makalah kolokium

advertisement
1
MAKALAH KOLOKIUM
Nama Pemrasaran/NIM
Departemen
Pembahas/NIM
Dosen Pembimbing/NIP
Judul Rencana Penelitian
Tanggal dan Waktu
:
:
:
:
:
:
Tri Sintya/I34110078
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Futri Amelia/I34110104
Dr. Sofyan Sjaf, M.Si/19781003 200912 1 003
Penguatan Sosial Politik Masyarakat Adat
Senin, 23 Juni 2014, Pukul 09.00-10.00 WIB
1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sebagai bagian dari kesatuan wilayah pemerintahan Republik Indonesia, desa menjadi
subjek penting yang turut berkontribusi atas proses pembangunan. Menurut data sensus
penduduk dari Badan Pusat Statisik tahun 2010 terdapat sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21
persen) penduduk yang tinggal di pedesaaan. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat Indonesia masih bertahan di wilayah-wilayah tersebut. Fakta demikian menuntut
adanya upaya pemerataan kesejahteraan khususnya bagi masyarakat desa yang seringkali
terlupakan dinamika struktural.
Pada perkembangannya berbagai regulasi yang mengatur eksistensi desa turut menjadi
bagian tak terpisahkan. Beberapa regulasi yang berisi tentang pemerintahan desa diantaranya
adalah UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 serta undangundang yang baru-baru ini disahkan pada tanggal 18 Desember 2013 yaitu UU No.6 Tahun
2014. Secara umum keempat undang-undang tersebut memiliki sejumlah persamaan dan
perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah posisi masyarakat yang awalnya hanya
sebagai objek penerima berubah menjadi subjek pembangunan yang dilibatkan dalam
kebijakan otonomi daerah. Sebelumnya pada UU No. 5 Tahun 1979 pemerintahan desa diatur
secara terpusat. Seluruh bentuk sistem lokal berganti sesuai apa yang diperintahkan. Padahal
sebelum itu banyak aturan lokal masyarakat yang menyebut kesatuan wilayah mereka dengan
nama-nama yang khas. Pasca berlalunya masa orde baru peraturan tersebut berubah dengan
paradigma yang lebih demokratis. UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 mulai
menghargai realitas keragamaan dan hak asal-usul desa, menerapkan asas desentralisasi, serta
memberikan penghargaan terhadap perkembangan masyarakat desa. Namun demikian
undang-undang ini tidak serta merta memperbaiki kondisi yang ada karena terdapat tantangan
baru dalam mengubah hasil konstruksi sistem sentralistik sebelumnya.
Dari keempat regulasi, semakin disadari urgensi pengaturan dan perlindungan mengenai
masyarakat yang hidup berdasarkan nilai-nilai dan hukum adat. Menurut Kongres Masyarakat
Adat Nusantara pada tahun 1999, tertera dalam Surat Keputusan KMAN No.
01/KMAN/1999, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul
leluhur di wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,
budaya, sosial dan wilayah sendiri (Moniaga, 1999). Selanjutnya dalam UU No.32 Tahun
2004 telah mengapresiasi keberadaan tata aturan adat (Pasal 203 dan pasal 216), namun
otoritas adat dengan sistem tata pemerintahan asli sulit beradaptasi dan menyelaraskan dengan
keberadaan sistem tata pemerintahan formal dalam konsep desa (Dharmawan, 2006). Selain
itu menurut berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa realitas semacam ini seringkali
menimbulkan dualistik kepemimpinan di pedesaan atau adanya tumpang tindih antara
pemimpin formal dan informal.
Salah satu bentuk persoalan antara pemerintahan desa formal dengan sistem adat yang
masih mengakar dipedesaan Indonesia menjadi stimulus adanya regulasi baru. Regulasi
tersebut kemudian terrealisasi dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa Adat. Undangundang ini mengatur pemerintahan Desa Adat sesuai dengan susunan asli atau dibentuk baru
2
berdasarkan prakarsa masyarakat adat. Selain itu peraturan Desa Adat disesuaikan dengan
hukum dan norma adat istiadat yang berlaku. Persoalannya kemudian apakah setiap desa yang
memiliki nilai-nilai kelembagaan lokal mampu untuk menjalankannya sesuai dengan UU
No.6 Tahun 2014 mengingat terdapat perbedaan yang khas antar masing-masing desa.
