111 BAB V DISKUSI DAN KESIMPULAN 5.1. Diskusi Akuisisi Maybank group terhadap BII terjadi dengan dilatar belakangi visi Maybank menjadi bank no 1 di Asia. Maybank berkeinginan untuk memperluas jaringan perbankannya, terutama ke pasar yang besar seperti negara Indonesia. Gilson dan Roe (1993) sendiri berpendapat bahwa akuisisi terjadi biasanya dilatarbelakangi motif untuk memperoleh tingkatan cakupan ekonomi dan efisiensi perusahaan yang lebih tinggi. Proses yang terjadi merupakan akuisisi dan bukan merger dikarenakan adanya perbedaan ukuran perusahaan. Bruner (2005), menyatakan bahwa merger merupakan proses terjadinya penggabungan 2 perusahaan dengan ukuran sama dimana keduanya setuju untuk maju bersama sebagai satu perusahaan dalam kepemilikan dan operasional. BII sendiri bila melihat sejarah ke belakang telah mengalami pergantian komposisi kepemilikan saham dikarenakan tidak stabilnya kondisi perusahaan dan perbankan saat itu dimana puncaknya terjadi pada saat krisis moneter tahun 1998. Saham BII sempat diambil alih oleh pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan likuiditasnya, sebelum pada akhirnya dimiliki oleh Sinarmas group. Pada tahun 2008 mayoritas saham sebesar 111 112 55,51% menjadi milik Maybank melalui Sorak Financial Holdings Pte, Ltd. sebagai bentuk proses akuisisi. Menurut Moin (2010), akuisisi merupakan bentuk pengambil alihan kepemilikan perusahaan oleh suatu pihak atas pihak lain sehingga mengakibatkan perpindahan kendali perusahaan yang diambil alih tersebut. Perusahaan yang melakukan akuisisi biasanya memiliki ukuran perusahaan yang lebih besar dibandingkan dengan pihak yang diakuisisi. Dengan beralihnya kendali maka pengakuisisi memiliki persentase saham terbesar, biasa ditunjukkan dengan kepemilikan saham lebih dari 50% sebagai pemilik suara mayoritas, dimana Maybank memiliki saham sebesar 55,51%. Proses akuisisi yang terjadi atas BII oleh Maybank group berlangsung secara dinamis dan berjalan smooth. Proses kepemilikan saham mayoritas tidak serta merta membuat suatu perubahan besar pada perusahaan yang memiliki kode saham BNII tersebut. Logo perusahaan tersebut pun masih menggunakan logo BII lama yang ditambahkan logo Maybank di bawahnya. Seiring waktu nama perusahaan berubah menjadi BII Maybank sebelum pada akhirnya menjadi Maybank Indonesia di tahun 2015. Fenomena yang terjadi atas proses akuisisi pada perusahaan pun terus berjalan. Melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sendiri diputuskan seseorang yang telah lama bergabung dengan BII untuk menjadi CEO dari BII Maybank pada saat itu. CEO yang sama pula yang sampai menghantarkan perusahaan berganti nama dan juga logo perusahaan menjadi Maybank Indonesia. Taswin Zakaria merupakan orang yang tepat dan dipercaya untuk memegang amanah tersebut 113 menjadi CEO perusahaan, dimana sebelumnya beliau merupakan anggota dewan komisaris BII di masa sebelumnya. Hal ini memberikan kesan bahwa tidak adanya perubahan yang sangat signifikan dan penuh paksaan sebagai sebab atas diakuisisinya perusahaan oleh Maybank. Vasilaki dan O’Regan (2008) menyatakan bahwa akuisisi merupakan proses dinamis, fenomena terus berjalan dimana memiliki pengaruh langsung terhadap karyawan dan kinerja perusahaan sehingga manajemen perlu sangat berhati-hati dalam menerapkan langkah-langkah strategis perusahaan. Usaha atas integrasi Maybank group dengan BII sebagai pihak yang diakuisisi akan menentukan kinerja perusahaan kedepannya. Maybank secara group memiliki aset perusahaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan BII yang merupakan perusahaan lokal Indonesia. Hal ini selaras dengan apa yang dijabarkan oleh Moin (2010), bahwa pihak yang melakukan akusisi biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dibanding pihak yang diakuisisi. Pengendalian perusahaan akan dilakukan oleh pihak yang mengakuisisi, dalam kasus ini Maybank. Maybank memiliki saham terbesar pada perusahaan, sehingga berhak untuk melakukan langkah-langkah