Rancangan Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Pedesaan di Kopeng Kabupaten Semarang Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psikolog [email protected] Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog [email protected] Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Perspektif: Psikologi Pendidikan & Perkembangan ABSTRAK Pembentukan karakter sebuah bangsa dimulai dengan pembentukan karakter pada generasi mudanya. Semakin muda usia seseorang maka akan semakin tepat masa untuk membentuk karakter tersebut. Pengembangan karakter memiliki tujuan untuk membentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Masyarakat pedesaan memiliki karakteristik nilai-nilai khusus yang berguna bagi pengembangan karakter anak usia dini. Nilai-nilai yang ada di masyarakat pedesaan seperti saling menghargai, jujur, mudah bekerjasama dan tanggung jawab dalam tugas, dapat dijadikan dasar pembelajaran bagi anak usia dini untuk mengembangkan karakter-karakter yang baik. Atas dasar tersebut diperlukan suatu pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal. Karakter yang hendak dikembangkan adalah karakter menghargai orang lain (respect), karakter kerjasama (cooperation), karakter kejujuran (honesty) dan karakter tanggung jawab (responsibility). Rencana pengembangan karakter ini dilakukan dengan memberikan pelatihan pada anak usia dini di daerah Kopeng, Kabupaten Semarang. Selain memberikan pelatihan, pengambilan data akan dilakukan dengan observasi perilaku anak serta pemberian checklist untuk orang tua dan guru, yang dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan. Kata Kunci : Pengembangan Karakter, Kearifan Lokal, Anak Usia Dini. 1 BAB 1. PENDAHULUAN Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, korupsi di kalangan pemimpin bangsa, pembunuhan yang dilakukan dalam keluarga ataupun penganiayaan yang marak terjadi di antara kaum sebangsa, menjadikan pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan. Nilai-nilai etika sangat penting dikembangkan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Pembentukan karakter sebuah bangsa dimulai dengan pembentukan karakter pada generasi mudanya. Semakin muda usia seseorang maka akan semakin tepat masa untuk membentuk karakter tersebut. Pada masa kanak-kanak karaktek dapat masih berupa temperamen. Temperamen adalah sebuah istilah yang merujuk pada kestabilan inidvidu akibat pengaruh biologis yang diperoleh sejak lahir (Strelau 1987 dalam Halverson et al, 1994). Temperamen yang sifatnya innate akan menjadi dasar keunikan individu satu dengan yang lain. Dengan kata lain temperamen merupakan dasar dari kepribadian. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri. 2 Tujuan pendidikan karakter adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial individu dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Sistem pendidikan yang ada di Indonesia terlalu banyak berorientasi dengan pengembangan otak kiri (kognitif), serta kurang mengembangkan otak kanan (afektif, empati, rasa). Padahal pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan pun (seperti budi pekerti, agama) pada prakteknya lebih banyak mengoptimalkan otak kiri ( seperti “hapalan”, atau hanya sekedar tahu). Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Pendidikan tidak lagi mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut headstart. Namun, saat ini yang lebih dipentingkan adalah kecerdasan emosi yang lebih banyak menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart. Pada metode headstart, anak ditekankan "harus bisa" sehingga ada kecenderungan anak dipaksa belajar terlalu dini. Hal ini membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya. Sebaliknya, pola heartstart menekankan pentingnya anak mendapatkan pendidikan karakter (social emotional learning), belajar dengan cara yang menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek bukan menjadi objek (active learning). 3 Sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan (kecerdasan emosi) daripada otak kiri (kecerdasan intelektual). Namun ternyata kurikulum di sekolah justru sebaliknya. Hal ini menjadi sumber kerawanan bagi anak : melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena anak merasa terlalu terbebani dan stres. Masyarakat pedesaan memiliki karakteristik nilai-nilai khusus yang berguna bagi pengembangan karakter anak usia dini. Di dalam masyarakat pedesaan, hubungan antara warga lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Selain itu, sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban). Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yang biasa mengisi waktu luang. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adatistiadat dan sebagainya. Di samping, masyarakat pedesaan identik dengan istilah ‘gotongroyong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Nilai-nilai yang ada di masyarakat pedesaan seperti saling menghargai, jujur, mudah bekerjasama dan tanggung jawab dalam tugas, dapat dijadikan dasar pembelajaran bagi anak usia dini untuk mengembangkan karakter-karakter yang baik. Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah ”apakah ada peningkatan karakter-karakter positif (menghargai orang lain, kejujuran, kerjasama dan tanggung jawab) pada anak usia dini setelah diberikan pelatihan pengembangan karakter berbasis kearifan masyarakat pedesaan. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A). Anak Usia Dini Batasan anak usia dini yang dikeluarkan oleh BAPPENAS (2009) mencakup janin dalam kandungan sampai anak usia 6 tahun. Santrock (2007) juga menyebutkan bahwa masa kanak-kanak awal (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 tahun atau 6 tahun. Rancangan progam yang akan dibuat difokuskan pada anak usia dini yang berada pada rentang usia 5 tahun hingga 6 tahun. Anak usia 5 tahun hingga 6 tahun pada umumnya sudah memasuki pendidikan di jenjang taman kanak-kanak tingkat B. B). Perkembangan Nilai dan Moral (Karakter) Pada Anak Usia Dini Menurut Kohlberg (dalam Hurlock, 1997) ada beberapa tahap dalam perkembangan moral anak yaitu : 4 Pada tingkat pertama, yaitu moralitas prakonvensional (preconventional level) dimana perilaku anak tunduk pada kendali orang tua atau eksternal. Pada tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan diri terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Tingkat kedua disebut moralitas konvensional (conventional level). Pada tahap ini, anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan mempertahankan hubungan dengan mereka. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyetujui bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok. Mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu supaya terhindar dari kecaman sosial. Pada tingkat ketiga, diberi nama moralitas pascakonventional (postconventional level) menunjukkan bahwa moralitas akhirnya berkembang sebagai pendirian pribadi, jadi tidak tergantung pada pendapat konvesional yang ada. Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan karakter anak yang positif. Hal ini karena pada masa kelahiran sampai memasuki masa sekolah hampir seluruh waktu anak berada dalam lingkungan keluarganya. Dalam keluarga, nilai-nilai etika diajarkan untuk pertama kali. B). KARAKTER – KARAKTER POSITIF Borba (2001) menyebutkan bahwa ada 7 nilai yang penting dalam kecerdasan moral yaitu : a) Emphaty, hal yang inti dari karakter moral yaitu bagaimana seorang anak dapat memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. b) Conscience, merupakan suara hati atau kata hati yang membantu seorang anak untuk mengetahui hal yang benar dan hal yang salah. c) Self-control, membantu anak untuk mengendalikan diri serta belajar untuk berpikir trelebih dahulu sebelum bertindak. d) Respect, bagaimana anak dapat menghormati dan menghargai orang lain. e) Kindness, membantu anak untuk menunjukkan perhatian dan kebaikan kepada orang lain. f) Tolerance, membantu anak untuk menghargai perbedaan orang lain, tetap terbuka kepada nilai-nilai yang berbeda, serta perbedaan ras, gender, budaya, kepercayaan serta orientasi seksual. g) Fairness, membantu anak untuk berada pada kebenaran, bersikap netral dan bermain sesuai dengan aturan yang berlaku. 5 Sedangkan Tillman & Hsu (2000) memaparkan beberapa karakter positif bagi anak. Adapun karakter-karaketer positif yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah : a. Menghargai Orang lain (respect) Yaitu memiliki perasaan positif terhadap diri sendiri, memiliki penegtahuan bahwa dirinya unik dan berharga, mampu mengahrgai diri sendiir, memiliki pengetahuan bahwa dirinya makhluk yang yang disayangi dan punya kemampuan, menyukai diirnya sendiri, mampu mendengarkan orang lain, mengetahui orang lain juga berharga, memperlakukan orang lain secara baik. b. Karakter kejujuran (honesty) adalah menceritakan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dan menceritakan kebenaran. c. Kerjasama (cooperation) adalah semua orang saling membantu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, saling bekerjasama untuk mencapai satu tujuan, saling bekerjasam dengan sabar dan saling mengasihi. d. Tanggung jawab (responsibility) adalah mengerjakan tugas sendiri, peduli, berusaha sebaik mungkin, membantu orang lain ketika mereka membutuhkan, bersikap adil. D). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PEDESAAN Sutardjo Kartohadikusuma (1984) mengemukakan bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri. Sedangkan menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, social, ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain. Ciri-ciri masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut: 1. Di dalam masyarakat pedesaan memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya. 2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban) 3. Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yag biasa mengisi waktu luang. 6 4. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adatistiadat dan sebagainya. Masyarakat pedesaan identik dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu : 1. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri (biasanya di istilahkan dari bawah). 2. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiriberasal dari luar (biasanya berasal dari atas). Meskipun situasi dianggap penuh dengan ketentraman, namun ada beberapa gejala-gejala sosial yang sering terjadi pada masyarakat pendesaan. Gejala-gejala sosial tersebut adalah adanya konflik (pertengkaran), adanya kontraversi (pertentangan), adanya kompetisi (persiapan), adanya kegiatan pada masyarakat pedesaan. Sebagian besar masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian dalam bidang pertanian. Petani pada umumnya memiliki sistem nilai budaya yang tersendiri. Sistem nilai budaya petani Indonesia antara lain sebagai berikut: 1. Para petani di Indonesia terutama di pulau Jawa pada dasarnya menganggap bahwa hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk, penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia harus menghindari hidup yang nyata dan menghindarkan diri dengan bersembunyi di dalam kebatinan atau dengan bertapa, bahkan sebaliknya wajib menyadari keburukan hidup itu dengan jelas berlaku prihatin dan kemudian sebaik-baiknya dengan penuh usaha atau ikhtiar. 2. Mereka beranggapan bahwa orang bekerja itu untuk hidup, dan kadang-kadnag untuk mencapai kedudukannya. 3. Mereka berorientasi pada masa ini (sekarang), kurang mempedulikan masa depan, mereka kurang mampu untuk itu. Bahkan kadang-kadang ia rindu masa lampau mengenang kekayaan masa lampau menanti datangnya kembali sang ratu adil yang membawa kekayaan bagi mereka). 4. Mereka menganggap alam tidak menakutkan bila ada bencana alam atau bencana lain itu hanya merupakan sesuatu yang harus wajib diterima kurang adanya agar peristiwaperistiwa macam itu tidak berulang kembali. Mereka cukup saja menyesuaikan diri dengan alam, kurang adanya usaha untuk menguasainya. 5. Dan untuk menghadapi alam mereka cukup dengan hidup bergotong-royong, mereka sadar bahwa dalam hidup itu tergantung kepada sesamanya. 7 Karakteristik khusus yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan ini yang dipakai sebagai dasar dalam pengembangan karakter anak usia dini. BAB III. METODE a) Identifikasi Variabel Variabel bebas : Program pelatihan pengembangan karakter anak usia dini Variabel tergantung : Karakter Anak Usia Dini (Karakter Menghargai orang lain, Karakter Kejujuran, Karakter Kerjasama dan Karakter Tanggung Jawab). b) Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian eksperimen yang menggunakan desain penelitian pre-experimental design. Menurut Leedy & Ormrod (2005) pre-experimental design merupakan jenis penelitian dimana tidak dimungkinkan menunjukkan hubungan sebab akibat, dikarenakan (a). variabel independent tidak bervariasi, (b). kelompok eksperimental dan kelompok kontrol tidak terdiri dari individu yang setara atau dipilih secara acak. Desain seperti ini sangat berguna untuk membentuk hipotesis tentatif yang harus ditindaklanjuti terlebih dahulu dengan studi awal. c) Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan satu kelompok subjek penelitian, tanpa ada kelompok kontrol. Leedy & Ormrod (2005) mengatakan bahwa pada desain ini menggunakan satu kelompok yang memiliki satu evaluasi pre-experimental, kemudian diberikan suatu perlakuan atau treatment tertentu, dan kemudian dievaluasi setelah diberikan treatment tersebut. Dalam one group pretest posttest design, setidaknya ada suatu perubahan yang terjadi, namun tidak dapat dikesampingkan bahwa perubahan yang terjadi dikarenakan oleh faktor yang lainnya (Leedy & Ormrod, 2005). Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Pre-test Perlakuan T1 Post-test X T2 8 Adapun prosedur penelitian : 1) Melakukan tes yang pertama (T1) yaitu Pre-test, untuk mengukur rerata perilaku (karakter anak usia dini) dengan menggunakan observasi (bentuk rating scale) dan checklist yang diisi oleh orang tua dan guru. 2) Memberikan perlakuan (X) kepada subjek, yaitu program pelatihan pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal. Karakter yang akan dikembangkan adalah Karakter Menghargai orang lain, Karakter Kejujuran, Karakter Kerjasama dan Karakter Tanggung Jawab. 