Terlebih lagi bekas pengaruh konstruksi sentralistik yang telah melunturkan nilai-nilai
masyarakat pedesaan juga menjadi kendala yang berarti. Selain itu mempertimbangkan aspek
yang begitu kompleks, menimbulkan persoalan akan sejauhmana kebijakan undang-undang
tersebut bisa diterima dan dilaksanakan serta bagaimana upaya penataan dan penguatan sistem
Desa Adat dapat tercapai untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian menarik untuk
dianalisis dan dikaji lebih lanjut bagaimana dinamika masyarakat adat yang terkait dengan
kesiapan dan penguatan aspek sosial politik.
1.2. MASALAH PENELITIAN
Intervensi regulasi yang mendorong perubahan bentuk pemerintahan desa di Indonesia
telah berlangsung demikian lama bahkan hinga saat ini. Kasus terdahulu lebih
menggambarkan bagaimana unit pemerintahan lokal dibentuk menjadi tata pemerintahan desa
formal hingga kembali dicanangkan program otonomi daerah. Kebijakan ini nyatanya masih
bias terhadap kepentingan komunitas lokal sehingga dibentuklah kebijakan baru dalam UU
No.6 Tahun 2014 yang memiliki aturan khusus pemerintahan Desa Adat. Dengan demikian
atas dasar realitas tersebut maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah sejauh mana
kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik
komunitas adat Kuta di Ciamis Jawa Barat?
Dalam dinamika masyarakat adat terdapat bentuk kearifan lokal baik berupa nilai
ataupun norma yang memang menjadi dasar kehidupan mereka dan dapat dijadikan aspek
kesiapan sosial. Bentuk kearifan lokal mereka yang berusaha diwariskan hingga saat ini
nyatanya mengalami perubahan. Perubahan ini juga menstimulus bagaimana mereka
mempertahankan eksistensi dari waktu ke waktu melalui upaya penguatan yang
berkesinambungan. Oleh karena itu perlu dipertanyakan bagaimana hubungan kesiapan
sosial politik dengan penguatan masyarakat adat?
Berdasarkan analisis yang mempertanyakan kesiapan aspek sosial dan politik
masyarakat adat maka dapat diidentifikasi bahwa aspek tersebut (politik dan sosial) terdiri
dari beberapa faktor. Oleh karena itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan seperti
bagaimana hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam masyarakat adat? serta
faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik
masyarakat adat?
Berbagai aspek kesiapan sosial politik dalam masyarakat nyatanya akan saling terkait
dengan hal lainnya seperti bentuk penguatan berupa kearifan lokal adat yang mendukung
kelestarian tradisi, nilai ataupun norma. Apabila proses penguatan itu berlangsung efektif
untuk mencapai tujuan eksistensi adat mengatasi perubahan, maka dapat meningkatkan nilai
kesiapan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu menarik untuk melihat dan mempertanyakan
bagaimana hubungan masing-masing aspek kesiapan dengan indikator penguatan sosial
politik masyarakat adat?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian pada
penelitian ini yaitu untuk:
1. Menganalisis sejauh mana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam
aaspek sosial dan politik
2. Menganalisis hubungan kesiapan sosial politik dengan penguatan masyarakat adat
3. Menganalisis hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam masyarakat adat
3
4.
5.
Menganalisis faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses
penguatan sosial politik masyarakat adat
Menganalisis hubungan masing-masing kesiapan dengan indikator penguatan sosial
politik masyarakat adat
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan dan referensi mengenai dinamika masyarakat adat saat ini yang berkaitan
langsung dengan pemerintahan desa secara lokal menurut Undang-Undang No.6 Tahun
2014.