strategis yang mengarahkan perusahaan kedepannya. Moin (2010) juga menyebutkan bahwa akuisisi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang bisa ditimbulkan olehnya. Juga membantu pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang lebih cepat dengan adanya infrastruktur yang dimiliki. Hal ini hampir sepenuhnya benar pada kasus Maybank, dimana group melakukan 114 akuisisi untuk memperluas jaringan pada pasar Asia, khususnya Asia Tenggara. Beberapa riset terdahulu memperkirakan bahwa tingkat keberhasilan dari akuisisi perusahaan hanya kurang dari 50%. Terdapat beberapa studi yang menunjukkan kegagalan dalam merger dan akuisisi perusahaan menurut (Ravenscraft and Scherer, 1989; Erez-Rein et al., 2004; Brock, 2005; McIntyre, 2015; Rasiah, Ming, & Halim, 2014). Namun bila melihat dari kinerja perusahaan, Maybank Indonesia termasuk sebagai perusahaan yang mengalami keberhasilan dari proses akusisi. Peningkatan kinerja perusahaan dapat dilihat dengan membandingkan aset perusahaan pada tahun 2007 saat masih BII dengan tahun 2015 dimana telah menjadi Maybank Indonesia. Aset perusahaan di tahun 2007 sebesar 55 Triliun dan dalam kurun waktu 8 tahun telah berkembang menjadi 149 Triliun di akhir tahun 2015. Hal ini menjawab keraguan Moin (2010), dimana akuisisi tidak memberikan jaminan perusahaan akan memiliki peningkatan kinerja perusahaan yang memuat nilai perusahaan juga meningkat. Tidak terjadinya kegagalan atas proses akuisisi pada Maybank Indonesia seperti yang tercatat pada riset terdahulu dikarenakan adanya variabel-variabel dalam proses akuisisi yang diperhatikan oleh Maybank group selaku pihak pengakuisisi. Salah satu variabel yang kuat sehingga mempengaruhi keberhasilan proses akuisisi Maybank Indonesia adalah penerapan budaya perusahaan dimana nilai-nilai perusahaan dan penciptaan suasana kerja terkandung di dalamnya. Perusahaan berhasil 115 menciptakan budaya yang bisa diterima oleh karyawan yang sebelumnya bekerja di BII. Budaya perusahaan lama yang baik tetap diakomodir dengan menambahkan hal-hal baru sehingga membuat karyawan lebih menikmati perusahaan. Nilai-nilai yang diberikan merupakan peningkatan atas nilai-nilai perusahaan sebelumnya, sehingga muncul rasa sense of belonging dari diri masing-masing karyawan. Sesuai dengan pernyataan Brock (2005), kegagalan kinerja perusahaan yang dihasilkan setelah akuisisi diakibatkan sebagai hasil dari perbedaan budaya, dimana tidak ada integrasi dalam pengelolaan kerangka budaya perusahaan. Hutzschenreuter, Kleindienst, dan Schmitt (2014), menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan dari akuisisi cenderung dilihat secara relatif dibandingkan hasil absolut. Keberhasilan atau kegagalan dalam akuisisi perusahaan tidak selalu berarti memberikan efek kinerja positif atau negatif. Namun bila melihat Return on Aset (ROA) dan Return on Equity (ROE) yang dihasilkan oleh perusahaan dari tahun ke tahun, perusahaan mengalami peningkatan kinerja sejak akuisisi dijalankan. ROA dan ROE Maybank Indonesia di tahun 2015 sebesar 0,98% dan 9,81%. Sedangkan ROA dan ROE BII yang dihasilkan pada tahun 2007 hanya sebesar 0,55% dan 5,69%. Total aset perusahaan di tahun 2015 mengalami peningkatan hingga 300% dibandingkan tahun 2007 sebelum akuisisi. Menurut Rankine & Howson (2006), keberhasilan akuisisi perusahaan dipengaruhi pula oleh seberapa besar dan tangguh aset serta kinerja yang dimiliki oleh perusahaan 116 pengakuisisi. Perusahaan harus memiliki fondasi yang kuat dan kokoh sehingga dapat meningkatkan kinerja dan pengoperasian bisnisnya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Leadership merupakan variabel yang mempengaruhi keberhasilan akuisisi dari Maybank Indonesia. Penunjukkan CEO baru yang merupakan orang lama di BII merupakan bentuk kehati-hatian manajemen dalam mengawal proses integrasi antara Maybank dengan BII. Pihak manajemen dari Maybank sadar betul bahwa langkah-langkah yang diterapkan akan sangat krusial bila berkaitan dengan langkah