BAB II LANDASAN TEORI 1. Pembelajaran a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran secara sederhana (intruction) bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagi strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan.1 Pembelajran adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pada hakikatnya pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau di desain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat menacapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.2 Konsep pembelajaran menggunakan sudut pandang interaksi antara peserta didik, pendidik, dan atau media/sumber bealajar. Sehingga pembelajaran bisa disebut proses kerjasama dan komunikasi antara siswa dengan guru atau dengan lingkungan untuk untuk mencapai tujuan tertentu. Proses kegiatan adalah langkah-langkah atau tahapan yang dilalui pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran. Sumber pendukung kegiatan 1 Abdul Majid, Strategi Pembelajran (Bandung: 2013, PT Remaja Rosdakarya), hlm. 4. Kokom Kumalasari, Pembelajran Kontekstual Konsep dan Aplikasi (Bandung: 2011, PT Refika Aditama), hlm. 3. 2 28 29 kegiatan pembelajaran mencakup fasilitas dan alat-alat bantu pembalajaran.3 Untuk menimbulkan proses komunikasi pembelajaran, ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan, salah satunya adalah pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang memulainya dari analisis setiap komponen yang membentuk sistem itu sendiri. Sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan komponen yang saling berkaitan, berinterelasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan.4 Proses pembelajaran yang berpangkal dari masalah dunia nyata bersifat autentik karena permasalahannya bukan buatan, atau artifisial. Siswa dilatih berhadapan dengan masalah-masalah sebenarnya, sehingga pemecahannya pun bersifat nyata. Proses pembelajaran ini bersifat generatif. Oleh karena proses pembelajaran yang antara lain memuat kegiatan interpretasi terhadap data baru, analisis dan penyimpulan-penyimpulan dapat men-generate atau menumbuhkan pengetahuan baru. Proses pembelajaran yang bersifat konstruksivisme juga bersifat integrative, karena masalah-masalah yang dibahas bersifat interdisipliner, sehingga siswa harus menggabungkan berbagai bidang pengetahuan untuk membahasnya. Selain itu semua, pembelajaran juga bersifat iteratif, kerena prosesnya mengikuti siklus langkah research and development.5 3 Abdul Majid, Op. Cit,. hlm. 6. Wina sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: 2012, KENCANA PRENADA MEDIA GROUP), hlm. 16. 5 Haris mujiman, Belajar Mandiri (Surakarta: 2008, LPP UNS dan UNS Press), hlm. 29. 4 30 Dari proses pembelajaran tersebut, penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mendapatkan pengetahuan atau ketrampilan baru adalah prinsip belajar menurut paradigm konstruksivisme. Paradigma ini memang merupakan dasar yang melandasi belajar mandiri, sebab kelancaran kegiatan belajar sangat ditentukan oleh sejauh mana pembelajar telah memilliki pengetahuan yang relevan sebagai modal awal untuk menciptakan pengetahuan baru atas rangsangan dari informasi baruyang diperoleh dalam proses pembelajaran. Informasi baru ini dapat diperoleh dari guru, orang lain atau dari sumber belajar yang lain.6 b. Tujuan Setiap perbincangan mengeanai pendidikan sebagai suatu ilmu pengtahuan selalu melibatkan perbincangan tentang tujuan-tujuan atau matlamat. Istilah tujuan atau matlamat berasal dari kata mata dan alamat. Mata adalah gambar bulat seperti bentuk mata, sedangkan alamat adalah sasaran anak panah atau tujuan yang ingin dicapai sewaktu mengerjakan sesuatu.7 Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education), tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti 6 Ibid., hlm. 14. 7 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu analisis psikologi dan Pendidikan (Jakarta: 1995, Al Husna Zikra), hlm. 55-56. 