Kedudukan Personal Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak

advertisement
Kedudukan Personal Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak Istimewanya
Dalam Proses Kepailitan (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor
868 K/ Pdt.Sus/ 2010)
Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Dalam pemberian kredit, Bank biasanya mensyaratkan suatu jaminan atau guarantee, salah satunya dalam bentuk
personal guarantee yang mana garantor diberikan hak istimewa oleh Undang-Undang guna melindungi
kedudukannya sebagai penjamin. Apabila suatu debitur dalam keadaan tidak mampu membayar kepada kreditur
utama maka seharusnya debitur itulah yang seharusnya melakukan pembayaran atas kewajibannya. Seorang
personal guarantor dapat memiliki konsekuensi hukum yang jauh, dimana apabila syarat kepailitan telah
terpenuhi, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap personal guarantor di
Pengadilan Niaga. Namun, dalam perjanjian garansi seringkali diatur mengenai pelepasan hak istimewa garantor
untuk menuntut lebih dahulu harta benda debitur untuk disita dan dijual demi melunasi utang-utangnya. Hal ini
kerap kali menjadi dasar kreditur untuk mengajukan permohonan pailit terhadap guarantor. Personal guarantor
dapat menjadi pihak yang dirugikan dikarenakan pelepasan hak istimewanya.
Kata kunci
: Pailit, Penjamin Perorangan, Jaminan, Personal Guarantor
The Position of Personal Guarantor Who Has Discharged The Privileges in The Process
Of Bankruptcy (Case Study: Supreme Court Decision No 868K/Pdt.Sus/2010)
Abstract
In order to grant a credit, banks usually require a guarantee. It can be a form of personal guarantee. Personal
guarantor are given special privileges by law in order to protect his position as guarantor. If a debtor in a state
where he can't afford to pay to the creditor, the personal guarantor is supposed to be the party who should fulfil
the payments. A personal guarantor could have big legal consequences, where if requirements of bankruptcy are
met, it follows that the creditor may file for a petition to declare bankruptcy of the personal guarantor on the
Commercial Court. However, a guarantee agreement often arrange the discharge of guarantor’s privilege to go
after and prosecute property of a debtor first in order to pay debtor’s debts. This frequently become the reason
for creditor to file for a petition to declare against guarantor. Personal guarantor can have an inflicted loss
because his privelege relinquishment. This thesis examine the position of the guarantor who has discharge his
priveleges and the timing for filing the petition to declare against personal guarantor.
Keywords
: Bankruptcy, Guarantee, Personal Guarantor, Personal Guarantee
Pendahuluan
Dana merupakan “oksigen” bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan
usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga
akan mati tanpa dana. Dana bagi perusahaan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari modal
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
(equity) dan utang (loan).1 Oleh sebab itu, banyak sekali perusahaan yang meminjam uang
yang dibutuhkan kepada pihak lain. Pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur
atau si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si
berutang. Hal ini juga berkaitan erat dengan asas kepercayaan dari kreditur, untuk debitur
dapat mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada waktunya.
Dalam perkembangannya sekarang ini dalam mengatasi kepailitan, sebuah perusahaan
atau badan hukum memberikan suatu garansi atau jaminan kepada pihak pihak kreditur dalam
pelunasan utangnya. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum
ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta
diberikan jaminan khusus. Jaminan khusus ini dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan
perorangan (borgtocht). Jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh
debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga
(penjamin/ guarantor) yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur
maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang
diperjanjikan; dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka
pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut.2
Seorang penjamin memiliki hak istimewa yang terdapat dalam Pasal 1832 KUH
Perdata yang salah satunya adalah untuk menuntut lebih dahulu pertanggungjawaban harta
debitur utama untuk lebih dahulu disita dan dijual. Namun biasanya dalam perjanjian
personal guarantor biasanya untuk melepaskan hak istimewa ini dijadikan salah satu
klausulnya. Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha
bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila
personal guarantor itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa
guarantor dapat dinyatakan pailit. Kepailitan ini diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU.
Dalam kasus yang terjadi antara Standard Chartered Bank melawan Tunjung
Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra, para termohon merupakan penjamin dari PT
Handalan Putera Sejahtera, untuk selanjutnya disebut sebagai PT HPS. PT HPS merupakan
1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2010), hal 295.
2
Ibid.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
nasabah dari Standard Chartered Bank dan mengadakan Perjanjian Fasilitas untuk fasilitas
Ekspor dengan Standard Chartered Bank senilai Rp1,5 miliar. Sehubungan dengan perjanjian
kredit tersebut, hadirlah Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra sebagai
personal guarantor dari PT HPS berdasarkan perjanjian jaminan pribadi form Guarantee.
Sempat dilaksanakan restrukturisasi utang namun hal ini tak juga dapat menyelamatkan PT
HPS. PT HPS dinilai gagal memenuhi kewajibannya sebagai debitur karena tidak bisa
memenuhi perjanjian tersebut. Oleh karena hal inilah, Standard Chartered Bank mengajukan
permohonan pernyataan pailit kepada para penjamin PT HPS yaitu Tundjung Rachmanto
Setyawan dan Rudi Syahputra.