2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), diharapkan dapat memberikan gambaran rinci
mengenai kesiapan sosial politik masyarakat serta mampu menelaah lebih lanjut prospek
serta apa saja yang perlu direvitalisasi untuk mengefektifkan kebijakan Desa Adat.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kesadaran
kritis tentang keberadaan masyarakat adat sebagai komponen penting bangsa Indonesia
yang juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak juga kebijakan yang relevan.
2. PENDEKATAN TEORETIS
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Konsep Masyarakat Adat
Keberadaan masyarakat Adat tidak dapat diabaikan dalam dinamika kehidupan bangsa
Indonesia. Sayangnya pemahaman mengenai dinamika masyarakat adat belum benar-benar
terinternalisasi dalam pembangunan. Terbukti masih banyaknya permasalahan terkait
masyarakat adat. Untuk itu salah satu lembaga yang disebut sebagai Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), banyak melakukan gerakan sosial yang membela hak dan kepentingan
masyarakat adat yang seringkali tergusur dinamika struktural.
Secara lebih rinci Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres I
tahun 1999, mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah geografis tertentu,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, memiliki nilai-nilai sosial budaya
yang khas, dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat
(Moniaga 1999). Selain definisi umum tersebut, definisi dari AMAN ini secara langsung
mendasarkan masyarakat adat dalam empat ciri spesifik (1) sekelompok orang dengan
identitas budaya yang sama, (2) sekelompok orang yang saling berbagi sistem pengetahuan.
Ciri khas ini terkait erat dengan sistem pengetahuan yang bagikan (sharing knowledge) yang
bermuara pada kesamaan dalam sosialisasi dan internalisasi kebudayaan, (3) sekelompok
orang yang tinggal di wilayah yang sama, (4) sekelompok orang yang memiliki sistem hukum
yang khas dan tata kepengurusan kehidupan bersama.
Dinamika Regulasi Masyarakat Adat dan Tata Pemerintahan Desa
Konsep desa telah dijelaskan dalam UU No.5 Tahun 1979 yang menyebutkan bahwa
desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak untuk mengurus rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya
UU No 5 Tahun 1979 ini mensyaratkan pemisahan administrasi desa dari hak adat istiadat dan
hak asal usulnya. Namun demikian pada perkembangannya sistem pemerintahan desa mulai
mengalami transformasi yang cukup signifikan dalam upaya menghargai kebebasan otonom
4
dan pengakuan keanekaragaman adat istiadat serta asal usul desa seperti pada UU No. 22
Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 serta UU No.6 Tahun 2014.
Beberapa hal mendasar yang menjadi perbandingan misalnya orientasi “Desa” pada
ketiga undang-undang tidak sama persis. Kedua undang-undang terakhir memiliki
kecenderungan sama dengan orientasi otonomi daerah. Meskipun demikian semangat otonomi
daerah yang diusung oleh undang-undang tersebut nampaknya masih bias dalam
mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Hal ini ditunjukkan pada aspek lain seperti
kewenangan desa, keuangan desa, kelembagaan, serta demokrasi dan tata pemerintahan desa
itu sendiri hanya berorientasi pada desa formal khususnya UU No.5 Tahun 1979 sedangkan
UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 berorientasi pada pemerintahan lokal
namun kurang spesifik menganggap Desa Adat terlebih masih menyisakan bentuk intervensi
pusat. Selain ketiga undang-undang pemerintahan desa tersebut dibentuk pula UU No.6
Tahun 2014. Dalam undang-undang ini orientasi yang difokuskan bukan sekedar isu otonomi
daerah namun juga mengusung pengakuan desa adat sebagai wilayah pemerintahan lokal
secara formal. Dengan kata lain undang-undang ini mengatur pemerintahan desa adat secara
khusus.