31 tujuan pendidikan islam yaitu terbentuknya kepribadian muslim dan kematangan dan integritas kesempurnaan pribadi.8 Dalam pembelajaran, tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pembelajaran. Kalau diibaratkan, tujuan, tujuan sama dengan komponen jantung pada sistem tubuh manusia, jantung adalah komponen utama dalam tubuh manusia. Manusia masih bisa hidup tanpa memiliki tangan, tidak memiliki mata, tetapi tidak akan hidup tanpa memiliki jantung. Oleh karenanya, tujuan merupakan komponen yang pertama dan utama dalam pembelajaran. c. Strategi Pembelajaran Strategi adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan.9 Strategi yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran disebut strategi pembelajaran. Tujuan strategi pembelajran adalah terwujudnya efisiensi dan efektifitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Strategi pembelajaran adalah pendekatan menyeluruh dalam suatu sistem pembelajaran yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran, yang dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori belajar tertentu. 10 8 Dra. Zuhairi, dkk. Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:2004, PT Bumi Aksara). hlm 159-160. Abdul Majid, Srtategi Pembelajaran (Bandung: 2013,PT Remaja Rosdakarya). Hlm 1-2. 10 Ibid., hlm. 7. 9 32 Strategi merupakan komponen yang memiliki fungsi yang sangat menentukan. Keberhasilan pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh komponen ini. Bagaimanapun lengkap dan jelasnya komponen lain tanpa dapat diimplementasikan melalui strategi yang tepat, maka komponen-komponen tersebut tidak memiliki makna dalam proses pencapaian tujuan.11 d. Kurikulum Definisi kurikulum menurut John Dewey secara komprehensif yaitu: “Curriculum an orderly sense of the world where the child lives”. Singkatnya, dalam pandangan Dewy kurikulum adalah kurikulum harus membangun rasa tertib dari dunia tempat tinggal anak-anak. Definisi Dewy memang lebih focus pada anak-anak sebagai aktor utama dalam praktik pembelajaran di sekolah. Lebih lanjut Dewey menjelaskan bahwa kurikulum seharusnya menghasilkan murid-murid yang manpu beradaptasi dengan dunia modern. Oleh karena itu, menurutnya, kurikulum tidak sekedar sebuah aktor abstraksi pembelajaran di kelas semata, tetapi juga harus terkandung prakonsepsi dan bagaimana seharusnya anak menandang dunia mereka sendiri.12 Kurikulum adalah semua kesempatan belajar yang di rencanakan untuk peserta didik di sekolah dan institusi lainnya. Selain itu, kurikulum juga dapat di maknai sebagai rancangan pengalaman yang akan diperoleh peserta didik 11 Wina sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: 2012, KENCANA PRENADA MEDIA GROUP), hlm. 20. 12 Rahmat Hidayat, Pengantar Sosiologi Kurikulum (Jakarta: 2011, PT RAHAGRAFINDO PERSADA) hlm. 7. 33 ketika kurikulum tersebut diimplementasikan. Kurikulum juga dapat diartikan sebagai langkah kegiatan perancangan kegiatan interaksi peserta didik dengan lingkungan belajarnya yaitu interaksi dengan dirinya sebagai guru, dengan sumber belajar dan lingkungan belajar lainnya. Rancangannya selalu disusun dalam dokumen tertulis dan dilaksanakan serta dikendalikan oleh guru.13 Kurikulum sebagai rancangan pendidikan, mempunyai kedudukan sentral, menentukan kegiatan dan hasil pendidikan. Penyusunannya memerlukan fondasi yang kuat, didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kurikulum yang lemah akan menghasilkan manusia yang lemah pula. Dalam proses belajar mengajar kedudukan kurikulum sangat penting, yakni kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, kurikulum bagi siswa, kurikulum bagi guru, kurikulum bagi kepala sekolah, kyrikulum bagi orang tua murid, kurikulum bagi sekolah di atasnya, dan kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah.14 Kurikulum yang baik pasti didalamnya mengandung empat komponen/elemen, yakni aims: diagnosis of learnes needs, contens: selection of contents, organization of contents, method: selectionof learning experiences, organization of learning experience, and evaluation: what and how to evaluate. Menurut Beeby, setiap kurikulum pasti memiliki tujuan, isi metode dan 13 Ahmad yani, Minset Krikulum 2013(Bandung:2013, Alfabeta). hlm. 5. Esti Ismawati, Telaah Kurikulum dan Pengembangan Bahan Ajar (Yogyakarta: 2012, Ombak) hlm. 5. 