Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY 19 Aspek Kearifan Lokal untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Fisika Suparwoto FMIPA UNY Yogyakarta [email protected] Abstrak-Pembelajaran melibatkan aspek seni, IPTEK dan nilai/value dan implementasi kearifan lokal mengintegrasikan ketiga hal tersebut. Tentu tidak semua nilai kearifan lokal dapat diimplementasikan dalam pembelajaran, oleh karena itu hanya dipilih aspek tertentu yang mengait dengan budaya keilmuan. Untuk maksud itu diperlukan wahana yang mendukung sistem nilai yang dianut oleh masyarakat sekitar. Bagi masyarakat Jawa tentunya nilai yang bersumber dari budaya jawa ada dalam konteks pembelajaran fisika dan aspek kearifan lokal dapat dikembangkan lewat pembelajaran yang partisipatif aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Cara yang ditempuh adalah mengubah peran guru yang indokrinatif menjadi peran sebagai fasilitator dan teladan serta memiliki komitmen dan empati yang kuat untuk mengembangkan karakter dan memajukan peserta didik. Disinilah perlunya pengembangan kultur sekolah yang mengintegrasikan budaya keilmuan dengan budaya setempat. Tujuan akhirnya adalah munculnya keunggulan lokal yang dapat berkontribusi pada ranah nasional dan bahkan global. Kata kunci : kearifan lokal, pembelajaran fisika I. LATAR BELAKANG Praxis pembelajaran menuntut agar seseorang mampu melakukan aksi terhadap apa yang telah dipahaminya. Pembelajaran selalu melibatkan seni, IPTEK dan pengembangan value/nilai. Pembelajaran adalah upaya rekayasa sosial yang dilakukan guru untuk kepentingan perbaikan karakter peserta didik. Karakter berkaitan dengan akhaq, yakni respon spontan terhadap situasi dan kondisi terjadinya interaksi sosial antar manusia dengan sumber belajarnya. Ki Hadjar Dewantoro mendeskripsikan bahwa dalam pembelajaran sekurangnya ada 3 tahapan yang berkaitan dengan karakter yakni ‘ngerti, ngrasa lan nglakoni’ diteruskan dengan dibiasakan sehingga respon peserta didik menghasilkan perilaku spontan. Tahap ngerti merupakan tahap merespon secara kognitif pembelajaran sampai memahami dan memiliki pengetahuan tentang hal yang dipelajari. Ngrasa artinya menggunakan perasaan untuk menakar, menimbang dan mengukur lewat perasaan/hati yang merupakan respon afeksinya. Nglakoni adalah memanfaatkan pemahaman pengetahuan yang dilandasi dengan keikhlasan hati untuk diamalkan kepada pihak yang membutuhkan (masyarakat). Seterusnya pembiasaan adalah merupakan proses ulangan untuk melatih dan menggunakan secara kreatif sehingga menjadi budaya belajar yang ditampilkan dalam bentuk aksi perilaku spontan. Respon spontan inilah yang menggambarkan akhlak peserta didik. Suprapto Brotosiswoyo (2000) menyatakan bahwa aspek budaya keilmuan yang dapat dibina lewat fisika adalah rasa ingin tahu; kerjasama; reproducible; cara penalaran yang konsisten; terbuka dan observable. Rasa ingin tahu dan kerjasama yang dilandasi kejujuran merupakan sifat dasar manusia yang telah dirintis semenjak lama selalu berkembang dari waktu ke waktu. Temuan fisika yang kita pelajari sekarang ini merupakan bukti nyata adanya rasa ingin tahu dan hasil kerjasama dari para fisikawan. Reproducible artinya dapat diulang dengan hasil yang tidak berbeda, ini memperlihatkan bahwa siapapun orangnya yang menelaah gejala alam sepanjang mengikuti kaidah yang sudah mapan akan diperoleh hasil yang sama. Reproducible dan cara bernalar fisika akan mengajarkan kepada kita agar tidak berbohong, karena setiap temuan akan dapat diuji orang lain dengan hasil yang sama setiap saat. Terbuka dan observable memberikan indikasi bahwa dalam fisika mengajarkan sifat terbuka, artinya temuan fisika dapat dikaji dengan cara pandang yang berbeda baik lewat berpikir yang taat