Tinjauan Teoritis
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan mendefinisikan kepailitan
sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang.3 Personal Guarantor adalah perorangan yang bertindak sebagai penjamin.
berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat dipercaya akan
melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk melaksankan
kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya
garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang
debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.4Personal
guarantor memiliki hak istimewa yaitu hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut
agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitur) terlebih dahulu disita dan
dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi
utangnya, kemudian baru harta kekayaan penjamin,5 hak untuk meminta pemecahan uang,6
dan hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditur.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, di mana
data penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research),
3
Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37
Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 1 angka 1.
4 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal.151. 5
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, cet. 8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 1831.
6
Ibid, Ps. 1837.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
yaitu penelitian dengan cara menelusuri dan menganalisis bahan pustaka dan dokumen yang
berhubungan dengan substansi penelitian.7
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan-bahan sebagai berikut:
1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan
mengikat kepada masyarakat. 8 Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
permasalahan di dalam skripsi ini.
2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang isinya memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.9 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah buku, jurnal, skripsi, tesis, dan data dari internet.
3.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia dan
kamus.
Dari sudut sifatnya, penulisan ini tergolong dalam penulisan deskriptif, yaitu
penelitian yang menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis suatu gejala atau keadaan
secara teliti dan menganalisis keadaan tersebut.10
Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, apa
yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan dinyatakan secara tertulis atau
lisan dan perilaku nyata.11
Pembahasan
Jaminan diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Dalam Pasal 1131 KUH Perdata dapat disimpulkan seluruh harta dari debitur menjadi
jaminan dan tanggungan atas seluruh hutangnya dimana dengan kata lain bertujuan untuk
menjamin kreditur mendapatkan kepastian atas pelunasan piutangnya. Pasal 1132 KUH
Perdata menyatakan bahwa semua kreditur mempunya kedudukan yang sama dan tidak ada
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet 8,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.
8
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 52.
9
Ibid.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press),
2008), hal. 10.
11
Ibid., hal. 67.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya (kreditur konkuren) dan masing-masing
kreditur tersebut memperoleh pembayaran yang seimbang dengan besarnya piutang masingmasing.
Jaminan perorangan atau dapat disebut perjanjian penanggungan (borgtocht) adalah
jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu12, jadi jaminan yang
diberikan kepada kreditur bukanlah benda, melainkan perseorangan, yakni seseorang pihak
ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, baik terhadap kreditur maupun debitur. Borgtocht
ini lain daripada jaminan yang merupakan gadai, hipotik, atau fidusia, karena borgtocht ini
merupakan jaminan yang dilakukan oleh seseorang atau jaminan pihak ketiga (persoonlijk).
Pihak ketiga ini dapat berupa pribadi kodrati yaitu orang (personal guarantee) atau dapat
berupa badan hukum (corporate guarantee).
Pengaturan mengenai borgtocht ini diatur dalam Buku III Bab 17 KUH Perdata Pasal
1820-1850 tentang Penanggungan. Dimana pasal 1820 KUH Perdata berbunyi:
“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ke tiga guna
kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si
berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” 13
Adapun ciri-ciri dari jaminan perorangan adalah sebagai berikut: 14
•
mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;
•
hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;
•
seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan bagi pelunasan utang;
•
menimbulkan hak perorangan yang mengandung asas kesamaan atau
keseimbangan (konkuren) artinya tidak membedakan mana piutang
yang terjadi lebih dahulu dan yang mana terjadi kemudian.
•
jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari bendabenda jaminan dibagi diantara para kreditur seimbang dengan besarnya
piutang masing-masing.15
Dalam hal tuntutan langsung kepada penjamin/borg, apabila debitur tidak
melaksanakan kewajibannya, kreditur dapat menuntut agar penjamin melaksanakan
kewajiban debitur sehingga akan terlihat bahwa pihak yang dituntut untuk melakukan
12
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, ditulis dalam rangka kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek
Penulisan Karya Ilmiah,Tahun 2001, hal. 47.
13
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), op.cit., Ps. 1820.
14
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2,
(Jakarta: Ind-Hill Co, 2002), hal. 16.
15
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), op.cit., Ps. 1136.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
pemenuhan kewajiban pertama kali adalah debitur, dan dalam hal ini penjamin hanya menjadi
‘cadangan’. Tuntutan langsung kepada penjamin hanya diperbolehkan apabila penjamin telah
melepaskan hak istimewanya secara tegas dalam perjanjian borg tersebut. Hak istimewa
tersebut adalah hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning) yang diatur
dalam Pasal 1831-1832 KUH Perdata.