3) Melakukan tes kedua (T2) yaitu Post-test, untuk mengukur rerata perubahan perilaku (karakter anak usia dini) dengan menggunakan observasi (bentuk rating scale) dan checklist yang diisi oleh orang tua dan guru. 4) Membandingkan T1 dengan T2 untuk menentukan perbedaan yang ditimbulkan, jika sekiranya ada, sebagai akibat dari pemberian perlakuan (X), yaitu program pelatihan pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal. 5) Kemudian diterapkan tes statistik yang sesuai, yaitu t-test, untuk menentukan apakah ada perbedaan yang signifikan. d) Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai oleh penulis untuk memperoleh data yang akan diselidiki. Kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambilan data atau alat ukur pengukurannya (Suryabrata, 1990). Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode observasi dan angket. Observasi yang digunakan berupa rating scales yang akan diisikan oleh observer berdasarkan pengamatan pada anak usia dini. Angket berupa checklist yang akan diisikan oleh orang tua dan guru. Skor yang tinggi dari hasil observasi dan checklist yang disikan oleh orang tua maupun guru menunjukkan bahwa adanya peningkatan perubahan perilaku (karakter) yang terjadi pada anak usia dini. Sebaliknya, skor yang rendah dari hasil hasil observasi dan checklist yang diisikan oleh orang tua maupun guru menunjukkan bahwa ada penurunan perilaku (karakter) yang terjadi pada anak usia dini . 9 e) Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu sehingga penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat (Hadi, 2000). Adapun karakteristik populasi adalah sebagai berikut : 1. Anak usia dini yang berusia 5 hingga 6 tahun 2. Mengikuti Pendidikan Dasar 3. Tinggal di Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang f) Teknik Analisis Data Analitis data kuantitatif yaitu berupa skor rating scale dan check list yang diberikan pada saat pre-test dan post-test dilakukan dengan uji t. Uji t digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan perilaku-perilaku positif mengenai karakter anak usia dini. Metode analisis data yang digunakan adalah paired sample T-test. Paired sample T-test adalah pengujian yang dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan. Sampel yang berpasangan dapat diartikan sebagai sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua pengukuran. g) Materi Pelatihan Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Materi-materi yang disusun dalam pelatihan ini merupakan materi-materi yang bertujuan untuk meningkatkan karakter-karakter positif pada anak usia dini, seperti menghargai orang lain (respect), kejujuran (honesty), kerjasama (cooperation) dan tanggung jawab (responsibiliy). BAB IV. KESIMPULAN Pelatihan adalah suatu bentuk pendidikan yang berkelanjutan untuk mengembangkan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan, serta pengembangan kepribadian profesional. Dengan demikian, pelatihan pengembangan karakter anak usia dini berbasis kearifan lokal adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang bertujuan untuk meningkatkan penguasaan keterampilan tentang karakter-karakter positif berbasis kearifan lokal masyarakat pedesaan. Metode pelatihan dipilih karena pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi 10 individu untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan tugas. Maka diharapkan dengan pelatihan tersebut ada peningkatan karakter-karakter positif (menghargai orang lain, kejujuran, kerjasama dan tanggung jawab) pada anak usia dini setelah diberikan pelatihan pengembangan karakter berbasis kearifan masyarakat pedesaan. DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS. (2008). Strategi Nasional Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Cozby, P.C. (2009). Method in Behavioral Research. Ed.9th . Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Penerbit Andi. Kartohadikusumo, S. (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka Kumar, R. (2005). Research Methodology. 2nd Edition. London : Sage Publications. Leedy, P.A. & Ormrod, J.E. (2005). Practical Research : Planning and Design. 8th Edition. New Jersey : Pearson Education. Lickona, T. (1991), Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books. Santrock, J.W. (2007). Child Development. 11th edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Tillman, D. & Hsu, D., (2000) Living Values Activities for Children Ages 3 – 7. New Delhi : Sterling Publisher Privated Limited. 11