asas maupun observasi. Pengamatan penulis di lingkungan wilayah Yogya-Solo (mungkin di Jawatengah) untuk siswa setingkat sekolah menengah adalah munculnya dua pola interaksi yang sifatnya consolidated dan intersected. Pola consolidated digambarkan sebagai upaya siswa untuk mengkonsolidasi diri yang belum mampu mencerna informasi di luar diri maupun kelompok mereka. Perilaku ini dalam kelas ditandai dengan pola ‘ngalah-ngalih-ngamuk’. yang dalam praktik nyata di luar kelas adalah munculnya perilaku kekerasan atau perilaku kasar pada sebagian atau sekelompok peserta didik Perilaku ini juga seringkali ditampilkan juga sebagai pola konformis, yakni tidak suka kepada siswa lain yang menonjol. Pada jejaring facebook seringkali dimanfaatkan untuk menggambarkan respon negatif siswa terhadap guru di sekolah. Sebaliknya pola intersected memberikan gambaran bahwa pada sebagian siswa sangat antusias dalam menjalin pergaulan, perilaku yang memberikan indikasi positif, sifat empati terhadap orang lain. Pola intersected ini memberikan gambaran pada sebagian siswa yang butuh pergaulan. Kesadaran akan uniknya dan beragamnya cara belajar seseorang mendorong perlunya dipahami gaya belajar seseorang. Nasution, (1987 ) menyatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang konsisten dilakukan oleh siswa dalam menangkap stimulus atau informasi, cara menginggat, berpikir dan memecahkan masalah. Gaya belajar disebut juga learning style yang pada setiap orang dapat berbedabeda, sehingga tidak semua orang mengikuti cara yang sama dalam mengikuti pembelajaran. Gaya belajar ini biasanya berkaitan dengan pengalaman pribadi seseorang, riwayat pendidikan, pengalaman yang dijalaninya serta riwayat perkembangannya. Dalam pembelajaran dikenal 4 pasangan gaya belajar antara lain yang tergolong dalam gaya kognitif siswa yakni field dependence versus fiels independence; impulsive versus reflektif; preseptif versus reseptif dan ISSN 0853-0823 20 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY intuitif versus sistematis. Lewat ke empat pasangan tersebut dapat diungkap 4 hal yang seringkali diutamakan dalam berpikir dan bertindak di kalangan siswa seperti pada Tabel 1 berikut : TABEL 1. KEMAMPUAN DAN PENGUTAMAAN BERFIKIR No 1 2 Kemampuan Concrete Exerience (CE) Reflection Obser vation ( RO) 3 Abstract Conceptualization (AC) 4 Active Experimentation (AE) Uraian Siswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman baru Pengutamaan Feeling (perasaan) Siswa mengobservasi, merefleksi dan memikirkan pengalaman dari berbagai segi Siswa menciptakan konsep yang mengintegrasikan observasi menjadi teori yang sehat Siswa menggunakan teori itu untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan Watching (mengamati) Thinking (berpikir) Doing (berbuat) Sumber : Nasution(1987) Berdasarkan penggolongan pengutamaan dalam berpikir ini, selanjutnya dengan menggunakan instrument model learning style inventory (LSI) dapat dibedakan 4 gaya belajar yang dikenal dengan converger, diverger, assimilator, dan accommodator. Menggunakan Learning Style Inventory (LSI) yang berupa daftar pilihan yang didasarkan pada pertimbangan rsional siswa, selanjutnya dengan memberikan pembobotan pilihan dapat diperoleh kecenderungan gaya belajar masing-masing. Dari hasil respon dengan inventorygaya kognitif pada guru IPA/fisika yang mengikuti PLPG tahun 2008 dan 2009 dan kepada mahasiswa prodi pendidikan fisika terdapat kecenderungan (>90%) memiliki gaya belajar converger (pengutamaan AC dan AE) serta sebagian kecil asimilator (pengutamaan AC dan RO, accomodator( pengutamaan CE dan AE) dan diverger (CE dan RO). Selanjutnya terkait dengan gaya responnya ada kecenderungan memiliki gaya belajar visual baru kemudian auditorial dan