pih 04 – hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat

advertisement
HUKUM SEBAGAI KENYATAAN
DALAM MASYARAKAT
PERTEMUAN - 04

Manusia di dalam dimensi sosialnya selalu berada
dalam lingkaran yang terdiri minimal 4 (empat)
unsur, yaitu :
−
−
−
−
ketertiban (order);
sistem sosial;
pranata-pranata sosial; dan
pengendalian sosial


Contoh :
Si A merupakan seorang mahasiswa di kota X. Setiap
hari si A naik bus ke kampusnya. Dapat dibayangkan,
terdapat ratusan ribu kendaraan maupun pejalan kaki
yang saling berlalu lalang memenuhi jalam-jalan di kota
X, tetepi hanya sedikit sekali yang kebetulan tabrakan.
Apakah yang menyebabkan keteraturan itu?
Keteraturan itu disebabkan adanya ketertiban (oder).
Ketertiban ini merupakan syarat mutlak bagi
berlangsungnya hubungan di antara anggota
masyarakat.


Si A harus membayar tarif angkutan bus sekian rupiah;
untuk dapat mencapai taraf kehidupan yang memadai, si A
juga haruslah bekerja, dan agar dapat memperoleh
pekerjaan yang pantas haruslah memiliki keahlian tertentu;
bahwa usaha pencapaian keahlian itu salah satunya melalui
pendidikan formal di sekolah, dst. dst.
Hubungan-hubungan yang teratur tersebut merupakan
proses yang dipertahankan oleh sistem sosial. Sistem sosial
adalah suatu sistem tindakan yang saling kait-mengait di
antara individu pelakunya.


Di mana si A bersekolah? Di Universitas X. Kalau si
A ingin membeli buku-buku di mana? Di toko buku.
Kalau si A mencuri, siapa yang berwenang
mengadilinya? Pengadilan.
Nah, pengadilan, universitas, toko buku, dsb.
Adalah lembaga sosial. Dengan demikian fungsi
lembaga sosial ini ialah menyelenggarakan
berbagai kebutuhan (pokok) secara tertib dan
teratur.




Setiap sistem sosial memiliki cara mempertahankan dan
mengembangkan sendiri. Upaya sistem sosial untuk
mempertahankan diri itu disebut pengendalian sosial.
Kalau si A merampok atau membunuh atau memperkosa,
maka harus ada mekanisme di dalam sistem sosial itu untuk
menghadapi penyimpangan tersebut.
Pengendalian sosial berfungsi untuk menyalurkan tingkah
laku orang-orang agar sejalan dengan kemauan
masyarakat.
Mekanisme pengendalian sosial iti beraneka ragam
wujudnya, antara lain : dipergunjingkan, disisihkan dari
pergaulan, dihukum denda, dihukum penjara, bahkan
hingga yang terkasar, yaitu dihukum mati.


Apa yang menetapkan bahwa tindakan X harus
didenda, sedangkan tindakan Y harus dipenjara? Yang
menentukan adalah Hukum.
Hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat terbagi
dalam :
1. Hukum dan kultur;
2. Hukum dan ketertiban;
3. Hukum dan politik; serta
4. Hukum dan ekonomi.
HUKUM DAN KULTUR


Kultur hukum didefinisikan oleh Fredmann sebagai unsur tuntutan.
Tuntutan atau permintaan ini berasal dari rakyat atau pemakai jasa
hukum lainnya, termasuk pengadilan.
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo : “di belakang tuntutan
tersebut, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga adanya
faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan, dan pendapat
mengenai hukum. Orang secara sadar datang kepada hukum
(pengadilan), tentunya disebabkan oleh penilaian yang positif
mengenai institusi itu. Dengan demikian keputusan untuk membawa
sengketa tersebut ke pengadilan pada hakikatnya merupakan hasl
positif dari bekerjanya faktor tersebut. Hal sebaliknya tentu saja
bisa terjadi”.

Contohnya, ketika terjadi wanprestasi utang
piutang antara si A sebagai debitur (pihak yang
berutang) dan si B sebagai kreditur (pihak pemberi
utang), di mana si A melakukan tindakan
wanprestasi terhadap krediturnya, si B.
Tentang wanprestasi ini, aturan hukumnya sudah
jelas, yaitu siapa saja yang berutang harus
melunasi utangnya sesuai apa yang diperjanjikan
oleh kedua pihak.