Dalam kasus kepailitan Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra sebagai
personal guarantor dari PT HPS. Sengketa ini berkaitan dengan perjanjian facility agreement
No.PK/SME/195/VII/08 tertanggal 1 Juli 2008 antara Pemohon Pailit dengan PT HPS dimana
Pemohon Pailit menyetujui untuk menyediakan pembiayaan eksport kepada PT HPS. Nilai
kontrak kedua belah pihak mencapai Rp1,5 miliar. Atas dasar perjanjian itulah Pemohon
Pailit menyetujui kemudian mencairkan dana sebanyak Rp1,5 miliar kepada PT HPS. Di
dalam facility agreement tersebut, disebutkan bahwa PT HPS telah dijamin secara pribadi
oleh Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra (untuk selanjutnya disebut sebagai
“Termohon Pailit”). Setelah dilakukan restrukturisasi utang pun PT HPS tidak bisa membayar
kewajibannya kepada Standar Pemohon Pailit. Dikarenakan hal inilah, Pemohon Pailit
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada para Termohon Pailit.
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memeriksa dan
mengadili
perkara
ini
dan
mengambil
putusan,
yaitu
putusan
No.
53/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST yang pada intinya menolak permohonan Pemohon
Pailit Standard Chartered Bank untuk seluruhnya dimana unsur dua atau lebih kreditur
dianggap tidak terpenuhi dengan sempurna. Terhadap putusan tersebut, Pemohon Pailit
mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dan telah diputus dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 868 K/Pdt.Sus/2010 tertanggal 15 Desember 2014 yang
mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi dan menyatakan kedua penjamin PT HPS,
Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra, dalam keadaan pailit.
Seorang personal guarantor tentunya memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur
oleh Undang-Undang. Dalam kasus ini para guarantor yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan
dan Rudi Syahputra telah mengikatkan diri untuk menjadi penjamin PT Handalan Putra
Sejahtera (PT HPS). Guarantor yang tidak melepaskan hak istimewanya berhak untuk
menuntut kreditur untuk menagih kepada debitur utama terlebih dahulu. Tunjung Rachmanto
Setyawan dan Rudi Syahputra dalam hal ini menjadi penjamin PT Handalan Putra Sejahtera
(PT HPS) dengan Standard Chartered Bank telah melepaskan hak istimewanya dalam sebuah
form Guarantee dan Facility Agreement. Akibat adanya perjanjian Guarantee ini, Tunjung
Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra tidak lagi memiliki hak-hak istimewa yang telah
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
diberikan oleh Undang-Undang kepada mereka. Mengingat konsep perjanjian, berdasarkan
Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak harus mematuhi apa yang telah disepakatinya dimana
dalam hal ini para guarantor harus mematuhi apa yang telah menjadi kewajiban sebagai
penanggung yang telah melepaskan hak-haknya berdasarkan perjanjian ini, yaitu menjalankan
kewajibannya sebagai personal guarantor dimana ia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik
kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank sebagai kewajiban terpisah dan
independen dari Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra selaku penjamin,
pembayaran jatuh tempo dan tepat waktu oleh PT HPS atas jumlah berapapun sifatnya yang
jatuh tempo dan/atau menjadi jatuh tempo dari PT HPS berdasarkan atau menurut perjanjian
kredit.
Berdasarkan kasus ini, para penjamin awalnya menjamin secara pribadi masing-masing
sejumlah Rp750 juta dan PT HPS sendiri menjamin dengan gadai deposito sejumlah Rp
312.500.000,00. Ditegaskan kembali dalam isi perjanjian bahwa para penjamin dengan ini
tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank.
Kemudian setelah restrukturisasi utang jumlah utang menjadi Rp 1.187.500.000,00, dalam
waktu 48 bulan, penjamin menjamin atas jumlah berapapun utang dari debitur. Majelis Hakim
pula
dalam
pertimbangan
hukumnya
dalam
Putusan
No
53/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. menyatakan bahwa dalam menjamin utang dari
perusahaan, penjamin dapat menjamin sebagian atau seluruh dari utang si debitur.
Sesuai dengan konsepnya dalam penanggung (guarantor) ini, pihak kreditor dapat
meminta pembayaran utang apabila pihak debitur tidak mampu membayar utang-utangnya
kepada kreditur. Dalam kasus ini, debitur utama yaitu PT HPS tidak sedikitpun membayar
utangnya kepada Pemohon Pailit.
Kemudian Termohon Pailit dalam Jawaban berpendapat bahwa seharusnya Pemohon
Pailit terlebih dahulu mengajukan permohonan pailit terhadap PT HPS selaku nasabah dan
debitur utama. Menurut Termohon Pailit, hal ini sangatlah janggal dan aneh dikarenakan PT
HPS selaku peminjam dan yang telah menikmati fasilitas kredit. Penulis menilai Jawaban
Termohon tidaklah tepat. Dalam hak-hak istimewa telah dilepaskan, penjamin dapat
dipailitkan bahkan tanpa mengikutsertakan debitur utama. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
peralihan dimana penjamin dapat beralih kedudukannya menjadi debitur sebagai konsekuensi
dilepaskannya hak-hak istimewanya yang diberikan Pasal 1832 KUH Perdata sebagai seorang
personal guarantor. Hal ini juga ditegaskan dalam permohonan Kasasi dimana kedua
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
penjamin selaku penjamin utang PT HPS masing-masing telah melepaskan hak istimewanya
sesuai Pasal 1837 KUH Perdata sehingga dapat dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit.16
Termohon Pailit berpendapat dalam Jawaban bahwa Termohon Pailit belum punya
kewajiban untuk melaksanakan kewajiban mereka selaku penjamin utang PT HPS
dikarenakan belum ada bukti dimana PT HPS tidak bisa membayar utangnya kepada
Pemohon Pailit.