kinestetik. Pada pola respon visual memberikan gambaran bahwa sebagian besar responden menyukai pembelajaran yang mengutamakan indera mata, baru kemudian indera lainnya. Hal ini berarti pada gaya converger sebagian responden memiliki kesukaan belajar dengan pola memusat, yakni pembelajaran problem memiliki jawab tunggal. Apabila diberikan tugas/ lebih menyukai masalah yang dapat dicari jawaban tertutup/memusat. Peserta didik cenderung dalam pembelajaran tidak emosional, dan lebih suka menghadapi benda daripada manusia dengan minat terbatas. Seterusnya dalam pembelajaran gambaran visual yang dapat direspon lewat indera mata cenderung lebih disukai peserat didik. Di sini aktivitas pengamatan, observasi dan pengukuran menjadi daya tarik dalam pembelajaran. Bertolak dari uraian di atas muncul pertanyaan bagaimana aspek kearifan lokal yang dapat dikembangkan lewat pembelajaran fisika? Bagaimana nilai kearifan lokal dapat diintegrasikan dalam budaya keilmuan yang telah dibangun semenjak lama ? II. PARADIGMA FISIKA Pembelajaran fisika baik di sekolah maupun di perguruan tinggi tekanan intinya pada upaya memahami konsep fisika melalui proses internalisasi dalam diri peserta didik dan selanjutnya penguasaan konsep tersebut diterapkan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Oleh sebab itu seorang guru perlu memahami paradigma pengembangan materi yang bertumpu pada tiga paradigma utama fisika yakni simetri, optimalisasi dan unifikasi (Muslim, 1997). Simetri diartikan sebagai suatu sifat yang tak berubah bila suatu sistem dikenai operasi transformasi. Sifat simetri ini mengarahkan fisika kepada upaya untuk mencari kesesuaian antara ramalan dengan hasil yang didapat lewat pengukuran gejala alam. Setiap temuan fisika sebagai ‘wasit/hakim’ adalah realitas alam. Implikasi paradigma ini adalah setiap pembelajaran fisika seharusnya bertumpu pada pengukuran gejala alam. Dalam mengukur gejala alam seharusnya setiap siswa menggunakan alat ukur yang telah dikalibrasi. Dalam kaitan dengan muatan kearifan lokal simetri digambarkan sebagai curiga manjing ing warongko artinya klop ada kecocokkan. Dampak pengiring dari simetri ini adalah kekuatan fisika pada aspek kuantitatif, pengukuran, observasi yang melibatkan aspek kejujuran, kecermatan, ketelitian dan sekaligus keterbatasan. Bila ditampilkan dalam dunia pewayangan sebagai ponokawan. Optimalisiasi diartikan sebagai upaya untuk memilih yang terbaik/memuaskan melalui prinsip dasar matematis yang cermat dan akurat (pendekatan extrimum dan metode variasional menjadi sarana berpikir fisika). Melalui optimalisasi ini dapat dipilih dan ditetapkan waktu terpendek dan tindakan dengan resiko terkecil dalam pemecahan masalah fisika. Pengenalan terhadap bentuk geometris yang berpangkal tolak dari prinsip optimalisasi seharusnya menjadi tekanan utama dalam pembelajaran fisika. Implikasi paradigma ini adalah perilaku alam yang sangat menakjubkan sehingga membangkitkan rasa ingin tahu dan kerjasama antar manusia. Setiap temuan fisika akan memberikan tantangan temuan berikutnya, yang memiliki dampak pengiring terhadap perilaku manusia untuk selalu bersabar dan bersyukur. Ucapan mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan paradigma ini. Unifikasi merupakan upaya menurunkan hukum fisika bagi sekelompok gejala dengan latar belakang sama dari gagsan terpadu. Dengan demikian apapun usaha yang dilakukan di kelas, lewat belajar fisika yang benar tujuan akhirnya adalah memperoleh manfaat peningkatan kecakapan hidup dan memperoleh kebenaran. Lewat unifikasi inilah dapat disadarkan bahwa kebenaran yang dapat dijangkau lewat fisika dapat didekatkan pada aspek empiris, rasional, probabilistik dan relativistik. Dampak pengiringnya antara lain manusia akan menyadari