Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS Inflasi adalah kecenderungan (trend) atau gerakan naiknya tingkat harga umum yang berlangsung secara terus menerus dari suatu periode ke periode berikutnya. Tingkat harga umum dimaksud ditunjukkan oleh rata-rata tingkat harga dari keseluruhan jenis barang dan jasa TERPILIH yang ada dalam suatu perekonomian. Pengukurannya dilakukan dengan menggunakan angka indeks harga dari sekeranjang barang-barang dan jasa-jasa yang mempresentasikan seluruh barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Indeks harga yang lazim digunakan untuk mengukur perubahan laju inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan Indeks Deflator. Potensi sumber penyebab inflasi dapat diidentifikasi dari dua sisi yaitu sisi permintaan agregat dan sisi penawaran agregat (Romer, 2001). Peningkatan permintaan agregat dapat terjadi sebagai akibat adanya guncangan (shock) seperti peningkatan supplai uang, peningkatan belanja pemerintah, peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dan faktor lainnya yang menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dan mendorong kenaikan tingkat harga umum. Dari sisi penawaran agregat, inflasi dapat terjadi sebagai akibat adanya kontraksi penawaran seperti guncangan negatif teknologi, peningkatan upah, peningkatan biaya produksi dan faktor lainnya yang menggeser kurva penawaran agregat ke kiri, sehingga meningkatkan harga dan menyebabkan inflasi. Laju inflasi yang terbentuk akan jauh lebih tinggi bila fenomena kedua sisi tersebut terjadi secara bersamaan. Pengungkapan faktor penyebab inflasi dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab kenaikan harga per komoditas atau kelompok komoditas (disaggregate approach). Pendekatan ini misalnya pernah dilakukan Coppin (1995) untuk kasus perekonomian negara-negara Karibia. Untuk memperoleh informasi yang lebih valid dan mendalam terhadap proses pembentukan harga secara disagregat dapat dilakukan studi pada berbagai tingkatan proses produksi dan jalur distribusi serta struktur pasar masing-masing komoditas. Indentifikasi awal terhadap peningkatan laju inflasi di Kota Jambi menunjukkan bahwa kelompok barang bahan makanan dan makanan jadi memberikan kontribusi paling besar terhadap laju inflasi dalam tahun 2007 dan 2008. Fenomena ini menarik untuk dipelajari lebih jauh mengingat Provinsi Jambi memiliki potensi lahan cukup luas I yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai komoditas tanaman pangan. Beranjak dari fakta tersebut penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sumber pembentukan inflasi ditingkat mikro dengan memfokuskan pada aspek tataniaga/jalur distribusi, biaya pembentukan harga dan struktur pasar komoditaskomoditas penyumbang inflasi tertinggi pada kelompok barang bahan makanan dan makanan olahan di Kota Jambi. Penelitian ini menggunakan data primer yang didapatkan dari hasil studi lapangan. Survey dilaksanakan terhadap para pedagang (pedagang pengecer, perantara dan besar) serta produsen dari beberapa komoditas terpilih yang merupakan penyumbang inflasi terbesar selama ini yaitu beras,cabai merah, bawang merah, minyak goreng, ikan basah, dan daging ayam. Pengambilan responden dilaksanakan dengan snowball dimana dalam penarikan awal responden dimulai dari hilir