14 34 evaluasi. Pendapat lain dari Surahmad yang mengatakan bahwa kurikulum mempunyai empat komponen, yakni tuuan, isi, organisasi, dan strategi.15 e. Materi pembelajaran Materi pembelajaran (instructional materials) adalah bahan yang diperlukan untuk pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan, materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Materi yang dipilih untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi-materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum. Materi pembelajaran mengacu pada kurikulum persekolahan yang berlaku. Materi pembelajaran yang termuat dalam kurikulum merupakan materi esensial dalam suatu ilmu yang harus dimiliki oleh siswa.16 Materi atau isi merupakan komponen kedua dalam sistem pembelajaran. Dalam konteks tertentu, materi merupakan inti dalam proses pembelajaran. Artinya, sering terjadi proses pembelajaran diartikan sebagai proses penyampaian materi. Hal ini bisa dibenarkan manakala tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran (subject centered teaching). Dalam kondisi semacam ini maka para pengembang media pembealajaran 15 Ibid.,, hlm. 9-10. Kokom Kumalasari, Pembelajran Kontekstual Konsep dan Aplikasi (Bandung: 2011, PT Refika Aditama), hlm. 28. 16 35 termasuk guru perlu menguasai materi pembelajaran secara optimal. Pengembang media termasuk guru perlu memahami secara detail isi materi pelajaran yang harus dikuasai. Materi pelajaran tersebut biasanya tergambar dalam buku teks, sehingga sering terjadi proses pembelajaran adalah menyampaikan materi yang ada dalam buku. Namun demikian, dalam setting pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau kompetensi, tugas dan tanggung jawab guru bukanlah sebagai sumber belajar. Dengan demikian materi pelajaran sebenarnya dapat diambil dari berbagai sumber.17 Merril membedakan materi pelajaran menjadi 4 macam yaitu: fakta, konsep, prosedur, prinsip. Fakta adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda, yang wujudnya dapat di tangkap oleh panca indera. Fakta merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan data-data spesifik (tunggal) baik yang telah maupun yang sedang terjadi yang dapat diujinatau diobservasi. Konsep adalah abstraksi kesamaan atau keterhubungan dari sekelompok benda atau sifat. Suatu konsep memiliki bagian yang dinamakan atribut. Atribut adalah karakteristik yang dimiliki suatu konsep. Prosedur adalah materi pelajaran yang berhubungan dengan kemampuan siswa untuk menjelaskan langkah-langkah secara sistematis tentang sesuatu. Hubungan antara dua atau lebih konsep yang 17 Wina sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: 2012, KENCANA PRENADA MEDIA GROUP), hlm. 20. 36 sudah teruju secara empiric dinamakan generalisasi yang selanjutnya ditarik ke dalam prinsip.18 B. Kemandirian a. Pengertian Kemandirian Istilah „Kemandirian‟ berasal dari kata dasar „diri‟ yang mendapat awalan „ke‟ dan akhiran „an‟, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar „diri‟, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai kemandirian diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena diri itu merupakan inti dari kemandirian.19 Mandiri adalah suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas20. Mandiri atau kemandirian sering kali diterjemahkan sebagai kemampuan sendiri, artinya menggunakan sumberdaya sendiri, kerja sendiri, dan dalam lingkungan yang diciptakan sendiri (tertutup). Pada masa lalu, hal ini mungkin memiliki pendukung yang sangat kuat. Namun, dalam lingkungan serba global dan terbuka, hal tersebut tidak dapat dipertahankan. Oleh sebab itu, pengertian “secara mandiri” diartikan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri dalam mendayagunakan seluruh sumber daya yang memungkinkan, termasuk bantuan luar untuk 18 Ibid. hlm. 134-135. Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: 2009, PT REMAJA ROSDAKARYA), hlm. 185. 20 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: 2014, Alfabeta), hlm. 34. 19 37 mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan kecenderungan dunia saat ini, yaitu perubahan dari global dependence menuju local independence atau lebih kecil lagi individual independence yang identic dengan relationship (keterhubungan).21 Konsep kemandirian yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian yaitu self determinism (Emil Durkheim), autonomus morality (Jean Peaget), ego integrity (Erick E. Erikson), the creative self (Alfred Adler), self actualization (Abraham H. Maslow), self system (Harry Stack Sullivan), real self (Caren Horney), self efficacy (Albert Bandura), self expantion,self esteem, self pity, self respect, self sentience, self sufficiency, self expression. Self direction, self structure, self contempt, self control, selfrighteousness, self effacement (Hall dan Linzey).22 Sedemikian banyak istilahatau konsep yang berkenaan dengan diri, jika dikaji lebih mendalam ternyata tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep yang seringkali digunakan atau yang berdekatan dengan kemandirian adalah yang sering disebut dengan istilah autonomy.23 Menurut Chaplin Autonomy atau otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah. Menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Huffnung 21 Tim Crescent, Menuju Masyarakat Mandiri Pembangunan model sistem keterjaminan Sosial (Jakarta: 2003, PT Gramedia Pustaka Utama), hlm. 20. 