Transformasi Desa
Penjelasan mengenai peraturan spesifik tentang desa secara umum tertuang dalam
dalam PP No.72 Tahun 2005. Secara garis besar regulasi ini mengatur beberapa hal misalnya
mengenai ketentuan umum, proses pembentukan dan perubahan desa, kewenangan desa,
pelaksanaan pemerintahan desa, dan lain-lain. Pembentukan desa atau kesatuan yang disebut
dengan nama lain dapat diprakarsai oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan lokal dan
partisipasi aktif mereka serta didukung oleh berbagai stakeholder terkait. Sedangkan proses
perubahannya sendiri justru hanya menjabarkan tentang bagaimana status desa menjadi
kelurahan. Menurut peraturan tersebut, desa dapat berubah statu menjadi kelurahan dengan
beberapa ketentuan yang memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, sarana prasarana
pemerintahan, potensi ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
Berbeda dari Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005, untuk mendeskripsikan UU
No.6 Tahun 2014 dibentuk pula PP No. 43 Tahun 2014. Dalam PP No. 43 tahun 2014
terdapat pengaturan baru mengenai Desa Adat. Pembentukkan desa dijelaskan sebagai proses
yang diprakarsai pemerintah bersama stakeholder terkait dan warga yang dilakukan dengan
prosedur hingga verifikasi kelayakan. Selain itu perubahan status desa bukan saja mengenai
perubahan desa menjadi kelurahan namun ditambahkan dengan perubahan kembali kelurahan
menjadi desa, perubahan desa adat menjadi desa serta perubahan desa menjadi desa adat.
Berdasarkan hal tersebut status desa adat dapat diubah menjadi desa dengan syarat
luas wilayah yang tidak berubah, jumlah penduduk, sarana dan prasarana pemerintahan bagi
terselenggaranya pemerintahan desa, potensi ekonomi yang berkembang, kondisi sosial
budaya masyarakat yang berkembang; dan meningkatnya kuantitas dan kualitas pelayanan.
Sedangkan pada proses perubahan status desa menjadi desa adat dapat diprakarsai oleh
pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan cara pengubahan yang tertuang dalam
pengaturan menteri. Semua proses penyelenggaraan tersebut harus berdasarkan pada hak asal
usul desa adat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “hak asal usul” termasuk hak tradisional
dan hak sosial budaya masyarakat adat. Sedangkan penyelenggaraan hak asal usul oleh desa
adat paling sedikit meliputi penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat adat,
pranata hukum adat, pemilikan hak tradisional, pengelolaan tanah kas desa adat, pengelolaan
tanah ulayat, kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa adat, pengisian jabatan kepala
desa adat dan perangkat desa adat serta masa jabatan kepala desa adat. Menurut Pasal 30 PP
No.43 Tahun 2014 ini menyebutkan bahwa penetapan desa adat dilakukan dengan mekanisme
pengidentifikasian desa yang ada dan pengkajian terhadap desa yang ada yang dapat
ditetapkan menjadi desa adat.
5
2.2.
KERANGKA PEMIKIRAN
Berdasarkan hasil analisis dan kajian referensi terkait dinamika kehidupan masyarakat
adat banyak yang mengangkat penelitian terkait aspek politik, budaya, sosial, ekonomi dan
lingkungan. Selain itu kajian sebelumnya juga banyak yang mengangkat bagaimana
perubahan regulasi di Indonesia mengenai tata pemerintahan desa yang bersentuhan langsung
dengan kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Regulasi yang dimaksud berkenaan dengan
realitas ini adalah UU No.5 Tahun 1979 pada masa pemerintahan orde baru dan UU No.22
Tahun 1999 serta UU No.32 Tahun 2004 pasca orde baru yang lebih berorientasi otonomi
daerah. Pada perkembangannya baru-baru ini telah disahkan mengenai undang-undang tata
pemerintahan desa yang lebih mengusung hak dan kewenangan masyarakat adat yakni UU
No.6 Tahun 2014 tentang Desa Adat. Keberadaan regulasi ini membutuhkan upaya baru yaitu
persiapan matang dalam pembentukan desa adat. Dengan demikian menarik untuk dianalisis
lebih lanjut bagaimana kesiapan sosial politik masyarakat lokal dalam menanggapi perubahan
regulasi. Kesiapan aspek sosial dilihat berdasarkan analisis modal sosial. Hal-hal terkait
modal sosial direduksi menjadi partisipasi dalam jaringan organisasi sosial atau kerja,
kepercayaan antar sesama, ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama dan
keterlibaan dalam aktivitas organisasi sosial mapun adat. Selain itu kesiapan aspek politik
masyarakat direpresentasikan melalui indikator bentuk struktur adat, peran aktor pengambil
keputusan, tipe kepemimpinan, sistem alokasi atau penguasaan sumberdaya lokal serta
perangkat hukum adat.
