BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Konsep Dinamika Masyarakat Dinamika diartikan dalam Kamus Bahasa Indonesia sebagai gerak atau kekuatan yang dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. Sementara Suryoto Bakir dkk (2006 : 140) mendefenisikan bahwa dinamika sosial merupakan gerak masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata masyarakat yang bersangkutan. Slamet Santosa (2009: 5) dinamika berarti adanya interaksi dan interpendensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Rolb Linton (Abdul Syani 1995:83) yang menyatakan, bahwa masyarakat, ialah sekelompok manusia yang hidup dan bekerja sama cukup lama disatu tempat, sehingga memungkinkan pe ngorganisasian. Lebih lanjut dikemukakan Abdul Syani (1995: 84) bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa kesadaran bersama di mana mereka berdiam pada daerah yang sama, yang sebagian besar atau seluruh warganya memperlihatkan adanya adat kebiasaan dan aktivitas yang sama. Menurut J. L. Gillin dan J. P. Gillin (dalam Harjono, 1999:126) bahwa masyarakat sebagai kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan,tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Selain itu Aguste Comte (dalam Abdul Syani, 1995:46) mendefenisikan bahwa masyarakat adalah kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas baru dan berkembang, menurut pola perkembangan yang tersendiri. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama. Beberapa ahli mencoba mendefenisikan masyarakat sebagai berikut : 1. Mac Iver dan Page (dalam Jacobus Ranjabar 2006: 10) mengatakan bahwa masyarakat adalahsuatu system dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antaraberbagai kelompokdan penggolonga, pengawasan tingkah laku, serta kebebasankebebasan manusia. 2. Talcott Parsons (dalam Kamanto Sunarto 2004: 54) masyarakat ialah suatu suatu system sosial yang swasembada, melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. 3. Ralp Linton (dalam Jacobus Ranjabar 2006 : 10) mengemukakan, Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan social dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. 4. Roucek dan warren, (dalam Abdul Syani, 1995:84) bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa kesadaran bersama dimana mereka berdiri pada daerah yang sama, yang sebagian besar atau seluruh warganya memperlihatkan adanya adat kebiasaan aktivitasnya yang sama pula. Margono Slamet (dalam Jacobus Ranjabar 2006 : 12) menyatakan bahwa masyarakat sebagai suatu sistem social itu dipengaruhi oleh hal-hal berikut : Ekologi, tempat, dan geografi di mana masyarakat itu berada. Demografi, yaitu menyangkut populasi, susunan, dan ciri-cirinya. Kebudayaan,yaitu menyangkut nilai-nilai sosial, tempramen, dan ciri-ciri psikologis masyarakat. Waktu, sejarah, dan latar belakang masa lampau dari masyarakat tersebut. Masyarakat dengan segala seluk-beluknya tidak lepas dari kebudayaan dan kepribadian, karena hubungan antara individu, masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Kelestarian masyarakat dimungkinkan karena adanya kebudayaan sebaliknya kebudayaan tidak mungkin ada tanpa adanya masyarakat merupakan, kumpulan pribadi atau individu. Masyarakat dapat juga dikatakan sebagai suatu wadah dan wahana pendidikan, dan kehidupan manusia yang majemuk (plural, suku, agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya). Manusia berbeda dalam multi kompleks antara hubungan dan antara aksi di dalam masyarakat itu. Pengertian masyarakat dalam organisasi adalah kehidupan bersama yang secara mikro ialah tata pemerintahan. Masyarakat dalam makna ini adalah lembaga atau perwujudan subyek pengelola menerima kepercayaan oleh, dari dan untuk masyarakat. Sehubungan dengan pendapat tersebut Maria Levy, (dalam Kamanto Sunarto 1985:205) mengemukakan empat kriteria yangharus dipenuhi suatu kelompok dianggap masyarakat yaitu sebagai berikut : Kelompok tersebut harus mampu berda lebih lama dari pada masa hidup seorang individu. Kelompok tersebut harus merekrut anggota- anggota baru setidak – tidaknya untuk sebagian, melalui perbaikan. Kelompok tersebut harus bersatu dalam memberikan kesetiaannya kepada suatu kompleks (system tindakan utama) bersama. Sistem tindakan tersebut harus swasembada. Dari beberapa defenisi masyarakat di atas, maka dapat di simpulkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat bukan sekedar kumpulan manusia semata-mata tanpa ikatan akan tetapi memiliki identitas dan hubungan fungsional antara satu sama lainnya sehingga dapat membentuk kepribadian dari suatu individu yang didasarkan atas kebiasaan yang hidup dalam masyarakat tersebut. Di dalam kelompok masyarakat dapat menampilkan suatu corak khas terutama terlihat oleh maeyarakat luar yang bukan warga masyarakat yang bersangkutan. Seorang warga yang telah hidup dalam lingkungan masyarakat biasanya tidak yerlihat dari corak khas tersebut. Masyarakat juga dapat dikatakan sebagai suatu wadah dan wahana pendidikan, medan kehidupan manusia yang majemuk (plural, suku, Agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi sosial budaya dan sebagainya). Manusia berbeda dalam multi kompleks antara hubungan sosial di dalam masyarakat. Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat menarik simpulan bahwa dinamika masyarakat adalah suatu prosesi interaksi, problem, tantangan yang terjadi pada kehidupan sosial suatu masyarakat akan tetapi dalam problem dan tantangan tersebut akan bersifat dinamis artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. 