Penanggung dapat menjadi debitur apabila:
1. Debitur utama cidera janji atau/ dan telah disita dan dilelang hartanya, tetapi
hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, maka penanggung
mempunyai kewajiban untuk melunasi utang tersebut atau;
2. Apabila penanggung melepaskan hak isitmewanya untuk menuntut agar harta
dan benda Debitur lebih dahulu disita dan dijual seperti sebagaimana diatur
dalam 1831 KUH Perdata.
Penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim telah tepat dalam menyatakan para termohon
pailit yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra adalah seorang personal
guarantor atas fasilitas kredit yang diterima dari Standard Chartered Bank oleh PT HPS,
dimana sehubungan dengan perjanjian fasilitas kredit tersebut Termohon Pailit telah
melepaskan hak-hak istimewa mereka. Sehingga ketika PT HPS melakukan wanprestasi,
maka kedudukan Termohon Pailit dapat beralih menjadi debitur yang dapat dimohonkan pailit,
dengan memenuhi syarat untuk seorang dinyatakan pailit yaitu mempunyai dua/lebih kreditur
dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang
diatur dalam Pasal 2 UUK-PKPU.
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi. 17 Penulis juga setuju dalam hal
pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga
berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU telah cukup terbukti bahwa
Para Termohon Pailit memang memiliki utang kepada kreditur-kreditur lain, maka
permohonan Standard Chartered Bank dipandang beralasan dan menurut hukum dan patut
dikabulkan.
Dalam hal masing-masing penjamin disini menjamin atas utang PT HPS kepada Standard
Chartered Bank, berdasarkan Pasal 1836 KUH Perdata mengatur apabila terdapat beberapa
17
Indonesia, op.cit, Ps. 8 Ayat 4.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
orang yang telah mengikatkan diri sebagai personal guarantor untuk seorang kreditor yang
sama, tapi pula untuk utang yang sama, maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh
utang.
Dalam
pertimbangannya
Majelis
Hakim
Mahkamah
Agung
juga
telah
mempertimbangkan bahwa pelepasan hak istimewa sesuai Pasal 1837 KUH Perdata yang
dilakukan Para Termohon Pailit sehingga dapat dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit.
Dapat disimpulkan dalam kasus ini bahwa adalah benar apabila Majelis Hakim
berpendapat bahwa para termohon pailit benar melepaskan hak istimewanya yang diberikan
oleh Undang-Undang dan dapat dibuktikan dalam persidangan, maka ia menggantikan
kedudukan debitur utama dalam melaksanakan kewajiban debitur utama terhadap kreditur
sehingga termohon pailit dapat dikategorikan sebagai debitur. Namun, keanehan lain yang
Penulis lihat adalah konsep Kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan memang tidak
dijelaskan secara rinci dan lengkap mengenai kedudukan seorang penjamin, baik corporate
guarantee atau personal guarantee. Dalam kepailitan memang hanya disebutkan mengenai
definisi debitur yang tertera pada Pasal 2 UUK-PKPU. Definisi yang tertera di dalam pasal ini
juga cukup luas dimana dikatakan bahwa debitur adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.
Mencermati konsep kepailitan, seharusnya memang dalam kasus ini pihak yang ditagih adalah
PT HPS, bukan para penjaminnya. Akan tetapi debitur justru lebih memilih untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada penjamin. Walaupun hal ini tidak
bertentangan dengan ketentuan KUH Perdata dan juga tidak dilarang secara gamblang dalam
UUK-PKPU, namun hal ini juga melahirkan celah yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Dalam menentukan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin perlu
diperhatikan apakah penanggung atau penjamin tersebut telah melepaskan hak istimewanya
untuk menuntut supaya harga benda PT HPS sebagai debitur lebih dahulu disita dan dijual,
atau tidak. Oleh sebab inilah Penulis membahas pokok permasalahan mengenai hak istimewa
di dalam pokok permasalahan pertama dikarenakan hal ini sangatlah berkaitan.
Dalam hal penanggung atau penjamin tidak melepaskan hak istimewanya seperti yang
dijelaskan diatas, maka waktu pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung
atau penjamin adalah setelah debitur dinyatakan pailit terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa penanggung atau penjamin tidak
diwajibkan membayar utang debitur kepada kreditur selain apabila debitur lalai dan harta
kekayaan debitur telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Setelah
debitur dinyatakan pailit dan harta kekayaan debitur dijual namun belum juga dapat melunasi
utang-utangnya, maka kepada setelah itu barulah kreditur dapat menagih kepada penjamin
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
atau penanggung. Apabila penjamin atau penanggung tidak mau membayar, maka kreditur
dapat memohon pernyataan pailit atas penanggung. Dengan kata lain, pengajuan permohonan
pernyataan pailit terhadap penjamin yang tidak melepaskan hak istimewanya adalah setelah
terlebih dahulu mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur utama.