strategis, sehingga perlu kehatihatian. Di dalam pelaksanaannya maka diperlukan sosok kepemimpinan yang telah mengenal perusahaan cukup baik, sehingga manajemen perusahaan tersebut dapat dikelola dengan baik demi tercapainya proses integrasi. Sesuai dengan pendapat Vasilaki dan O’Regan (2008), dimana integrasi perusahaan pasca akuisisi merupakan rangkaian proses yang kompleks. Dibutuhkan kinerja manajemen yang baik dimana bertindak sebagai fasilitator proses perubahan. Sistem baru yang diciptakan pihak manajemen Maybank Indonesia bertujuan untuk terciptanya perubahan dan harmonisasi atas proses integrasi pasca akuisisi. Sebagai bentuk leadership yang baru, maka terdapat perubahanperubahan yang terjadi pada perusahaan khususnya ketika masih bernama BII Maybank. Perusahaan pada saat itu masih dalam proses transisi, sehingga terjadi perubahan-perubahan struktur kepemimpinan dan hal-hal baru yang 117 diharapkan perusahaan sehingga mempengaruhi fungsi dari setiap unsur pada perusahaan itu sendiri. Salah satunya yang mengalami perubahan adalah work load dirasakan karyawan lebih banyak saat perusahaan telah diakuisisi. Work load cenderung bertambah seiring adanya perampingan unit ataupun departemen yang memiliki tugas dan tanggung jawab serupa, sebagai hasil dari efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan juga menerapkan adanya delegasi pekerjaan sebagai hasil dari bentuk gaya kepemimpinan baru, sehingga terjadi alokasi yang jelas atas otoritas yang dimiliki oleh masingmasing bagian pada perusahaan. Tentunya hal-hal ini akan secara berbanding lurus dengan work load yang diperoleh bagi setiap karyawan. Karyawan pun dituntut memberikan kontribusi lebih dan nilai tambah bagi perusahaan. Tingkat work load yang semakin banyak menjadi salah satu faktor meningkatnya employee turn over rate, selain karena adanya kebijakan perusahaan untuk melakukan perekrutan karyawan generasi muda yang loyalitasnya kurang bisa dipertahankan. Bila melihat apa yang dikemukakan Lodorfos & Boateng (2006), dimana manajemen perusahaan dapat dikatakan gagal bila terlalu banyak karyawan yang mengajukan resign, namun hal ini tidak membuat akuisisi perusahaan yang dilakukan gagal. Employee turn over rate yang tinggi tidak serta merta dikarenakan bentuk kepemimpinan yang salah. Bahkan bentuk kepemimpinan yang ada pada perusahaan dapat dibilang baik, melihat dimunculkannya kepemimpinan demokratis yang menanyakan dan menerima masukan dari bawahannya sebelum mengambil 118 keputusan. Partisipasi dari setiap anggota menjadi penting bagi perusahaan agar dapat maju secara bersama-sama. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pemimpin yang secara personal tetap mengacu pada diri sendiri dan tidak demokratis, diluar dari bentuk secara umum kepemimpinan yang tercipta pada perusahaan. Shearer, Hames dan Runge (2001), menyatakan perlunya pemimpin membuat karyawan di bawahnya merasa mereka sangat penting bagi perusahaan untuk mencapai kesuksesan. Maybank melakukan perubahan manajemen yang sangat baik dalam hal efisiensi perusahaan dan penyempurnaan SOP perusahaan. Bahkan perubahan ini dirasakan jauh lebih baik dibandingkan BII. SOP pada saat Maybank dibuat dengan lebih detail dan komprehensif dimana memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh perusahaan serta peranan masingmasing pihak terkait. Hal ini akan membantu pemberian solusi terhadap bentuk kompleksitas permasalahan yang terjadi pada perusahaan. Parola, Ellis dan Golden (2015), menyatakan bahwa tingkat kompleksitas dan ketidakpastian yang terjadi pada akuisisi perusahaan akan memperhatikan peranan dari kepemimpinan manajemen di dalam keterlibatannya pada pencapaian kesuksesan perusahaan. Seberapa jauh transfer knowledge dan sharing experience serta kesempatan karyawan untuk berkembang yang diberikan dari Maybank group merupakan variabel yang mempengaruhi keberhasilan akuisisi perusahaan. Maybank sadar bahwa karyawan merupakan aset yang penting bagi 119 