Menurut Achamd Ali, kapan seseorang itu melakukan
wanprestasi, yaitu :
– saat tidak memenuhi kewajiban;
– saat terlambat memenuhi kewajiban; dan
– memenuhi, tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.
Perihal wanprestasi dari pihak debitur tadi harus dinyatakan
terlebih dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan
kepada debitur bahwa pihak kreditur menginginkan
pembayaran seketika atau dalam jangka waktu cepat. Jadi
pokok utang itu harus ditagih terlebih dahulu secaa tertulis.
(pasal 1238 KUHPdt.)



Setelah proses peringatan dan penagihan dilakukan, dan debitur belum
juga melaksanakan kewajibannya, di sini ada beberapa pilihan yang
dapat dilakukan pihak kreditur.
Pilihan ini tidak lagi diatur oleh hukum sebagai kaidah, tetapi ditentukan
oleh kultur hukum dan kreditur.
Dalam hubungannya dengan wanprestasi tadi, pihak kreditur dapat
memilih salah satu diantara cara berikut :
1.
Mendatangani debitur secara baik-baik dan berusaha dengan jalan
kekeluargaan untuk membujuk debitur membayar utangnya.
2.
Mengajukan perkara itu ke pengadilan.
3.
Menyelesaikan melalui perantara mediator.
4.
Menyewa tukang pukul untuk menagih paksa si debitur.



Cara apa yang menjadi pilihan pihak kreditur ditentukan
oleh kultur hukum yang dianutnya, bukan lagi oleh kaidah
hukum tentang wanprestasi atau utang piutang.
Kalau pihak kreditur memilih menggunakan tukang pukul
untuk memaksa debitur membayar utangnya, ini berarti
kultur hukum yang dianut oleh kreditur adalah kultur hukum
main hakim sendiri.
Pengadilan baru akan berperan dalam menyelesaikan
sengketa tersebut jika warga menyerahkan persengketaan
tersebut ke pengadilan.


Bagaimana sikap atau perilaku masyarakat
terhadap suatu aturan hukum?
Dibedakan dalam 2 (dua) jenis rumusan aturan
hukum, sbb. :
1. Rumusan aturan hukum yang bersifat perintah
atau larangan.
2. Rumusan aturan hukum yang bersifat
membolehkan atau mengatur.


Terhadap aturan hukum yang bersifat perintah atau
larangan, ada 3 (tiga) kemungkinan sikap dari
masyarakat, yaitu :
a. Mentaati aturan hukum itu (compliance);
b. Menyimpang dari dari aturan hukum itu
(deviance); dan
c. Mengelak terhadap aturan hukum itu (evasion).
Aturan hukum ini banyak ditemukan dalam aturan
hukum pidana.

Contoh : Jika ada peraturan lalu lintas yang mengharuskan
menggunakan helm jika melui jalan X. Di sini ada 3 (tiga)
kemungkinan sikap si A.
a.
b.
c.
Si A lewat di jalan X dengan menggunakan helm. Artinya, si A
mentaati aturan hukum itu (compliance).
Si A lewa di jalan X, tetapi tidak mengenakan helm. Artinya, si A
menyimpang dari aturan hukum itu (deviance).
Si A tidak mengenakan helm dan ia memang sengaja tidak
melewati jalan X, tetapi melewati jalan Z yang tidak
mengharuskan mengenakan helm.