Dalam hal pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin yang telah
melepaskan hak istimewanya, dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan
pernyataan pailit terhadap debitur, atau bahkan dapat diajukan tanpa mengajukan terlebih
dahulu permohonan pernyataan pailit terhadap debitur.18 Hal ini diartikan apabila debitur lalai
memenuhi kewajibannya, maka kreditur dapat langsung menagih utang kepada penanggung
atau penjamin. Namun dalam hal ini, kapasitas penjamin adalah sebagai penjamin, bukan
sebagai debitur yang bersama-sama dengan debitur utama.
Apabila dikaitkan dengan kasus ini, Termohon I dan Termohon II dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa mengajukan terlebih dahulu permohonan pernyataan
pailit terhadap debitur. Hal ini disebabkan Termohon I dan Termohon II telah melepaskan hak
istimewa yang telah diberikan oleh undang-undang. Hal ini merupakan konsekuensi
dilepaskannya hak-hak istimewa seorang personal guarantor. Dengan demikian hal ini sudah
sejalan dengan Pasal 1832 KUH Perdata. Disisi lain, apabila melihat ketentuan yang ada
dalam Hukum Kepailitan, maka seharusnya PT HPS lah yang melakukan pelunasan utang.
Akan tetapi, mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada penjamin dari PT HPS
tidaklah melanggar hukum.
Seperti halnya dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 868 K/Pdt.Sus/2010
dikatakan bahwa untuk dimungkinkan untuk menyatakan pailit secara bersamaan terhadap
debitur dan penjamin. Kreditur dapat mengajukan permohonan dan mendaftarkan tuntutannya
100% (seratus persen) secara utuh dalam kepailitan terhadap debitur dan penjamin.
Proses pengajuan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin didasarkan
pada Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata serta Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU. Berbeda
halnya apabila ia tidak melepaskan hak-hak istimewanya. Seorang penjamin dapat menuntut
kreditur terlebih dahulu.
Oleh karena dalam kasus ini kedua penjamin yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan
Rudi Syahputra keduanya melepaskan segala hak-hak istimewa mereka yang diberikan
Undang-Undang maka mereka dapat dituntut langsung oleh kreditur atas utang yang dimiliki
debitur utama. Kecuali, setelah diberitahukan dan ditegur sampai pada saat penanggung atau
18
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal. 86.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
penjamin dituntut pertama kali di muka hakim juga tidak meminta penyitaan dan penjualan
kebendaan debitur dan penanggung atau penjamin juga tidak melakukan kewajibannya maka
sesuai rumusan pasal 1238 KUH Perdata, penanggung atau penjamin dapat dinyatakan lalai,
dan atas kelalaiannya tersebut penanggung atau penjamin dapat dipailitkan.19
Dalam hal ini Pemohon juga telah membuktikan bahwa Termohon I dan Termohon II
mempunyai lebih dari satu kreditur seperti yang disyaratkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU. Hal ini pula sejalan dengan azas yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata Pasal 163
HIR.
Dari hal inilah dapat dilihat bahwa dengan dilepaskannya hak istimewa maka juga
perlu dibuktikan bahwa hak istimewa tersebut memang dilepaskan oleh pihak yang berkaitan
sesuai dengan prinsip siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia harus membuktikan. Dengan
dapat dibuktikannya Termohon Pailit memiliki beberapa utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, maka dari itu Termohon Pailit I dan Termohon Pailit II dapat dimohonkan pailit
karena telah memenuhi syarat Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU juncto Pasal 1831 KUH Perdata.
Sehingga Putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan menolak permohonan pernyataan pailit
terhadap Termohon I dan II tidaklah tepat. Namun, adalah benar judex factie memang telah
salah dan keliru serta tidak cermat dalam mempertimbangkan seluruh fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan.
Penulis menganalisa bahwa adanya pelepasan hak istimewa oleh penjamin adalah
pertimbangan utama mengapa Majelis Hakim menyatakan bahwa penjamin dapat dipailitkan.
Maka dari itu, hal yang perlu dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu bahwa terdapat
utang milik debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kemudian apakah terdapat
penjamin dari debitur utama tersebut. Penjamin yang melepaskan hak istimewa adalah
penjamin yang dapat dimohonkan pernyataan pailit tanpa memailitkan debitur terlebih dahulu.
Oleh sebab itu, syarat utama apabila ingin memailitkan penjamin adalah pemohon harus dapat
membuktikan bahwa apakah benar penjamin menjadi penjamin yang dapat ditagih atas utangutang debitur utama dan apakah ia sudah melepaskan hak istimewanya sehingga penjamin
bisa dipailitkan tanpa memailitkan debitur utama.