Kedua indikator kesiapan ini dikaitkan dalam proses penguatan dan eksistensi adat
disuatu daerah yang berkaitan langsung dengan adanya realitas sistem nilai, struktur adat dan
penguasaan sumberdaya. Masyarakat dikatakan siap apabila sistem nilai adat dan eksistensi
kearifan lokal mereka dalam berbagai aspek mampu dipertahankan bahkan menjadi identitas.
Dengan demikian kondisi kesiapan sosial politik dapat saling berhubungan dengan proses
penguatan yang terjadi dan dapat ditinjau bagaimana kesiapan menanggapi amanah UU No.6
Tahun 2014 tentang Desa Adat. Kajian terkait hal tersebut dijabarkan dalam usulan kerangka
penelitian baru sebagai berikut:
Kesiapan Sosial:
- Tingkat partisipasi dalam
jaringan organisasi sosial/kerja
- Tingkat kepercayaan antar
sesama
- Tingkat ketaatan terhadap norma
- Tingkat kepedulian terhadap
sesama
- Intensitas keterlibatan dalam
aktivitas organisasi sosial (adat)
Kesiapan Politik
- Bentuk struktur adat
- Proses dan aktor pengambil
keputusan
- Peran kepemimpinan
- Bentuk alokasi/penguasaan
sumber daya
- Perangkat hukum adat
Keterangan:
: berhubungan
: bertujuan
Penguatan desa
adat (bedasarkan
pandangan
masyarakat):
- Bentuk sistem
nilai adat
- Bentuk stuktur
sosial desa
adat
- Bentuk sistem
pengelolaan
sumber daya
Kesesuaian
dengan
amanah UU
No.16
Tahun 2014
Tentang
Desa Adat
Gambar 1. Usulan Kerangka Analisis Baru
6
2.3. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan sosial dan kesiapan politik
2. Kesiapan sosial berhubungan dengan proses penguatan masyarakat adat
3. Kesiapan politik berhubungan dengan proses penguatan masyarakat adat
4. Faktor kesiapan sosial lebih dominan dalam hubungan dengan penguatan masyarakat adat
5. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan sosial politik dengan penguatan
masyarakat adat
2.4. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkn sebagai
berikut:
1. Tingkat Partisipasi: Keikutsertaan dalam jaringan organisasi sosial/kerja di keseharian
komunitas adat. Hal ini dapat dilihat dari kerelaan membangun jaringan kerjasama anta
sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja, keaktifan
dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan
atau jaringan sosial/kerja.
Indikator untuk mengukur:
- Jumlah kelompok/jaringan organisasi yang diikuti
- Frekuensi keikutsertaan dalam kelompok/jaringan organisasi dan kegiatan lain
- Tingkat keterbukaan dalam melakukan hubungan sosial
- Frekuensi keterlibatan dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah dan memelihara
hubungan
Pengukuran:
Anggota sangat aktif (skor 4)
Anggota aktif (skor 3)
Anggota kurang aktif (skor 2)
Anggota pasif (skor 1)
2. Tingkat kepercayaan: Tingkat kepercayaan dapat dilihat dari tingkat kepercayaan terhadap
sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat kepercayaan terhadap
tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua
kelompok dan anggota masyarakat lainnnya.
