu kebatinan.
Kita sebagai masyarakat sebaiknya menjaga dan melestarikan sesuatu yang telah
menjadi warisan budaya dari leluhur kita yang terdahul, agar nantinya dapat berguna
dengan baik dan sesuai dengan ajaran agama.
IV. SIMPULAN
1.Masyarakat di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli memiliki pandangan tersendiri
terhadap ilmu pangleakan karena ajaran ini sangat istimewa. Masyarakat di Desa
Pakraman Susut, Susut, Bangli memandang ilmu pangleakan dalam dua bagaian yakni
pangiwa dan panengen.Ilmu pangleakan yang dihidupkan melalui kanda pat,
pangleakan dapat diolah menjadi hal yang baik dan buruk tergantung dari oknum yang
menjalankan ilmu tersebut.Pangleakanmemiliki sarana-sarana yakni melalui pangasihasih, rerajahan, cetik dan pangleakan itu sendiri. Pangleakan memiliki tingkatantingkatan ilmunya. Berikutnya masyarakat memandang tidak ada ciri-ciri khusus dari
seseorang yang bisa ngeleak, yang mengakibatkan pembunuhan karakter pada
seseorang, melainkan menerangkan bahwa perwujudan leak lah yang mempunyai ciriciri bukan seseorang yang belajar ilmu pangleakan yang mempunyai ciri-ciri tersebut.
Berikutnya cerita-cerita mengenai ilmu pangleakan, salah satunya yang ditulis dalam
penelitian ini ialah cerita Ki Balian Batur, yang sangat terkenal dalam pangleakannya,
dalam penulisan ini juga tertuang cerita-cerita tentang ilmu pangleakan di Desa
Pakraman Susut, Susut, Bangli. Ilmu pangleakan tidak mesti dilihat sebagai suatu sisi
yang buruk atau negatif. Pemahaman yang condong kesisi negatif itu, mewujudkan
ungkapan ilmu hitam yang selalu dikonotasikan hitam, buruk, jahat, negatif, padahal
ilmu pangleakan tersebut bersifat fleksible tergantung penggunanya, digunakan ke arah
positif atau negatif.
2.Penerapan ilmu pangleakan yang terdiri dari penerapan dari sudut pandang sosio culture,
etika dan estetika. Penerapan ilmu pangleakan di masyarakat masih dirahasiakan (Aja
Wera), karena dalam ilmu pangleakan yang berbicara masalah jnana dan pengetahuan
tentang kekuatan Tuhan. Berikutnya penerapan nilai ilmu pangleakan dari sudut
pandang etika memandang ilmu pangleakan memiliki nilai moral yang tinggi karena
dalam ilmu pangleakan terdapat kode etik/ aturan-aturan yang mengikat ilmu
pangleakan ke arah yang positif. Penerapan nilai ilmu pangleakan dari sudut pandang
estetika (seni) tertuang dalam karya seni manusia yang berupa goresan tangan yang
berupa gambar dan aksara suci yang dipergunakan dalam sarana pangleakan, dan
terlahirnya cerita rakyat yang diluapkan dalam pentas seni tari, seperti cerita mengenai
Calon Arang yang dipentaskan dalam pagelaran seni yang pada akhirnya menjadi
kebudayaan, warisan yang patut dijaga dan dilestarikan sebagai kesenian Bali.
3.Terdiri dari beberapa bagian, yaitu makna sarana, makna kebahagian dan keharmonisan,
makna kebebasan dan makna pendidikan, jadi sangat luar biasa ajaran ilmu pangleakan
dalam kehidupan masyarakat, apabila semua ini disadari dan dicermati dengan baik
tidak, memahaminya setengah-setengah, karena pada dasarnya tidak ada ilmu yang
sifatnya negatif, tergantung dari orang yang menjalankan ilmu tersebut.
V. SARAN-SARAN
Bagi masyarakat Hindu di Bali, khususnya masyarakat Hindu di Desa Pakraman
Susut, Susut, Bangli mesti lebih memahami ajaran ilmu pangleakan ini, karena
merupakan ajaran leluhur masyarakat Bali yang telah diwariskan turun-temurun yang
harus dilestarikan dan tetap menjadi sebuah identitas kebudayaan Bali, jadi patut dijaga,
untuk orang yang memiliki teks-teks lontar mengenai ilmu pangleakan mesti di rawat
dengan baik walaupun enggan untuk mempelajarinya. Dengan memelihara teks-teks
tersebut, berarti telah ikut menjaga kebudayaan Bali yang sangat berharga dan
menunjukan rasa bhakti terhadap para leluhur. ss
Ajaran pangleakan bukanlah ajaran yang negatif, jika dipelajari dengan benar
sesuai dengan dharma dan agama maka, kebahagian dan keharmonisan akan
tercapai,begitu pula sebaliknya. Jika ingin mempelajari ilmu pangleakan ini,
diharapkan agar mencari soerang guru yang betul-betul mengetahui secara penuh ilmu
pangleakan ini, agar nantinya tidak salah arah ke arah yang negatif dan merugikan
orang lain, begitu pula bagi penekun ilmu pangleakan ini agar, diharapkan untuk tidak
menyalah gunakan ajaran ini untuk menyakiti orang, melainkan agar mempergunakan
ajaran ini untuk menolong, mengayomi, melindungi sesama agar terciptanya pencitraan
yang positif sesuai dengan ilmu pangleakan yang mengajarkan tentang kebaikan dan
dharma.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
1. Bapak Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D. Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
yang telah memberikan bimbingan dan semangat dalam penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Drs. I Made Suweta, M.Si. DekanFakultas Brahma Widya yang telah
memberikan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.
3. Para dosen Fakultas Brahma Widya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah mentransfer ilmu kepada penulis.
4. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya untuk Penglingsir Puri Agung Susut atas
dukungannya selama ini dalam penyusunan karya ilmiah ini.
5. Para informan yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi yang
sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi.
6. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : Keluarga besar Puri Agung Susut,
yang telah membantu dan memberikan semangat dalam pembuatan karya ilmial ini.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Capra, Fritjof. The Tao Of Physics Menyikap Kesetaraan Fisiska Modern dan Mistisme
Timur, Bandung : Jala Sutra.
Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok materi metode penelitian dan aplikasinya. Yogjakarta :
Ghalia.
Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia
Moleong, Lexy, 2001, Metodelogi penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Netra, Ida Bagus, 1996. Metode penelitian, Fakultas Keguruan Universitas Udayana.
Pudja, Gede, 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya), Surabaya: Paramita
Sayanacarya, Of Bhasya, 2005. Atharva Veda Samhita II. Surabaya: Paramita
Shivananda, Sri Swami, 2003. Intisari Ajaran Agama Hindu, Surabaya: Paramita
Suprayogo, Iman dan Tabroni, 2001. Metodelogi Penelitian Sosial-Agama, Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Download