Penulis menilai Majelis Hakim Pengadilan Niaga kurang tepat dalam menjatuhkan
putusan pailit terhadap Para Termohon Pailit. Sebab, persyaratan adanya minimal dua kreditur
telah terpenuhi pada diri para termohon sebagai guarantor yang telah berstatus debitur
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004, hal 159.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
dimana telah terbukti. Oleh karenanya, seharusnya Pengadilan Niaga menerima permohonan
pailit Pemohon.
Terlebih lagi dalam putusannya, Pengadilan Niaga kurang lengkap dalam
mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada guarantor. Dalam
pertimbangannya, Pengadilan Niaga tidak jelas dalam mensyaratkan kedudukan garantor
sebagai penjamin dalam Pasal 1832 Butir 1 KUH Perdata, bukan debitur yang bersama-sama
debitur utama, dapat dinyatakan pailit seperti yang Penulis sebutkan diatas. Sebab
bagaimanapun juga hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan yang dituliskan dalam
putusan mengingat pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU mensyaratkan seseorang haruslah berstatus
sebagai debitur untuk dapat dinyatakan pailit dan bagaimana kedudukan Para Termohon Pailit
dalam hal ini menjadi bisa dipailitkan.
Dalam hal yang tertuang dalam dokumen sidang, Kuasa Hukum Termohon Pailit
heran mengapa permohonan pailit dilayangkan kepada kliennya selaku penjamin dimana
beliau merasa secara hukum adalah sangat janggal dan aneh karena PT HPS selaku peminjam
dan yang telah menikmati fasilitas kredit, tidak dijadikan sebagai termohon pailit dalam
permohonan pailit aquo. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dan janggal dikarenakan telah
ada beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu No. 762 K/PDT.SUS/ 2010 tanggal 29
September 2010 jo. Putusan No. 03/PAILIT/2009/ PN.NIAGA/ MDN., tanggal 10 Februari
2010 dalam Perkara Permohonan Kepailitan yang diajukan oleh CITIBANK N.A, selaku
Pemohon Pailit terhadap Sdr. Wijayanto, selaku Termohon Pailit I dan Sdr. Shelly Kustamin,
selaku Termohon Pailit II, telah mengabulkan Permohonan Pailit terhadap para penjamin
tanpa menarik Debitur Utama (PT Berkah Sawit Sumatera) sebagai Termohon Pailit.
Memang banyak sekali pendapat yang muncul mengenai hal ini seperti halnya PT HPS lah
yang menikmati kredit fasilitas tetapi justru Standard Chartered memohonkan pailit terhadap
para penjaminnya. Hal inilah yang Penulis lihat sebagai konsekuensi pelepasan hak istimewa
dari Termohon Pailit I dan II sebagai penjamin PT HPS seperti yang telah Penulis jelaskan di
atas.
Mencermati hal ini, Penulis melihat terjadi sebuah celah yang dirasa menjadi suatu
ketidakadilan bagi penjamin. Hal ini terjadi ketika seorang debitur utama yaitu PT HPS tidak
melunasi utang-utangnya bukan diakibatkan oleh ketidakmampuan si PT HPS untuk melunasi,
namun PT HPS hanya tidak mau melunasi. Penulis merasa hal ini sangat mungkin menjadi
sebuah dasar pemanfaatan debitur terhadap para penjamin. Debitur bisa saja bertindak
‘semena-mena’ untuk tidak mau membayar utangnya, bukan dikarenakan debitur tidak
mampu. Jika dilihat dari sisi penjamin, hal ini tentunya membuat penjamin dalam kondisi
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
yang kurang beruntung. Seorang penjamin tentunya ingin debitur utama seperti PT HPS,
sukses dan menjalani bisnis atau perusahaannya dengan berkembang. Bisa dilihat dalam hal
ini bahwa penjamin memiliki niat baik untuk menjamin utang-utang debitur utama. Sungguh
menyedihkan apabila seorang penjamin dipailitkan namun debitur utama hanya dalam
keadaan tidak mau membayar, bukan dalam keadaan tidak mampu membayar.
Untuk membela hal ini, tentunya debitur memiliki pemikiran bahwa perjanjian
penjaminan antara debitur dan penjamin tidaklah melanggar ketentuan yang terdapat di KUH
Perdata. Debitur juga tentunya akan membahas terkait Buku 3 KUH Perdata yang bersifat
bebas dan terbuka serta dapat disimpangi dengan isi perjanjian diantara para pihak. Hal ini
juga disebabkan oleh undang-Undang terkait kepailitan di Indonesia yang mensyaratkan
seseorang dapat dipailitkan hanya bila dapat dibuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. UUK-PKPU memang sudah banyak mengundang banyak tanggapan dari berbagai
pihak. UUK-PKPU seakan memperbolehkan bahwa kepailitan itu bukan dikarenakan debitur
tidak bisa membayar, tetapi bisa juga karena tidak mau membayar. Hal inilah yang menurut
Penulis sangat bisa melahirkan ketidakadilan terhadap penjamin.