22 Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi remaja Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: 2011. PT Bumi Aksara), hlm. 110. 23 Ibid, hlm. 110. 38 mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai „the ability to govern and regulate one’s own thoughts, feelings, and actions freely and responsibly while overcoming feelings of shame and doubt,’ 24 Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikandan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendirisecara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan. b. Ciri-ciri Kemandirian Ciri-ciri kemandirian dalam dimensi psikologi tidak bisa di generalkan, karena perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara bertahap dan berlangsung sesuai karakteristik dan tingkatan perkembangan kemandirian tersebut. Robert Havighurst membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian, yaitu: 1. Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain. 2. Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain. 3. Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. 24 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: 2009, PT REMAJA ROSDAKARYA), hlm. 185. 39 4. Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain. Sementara itu, Steiberg membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk, yaitu: 1. Kemandirian emosional (emotional autonomy), yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional peserta didik dengan guru atau dengan orangtuanya.25 indikator kemandirian emosi pada anak dapat dilihat dari beberapa karakteristik, yaitu: a. Anak tidak serta merta lari kepada orang tua ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau membutuhkan bantuan. b. Anak tidak lagi memandang orang tua sebagai mengetahui segalanya (all knowing) atau menguasai segalanya (all-powerfull). c. Anak sering memiliki energy emosi yang hebat untuk menyelesaikan hubunganhubungan diluar keluarga dalam kenyataan mereka merasa lebih dekat dengan teman daripada orang tua mereka. d. Anak mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua mereka seperti dengan orang lain pada umumnya, yaitu bukan semata-mata sebagai orang tua saja, tetapi teman diskusi.26 25 Ibid., hlm. 186. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032RAHAYU_GININTASASI/KONTRI~2.pdf. Diakses, 11 oktober 2015. Pukul 03.00 WIB. 26 40 2. Kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy), yakni suatu kemampuan untuk membentuk keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannnya secara bertanggung jawab.27 Kemandirian perilaku anak dapat dilihat dari indikator berikut: a. Kemampuan pengambilan keputusan. b. Kerentanan terhadap pengaruh orang lain. c. Orang lain termasuk orang tua diposisikan sebagai konsultan. d. Perasaan-perasaan mengenai kepercayaan diri.28 3. Kemandirian nilai (value autonomy), yakni kemampuan mrmaknai seperangkat prinsip tentang benar atau salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.29 Perkembangan kemandirian nilai ditandai oleh: a. Cara anak dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin bertambah abstrak. b. Keyakinan-keyakinan anak menjadi bertambah mengakar pada prinsipprinsip umum yang memiliki beberapa basis ideology. c. Keyakinan-keyakinan anak menjadi semakin bertambah mantap atau tertancap pada nilai-nilai mereka sendiri dan bukan hanya dalam suatu 27 Desmita,Op. Cit., hlm. 187. Op. Cit,. 29 Desmita, Loc. Cit. hlm. 187. 28 41 sistem nilai yang ditanamkan orang tua atau figure pemegang kekuasaan lainnya.30 Lovinger mengemukakan tingkat kemandirian dan karakteristiknya, yaitu: 1. Tingkat pertama, adalah tingkat impulsive dan melindungi diri. Ciri-cirinya: a. Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksi dengan orang lain. b. Mengikuti aturan secar spontanistik dan hedonistik. c. Berpikir tdak logis dan tergantung pada cara berpikir tertentu (stereotype). d. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games. e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya. 2. Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya: 30 a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial. b. Cenderung berpikir stereotype dan klise. c. Peduli akan konformitasterhada aturan eksternal. d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian. e. Menyatakan diri dalam ekspres dan kurangnya introspeksi. f. Perbedaan kelompok didasari atas ciri-ciri eksternal. g. Takut tidak diterima kelompok. h. Tidak sensitive terhadap keindividualan. i. Merasa berdosa jika melanggar aturan. Op.Cit., 42 3. Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri? a. Mampu berpikir alternative. b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi. c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada. d. Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah. e. Memikirkan cara hidup. f. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan. 4. Tingkatan keempat, adalah tingkatan saksama (conscientious). Ciri-cirinya: a. Bertindak atas dasar nilai-nilai internal. b. Mampu melihat diri sebagi pembuat pilihan dan pelaku tindakan. c. Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain. d. Sadar akan tanggungjawab. e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri. f. Peduli akan hubungan mutualistik. g. Memiliki tujuan jangka panjang. h. Cenderung melihat peristiwadalam konteks sosial. i. Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis. 5. Tingkat kelima, adalah tingkat individualitas. Ciri-cirinya: a. Peningkatan kesadaran individualitas. b. Kesadaran akan ketergantungan. konflik emosional antara kemandirian dan 43 c. Menjadi lebih toleran taerhadap pertentangan dalam kehidupan. d. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya. e. Menenal kompleksitas diri. f. Peduli akan perkeembangan dan masalah-masalah sosial. 6. Tingkatan keenam,adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya: a. Memiliki pandanagn hidup sebagai suatu keseluruhan. b. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain. c. Peduli terhadap pemahaman abistrak, seperti keadilan sosial. d. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertantangan. e. Toleran terhadap ambiguitas. f. Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment). g. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflim internal. h. Responsive terhadap kemandirian orang lain. i. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain. j. Mampu mengekspresikan perassaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.31 c. Faktor pengaruh kemandirian Ali dan ansor menjelaskan bahwa kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi gen atau keturunan orang tua, sistem pendidikan disekolah, dan sistem pendidikan di masyarakat.32 31 Desmita, Op. Cit., hlm.186-189. 44 Ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut : 1) Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun faktor keturunan masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa bukan sifat kemandirian orang tua itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya. 2) Pola asuh orang tua. Orang tua yang terlalu banyak melarang kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. 3) Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat kemandirian anak. Sebaliknya proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan kemandirian anak. 32 http://journal.uny.ac.id/index.php/jpv/article/view/1847/1525. Diakses, 11 Oktober 2015. Pukul 14:29 WIB. 45 4) Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja.33 C. Kearifan Lokal a. Pengertian Kearifan lokal dilihat dari kamus bahasi Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.34 Kearifan lokal merupakan tata aturan yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi sejumlah aspek kehidupan, yakni: tata aturan yang menyangkut 33 Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi remaja Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: 2011. PT Bumi Aksara), hlm. 118-119 34 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=149691&val=5898&title=PENGEMBA NGAN%20PENDIDIKAN%20KARAKTER%20BERBASIS%20KEARIFAN%20LOKAL%20PAD A%20MASYARAKAT%20MINORITAS%20(%20Studi%20atas%20Kearifan%20Lokal%20Masyara kat%20Adat%20Suku%20Baduy%20Banten) diakses , 29 Juni 2015. Pukul 10:30 WIB. 46 hubungan antar sesama manusia, tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam, tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib.35 Kearifan lokal juga merupakan bagian dari budaya. Dalam pandangan John Haba. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosialsi antara warga masyarakat.36 Masyarakat adalah pengemban tugas budaya, yang tidak sekedar sebagai tugas prakarsa pengalihan dari pengetahuan dan ketrampilan ataupun pengalihan nilai-nilai budaya bagi peradapan manusia semua yang semua ini diikhtiari melalui pendidikan. Bahwa pendidikan diperuntukkan bagi si siswa yang sedang belajar dan masyarakat sebagai pusat pembelajaran.37 Tentunya kearifan lokal tidak semerta merta ada begitu saja, beberapa sumber kearifan lokal diantaranya: a) Potensi Manusia. Al-ghazali menyebut potensi manusia ada empat komponen, yaitu: ruh, kalbu, akal dan nafsu. Sigmund Freud membagi komponen sistem kepribadian manusia meliputi: super ego, ego dan id. Sedangkan Bloom 35 Romzan Fauzi, Menguak Makna Kearifan Lokal Pada Masyarakat Multikulrural (Semarang: 2011, CV. Robar bersama), hlm. 13. 36 Irwan Abdullah, Dkk, Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global (Yogyakarta: 2008, Sekolah Pascasarjana UGM), hlm. 5. 37 Ahmad Bahrudin, Pendidikan Alternatif Qoryah Thayyibah (Yogyakarta: 2009, PT Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta), hlm. 5. 47 membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun Howard Gardner menjabarkan lagi kedalam delapan kecerdasan, yaitu: linguistik, logis-matematis, spasial, kinestetik jasmani, musikal, antarpribadi, intrapribadi dan naturalis. Pengembangan program pendidikan yang meliputi tujuan, kurikulum, metode pembelajaran dan lingkungan pendidikan haruslah berbasis pada potensi manusia anak didik. b) Potensi Agama Hampir tidak ada pendidikan diberbagai belahan dunia ini yang lepas dari pengaruh agama, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dunia pendidikan yang gelap terhadap nilai-nilai moral etis, serta kehidupan bangsa yang dipenuhi dengan keserakahan dan kemunafikan, mengharuska adanya penguatan nilai-nilai sufisme, bukan hanya melalui pendidikan agama, tetapi juga semua mata pelajaran, keteladanan dan budaya sekolah. Sekolah, perguruan tinggi dan pesantren bukan hanya benteng penjaga moral terakhir, tetapi juga diharapkan dapat melahirkan manusia-manusia yang bijak dan bermoral. c) Potensi Budaya Budaya adalah nilai, proses dan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Budaya atau kebudayaan nasional memiliki kedudukan sangat penting dalam program pengembangan pendidikan nasional suatu bangsa atau muatan lokal suatu daerah. Bangsa yang berbudaya dan bangsa yang 48 besar adalah bangsa yang menghargai, mengembangka dan mewariskan budayanya kepada generasi muda. Melalui kekayaan budaya yang dimiliki, seharusnya kita bisa menyusun berbagai model dan program pendidikan dan pembelajaran, bisa dalam bentuk program studi, intrakurikuler, ekstrakurikuler maupun dalam bentuk budaya sekolah. d) Potensi Alam Lewat program pendidikan berbasis potensi lingkungan, diharapkan tumbuh kearifan lokal dan karakter yang peduli lingkungan dan sebaliknya dapat memanfaatkan potensi lingkungan hidupnya. Orang yang arif adalah orang yang hidupnya harmoni dengan lingkungan seraya dapat memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan hidupnya dan orang yang berkarakter akan marah apabila lingkungan ekosistemnya dirusak.38 Sumber kearifan lokal yang meliputi potensi agama, manusia, alam, dan budaya yang sebelumnya sering termarginalkan39 dalam pembelajaran, merupakan nilai luhur yang harus termanifestasikan dalam pembelajaran kemandirian. Karena melalui kearifan lokal bisa dikembangkan karakter kemandirian peserta didik. 38 Yusuf Wibisono Aak, dalam blognya Garasi Keabadian, http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal.html. Diakses, 16 Oktober 2015. 39 Muhammad Rizqon, Menggagas Pendidikan Transformatif Berbasi Kearifan Lokal, dalam situs http://prosiding.upgrismg.ac.id/index.php/FIP13/fip013/paper/viewFile/282/229. Diakses 16 Oktober 2015. 49 b. Ciri-ciri Ciri-ciri kearifan lokal menurut Moendardjito, yaiti: 1. Mampu bertahan terhadap budaya luar. 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. 3. Mempunyai kemampuan mengintegrsikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. 4. Mempunyai kemampuan mengendalikan. 5. Mampu memberi arahan pada perkembangan budaya.40 40 http://sarahandreinaj.blogspot.co.id/2014/07/pengertian-dan-contoh-kearifan-lokal_7.html. Diakses, 12 Oktober 2015. Pukul 04.30 WIB.