yaitu pedagang eceran kemudian diteruskan ke pedagang perantara berdasarkan informasi dari pedagang eceran. Hal yang sama juga diterapkan untuk mendapatkan responden pedagang perantara, besar dan produsen. HASIL PENELITIAN Komoditas Beras Penelusuran perdagangan beras dari tingkat pedagang pengecer hingga pedagang perantara menunjukkan bahwa sebagian besar beras yang beredar di pasar merupakan beras impor yang berasal dari luar Provinsi Jambi terutama Sumatera Selatan, disamping Sumatera Barat dan Provinsi Lampung. Penelusuran lebih jauh mendapatkan satu pedagang grosir beras lokal yang berasal dari Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan volume penjualan sekitar 5.000 kg per bulan. Namun demikian, sebagian besar masyarakat lebih menyukai beras dari luar Provinsi karena masih berkembangnya persepsi bahwa beras lokal hasil usaha tani lahan pasang surut berkualitas relatif rendah. Permasalahan ini diperberat oleh menurunnya produktivitas padi di sebagian besar areal persawahan lahan pasang surut Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai akibat serangan hama ventil yang menggerogoti batang padi. Menurunnya produktivitas lahan sebagai akibat serangan hama telah memperluas hasrat masyarakat mengalihkan lahan sawah gambutnya ke lahan perkebunan kelapa sawit. Untuk komoditas beras, persentase margin keuntungan terbesar adalah pada tingkatan petani dengan laba sebesar 28,76% dari harga jual di tingkatnya sementara II persentase margin keuntungan terkecil adalah pada pedagang pengecer. Semakin ke hilir persentase keuntungan yang dirasakan oleh pedagang semakin kecil. Tabel 1. Komponen Pembentukan Harga Beras Pembentuk Harga Petani Grosir (Prntara 1) Nilai Nominal(Rp/Kg) Harga Beli 5000,00 Total Biaya 3376,69 102,18 Laba 1363,31 397,82 Harga Jual 4740,00 5500,00 Margin 500,00 Persentase terhadap Harga Jual Harga Beli 90,91 Total Biaya 71,24 1,86 Laba 28,76 7,23 Harga Jual 100,00 100,00 Margin (thd Harga Beli) 10,00 Kelompok Responden Pengecer Pedagang Psr Angso Prntara 2 Duo 5880,00 6,97 238,03 6125,00 245,00 5880,00 6,14 178,86 6065,00 185,00 5875,00 2,67 187,33 6065,00 190,00 93,85 0,95 5,20 100,00 6,55 96,00 0,11 3,89 100,00 4,17 96,95 0,10 2,95 100,00 3,15 96,87 0,04 3,09 100,00 3,23 terbesar dalam level ini adalah untuk biaya Tingginya biaya upah Pengcer Psr Lain 5511,11 55,85 305,26 5872,22 361,11 Dalam tingkatan petani, pengeluaran upah. Pengecer Psr Tl. Banjar tersebut diperkirakan erat kaitannya dengan kompetisi penggunaan tenaga kerja dengan aktivitas perkebunan karet dan kelapa sawit yang terus berkembang. Tabel 2. Komponen Biaya Pada Petani Komponen Biaya Bibit Pupuk Obat-obatan Upah Biaya Angkut Biaya Giling Biaya Variabel Biaya Tetap Total Biaya Jumlah (Rp/kg) 340,00 536,00 668,00 965,83 121,06 500,80 3131,69 245,00 3376,69 Komoditas Cabe Merah Komoditas cabe merah merupakan komoditas impor yang sepenuhnya didatangkan dari luar provinsi yaitu Curug (Bengkulu), Palembang, Lampung, Medan dan Jawa. Komoditas cabe merah dipesan oleh pedagang besar di Kota Jambi ke pedagang pengumpul di wilayah sentra produksinya dan kemudian masuk ke Pasar Angso Duo untuk didistribusikan ke pedagang perantara atau kecil. Untuk komoditas ini, semakin ke hilir yaitu pedagang pengecer persentase margin keuntungan akan semakin