perusahaan, sehingga kebutuhan yang diperlukan bagi karyawan tersebut untuk tumbuh dan berkembang sangat perlu diakomodir perusahaan. Bentuk pengelolaan yang baik terhadap karyawan merupakan investasi bagi perusahaan dan bentuk keberadaan perusahaan tersebut menjadi wadah untuk karyawannya berkembang. Terjadinya interaksi dan masuknya nilai-nilai perusahaan melalui hal ini. Sesuai dengan yang dikemukakan Zollo (2004), menyatakan bahwa people management melalui transfer knowledge salah satunya menjadi wadah bagi perusahaan untuk membuat hubungan baik antara perusahaan pengakuisisi dengan karyawan, termasuk sebagai jalan untuk nilai-nilai perusahaan yang diinginkan masuk secara bertahap. People management pada perusahaan menunjukkan perubahan yang positif dimana pola pelatihan dan pengembangan skill dirasakan karyawan lebih baik. Pelatihan diberikan pula dalam bentuk e-learning sehingga dapat diakses dimana saja dan tidak terbentur dengan aktivitas yang dilakukan karyawan terkait tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu terdapat pelatihanpelatihan untuk mengembangkan soft-skill dan hard-skill baik secara internal maupun eksternal perusahaan. Jadwal yang diberikan untuk pelatihan internal dapat diperoleh karyawan setiap awal tahun berjalan, sehingga karyawan dapat mengelola jadwalnya masing-masing dengan baik. Pola pelatihan dan pengembangan yang diberikan pun sistematis sesuai dengan peranan karyawan dalam perusahaan sehingga dapat diaplikasikan secara nyata dan bertahap. Perusahaan pun tidak ragu untuk mengeluarkan biaya tambahan atas 120 pelatihan eksternal terhadap karyawan bila dianggap perlu sesuai kompetensinya. Sesuai dengan pernyataan Shearer, Hames dan Runge (2001), dimana pelatihan dan pengembangan karyawan diperlukan untuk memunculkan nilai perusahaan. Maybank memberikan kesempatan yang lebih besar bagi karyawan untuk bekerja pada bidang yang sesuai dengan aspirasinya. Kesempatan ini akan memberikan langkah positif untuk karyawan berkembang dan memperoleh pengalaman baru. Selain itu perusahaan juga membuka kesempatan bagi karyawan untuk bekerja di jaringan Maybank luar negeri. Kesempatan yang ada akan diberikan sesuai dengan kompetensi dari karyawan itu sendiri, dimana pilihan akan didiskusikan langsung dengan karyawan tersebut. Menurut Vasilaki dan O’Regan (2008), pengalaman dan pengetahuan yang dilewati akan menciptakan arahan berharga pada proses integrasi kedua perusahaan. Hal ini akan membantu manajemen dalam mengkoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan dan mengatur proses integrasi yang efektif. Terjadinya simbiosis mutualisme antara Maybank sebagai perusahaan dan karyawan yang juga memiliki peranan penting di dalamnya. Maybank group melakukan perubahan struktur perusahaan sejak awal mengakuisisi perusahaan di tahun 2008, dengan menunjuk Taswin Zakaria sebagai CEO baru perusahaan. Direktorat, divisi dan departemen secara bertahap mengalami perubahan menyesuaikan dengan langkah strategis yang 121 ingin diterapkan pada perusahaan. Dalam perubahan ini ditunjang pula terciptanya suasana kerja dan jarak antara atasan dengan bawahan yang juga mengalami perubahan seiring struktur yang terbentuk. Sebagian besar karyawan tidak merasakan adanya perubahan suasana kerja yang signifika atas perubahan struktur ini, bahkan sebagian karyawan merasakan adanya suasana kerja yang lebih baik. Jarak antara atasan dan bawahan pun dapat tercipta hubungan yang lebih dekat dan lebih baik. Jajaran direksipun sering memberikan teladan kepemimpinan dengan langsung turun ke bawah dan membina hubungan yang baik terhadap karyawan-karyawannya. Perubahan struktur juga berdampak pada perubahan bentuk birokrasi perusahaan. Birokrasi perusahaan pada saat Maybank masuk menjadi lebih sederhana. Terjadi efisiensi dan efektivitas dari setiap lini-lini bisnis. Beberapa bagian yang memiliki tugas serupa kemudian dilebur menjadi satu, sehingga tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab dan pelaksanaan tugas. Hal ini juga turut membantu variabel leadership, khususnya dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis. Penyederhanaan akan membantu proses integrasi perusahaan dalam menunjang kinerjanya. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dauber (2012), menyatakan bahwa integrasi struktur mengacu kepada keselarasan atau standarisasi atas proses, aset, struktur dan sistem perusahaan yang terlibat dalam proses akuisisi. Komunikasi yang terjadi pada saat proses transisi antara BII menjadi Maybank kurang berjalan dengan baik. Maybank group kurang melakukan 122 sosialisasi dan komunikasi dua arah dengan karyawan saat akuisisi dilaksanakan. Menurut Vasilaki dan O’Regan (2008), menyatakan bahwa komunikasi menunjukkan kompetensi dari bentuk kepemimpinan dan mempengaruhi efektivitas komunikasi yang menentukan kualitas perubahan dalam hubungan. Bentuk kepemimpinan dari Maybank memiliki celah dimana kurangnya perhatian atas variabel komunikasi kepada struktur bawah. Komunikasi yang sudah dilakukan sebatas tingkat manajemen atas, selaku pimpinan yang menentukan arah kebijakan perusahaan. Hal ini mirip dengan apa yang dikemukakan Shearer, Hames dan Runge (2001), dimana manajemen perusahaan seringkali mengkomunikasikan informasi terhadap karyawan berdasarkan basis yang seperlunya untuk diketahui. Intensitas komunikasi yang terjadi pada masa-masa awal akuisisi bahkan dirasakan jarang dan hanya pada level jabatan tertentu. Hal ini membuat karyawan kurang merasa dilibatkan pada saat proses akuisisi dijalankan. Komunikasi dan intensitas mulai membaik di saat perusahaan telah memberanikan diri untuk merubah nama menjadi Maybank Indonesia di tahun 2015. Perwakilan dari Maybank group mulai datang untuk melakukan sosialisasi. Penyebaran materi mengenai visi dan misi Maybank serta nilainilai perusahaan mulai disampaikan secara pasti kepada karyawan. Bila melihat dari kondisi yang ada, hal ini tidak sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh literatur yang ada mengenai pengaruh komunikasi dalam proses akuisisi. Rankine & Howson (2006) menyatakan bahwa komunikasi 123 menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan dari akuisisi perusahaan. Literatur menyatakan dengan semakin banyak intensitas komunikasi yang dilakukan antara perusahaan pengakuisisi dengan karyawan maka visi, misi dan hubungan akan semakin jelas. Namun hal ini tidak menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan Maybank dalam mengakuisisi perusahaan, melihat kinerja Maybank Indonesia yang terus meningkat. Penyebab kegagalan yang terjadi pada umumnya adalah terkait dengan budaya perusahaan. Menurut Rasiah et al. (2014) bahwa perusahaan yang mengakusisi cenderung memaksakan masuknya budaya baru pada perusahaan. Budaya menjadi salah satu variabel keberhasilan akuisisi dari Maybank, dimana budaya yang dibangun oleh Maybank terasa lebih baik dibandingkan perusahaan sebelumnya (BII). Maybank memiliki nilai-nilai perusahaan yang lebih dipahami dan dibanggakan oleh perusahaan, sehingga karyawan dengan kesadaran diri penuh untuk menjalankan seluruh nilai-nilai perusahaan. Menurut Gupta (2011), budaya perusahaan dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas. Hal ini sejalan dengan meningkatnya hasil kinerja perusahaan sejak proses akuisisi dijalankan oleh Maybank. Budaya perusahaan dan strategi perusahaan memiliki hubungan yang saling terkait. Maybank berhasil menciptakan nilai-nilai yang meningkatkan rasa kebanggaan karyawan terhadap perusahaannya, serta meningkatkan sense of belonging terhadap perusahaan. Karyawan dibuat merasa nyaman untuk 124 loyalitas dalam bekerja dan memberikan kontribusi yang positif terhadap perusahaan. Budaya yang diciptakan tidak serta merta berubah dari budaya perusahaan lama, namun mengalami penyempurnaan. Hal-hal yang dianggap baik tetap dipertahankan sehingga tidak menghilangkan jati diri awal perusahaan secara seutuhnya. Masuknya budaya perusahaan baru dilakukan dengan penyesuaian secara terus menerus sehingga membentuk suatu nilai kebudayaan baru, sesuai yang dikemukakan oleh Trompenaars dan Turner (2004). Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan engagement antar karyawan terasa lebih terorganisir dengan baik oleh Maybank. Banyak kegiatan penunjang yang membuat karyawan merasa memiliki perusahaan. Budaya perusahaan yang diterapkan oleh Maybank tidak merubah total budaya yang sudah ada, melainkan menambahkan nilai-nilai menarik tanpa mengubah budaya baik yang telah ada. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Xiaoming & Junchen (2012), mengenai hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja perusahaan. Perusahaan dengan kinerja baik memiliki budaya organisasi yang kuat, namun dengan turut memperhatikan kesesuaian budaya dengan lingkungan perusahaan. Shearer, Hames dan Runge (2001), menyatakan bahwa pemimpin, karyawan, dan budaya perusahaan merupakan fenomena yang sistemik, suatu perubahan yang terjadi pada salah satu diantaranya maka akan mempengaruhi variabel lainnya. 125 5.2. Kesimpulan Dengan dilakukannya penelitian terhadap proses akuisisi Maybank Indonesia, maka thesis ini dapat menarik kesimpulan terhadap tujuan penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan dan keberhasilan proses akuisisi, yaitu leadership, people management, structure, dan culture. Dari antara keempat faktor tersebut terdapat faktor yang dirasakan paling berpengaruh terhadap keberhasilan akuisisi Maybank yaitu budaya perusahaan. Maybank berhasil menciptakan budaya perusahaan baru tanpa menghilangkan apa yang dirasakan karyawan penting dan baik pada saat perusahaan masih BII. Hal ini tidak menciptakan culture shock yang mengakibatkan karyawan lama merasa tidak nyaman bekerja, namun sebaliknya. Maybank berhasil menciptakan suasana kerja yang kondusif sebagai bentuk interaksi antar variabel yang mempengaruhi kinerja dari perusahaan. Bentuk kepemimpinan yang dihadirkan oleh Maybank, membawa perubahan perusahaan ke arah yang lebih baik dan strategis. Jarak yang diberikan antara atasan dan bawahan yang terasa semakin kecil, membuat karyawan bekerja sebagai suatu tim, dengan mengedepankan kerja sama dan langkah-langkah demokratis dalam pengambilan keputusan. Efisiensi perusahaan khususnya dalam penyederhanaan bentuk birokrasi, turut memposisikan Maybank sebagai perusahaan yang dinamis mengikuti tuntutan kondisi ekonomi di Indonesia yang berubah dari waktu ke waktu. Hal ini juga ditunjang atas 126 terbukanya kesempatan bagi pengembangan karyawan, dukungan pelatihan dan perlakuan manajemen terhadap karyawan sebagai aset penting bagi perusahaan. Kegiatan engagement pada saat Maybank seperti gathering, outing, dan sebagainya dirasakan karyawan lebih baik dibandingkan dengan BII. Karyawan merasa dijadikan sebagai aset berharga oleh perusahaan. Nilai-nilai perusahaan yang ada lebih menunjukkan kualitas perusahaan global, sehingga membangun pemikiran karyawan mengenai langkah untuk berkembang dan maju kedepan. Nilai-nilai yang ada lebih mudah dipahami dan dijalankan, karena adanya minat yang besar dari karyawan untuk menjalankan nilai-nilai tersebut dalam perusahaan. Kegiatan penghargaan untuk karyawan masih mengadopsi kegiatan pada saat BII, seperti penghargaan terhadap loyalitas karyawan. Namun Maybank melakukan peningkatan penghargaan bagi karyawan yang bekerja di bagian marketing sebagai barisan terdepan perusahaan. Hal ini membangun sense of belonging terhadap perusahaan yang sangat baik bagi karyawan. Karyawan juga diberikan kegiatan-kegiatan di luar pekerjaan yang memacu mereka untuk turut berkontribusi. Kegiatankegiatan seperti lomba menyanyi, drama, fotografi, olah raga, dan sebagainya memupuk rasa kecintaan karyawan terhadap perusahaannya dan suasana nyaman untuk bekerja. Hal-hal inilah yang akan menopang kinerja karyawan sehingga terakumulasi menjadi kinerja perusahaan dengan hasil yang sangat baik, terlihat dari kinerja keuangan perusahaan pada setiap tahunnya.