Terhadap aturan hukum yang bersifat membolehkan atau
mengatur, ada 3 (tiga) kemungkinan sikap dari masyarakat,
yaitu :
a.
Menggunakan aturan hukum itu (use);
b.
Tidak menggunakan aturan hukum itu (nonuse); dan
c.
Menyalahgunakan aturan hukum itu (misuse).
Aturan hukum ini banyak terdapat pada privat (perdata).
Contohnya dapat dicari dalam perbuatan-perbuatan hukum
privat, seperti perjanjian, dsb.
HUKUM DAN KETERTIBAN



Di suatu perkampungan nudist (kaum telanjang), puluhan
orang bertelanjang bulat tanpa busana berkeliaran mondar
mandir. Semuanya tertib dan tidak ada kekacauan di sana.
Kaum nudist itu menikmati ketelanjangan mereka dengan
rasa puas. Pokoknya ketertiban terjamin di situ.
Jika itu terjadi di Indonesia, maka jelas perbuatan itu
merupakan pelanggaran hukum. Berarti, ketertiban yang
terjadi di situ justru ketertiban yang bertentangan dengan
hukum.
Lantas, bagaimanakah kaitan antara hukum (law) di satu
pihak, dengan ketertiban (order) di pihak lain?


Antara hukum di satu pihak dengan ketertiban
dipihak lain, tidak selamanya cocok atau selaras.
Kadang-kadang antara hukum dengan ketertiban
terjadi pertentangan, seperti apa yang pernah
dituliskan oleh Jerome H. Skolnick (dalam bukunya
Justice Without Trial) bahwa hukum tidak hanya
merupakan sarana untuk mencari ketertiban,
melainkan ia bisa merupakan lawan dari ketertiban
itu sendiri.




Benturan antara hukum dengan ketertiban terlihat
pada tugas polisi yang mendua.
Di satu pihak, polisi bertugas untuk memelihara
ketertiban, tetapi di pihak lain polisi pun bertugas
untuk menegakkan hukum.
Tugas ganda ini kadang-kadang menyulitkan polisi
memilih alternatif jika harus menghadapi residivis yang
kejam dan tak sudi menyerah.
Pada hakikatnya, polisi adalah petugas yang diberi
wewenang untuk menjalankan kekerasan demi
tugasnya.


Di sini kadang-kadang hukum berburu dengan
ketertiban.
Satjipto Rahardjo : memang benar dalam suatu negara
hukum, supremasi hukum harus dipertahankan. Akan
tetapi, hal ini bukan berarti tidak boleh ada kekerasan
sedikitpun. Selama hal itu dilakukan oleh negara, maka
kekerasan boleh dilakukan asalkan tujuannya tetap
untuk mencapai kedamaian. Cara yang luwes seringkali
dainggap sebagai lawan kekerasan; keduanya dapat
dilakukan bersamaan, sesuai keadaan yang dihadapi.

Proudhon : kesempurnaan tertinggi dari suatu
masyarakat ditemukan dalam bersatunya
ketertiban dan anarki.
HUKUM DAN POLITIK




Dalam hubungan antara hukum dan politik, seyogianya manakah
yang lebih dominan?
Hal ini tergantung pada persepsi kita tentang apa yang kita
maksud dengan hukum dan apa yang dimaksud dengan politik
Yang dimaksud dengan politik adalah segala sesuatu yang
bertalian dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara.
Menurut pandangan Mac Iver yang disetujui juga oleh Prof.
Achamad Ali, membedakan 2 (dua) jenis hukum, yaitu :
1.
Hukum yang berada di bawah pengaruh politik; dan
2.
Hukum yang berada di atas politik.


Yang di atas politik, hanyalah konstitusi, sedang
sisanya semua berada di bawah politik.
Contohnya adalah lahirnya Undang-Undang dari
karya para politisi.

Harry C. Bredemeier : memandang kaitan antara
pengadilan dan politik, bahwa pencapaian tujuan
yang menjadi tugas subsitem politik dilakukan
dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai
dengan menetapkannya menjadi undang-undang.
Jika undang-undang itu kemudian digugat
kebsahannya, maka pengadilan yang akan
menjatuhkan putusannya. Pengadilan menguji
perundang-undangan itu


Prof. Achmad Ali : beranggapan bahwa kebebasan hakim
mutlak dibutuhkan, tetapi hakim tetap tidak dpat
dipisahkan dari kepentingan politik. Bagaimanapun, putusan
hakim hendaknya dapat menjunjung keseluruhan tujuan
masyarakat, seperti yang dilaksanakan oleh penguasa
politik.
Meskipun hakim tidak mungkin terlepas dari pengaruh
kepentingan politis, tetapi hakim harus tetap memiliki
“kebebasan” berintepretasi dan berkonstruksi dengan
stereotip yuridis, bukan dengan kaca mata politik praktis
belaka.