besar. Lebih tingginya margin keuntungan di pedagang pengecer diakibatkan oleh karakteristik komoditas III yang mudah busuk sehingga risiko yang ditanggung menjadi lebih tinggi. Dengan demikian terlambatnya pasokan cabe merah ke Jambi akan dengan sangat cepat meningkatkan harga jual di pasar. Tabel 3. Komponen Pembentukan Harga Cabe Merah Kelompok Responden Pembentuk harga Grosir Psr Angso Duo Perantara Psr Angso Duo Pengecer P srAngso Duo Pengecer Psr Tl. Banjar Pengecer Psr Lain Harga Beli 6916,67 7857,14 8500,00 7,916,667 8952,38 Total Biaya 583,83 142,98 151,11 166,55 202,75 Laba 499,50 2571,30 2598,89 3166,79 3940,11 Harga Jual 8000,00 10571,43 11250,00 11250,00 13095,24 Margin 1083,33 2714,29 2750,00 3333,33 4142,86 Nilai Nominal(Rp/kg) Persentase terhadap Harga Jual Harga Beli 86,46 74,32 75,56 70,37 68,36 Total Biaya 7,30 1,35 1,34 1,48 1,55 Laba Harga Jual 6,24 24,32 23,10 28,15 30,09 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 15,66 34,55 32,35 42,11 46,28 Margin ( % thd Harga Beli) Komoditas Bawang Merah Komoditas bawang merah yang diperdagangkan di Kota Jambi diimpor dari Brebes (Jawa Tengah) dan sebagian dari Negara Thailand. Komponen biaya terbesar pada seluruh pedagang berasal dari harga beli. Keuntungan terbesar berada ditingkat grosir, kemudian semakin ke hilir akan semakin kecil. Bawang merah memiliki daya tahan lebih lama dari cabe merah yaitu sekitar lima hari sehingga grosir dapat lebih menentukan harga. Kondisi ini juga yang membuat harga bawang merah dapat lebih stabil jika dibandingkan dengan harga cabe merah. Tabel 4. Komponen Pembentukan Harga Bawang Merah Pembentuk harga Grosir Psr Angso Duo Kelompok Pedagang Perantara Pengecer Psr Angso Psr Tl. Duo Banjar Pengecer Psr Lain Nilai Nominal (Rp/kg) Harga Beli Total Biaya Laba Harga Jual 7655,56 10281,25 11000,00 10812,50 766,34 122,35 291,51 413,86 2022,55 1440,15 1020,99 992,39 10444,44 11843,75 12312,50 12218,75 IV Margin 2788,89 1562,50 1312,50 1406,25 86,81 89,34 88,49 Persentase terhadap Harga Jual Harga Beli 73,30 Total Biaya 7,34 1,03 2,37 3,39 19,36 12,16 8,29 8,12 100,00 100,00 100,00 100,00 36,43 15,20 11,93 13,01 Laba Harga Jual Margin (% thd H.Beli) Komoditas Minyak Goreng Minyak goreng yang beredar di Kota Jambi terdiri atas minyak goreng curah dan minyak goreng bermerek. Minyak goreng curah didapatkan dari pabrik pengolahan minyak goreng lokal di Kota Jambi. Saat ini terdapat dua buah pabrik pengolahan minyak goreng curah yang terletak di Talang Duku. Komponen biaya terbesar bagi seluruh tingkatan pedagang adalah untuk bahan baku (harga beli) sementara keuntungan terbesar dirasakan oleh pabrik/grosir. Dengan hanya terdapat dua pabrik minyak goreng di Jambi maka produsen dapat lebih menentukan harga jual mereka. Tabel 5. Komponen Pembentukan Harga Minyak Goreng Pembentuk Harga Pabrik /Grosir Kelompok Pedagang Pengecer Penjual Psr Psr Angso Tl. Banjar Duo Pengecer Nilai Nominal (Rp/kg) Harga Beli 7184,00 8100,00 9088,46 9090,91 Total Biaya 17,16 120,00 127,26 102,73 Laba 1098,84 847,50 688,12 597,27 Harga Jual 8300,00 9067,50 9903,85 9790,91 Margin 1116,00 967,50 815,38 700,00 86,55 89,33 91,77 92,85 Persentase terhadap Harga Jual Harga Beli Total Biaya Laba Harga Jual Margin (% thd Harga Beli) 0,21 1,32 1,28 1,05 13,24 9,35 6,95 6,10 100,00 