2.1.2 Konsep Tradisi Subtansi dan isi semua yang diwarisi dari masa lalu, semua yang disalurkan kepada kita melalui proses sejarah, merupakan warisan sosial. Semua yang diwarisi masyarakat dari fase- fase proses historis terdahulu merupakan ”warisan historis” sedangkan apa saja yang diwarisi komunitas atau kelompok dari fase kehidupan terdahulu merupakan ”warisan kelompok”. Hal ini berarti apapun yang terjadi dalam masyarakat kini harus dilihat sebagai suatu akumulasi produk dari apa yang telah terjadi sejak awal kehidupan manusia. Piotr Ztompka (2010: 69) menjelaskan bahwa tradisi adalah hubungan antara masa lalu dan masa kini haruslah lebih dekat.Tradisi mencakup hubungan antara masa lalu dan masa kini ketimbang sekedar menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masalalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk : materil dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Lebih lanjut Shils (dalam Piotr Ztompka, 2010 : 70) tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini, tradisi tidak tercipta atau berkembang denga sendirinya secara bebas. Hanya manusia yang masih hidup, mengetahui dan berhasratlah yang mampu menciptakan, mencipta ulang, dan mengubah tradisi. Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi (akses tanggal 02 Juli 2012). Dari beberapa peryataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar ada masih ada kini, belum dihancurkan, rusak, dibuang, atau dilupakan. Disini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Tradisi berarti penemuan kembali sesuatu yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebalumnya. Manusia tak dapat hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa puas terhadap tradisi mereka. Piotr Sztompka (2010 : 76) menguraikan fungsi tradisi sebagai berikut : 1) Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tempatnya di dalam kesadaran , keyakinan, norma, dan nilai yang di anut serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu (misalnya, tradisi kesenian, kerajinan, pengobatan atau profesi) 2) Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada. Salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. 3) Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi nasional dengan lagu, bendera, emblem, mitologi, dan ritual umum. 4) Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluha, ketakpuasan, dan kekecewaan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat dalam krisis. 2.1.3 Konsep Budaya Kebudayaan dalam bahasa Inggris berarti culture, berasal dari kata colore bahasa Yunani yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. (Rafael Raga Maran, 2007 : 24). Menurut Koentjaraningrat (2002: 181) kata ”kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budahayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti ” budi” atau ”akal”, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan ”hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata ”budaya” merupakan perkembangan majemuk dari ”budi daya” yang berarti ”daya dari budi” sehingga dibedakan antara ”budaya” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, dengan ”kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar,beserta keseluruhan dari budi dan karyanya.nilai-nilai kebudayaan itu dapat membantu kita dalam hal mengembangkan sifat-sifat mental seperti kemauan untuk berusaha atas kemauan sendiri. Andreas Eppink (Rafael Raga Maran 2007: 24) menyatakan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan , serta keseluruhan stukturstuktur social, religious, dan lain-lain, ditambah lagi dengan segala peryataan intelektual dan artistik yangmenjadi cirri khas suatu masyarakat. Lebih lanjut (Rafael Raga Maran, 2007: 49) mengemukakan, ciri-ciri kebudayaan sebagai berikut : Kebudayaan adalah produk manusia. Artinya, kebudayaan adalah ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan atau Dewa. Manusia adalah pelaku sejarah dan kebudayaannya. Kebudayaan selalu bersifat sosial. Artinya kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama. Kebudayaan adalah suatu karya bersama, bukan karya perorangan. Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar. Artinya kebudayaan itu diwariskan dari generasi yang satu ke generasi lainnya melalui suatu proses belajar. Edward B. Taylor( dalam Joko Tri Prasetyo. Dkk 2004 : 29) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks,yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, huku, adat istiadat dan kemempuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut R. Linton (dalam Joko Tri Prasetyo.dkk 2004 : 29) mendefenisikan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. Lebih lanjut C. Kluckhohn dan W.H.Kelly (dalam Joko Tri Prasetyo. dkk 2004 : 29). mencoba merumuskan defenisi kebudayaan sebagai pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah, rasional, irrasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman-pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia Selanjutnya Syani (1955 : 53) berpendapat bahwa kata ”budaya” berasal dari kata majemuk budi daya yang berarti Daya dari budi” atau ”daya dari akal ”yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Menurut J.J.Hoeningman (dalam Herimanto dan Winarno 2010 : 25), tiap kebudayaan pada umumnya mempunyai paling sedikit tiga wujud kebudayaan,yaitu : 1. Kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan, konsep, dan pikiran, maka wujud kebudayaan yang demikian ini mempunyai bentuk yang abstrak, sehingga tidak dapat dilihat apalagi dipegang. Dengam demikian maka kompleks gagasan itu disebut pula sebagai suatu sistem budaya ”culture System” 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, maka bentuk kebudayaan ini dapt diamati sebagai interaksi antar manusia. Interaksi ini diperoleh pada dan diatur oleh sistem budaya. Oleh karena itu interaksi itu mengikuti pola dan aturan tertentu seperti misalnya upacara, ritus dan lain sebagainya, maka kompleks aktivitas yang demikian ini disebut juga ”Sosial System). 