bahwa di balik keunggulan akan ada kekurangannya, yakni kesadaran akan datangnya hari kemudian yang pasti. Lewat alam semesta ciptaan Tuhan Allah SWT ini manusia selalu berusaha memperoleh kemudahan dalam mengelola dan memanfaatkannya. Oleh karena itu berbagai kemampuan yang dapat dikembangkan lewat pembelajaran fisika adalah (a).mencetuskan konsep alat yang dapat memberikan kemudahan pada manusia. (b). menghayati dan ISSN 0853-0823 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY 21 mengalami gejala alam secara seksama dan hati-hati. (c). membedakan dan memilih tindakan dengan waktu tunda terpendek yang pada akhirnya menusia dapat bergerak maju. Adapun sarana berpikir yang dapat digunakan adalah logika matematika, logika bahasa, statistika dan sebagainya. Dalam mempelajari fisika, pertanyaan yang muncul antara lain, untuk apa kita mempelajari fisika ? Bagaimana seharusnya kita belajar fisika? Kapan kita mulai dapat belajar fisika ? Apa manfaatnya kita mempelajari fisika ? , dan sebagainya. Jawaban apapun yang diberikan pada pertanyaan di atas, dalam mempelajari fisika haruslah dipahami dahulu matra fisika, yakni bahwa setiap individu yang mempelajari fisika tidak dapat melepaskan diri dari aspek observasi/eksperimentasi dan berpikir taat asas. Observasi/ eksperimentasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengamatan gejala alam. Observasi/eksperimentasi merupakan bagian mendasar yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran fisika, sebab hasil pengamatan ini merupakan hakim yang memutus benar atau salah mengenai apa yang dipelajari. Dalam hal pengamatan terhadap gejala alam, kemampuan menggunakan alat ukur baik pengetahuan nilai skala, skala terendah, skala tertinggi, sikap nol dan pengetahuan tentang kalibrasi alat merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian. Menaksir kesalahan dalam pengamatan juga merupakan begian yang penting dalam observasi/eksperimentasi ini, sehingga dalam mempelajari fisika tak dapat dilepaskan dari berpikir yang taat asas. Berpikir taat asas diartikan sebagai berpikir yang bertolak dari gejala alam yang tidak diragukan lagi kebenarannya, selanjutnya lewat deduksi (matematis,silogisme) dapat diperoleh kebenaran. III. PENDEKATAN PEMBELAJARAN LEWAT ORGANISASI KURIKULUM Dalam kurikulum berbasis kompetensi (sekarang KTSP) organisasi kurikulum memegang peran utama, sehingga pendekatan pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran dapat dibedakan menjadi tiga alternatif yakni (1). pendekatan terpisah (separated approach), (2). Pendekatan korelasi (corelated approach) dan (3). Pendekatan integrasi (integrated approach). Ketiga pendekatan tersebut tentu saja saling mengisi. Sebagai gambaran dalam pembelajaran IPA dengan pendekatan terpisah artinya pengembangan materi bersumber dari monodisiplin keilmuan, sehingga karakteristik dan matra keilmuan tampak nyata terpisah. Misalnya : pembahasan materi IPA hanya ditelaah dari aspek fisika, maka matra fisika yakni semua diarahkan pada pemecahan masalah yang cenderung kuantitatif semakin tampak jelas, observasi dan berpikir rasional menjadi dasar telaah materi yang dikembangkan dalam pembelajaran. Penekanan materi pembelajaran didasarkan pada pengembangan konsep yang sejalan dengan tingkatan sekolah. Pendekatan korelasi mengacu pada sumber bahan yang berasal dari berbagai cabang ilmu dalam bentuk konsep saling berkaitan baik secara sistematis maupun secara vokasional menurut topik. Dalam pengembangan pendekatan model korelasi ini tiap disiplin ilmu memiliki kesamaan peran dengan mempertimbangkan bahwa topik tertentu sebagai inti persoalannya, sedang disiplin ilmu lainnya sebagai penopang. Satu disiplin keilmuan tertentu pengembangannya dibantu dengan ilmu