Indikator untuk mengukur tingkat kepercayaan:
- Tingkat kepercayaan terhadap tokoh adat
- Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah
- Tingkat kepercayaan terhadap ketua kelompok
- Tingkat kepercayaan terhadap anggota masyarakat lainnya
Pengukuran:
Sangat percaya (skor 4)
Percaya (skor 3)
Kurang percaya (skor 2)
Tidak percaya (skor 1)
3. Tingkat ketaatan terhadap norma: Tingkat ketaatan terhadap norma merupakan kesediaan
individu untuk mempercayai dan melakukan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketaatan
terhadap norma yang dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat
ketaatan terhadap aturan pemerintah atau tingkat intensitas pelanggaran yang pernah
dilakukan.
Indikator untuk mengukur tingkat ketaatan terhadap norma/aturan:
- Frekuensi melaksanakan norma yang dianut
- Tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku
- Frekuensi melaksanakan aturan pemerintah
7
4.
5.
6.
7.
- Frekuensi pelanggaran norma/aturan yang ada
Pengukuran:
Tinggi (skor 4)
Cukup tinggi (skor 3)
Sedang (skor 2)
Rendah (skor 1)
Tingkat kepedulian sesama: Tingkat kepedulian sesama dapat dilihat dari kepedulian
terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian,
sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain.
Indikator untuk mengukur tingkat kepedulian sesama:
- Tingkat kepeduliaan terhadap anggota kelompok/masyarakat
- Frekuensi kedekatan interaksi dengan orang yang diberi perhatian
- Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain
Pengukuran:
- Tinggi (skor 4), cukup tinggi (skor 3), sedang (skor 2), rendah (skor 1)
- Selalu (skor 4), Sering (skor 3), jarang (skor 2), tidak pernah (skor 1)
- Motivasi hubungan sosial (skor 4), banyak orientasi (skor 3), orientasi ekonomi (skor
2), hanya orientasi ekonomi (skor 1)
Intensitas keterlibatan aktifitas sosial/adat: Intensitas keterlibatan aktifitas sosial/adat dapat
dilihat dari tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama,
frekuensi mengikuti kegiatan adat, frekuensi keterlibatan dalam aktivitas lain.
Indikator untuk mengukur intensitas keterlibatan dalam aktifitas sosial/adat:
- Tingkat keinginan untuk menambah pengalaman dalam aktifitas sosial
- Tingkat keinginan membagi pengalaman terhadap sesama masyarakat adat
- Frekuensi mengikuti kegiatan adat
- Frekuensi keterlibatan dalam aktifitas lain
Pengukuran:
- Sangat ingin (skor 4), Ingin (skor 3), cukup ingin (skor 2), tidak ingin (skor 1)
- Selalu ikut/terlibat (skor 4), sering ikut/terlibat (skor 3), jarang ikut/terlibat (skor 2),
tidak pernah ikut/terlibat (skor 1)
Bentuk struktur adat: Bentuk struktur adat merupakan pola stratifikasi anggota masyarakat
kedalam kelas-kelas atau golongan yang ditafsirkan oleh masyarakat adat baik secara
sosial ataupun menurut pandangan subjektif masyarakat.
Indikator untuk mengukur bentuk struktur adat:
- Pola stratifikasi anggota masyarakat kedalam kelas sosial
- Kuat lemahnya stratifikasi yang ada di masyarakat adat
Pengukuran:
- Kalangan atas (1), kalangan menengah (2), kalangan bawah (3).
- Kuat (skor 4), cukup kuat (skor 3), sedang (skor 2), tidak jelas (skor 1)
Aktor pengambil keputusan: Aktor pengambil keputusan merupakan siapa saja tokoh yang
berperan dalam pengambilan keputusan pada dinamika masyarakat adat misalnya tokoh
adat, kepala desa formal, ataupun masyarakat.