3. Wujud kebudayaan sebagai benda - benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan pada tingkatan ini sering juga disebut kebudayaan fisik (physical culture), yang berupa seluruh hasil fisik dan aktifitas, perbuatan dan karya semua manusia. Jacobus Ranjabar (2006: 20) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau jasmaniah (material Culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya diabadikan untuk keperluan masyarakat. Lebih lanjut M. J. Herskovits (dalam Jacobus Ranjabar : 21) memandang kebudayaan sebagai sua tu yang super organic karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi tetap hidup terus, walaupun orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran. Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasnya seolah-olah tidak ada batasnya. Munandar Solaeman (2001 : 23) menyebutkan unsur-unsur kebudayaan sebagai berikut: 1. Sistem religi (kepercayaan) dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa ( lisan maupun tulisan) 5. Kesenian 6. Sistem Pengetahuan 7. Sistem teknologi dan peralatan Lebih lanjut Mukti Ali (Habib Mustopo, 1989 : 71) kebudayaan adalah budi daya, tingkah laku manusia, tingkah laku manusia digerakkan oleh akal dan perasaan yang mendasari semua itu adalah ucapan hatinya merupakan keyakinan dan penghayatannya terhadap sesuatu yang dianggap benar. Gazalba (dalam Mustopo, 1989: 72) mendefenisikan kebudayaan sebagai cara berpikir dan merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Menurut C.Kluckhohn (dalam Mustopo 1989: 72) mengungkapkan bahwa kebudayaan mempunyai nilai, nilai kebudayaan (culture) adalah relative, bergantung pada siapa yang memberikan nilai, dan alat pengukur apa yang dipergunakan. Bangsa timur misalnya, cenderung mempergunakan ukuran rohani sebagai alat penilaiannya, sedangkan bangsa barat dengan ukuran materi. Kebudayaan dapat dibagi dalam bermacam – macam bidang atau aspek, ada kebudayaan yang sifatnya rohani dan ada yang sifatnya kebendaan (Spiritual and material culture), ada kebudayaan barat dan ada kebudayaan maritime (terra and aqua culture),dan ada kebudayaan menurut daerah kebudayaan suatu suku bangsa atau sub suku bangsa, area culture. Semuanya bergantung pada siapa yang mau membedakanya dan untuk apa dilakukan (Supartono, 2001 :38). Munandar Soelaeman (2001 : 25 ) budaya ”culture” merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni moral, huku, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperolh dari anggota masyarakat. Secara sederhana sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu cara hidup atau dalam bahasa Inggrisnya disebut ”ways of life”cara hidup atau pandangan hidup meliputi cara berpikir, cara berencana dan bertindak di samping segala hasil karya nyata yang dianggap berguna dan dipatuhi oleh anggota masyarakat atas kesepaktan bersama. Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh simpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 2.1.4 Konsep Perspektif Menurut R. Suyoto Bakir (dalam Kamus Bahasa Indonesia 2006: 445) “Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda dan lain sebagainya, pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi, pandangan, atau sudut pandang”. Agus Setiawan mengatakan bahwa: Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsurunsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya. Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional. http://agussetiaman. wordpress.com/2008/11/25/perspektif-sosiologi/. (Akses tanggal 09 Juli 2012) Lebih lanjut dikemukakan oleh Talcot Parsons bahwa Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan sosial struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut. Dari Pengertian diatas, Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia untuk menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu. Sehingga dalam konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi. http:// agussetiaman. wordpress. com/2008/11/25/ perspektif-sosiologi/. (Akses tanggal 09 Juli 2012) Selanjutnya Albion Small dan Lester Ward menegaskan bahwa setiap jenis struktur apakah inorganik, organik atau sosial diciptakan oleh interaksi kekuatan-kekuatan yang bersifat antagonis. Interaksi demikian merupakan hukum universal dan hukum itu berarti bahwa struktur terus menerus berubah, mulai dari tingkat primordial yang sangat sederhana hingga ke tingkat kedua yang lebih rumpil. http://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perspektif-sosiologi/. (Akses tanggal 09 Juli 2012) Menurut Dahrendorf (dalam Agus setiawan, wordpress. com/2008/ 11/25 /perspektifsosiologi), konflik sosial mempunyai sumber struktural yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial, dengan kata lain konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif ini memiliki proporsi sebagai berikut : Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial terjadi dimana saja. Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat dimana saja. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota yang lain.