yang menjadi titik tolaknya. Misalnya : telaah materi mengenai energi, maka inti materi bersumber pada fisika sedang dari telaah biologi dapat dikaitkan dengan sejumlah kalori yang diperlukan tubuh dan dari segi kimia dibahas perubahan bentuk energi dari energi gerak menjadi energi kimia, terbentuknya air lewat mekanisme kimia dalam tubuh. Pendekatan integrasi merupakan harapan pengembangan materi IPA yang ideal, yakni merupakan bentuk pendekatan yang menggambarkan suatu disiplin pokok dengan konsep dari disiplin yang ditunjang oleh konsep ilmu lainnya. Pendekatan ini mirip dengan pendekatan korelasi, namun inti persoalan/bahan didapat dari berbagai disiplin ilmu yang dilebur menjadi satu sehingga subjek yang dibahas menimbulkan masalah baru terpadu merupakan satu materi yang bulat. Sumbangan dari berbagai disiplin ilmu diolah dan diramu disesuaikan dengan sequence, tingkat kesukaran dan kepenatingan materi tersebut bagi peserta didik. Hal yang lebih penting dari model pendekatan integrasi ini adalah kesiapan dan kemampuan guru dalam memahami konteks dan integrasi materi dari berbagai segi. Misalnya : pembahasan topik yang berkaitan dengan pencemaran, tentu guru perlu melihat konteksnya yakni dimana pencemaran terjadi, kapan terjadinya, sumber polutannya berasal dari mana dan apa akibat dari pencemaran tersebut. Topik ini dapat dikaji ari aspek fisika, kimia dan biologi secara terpadu. Dalam hubungannya dengan pendekatan yang bersumber dari organisasi kurikulum ini, maka modus kegiatan pembelajaran bertumpu pada upaya yang dilakukan guru untuk memberikan pengalaman belajar bermakna bagi para siswa. Kearifan lokal bermakna dalam menuntun siswa berpikir dan bertindak yang kontekstual untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan perkataan lain dapatkah konteks budaya lokal membantu peserta didik dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Untuk mendapatkan gambaran tentang kebermaknaan belajar di pihak siswa dan mengajar dipihak guru Yamamoto (1969) memetakan antara kegiatan belajar dipihak siswa dan mengajar guru sebagai berikut : TABEL 2. ASPEK BELAJAR DAN MENGAJAR Aspek Belajar Ada Intensional Insidental Ada Tak ada Intensional Pembelajaran optimal Insidental Brain washing Produknya: siswa sadar belajar Latihan mandiri Produknya: Modeling, contagion, osmosis , dsb. Rekreasi tanpa niat belajar Mengajar *Sumber : Pengembangan Kurikulum dan Sistem Instruksional (1982/1983) Dirjendikti. ISSN 0853-0823 Tak ada Situasi pembelajarn diupayakan optimal, namun siswa tak peduli Situasi tertentu diadakan, namun siswa tak ada di sini. Non instruksional presensi,beasiswa, SPP. dsb. 22 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY Bagan di atas memberikan gambaran tentang keragaman situasi pembelajaran, di antaranya guru dengan aktif membantu, siswa penuh semangat, guru dengan aktif membantu siswa namun siswa tidak merespon dengan baik, siswa merespon dengan baik, tetapi guru kurang komitmennya atau keduanya, yakni guru dan siswa samasama kurang komitmennya. IV. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SAINS/FISIKA LEWAT MUATAN KEARIFAN LOKAL Implikasi dari uraian di bagian depan menurut Ki Hadjar Dewantoro selalu mengait dengan tri pusat pendidikan, yakni pendidikan dalam lingkungan rumah tangg, sekolah dan masyarakat. Tentu aja keterpaduan tri pusat pendidikan ini perlu dilakukan, dan dalam praktik nyata di sekolah terkait kearifan lokal tidak mudah, dan diperlukan berbagai prasyarat. Hal ini disebabkan saratnya beban guru yakni mengajar minimal 24 jam/minggu dan penyelesaian tugas administratif yang harus dikerjakan simultan. Prasyarat implementasi muatan kearifan lokal ke dalam pembelajaran akan menjadi efektif menurut Kyle dan Kirchenbaum dalam