BAB 4 KESIMPULAN Normalisasi hubungan diplomatik

advertisement
BAB 4
KESIMPULAN
Normalisasi hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Kuba memberikan suasana
yang baru bagi politik internasional. Secara khusus, karena pencapaian keputusan ini melewati
proses yang sangat panjang dan melibatkan pihak ketiga, yaitu Paus Yohanes Paulus II, Paus
Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus. Saat Yohanes Paulus II dan Benediktus mendatangi Kuba,
isu yang menjadi perhatian utama mereka adalah evangelisasi dan mengembalikan kebebasan
beragama bagi Gereja di Kuba. Sarana yang digunakan adalah dengan cara mempromosikan
kebenaran, kebebasan, dan penghormatan hak asasi manusia yang selaras dengan misi kerasulan
Gereja. Isu mengenai hubungan AS dan Kuba juga diangkat kedua Paus ini dalam beberapa
kesempatan, namun perubahan internal Kuba tetap menjadi perhatian utama. Inilah yang
menyebabkan munculnya komentar skeptis mengenai pengaruh Yohanes Paulus II dan
Benediktus di Kuba. Kehadiran mereka dianggap tidak membawa perubahan signifikan serta
tidak berpengaruh pada perbaikan hubungan AS dan Kuba. Hal ini disebabkan masih adanya
tindak kekerasan pemerintah terhadap masyarakat, masih tingginya jumlah tawanan politik, serta
kontrol pemerintah atas media dan sumber-sumber informasi. Namun, terlepas dari itu semua
dalam aspek lain Kuba memang telah berubah. Negara ini mulai menunjukkan keterbukaan dan
memberikan kebebasan pada rakyatnya, khususnya kebebasan beragama. Perubahan ini yang
perlahan-lahan diamati AS sebagai pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan yang
ditetapkannya pada Kuba, terutama embargo.
Ketiga Paus ini berperan sebagai faith-based diplomats yang memiliki peran penting
dalam mengisi proses panjang menuju normalisasi hubungan AS dan Kuba. Yohanes Paulus II
mengawali keterlibatan para Paus dalam hubungan AS dan Kuba saat ia berhasil menegosiasikan
pembebasan sejumlah tahanan oleh pemerintah Kuba. Benediktus XVI melanjutkan langkah
Yohanes Paulus II dengan mendorong Kuba agar lebih terbuka pada dunia dan mengakhiri
segala bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan. Kemudian Fransiskus membantu AS dan
Kuba dalam mencapai kesepakatan normalisasi. Faith-based diplomacy yang dilakukan para
Paus ini ditopang oleh kharisma spiritual yang mereka miliki. Kharisma spiritual yang diperoleh
dari ajaran-ajaran iman Katolik berakar pada Kitab Suci dan tampak pada pribadi para Paus.
Kharisma ini pula yang membuat banyak orang tertarik untuk mendengarkan ajaran mereka
43
mengenai perdamaian, termasuk para pemimpin negara seperti Obama dan Castro. Bahkan
keduanya mempercayakan proses normalisasi hubungan mereka kepada diplomasi Paus. Sampai
saat ini, meskipun AS dan Kuba telah sepakat untuk menormalisasi hubungan diplomatik
mereka, namun embargo tetap diberlakukan kepada Kuba. Ini merupakan tantangan bagi proses
normalisasi AS dan Kuba selanjutnya. Presiden Obama harus terlebih dahulu meyakinkan
kongres AS sebagai badan yang memiliki wewenang untuk mencabut kebijakan embargo. Hal ini
tidak mudah bagi Obama sebab saat ini formasi kongres AS didominasi perwakilan partai
oposisinya, Partai Republik. Hingga saat ini kritik dan tanggapan negatif mengenai keputusan
Obama untuk menormalisasi hubungan dengan Kuba terus berdatangan dari kubu oposisi.
Bahkan anggota Partai Republik yang ada di kongres akan berusaha untuk menghambat proses
pendanaan bagi kantor kedutaan AS yang akan kembali dibuka di Havana. Tantangan lainnya
adalah mengupayakan pemerintahan yang demokratis di Kuba. Dibutuhkan usaha dan
pendekatan khusus untuk mewujudkan demokrasi di Kuba. Masih banyak yang perlu dibenahi
dalam hubungan AS dan Kuba. Dalam hal ini Vatikan menyatakan kesediaannya untuk
membantu kelanjutan upaya normalisasi AS dan Kuba. Vatikan akan terus mendukung segala
bentuk inisiatif yang akan dilakukan kedua negara untuk memperkuat hubungan bilateral dan
mempromosikan kesejahteraan bagi masyarakat mereka.
Peranan para Paus dalam upaya normalisasi hubungan diplomatik Amerika Serikat dan
Kuba ini membawa wajah baru bagi peran agama dalam politik internasional. Agama, dalam
kasus ini pemimpin agama, tidak selalu menjadi penyebab konflik dengan menebar provokasi
sebagaimana yang terjadi dalam beberapa konflik agama di dunia. Sebaliknya, pemimpin agama
dapat menjadi agen perdamaian yang menyebarkan ajaran-ajaran kasih dan kebenaran pada
pihak-pihak berkonflik. Pemimpin agama dapat berperan sebagai diplomat yang memberikan
jasa baiknya dalam upaya untuk memfasilitasi dan membantu tercapainya kesepakatan dalam
konflik nasional maupun internasional, seperti yang dilakukan para Paus dalam kasus ini.
Dalam studi hubungan internasional, pembahasan mengenai peran agama dalam dunia
internasional belum mendapatkan perhatian sebanyak isu-isu politik atau ekonomi lainnya.
Kasus yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagian kecil dari peran positif agama dalam
membangun perdamaian internasional. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa persoalan politik
yang berlarut-larut akan semakin membawa kerugian dan untuk menyelesaikannya tidak cukup
hanya melalui langkah politik. Di saat langkah politik tidak berhasil untuk menghasikan jalan
44
keluar, maka pihak-pihak yang terlibat harus dapat terbuka pada kemungkinan langkah yang lain.
Pendekatan melalui faith-based diplomacy merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan
dalam kondisi ini. Faith-based diplomacy tidak hanya dapat diaplikasikan pada konflik yang
berhubungan dengan agama saja. Tetapi dapat juga digunakan dalam konflik politik seperti
dalam hubungan Amerika Serikat dan Kuba. Melalui tulisan ini, penulis berharap akan ada lebih
banyak penelitian lainnya mengenai faith-based diplomacy dan sumbangannya pada politik dan
perdamaian internasional.
45
Download