UUK-PKPU membuka kesempatan yang cukup luas kepada kreditor untuk mempailitkan
suatu debitor. Asalkan permohonan kepailitan memenuhi Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat
(4) UUK-PKPU. Alhasil, debitor dapat diputus pailit tanpa melihat kemampuan untuk
menyelesaikan utang. Hal ini yang mendasari usulan untuk merevisi UUK-PKPU agar
menggunakan konsep insolvency test dilakukan untuk menguji kemampuan debitur dalam
membayar kewajibannya. Hal ini menimbulkan banyak sekali perdebatan dikarenakan kedua
konsep mengenai insolvency test dan konsep yang dianut Indonesia saat ini.
Tentunya terdapat perbedaan konsekuensi hukum yang terjadi ketika kreditur memilih
untuk memohon pernyataan pailit terhadap penjamin, bukannya debitur utama. Konsekuensi
yang timbul dari hal ini adalah debitur utama tidak lagi memiliki kewajiban membayar
kepada kreditur, namun penjamin yang dalam hal ini telah melepaskan hak istimewanya
menanggung semua kewajiban tersebut. Sehingga tidak terjadi likudasi terhadap harta
kekayaan debitur utama. Hal ini lah yang Penulis nilai merupakan celah ketidakadilan seperti
yang Penulis sebutkan diatas.
Berbeda halnya jika kreditur memilih untuk memohon pernyataan pailit terhadap debitur
utama. Konsekuensi hukum yang akan timbul adalah ketika perusahaan tersebut dinyatakan
pailit, maka akan berdampak pada likuidasi. Apabila harta kekayaan debitur telah disita dan
dilelang tetapi tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya sehingga masih terdapat sisa
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
utang yang belum terbayar atau telah terbukti debitur telah tidak memiliki harta apapun lagi
atau debitur utama telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain, baru kemudian kreditur dapat
menagih utang debitur utama kepada penjamin.
Dapat disimpulkan bahwa pada prakteknya, terdapat celah yang dapat melahirkan
ketidakadilan bagi penjamin. Penulis setuju dengan pendapat J Satrio yang mengatakan
bahwa penanggungan memang bisa membawa konsekuensi yang luas bagi borg, maka kepada
borg perlu diberikan perlindungan. 20 Kondisi debitur tidak mau membayar sangat
memungkinkan membuat kedudukan penjamin menjadi ‘tameng’ dalam perkara kepailitan.
Terlebih lagi peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara detail mengenai
hal ini, seperti KUH Perdata juga hanya mengatur mengenai hak-hak istimewa, UUK-PKPU
tidak mengatur secara spesifik mengenai penjaminan atau personal guarantor dan UUKPKPU yang melahirkan kesempatan yang luas kepada kreditur mempailitkan seorang debitur.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hukum mengenai kedudukan personal guarantor yang
telah melepaskan hak istimewanya dalam proses kepailitan, Penulis mencoba memberikan
suatu kesimpulan dengan menjawab pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada pembatasan terhadap seorang personal guarantor yang telah melepaskan
hak istimewanya. Memang akta-akta dalam perjanjian dalam kasus ini disebut sebagai
form guarantee, lazim dibuat janji-janji khusus antara kreditur dan garantor, dimana
dimaksudkan untuk berjanji agar garantor melepaskan hak-haknya tertentu
sebagaimana telah diberikan oleh undang-undang dalam rangka menghindari
berlakunya
ketentuan-ketentuan
dalam
undang-undang.
Hal
ini
melahirkan
konsekuensi pelepasan hak istimewa itu menyebabkan dirinya menjadi pihak yang
melunasi utang debitur utama jika memang debitur utama wanprestasi, yang jumlah
utangnya mungkin spesifik tertera atau menjamin berapapun dalam facility agreement
dan form guarantee.
Konsep perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak harus mematuhi
apa yang telah disepakatinya dimana dalam hal ini para guarantor harus mematuhi apa
yang telah menjadi kewajiban sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-haknya
berdasarkan perjanjian ini, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai personal
20
J. Satrio, Hukum Jaminan: Hak-Hak Jaminan: Hak-Hak Jaminan Pribadi, (Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti, 1996), hal. 18.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
guarantor dimana ia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada
Standard Chartered Bank sebagai kewajiban terpisah dan independen dari Tunjung
Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra selaku penjamin, pembayaran jatuh tempo
dan tepat waktu oleh PT HPS atas jumlah berapapun sifatnya yang jatuh tempo
dan/atau menjadi jatuh tempo dari PT HPS berdasarkan atau menurut perjanjian kredit.
2. Waktu
pengajuan
permohonan
pailit
terhadap
penanggung
atau
penjamin
memperhatikan ketentuan yang mengatur tentang adanya pelepasan hak istimewa
untuk menuntut supaya harta benda Debitur lebih dahulu disita dan dijual, atau tidak.
Apabila personal guarantor melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam 1832
KUH Perdata, maka waktu pengajuannya adalah bersamaan dengan pengajuan
permohonan pernyataan pailit terhadap debitur, bahkan dapat diajukan tanpa
mengajukan terlebih dahulu permohonan pailit terhadap debitur. Adapun syarat-syarat
pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap personal guarantor atau penjamin
pada dasarnya sama dengan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitur. Pembeda keduanya adalah terhadap personal guarantor, selain
memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU harus juga memperhatikan Pasal 1832
butir (1) KUH Perdata yang mencantumkan hal terkait hak istimewa. Seorang
penanggung tidaklah dapat dimohonkan kepailitan tanpa memailitkan debitur utama
terlebih dahulu sepanjang ia belum melepaskan hak istimewanya.