Darmiyati Zuhdi(2008) mencakup 5 hal yakni adanya (a) iklim sekolah yang kondusif (b). adanya harapan guru bahwa semua siswa dapat berprestasi (c).tekanan pembelajaran pada kemampuan dasar (d) adanya keterpaduan sistem instruksioal dengan assesment (e). kepala sekolah memberikan ‘insentif’ dalam pembelajaran. Kelima prasayarat tersebut perlu didukung dengan strategi inkulkasi, teladan, fasilitasi value dan adaptasi. Inkulkasi artinya pembelajaran bukan sebagai kegiatan indoktrinasi dan memperlakukan siswa secara adil, berempati kepada siswa, menerapkan pengharagaan dan hukuman yang masuk akal dan menghargai perbedaan. Peran guru sebagai teladan dengan memfasiltasi untuk kegiatan dialogis, tarnsfer nilai lewat rasa simpati antara guru-siswa, serta memberikan fasilitas untuk beribadah secara kafah kepada semua siswa serta memperkenalkan tokoh-tokoh yang dapat diteladani lewat pola dialogis. Beberapa hasil penelitian dalam pembelajaran sains/fisika berikut ini dapat digunakan dalam mempertimbangkan metode/model pembelajaran yang dikembangkan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan, antara lain : a. Kemampuan dan sifat guru lebih penting dalam menentukan hasil keluaran (outcomes) dibandingkan input luar, misalnya metode pembelajaran atau buku pegangan siswa. Dalam hal tertentu, jika beberapa set kriteria minimum untuk tugas guru telah ditetapkan maka metode memiliki efek yang tinggi terhadap hasil belajar. Dengan demikian karakter guru memilki peran dominan dalam keberhasilan pembelajaran sains/fisika. Karakter guru fisika dibentuk lewat karakteristik fisika yang mencakup kejujuran, hati-hati, faktual, observabel, prediktif, dsb. b. Pendekatan pembelajaran/metode yang sifatnya induktif, problem solving dan laboratorium centered lebih disukai siswa dari pada pendekatan/metode deduktif atau demonstrasi manakala hasil yang dikehendaki pengetahuan sederhana. Pendekatan pembelajaran secara induktif memberikan kemantapan pengetahuan yang lebih baik daripada pendekatan deduktif. Hal ini berarti pelibatan secara aktif peserta didik dalam pembelajaran memiliki peran penting dalam pencapaian skor yang tinggi dan ketuntasan pembelajaran. c. Prosedur pembelajaran dapat disusun untuk membantu berpikir lebih kritis atau mengubah sikap tetentu yang mungkin dimiliki siswa. Dalam kaitan ini langkahlangkah pembelajaran yang sistematis dan sistemik perlu dilakukan agar perilaku dan kebiasaan belajar aktif di kalangan peserta didik. Misalnya mengintegrasikan pembelajaran dengan problem masyarakat setempat dapat membantu peserta didik dalam pengayaan pengalaman hidup dan life skill/kecakapan hidup. d. Team teaching memberikan waktu persiapan yang lebih banyak kepada guru, tanpa memberikan efek yang berarti pada hasil belajar siswa. Perbaikan terhadap hasil belajar siswa amat tergantung dari cara bagaimana guru bertindak efektif dengan menggunakan waktu yang disediakan. Bertindak efektif bertumpu pada upaya pengembangan kreativitas dan kemampuan berfikir diverger. e. Pembelajaran berprogram (programmed instruction) merupakan pendekatan/ metode yang efisien untuk pola belajar mandiri dengan materi yang telah ditentukan dan bantuan minimal dari pihak guru. Program ini hanya cocok untuk remedial activity atau program ulangan. f. Media audio visual , film, TV, audio disc program sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk mengambil oper seluruh peran guru dalam pembelajaran di kelas, tetapi diintegrasikan secara hati-hati dalam pola pembelajaran. g. Banyaknya waktu yang digunakan guru untuk menyelesaikan satu satuan pembelajaran ternyata hanya memiliki efek yang kecil terhadap aktivitas pembelajaran siswa. h. Semakin besar aktivitas dan partisipasi siswa dalam pembelajaran lewat audio