100,00 100,00 100,00 15,53 11,94 8,97 7,70 Komoditas Ikan Segar Komoditas ikan segar memiliki jalur distribusi yang relatif lebih rumit yaitu bervariasi sesuai dengan jenis ikan: ikan laut dan budi daya impor, ikan V laut tangkap lokal, ikan budidaya lokal dan ikan sungai tangkap lokal. Ikan laut dan budidaya sebagian dihasilkan dari daerah Jambi sendiri, namun masih terdapat pula ikan laut yang diimpor yaitu dari Medan (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), dan Batam (Kepulauan Riau). Salah satu kendala dalam usaha perikanan laut lokal Jambi adalah armada kapal dimana nelayan lokal masih menggunakan armada yang tradisional. Armada tersebut belum dilengkapi dengan alat pendingin yang memadai untuk menjaga kualitas hasil tangkapan dalam jangka waktu lama. Komponen biaya terbesar pada nelayan ikan laut adalah upah dan bahan bakar. Dengan demikian meningkatnya harga BBM dalam negeri tentunya akan memukul usaha para nelayan tersebut. Tabel 6. Komponen Pembentukan Harga Ikan Laut Pembentuk Harga Kelompok Responden Nelayan Perantara Pengecer - 17500,00 21200,00 675,00 208,61 Nilai Nominal (Rp/kg) Harga Beli Jumlah Biaya Laba Harga Jual Margin 7341,25 9658,75 3575,00 3091,39 17000,00 21750,00 24500,00 - 4250,00 3300,00 80,46 86,53 Persentase terhadap Harga Jual Harga Beli - Jumlah Biaya 43,18 3,10 0,85 Laba 56,82 16,44 12,62 100,00 100,00 100,00 - 24,29 15,57 Harga Jual Margin (Terhadap Harga Beli) Ikan air tawar yang dipasarkan di Jambi juga berasal dari produksi sendiri serta impor dari daerah lain. Ikan sungai yang beredar di Kota Jambi seluruhnya berasal dari hasil tangkapan lokal terutama dari Sungai Batanghari disamping danau Sipin dan sungai kecil lainnya. Sementara itu untuk jenis ikan nila diimpor dari Padang dan Lubuk Linggau. Komponen biaya terbesar untuk ikan budidaya bagi para petani adalah untuk pakan ikan sementara untuk para pedagang biaya terbesar adalah untuk harga beli. Peternak ikan merupakan penerima keuntungan terbesar untuk VI usaha ini sementara untuk level pedagang, porsi keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer. Tabel 7. Komponen Pembentukan Harga Ikan Budidaya Tawa Pembentuk Harga Kelompok Responden Petani Grosir Perantara Pengecer Nilai Nominal (Rp/kg) Harga Beli - 13000,00 15625,00 17500,00 Total Biaya 5123,00 767,94 130,76 440,51 Laba 10599,22 1732,06 1744,24 2226,16 Harga Jual 15722,22 15500,00 17500,00 20166,67 - 2500,00 1875,00 2666,67 Harga Beli - 83,87 89,29 86,78 Total Biaya 32,58 4,95 0,75 2,18 Margin Persentase terhadap Harga Jual Laba Harga Jual 67,42 11,17 9,97 11,04 100,00 100,00 100,00 100,00 - 19,23 12,00 15,24 Margin (Terhadap Harga Beli) Komoditas Daging Ayam Komoditas daging ayam yang beredar di Kota Jambi hampir seluruhnya berasal dari peternakan ayam pedagang lokal sementara daging ayam impor relatif sedikit. Komponen biaya terbesar pada perusahaan peternak ayam adalah untuk pakan dan bibit ayam dengan kontribusi terhadap total biaya masing-masing sebesar 53,01% dan 36,37%. Oleh sebab itu jika terdapat kenaikan harga bibit ayam ataupun pakan ternak akan dengan mudah memicu meningkatnya harga daging ayam. Tabel 8. Komponen Pembentukan Harga Daging Ayam Peternak Pedagang Perantara Pengecer Psr Angso Duo Pengecer Psr Tl. Banjar Pengecer Psr Lain Harga Beli - 14212,50 