Indikator untuk mengukur aktor dan peran pengambil keputusan:
- Aktor dengan frekuensi pengambilan keputusan tertinggi
- Aktor dengan frekuensi pengambilan keputusan terendah
Pengukuran:
- Tokoh adat (skor 4), masyarakat adat (skor 3), kepala desa (2), tokoh lain (skor 1)
- Tokoh lain (skor 4), kepala desa (skor 3), masyarakat adat (skor 2), tokoh adat (skor 1)
8
8. Tipe kepemimpinan: Tipe kepemimpinan lebih dimaksudkan dengan kuat lemahnya
pengaruh dan kepentingan pemimpin melalui proses interaksi dan relasi dengan individu
masyarakat, kelompok komunitas maupun pihak eksternal.
Indikator untuk mengukur tipe kepemimpinan:
- Tingkat pengaruh pemimpin adat
- Tingkat pengaruh kepala desa (pemimpin formal)
- Tingkat pengaruh pemerintah daerah
- Tingkat pengaruh pendatang
Pengukuran:
Sangat berpengaruh (skor 4)
Berpengaruh (skor 3)
Tidak terlalu berpengaruh (skor 2)
Sama sekali tidak berpengaruh (skor 1)
9. Bentuk alokasi/penguasaan sumber daya: Bentuk alokasi/penguasaan sumber daya
merupakan pengaturan yang mengikat masyarakat berkaitan dengan pembagian lahan,
kepemilikan lahan individu dan komunal, dan pengelolaan sumberdaya air serta hutan.
Indikator untuk mengukur bentuk alokasi/penguasaan sumber daya:
- Bentuk sistem pembagian lahan
- Bentuk pengelolaan sumber daya air
- Bentuk pengelolaan sumber daya hutan
Pengukuran:
Sepenuhnya komunal (skor 4)
Dominan komunal (skor 3)
Campuran (skor 2)
Privat (skor 1)
10. Perangkat hukum adat: Perangkat hukum adat merupakan struktur jabatan dalam
pengurus hukum adat yang berperan mempertahankan eksistensi tradisi mereka.
Indikator untuk mengukur perangkat hukum adat:
- Kuat atau lemahnya pengaruh lembaga hukum adat
- Dominansi perangkat hukum adat dalam mengatur kehidupan masyarakat
- Aktor yang dominan berpengaruh dalam perangkat hukum adat untuk
mempertahankan eksistensi tradisi
Pengukuran:
- Sangat kuat (skor 4), kuat (skor 3), cukup kuat (skor 2), lemah (skor 1)
- Sangat dominan (skor 4), dominan (skor 3), cukup dominan (skor 2), tidak dominan
(skor 1)
11. Bentuk sistem nilai adat: Bentuk dan sistem nilai adat merupakan seperangkat aturan
yang menjadi panduan dasar kehidupan masyarakat adat baik dirasa sangat kuat hingga
kurang kuat dan mulai mengalami bias implementasi.
Indikator untuk mengukur bentuk dan sistem nilai adat:
Pandangan masyarakat terhadap kuat atau lemahnya sistem adat
Pengukuran:
Sangat kuat (skor 4)
Kuat (skor 3)
Kurang kuat (skor 2)
Tidak kuat (skor 1)
12. Bentuk stuktur sosial desa adat: Bentuk struktur sosial desa adat merupakan kuat atau
lemahnya stratifikasi sosial di masyarakat ada yang masih berlaku ataupun yang telah
berintegrasi.
Indikator untuk mengukur bentuk struktur sosial desa adat:
9
- Pandangan masyarakat terhadap kuat atau lemahnya struktur sosial desa adat
Pengukuran:
Sangat kuat (skor 4)
Kuat (skor 3)
Kurang kuat (skor 2)
Tidak kuat (skor 1)
13. Kebijakan pengelolaan sumber daya: Kebijakan pengelolaan sumberdaya dalam hal ini
melihat kuat atau tidaknya implementasi pengelolaan adat berdasarkan pendapat
masyarakat.