visual ternyata semakin banyak siswa yang dapat belajar. i. Problem solving merupakan pengalaman pribadi bagi siswa, sehingga pengalaman demikian hendaknya dilakukan oleh masing-masing siswa secara intensif untuk memenuhi kebutuhan siswa. j. Pengalaman lapangan membantu proses pencapaian tujuan daripada penguasaan materi ajar. k. Aktivitas siswa dalam eksperimen yang dilakukan siswa tingkat pendidikan dasar dan menengah adalah penting sebagai pre requisite untuk belajar secara efektif mengenai sains. Oleh karena itu belajar sains secara verbalistis merupakan langkah paling akhir untuk memahami arti konsep tersebut. l. Individualisasi proses pembelajaran merupakan alternatif yang memuaskan untuk pembelajaran yang sifatnya global atau menyeluruh, bagi siswa tingkat pendidikan dasar membutuhkan bekerja dengan pengalaman yang dipersiapkan melalui alat bantu yang cermat, khususnya bantuan guru seminimal mungkin. m. Pada siswa tingkat pendidikan dasar, berada pada operasi konkrit dan formal diperlukan pendekatan pembelajaran yang spesifik dibandingkan pada tingkatan kelas lainnya. V. KESIMPULAN Fisika dan pembelajaran fisika telah memfasilitasi peserta didik untuk memberikan apresiasi terhadap muatan kearifan lokal lewat interaksi dialogis di kelas maupun dalam ISSN 0853-0823 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY 23 laboratorium. Keberhasilan implementasi muatan kearifan lokal ditandai dengan apresiasi peserta didik terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Apresiasi yang tinggi ditandai dengan kesenangan peserta didik terhadap fisika memungkinkan ditingkatkan kualitas peserta didik. Namun demikian upaya tersebut perlu dikembalikan pada hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya, yakni pembelajaran fisika yang bermuatan kearifan lokal menjadi bermakna bagi siswa manakalah hidayah Allah telah menjadi miliknya (baik hidayah taufiq, ‘irsyad, ilham maupun dzilallah). Kewajiban kita adalah mengembangkan wahana agar peserta didik mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah, tempat tinggal dan masyarakat menggunakan pengetahuan fisika yang telah dipelajarinya. Cara yang ditempuh adalah menata segala sesuatu sebelum diputuskan, pembelajaran value yang bersifat dialogis, keteladanan dalam bertindak dan berperilaku, komitmen dan konsisten untuk membantu peserta didik agar berhasil dalam studinya. PUSTAKA Anonim,(1982/1983). Pengembangan Kurikulum dan Sistem Instruksional. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud Anderson, Richard J. (1980). The Real World of Physics Teaching at the University of Arkansas. Physics Teacher Journal, vol.18 No.1; January 1980. Cajori,F., (1962). A History of Physics. New York. : Dover Publ. Darmiyati Zuchdi, (2008), editor. Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target, , Yogyakarta : UNY Press. Muslim, (1997). Peranan Simetri dalam Menelusuri, Menata dan Merintis Hukum-hukum Fisika. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Fisika - FMIPA UGM, 12 Mei 1997. Nasution, S. (1987). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bina Aksara. Piet A. Suhertian, (1992). Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta : Andi Ofset Scheider, Walt, (1980). ’27 Commandements for Physics Teachers. The Physics Teacher Journal Vol. 18, No. 1 January, 1980 Squires David A. , William G. Huitt and john K. Segars, (1983). Effective Schools and Classrooms. Washington : ASCD.\ Suprapto Brotosiswoyo (2000). Matematika dan IPA sebagai Komponen Budaya dan Penopang Teknologi. Makalah semlok dosen IAD di ITB Bandung. Winne, Phillip H., and Ronald W. Marx (1979). Percetual Problem Solving : Reseach on Teaching (ed. Penelope C. Patterson et.al.). California : McCutchan Pub. ISSN 0853-0823