16450,00 19227,27 17000,00 Total Biaya 8026,84 259,77 432,07 208,21 350,43 Laba 5873,16 2027,73 5992,93 5746,33 5849,57 13900,00 - 16500,00 22875,00 25182 23200 2287,50 6425,00 5954,55 6200,00 86,14 71,91 76,35 73,28 Pembentuk Harga Nilai Nominal (Rp/kg) Harga Jual Margin Persentase terhadap Harga Jual Harga Beli - VII 1,57 1,89 0,83 1,51 Total Biaya 57,75 Laba 42,25 12,29 26,20 22,82 25,21 100,00 - 100,00 100,00 100,00 100,00 16,09 39,06 30,97 36,47 Harga Jual Margin (terhadap Harga Beli) KESIMPULAN 1. Tingkat harga bahan pangan di Kota Jambi sangat berfluktuasi dan cenderung meningkat. Keterbatasan produksi komoditas bahan pangan lokal merupakan penyebab utama munculnya persoalan ini. Tingkat harga pangan impor lebih banyak ditentukan oleh kondisi produksi di daerah sentra produksi dan pedagang pengimpor. 2. Beras, bawang merah, dan cabe merah adalah beberapa jenis komoditas yang sebagian besar didapatkan dari luar kota seperti Padang, Sumsel, Jawa bahkan dari luar negeri, Thailand. Hal tersebut membuat jumlah produksi, perubahan tingkat harga di daerah sentra produksi, serta kelancaran arus distribusi berperan besar terhadap perubahan tingkat harga di pasar-pasar Kota Jambi. 3. Peran pedagang besar/grosir dalam pembentukan harga sangat tinggi untuk komoditas pangan lebih tahan lama (beras, bawang merah dan minyak goreng), sebaliknya peran pedagang grosir lebih rendah untuk komoditas mudah rusak (cabe merah, ikan budidaya, ikan laut impor dan daging ayam). 4. Produksi beras lokal relatif rendah dan menurun karena harga bahan baku (pupuk anorganik) yang tinggi serta munculnya serangan hama. Akibatnya pengalihan lahan sawah ke perkebunan sawit di wilayah sentra produksi (Tanjung Jabung Timur) cenderung meningkat. 5. Produsen minyak goreng lokal (minyak curah) hanya ada dua di Jambi dengan jumlah bahan baku CPO yang melimpah sehingga mekanisme pasar menjadi tidak bersaing dengan sempurnya. Konsekuensinya adalah pabrik dan pedagang perantara memiliki peran sangat besar dalam menetapkan harga. 6. Perubahan tingkat upah dan harga bahan bakar sangat berpengaruh terhadap produksi dan harga ikan laut segar, sementara produksi dan harga ikan budidaya lokal lebih dipengruhi oleh tingkat harga pakan. REKOMENDASI 1. Keterbatasan produksi pangan lokal menyebabkan sulitnya menstabilkan harga pangan ketika jumlah pasokan impor menurun. Olah sebab itu pilihannya VIII adalah mendorong peningkatan produksi bahan pangan lokal atau memperlancar arus masuk barang dari luar daerah. 2. Pemanfaatan potensi lahan di Jambi secara meningkatkan produksi bahan pangan lokal. maksimal untuk Provinsi Jambi memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas untuk pengembangan komoditas tanaman bahan makanan (padi, cabe merah, dan bawang merah), tanaman perkebunan (kelapa sawit) dan pengembangan komoditas ikan budi daya serta peningkatan penangkapan ikan laut dan sungai.. 3. Tingkat pengembalian usaha sektor perkebunan cenderung lebih tinggi dibanding tanaman bahan makanan khususnya padi. Oleh sebab itu upaya peningkatan produksi bahan makanan lokal khususnya beras membutuhkan intervensi pemerintah untuk mendorong gairah petani baik dalam akses bahan baku (pupuk, pestisida) maupun penanganan pasca panen agar petani memperoleh keuntungan yang lebih wajar. IX