Indikator untuk mengukur bentuk sistem pengeloaan sumberdaya:
- Pandangan masyarakat terhadap kuat atau lemahnya struktur sosial desa adat
Pengukuran:
Sangat kuat (skor 4)
Kuat (skor 3)
Kurang kuat (skor 2)
Tidak kuat (skor 1)
3. PENDEKATAN LAPANGAN
3.1.
LOKASI DAN WAKTU
Penelitian ini akan dilakukan di Kampung Adat Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan
Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Proses penelitian dimulai dari pembuatan
proposal penelitian pada bulan Juni 2014, sedangkan proses penelitian di lapangan dilakukan
selama 6 minggu, yaitu pada bulan September hingga Oktober 2014. Pemilihan lokasi ini
dilatarbelakangi oleh relevansi kondisi lapang dengan masalah penelitian yang diangkat.
Adapun kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Kegiatan
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
skripsi
Penjajagan
lapang
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan
dan analisis
data
Penyusunan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Tabel 2. Jadwal Penelitian
Januari
Juni
Juli
September
Oktober
November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
10
Perbaikan
skripsi
3.2.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat adat di Kampung Kuta Ciamis
Jawa Barat. Adapun unit penelitian atau populasi sasarannya adalah sampel rumah tangga
komunitas adat tersebut. Peneliti menetapkan masing-masing sampel dalam penelitian
sebanyak 40 orang anggota komunitas adat untuk merepresentasikan kondisi dan pandangan
mengenai hal-hal yang diteliti. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang menganalisis
kesiapan sosial politik masyarakat adat berkaitan dengan proses penguatan yang terjadi
sehingga dapat memenuhi amanah UU No.6 Tahun 2014 maka cukup relevan jika kerangka
sampling yang digunakan adalah kerangka sampling rumah tangga dalam komunitas adat
sebagai unit analisis. Metode pengambilan sampel sendiri menggunakan pengambilan sampel
acak sederhana (simple random sampling). Dalam hal ini pengambilannya harus dengan cara
undian, sehingga setiap unit punya peluang yang sama untuk dipilih (Singarimbun, 1989).
Adapun mekanisme pengambilan sampel dapat dilihat pada bagan berikut:
Populasi rumah tangga
komunitas adat
Sampel rumah tangga
komunitas adat
Responden
penelitian
Gambar 2. Pengambilan sampel
Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data
primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara kepada
responden dan informan di lokasi penelitian. Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui
studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihakpihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti pemerintah desa, tokoh adat dan hasil
penelitian sebelumnya yang dijadikan bagian analisa. Data sekunder yang diambil dari
lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil
desa, nama dan jumlah anggota KK yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya.
3.3.
TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Unit analisis penelitian ini adalah masyarakat adat. Data diolah dengan menggunakan
software SPSS 20.0. Analisis data yang digunakan yaitu Uji Korelasi Rank Spearman untuk
melihat hubungan yang antara variabel dengan data yang berbentuk ordinal, yaitu yang
mengukur hubungan tingkat kesiapan sosial dan kesiapan politik dengan penguatan
masyarakat adat. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis
antar variabel. Seluruh hasil penelitian ini kemudian dituliskan dalam rancangan skripsi.
DAFTAR PUSTAKA1
Andora Hengki. 2011. Desa sebagai unit pemerintahan terendah di Kota Pariaman. Jurnal
Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 2. Padang [ID]: Universitas Andalas.
Astuti NB. 2009. Transformasi dari desa kembali ke nagari: studi kasus di kenagarian IV
Koto Palembayan Sumatera Barat. [Thesis]. Bogor [ID]: IPB. 177 hal.
Budiardjo M. 2000. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dharmawan AH, Tonny F, Indriyati Y. 2006. Pembaruan tata pemerintahan berbasis lokalitas
dan kemitraan. Bogor [ID]: PSP3 IPB.
1
Rujukan pustaka lain tidak semuanya dicantumkan karena terkait pemabatasan jumlah halaman
Download