Prof. Achmad Ali cenderung menempatkan posisi
pengadilan atau para hakim tidak sekedar
menunjang kepentingan politik, tetapi sekaligus
menjadi “pengawal moralitas publik”
Hukum seyogianya memiliki kemampuan untuk
menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial.
Dengan demikian, pengadilan dapat mewujudkan
ketiga tujuan hukum secara seimbang, yaitu :
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.




Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara
optimal saat hukum memiliki kekuasaan yang ditunjang oleh
kekuatan politik.
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya
terwujud dalam pemberian sanksi pagi pelanggar hukum.
Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat
politik lain, seperti polisi, penuntutnumum, dan pengadilan.
Dalam hal ini, kita harus berani mengakui bahwa
pengadilan bukan sekedar alat hukum, tetapi juga alat
politik.


Kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi.
Sebaliknya hukum memiliki karakteristik untuk membatasi
segala sesuatu melalui aturan-aturannya
Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik,
seyogianya hukum membatasi kekuasaan politik, agar tidak
timbul penyalah gunaan kekuasaan dan kesewenangwenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang
terwujudnya fungsi hukum dengan "menyuntikkan"
kekuasaan pada hukum, yaitu dalam wujud sanksi hukum
tadi, dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik
yang melanggar hukum.

Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari
kekuasaan-politik tadi, hukum juga menyalurkan
kekuasaan itu pada masyarakatnya.
HUKUM DAN EKONOMI


Hubungan antara sektor ekonomi dan sektor hukum,
tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap
aktivitas perekonomian, melainkan juga bagaimana
pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum.
Dalam hal ini, sekali lagi kita perlu memandang
hukum sebagai sesuatu yang tidak otonom sifatnya,
yang mempunyai hubungan saling mempengaruhi
dengan sektor-sektor non hukum, termasuk sektor
ekonomi.


Jika kita hanya memandang bagaimana hukum
mengatur sektor ekonomi, maka kita berada dalam
bidang hukum ekonomi.
Menurut Sumantoro, hukum ekonomi adalah
seperangkat norma-norma yang mengatur
hubungan kegiatan ekonomi, yang secara
substansial sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi
yang digunakan oleh negara yang bersangkutan
(liberalistis, sosialistis atau campuran).

Untuk Indonesia ruang lingkup Hukum Ekonomi
mendapatkan dasar dari pasal 33 UUD 1945 dan
GBHN.



Dalam lingkungan usaha (bisnis), banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi, diantaranya faktor ekonomi, faktor
manajemen, faktor politik, dan lain-lain yang paling utama
adalah faktor hukum.
Aspek hukum ini penting karena menentukan dalam
pengembangan usaha, boleh ada tidak nya menciptakan
lapangan pekerjaan di tentukan oleh hukum itu sendiri.
Maka banyak pelaku bisnis yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan usahanya, baik karena tidak ada
hukumnya maupun peraturan yang tidak sesuai.


Dalam pengembangan suatu usaha memiliki
hubungan satu sama lain. terbukti bahwa kedua
factor tersebut saling berkaitan.
Misalnya kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini
yang tidak stabil dan terus menurun, pemerintah
mengharapkan investor asing mau datang dan
berinvestasi di Indonesia. Lagi-lagi dikarenakan
hukum yaitu keamanan yang membatalkan dari
keinginan tersebut.



Lemahnya hukum di Indonesia mengakibatkan proses sosial
tidak berjalan dengan baik. Dan mengakibatkan usaha
tidak sehat bagi pengembangan usaha dan ekonomi.
Khusus mengenai ekonomi, pada saat ini dapat dikatakan
tidak ada lagi kegiatan ekonomi yang tidak berkaitan
dengan hukum. Sebaliknya tidak ada lagi kegiatan hukum
yang tidak beraspek ekonomi.
Dengan demikian, pemahaman kedua ilmu itu secara
menyeluruh sudah menjadi kebutuhan bersama. Dengan
kata lain, seseorang yang mempelajari hukum seharusnya
mempelajari ekonomi juga, demikian juga sebaliknya.
Download