Kreditur memiliki hak untuk menuntut langsung penjamin sebagai pihak Tergugat di
pengadilan tanpa menggugat kreditur terlebih dahulu atau tanpa mengikutsertakan
debitur. Hal ini diperbolehkan dengan kondisi21:
1. Penjamin telah secara tegas melepaskan atau gugurnya hak istimewa penjamin
yaitu untuk menuntut lebih dulu (voorrecht van uitwinning);
2. Penjamin mengikat diri secara tanggung renteng dengan debitur;
3. Debitur dalam keadaaan pailit;
4. Debitur lalai untuk memajukan hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht
van uitwinning) sebagai jawaban pertama dalam persidangan di muka hakim.
Dalam kasus ini, hal yang terjadi adalah kondisi pada poin pertama. Pelepasan hak
istimewa oleh penjamin adalah pertimbangan utama mengapa Majelis Hakim
menyatakan bahwa penjamin dapat dipailitkan. Maka dari itu, hal yang perlu
dilakukan dalam memailitkan penjamin adalah:
21 Ibid. Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
•
memastikan terlebih dahulu bahwa terdapat utang milik debitur yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih;
•
memastikan terdapat penjamin atau beberapa penjamin dari debitur utama
•
terdapat perjanjian pelepasan hak istimewa sesuai Pasal 1832 Ayat (1) KUH
Perdata dan penjamin berkedudukan menjadi pihak yang dapat dimohonkan
pernyataan pailit oleh kreditur tanpa memailitkan debitur terlebih dahulu.
Pengadilan Niaga dalam Putusan MA No. 868 K/Pdt.Sus/2010 kurang lengkap dalam
mempertimbangkan kedudukan penjamin dalam pernyataan pailit kepada Tunjung
Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra. Majelis Hakim hanya menyebutkan bahwa
sebagai personal guarantor dari PT HPS maka penjamin kemudian berkedudukan
sebagai debitur. Pada tingkat Pengadilan Niaga, Majelis Hakim juga kurang lengkap
dalam mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada
personal guarantor. Dalam pertimbangannya Pengadilan Niaga tidak secara detail
menjelaskan kedudukan personal guarantor dalam hal kapasitasnya sebagai penjamin,
bukan debitur utama.
Melihat hal ini terjadi sebuah celah yang dirasa menjadi suatu ketidakadilan bagi penjamin
ketika seorang debitur utama tidak melunasi utang-utangnya bukan diakibatkan oleh
ketidakmampuan si debitur untuk melunasi, namun debitur hanya tidak mau melunasi. Dalam
konsep dasar kepailitan, PT HPS adalah pihak yang seharusnya dimohonkan pernyataan pailit.
Hal ini juga ditambah dengan terlalu luasnya kesempatan kreditor untuk mempailitkan suatu
debitor dilihat dari syarat kepailitan dan tidak pengaturan terkait penjaminan di UUK-PKPU.
Terlebih lagi dalam praktek, banyak sekali celah yang dapat melahirkan ketidakadilan.
Banyak sekali harapan dari berbagai pihak untuk UUK-PKPU agar menggunakan konsep
insolvency test dilakukan untuk menguji kemampuan debitur dalam membayar kewajibannya.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian hukum dan kesimpulan yang telah dijabarkan, maka
Penulis mencoba untuk memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga hendaknya lebih lengkap dalam mempertimbangkan
dapat
tidaknya
pernyataan
pailit
dijatuhkan
kepada
guarantor.
Dalam
pertimbangannya Pengadilan Niaga perlu mempertimbangkan lebih lengkap
kedudukan personal guarantor selaku penjamin untuk dapat dipailitkan. Hal ini
penting untuk dijadikan pertimbangan yang dituliskan dalam putusan, Pasal 1 Ayat (1)
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
UUK-PKPU mensyaratkan seseorang haruslah berstatus sebagai debitur untuk dapat
dinyatakan pailit.
2. UUK-PKPU hendaknya dilakukan revisi melihat urgensi yang cukup tinggi yang
datang dari masyarakat Indonesia atas berbagai kasus yang telah ada.
3. Usulan terkait insolvency test perlu dipertimbangkan dalam revisi UUK-PKPU demi
terciptanya keadilan.
Daftar Referensi
Buku
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid
2. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.
Mamudji, Sri. Et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Satrio, J. Hukum Jaminan: Hak-Hak Jaminan: Hak-Hak Jaminan Pribadi. Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti, 1996.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. Jakarta: Universitas Indonesia (UI
Press), 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
cet 8. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah, 2001.
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan. Jakarta: Grafiti, 2010.
Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Regulasi
Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 1 angka 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio, cet. 8, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Kedudukan personal…, Claudia Anjani Zain, FE UI, 2014
Download