BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Hujan / Presipitasi
Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa,
seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah
jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi, sebagian
menguap ketika jatuh melalui udara kering, sejenis presipitasi yang dikenali sebagai
virga.
Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi
faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan
(DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan
dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi
didalamnya.
Jumlah air hujan diukur menggunakan pengukur hujan. Ia dinyatakan sebagai
kedalaman air yang terkumpul pada permukaan rata, dan diukur kurang lebih 0.25mm.
Air hujan sering digambarkan sebagai berbentuk "lonjong", lebar di bawah dan menciut
di atas, tetapi ini tidaklah tepat. Air hujan kecil hampir bulat. Air hujan yang besar
menjadi semakin leper, seperti roti hamburger; air hujan yang lebih besar berbentuk
6
payung terjun. Air hujan yang besar jatuh lebih cepat berbanding air hujan yang lebih
kecil.
Pada dasarnya Hujan dapat saja terjadi di sembarang tempat, asalkan terdapat
dua faktor, yaitu terdapat massa udara lembab, dan terdapat sarana meteorologis yang
dapat mengangkat massa udara tersebut untuk berkondensasi. Hujan terjadi akibat
adanya massa udara yang menjadi dingin, mencapai suhu di bawah titik embunnya yang
memulai pembentukan molekul air. Titik embun adalah temperatur pada saat udara
menjadi jenuh apabila udara didinginkan pada temperature tetap. Hujan hanya akan
terjadi apabila molekul-molekul air hujan sudah mencapai ukuran lebih dari 1 mm. Hal
ini memerlukan waktu yang cukup untuk tumbuh dari ukuran sekitar 1 – 100 mikron.
Proses gerakan udara keatas disebabkan oleh berbagai sebab, yang kemudian hal
tersebut menentukan jenis genetic hujan, yaitu hujan konvektif, hujan siklonik, dan
hujan orografik.
Hujan konvektif biasanya terjadi sebagai hujan dengan intensitas yang tinggi,
akibat massa udara yang terangkat keatas oleh pemanasan lahan, atau karena udara
dingin yang bergerak di atas laut atau dataran yang panas. Hujan jenis ini dapat tejadi di
daerah yang relatif luas, dan bergerak sesuai dengan gerakan angin. Pembentukan hujan
ini dapat dilihat dalam sketsa gambar berikut.
7
(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Hujan Konvektif
Hujan Siklonik dapat terjadi karena udara lembab panas terangkat ke atas oleh
lapisan udara yang lebih dingin dan lebih rapat. Penyebaran hujan jenis ini sangat
dipengaruhi oleh landai bidang pertemuan antara udara panas dan udara dingin (warm
front / cold front) dan biasanya merupakan hujan dengan daerah penyebaran terbatas
dalam waktu pendek. Proses pembentukannya seperti gambar berikut.
(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)
Gambar 2.2 Proses Pembentukan Hujan Siklonik
8
Hujan orografik terjadi karena massa udara lembab terangkat keatas oleh angin
yang terangkat karena adanya gunung / pegunungan / dataran tinggi. Kejadian yang
sebenarnya tidak sesederhana hal tersebut, karena mekanisme terangkatnya massa udara
dapat disebabkan oleh gabungan dari ketiga hal tersebut, yang menyebabkan hujan
memiliki variabilitas ruang dan variabilitas waktu yang berbeda-beda. Khusus di daerah
tropic seperti Indonesia, variabilitas tersebut dapat terjadi sangat tinggi. Sketsa
sederhana yang menunjukkan proses pembentukan hujan orografik dapat dilihat dalam
gambar berikut.
(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)
Gambar 2.3 Proses Pembentukan Hujan Orografik
2.1.2
Karakteristik Sungai
Sungai merupakan jalan air alami. Laluan melalui sungai merupakan cara biasa
air hujan yang turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air yang besar
seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir
ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama.
Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara sungai.
9
Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah
tertentu dan mengalirkannya ke laut. Sungai itu dapat digunakan juga untuk berjenisjenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan lainlain. Dalm bidang pertanian sungai itu berfungsi sebagai sumber air yang penting buat
irigasi.
a. Daerah Pengaliran
Daerah
pengaliran
sebuah
sungai
adalah
daerah
tempat
presipitasi
itu
mengkonsentrasi ke sungai. Garis batas daerah-daerah aliran yang berdampingan disebut
batas daerah pengaliran. Luas daerah pengaliran diperkirakan dengan pengukuran daerah
itu pada peta topografi. Daerah pengaliran, topografi, tumbuh-tumbuhan dan geologi
mempunyai pengaruh terhadap debit banjir, corak banjir, debit pengaliran dasar dan lainlain.
b. Corak dan Karakteristik Daerah Pengaliran
•
Daerah pengaliran berbentuk bulu burung
Jalur daerah di kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir ke
sungai utama disebut daerah pengaliran bulu burung. Daerah pengaliran sedemikian
mempunyai debit banjir yang kecil, oleh karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai
itu berbeda-beda. Sebaliknya banjirnya berlangsung agak lama.
10
(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)
Gambar 2.4 Daerah Pengaliran Berbentuk Bulu Burung
•
Daerah pengaliran radial
Daerah pengaliran yang berbentuk kipas atau lingkaran dimana anak-anak sungainya
mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial disebut daerah pengaliran radial. Daerah
pengaliran dengan corak demikian mempunyai banjir yang besar di dekat titik
pertemuan anak-anak sungai.
11
(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)
Gambar 2.5 Daerah Pengaliran Radial
•
Daerah pengaliran paralel
Bentuk ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah pengaliran yang berada di
bagian pengaliran yang sama, bersatu di bagian hilir. Banjir itu terjadi di sebelah hilir
titik pertemuan sungai-sungai.
(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)
Gambar 2.6 Daerah Pengaliran Paralel
12
2.1.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) menurut definisi adalah suatu daerah yang dibatasi
(dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan
dialirkan melalui satu outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum
dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu komponen masukan yaitu curah hujan,
komponen output yaitu debit aliran dan polusi / sedimen, dan komponen proses yaitu
manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi. Setiap komponen dalam suatu DAS harus
dikelola sehingga dapat mencapai tujuan yang kita inginkan. Tujuan dari pengelolaan
DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat
dimanfaatkan secara maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh
kondisi tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan umat manusia pada saat sekarang
ini dengan masih menjamin kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi
yang akan datang.
DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan
garis-garis kontur. Untuk maksud tersebut dapat digunakan peta topografi skala 1:
50000. Garis-garis kontur dipelajari untuk menentukan arah dari limpasan permukaan.
Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-titik yang lebih
rendah dalam arah tegak lurus dengan garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang
menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah DAS. Gambar 2.4 menunjukkan
contoh bentuk DAS. Dalam gambar tersebut ditunjukkan pula penampang pada keliling
DAS. Garis yang mengelilingi DAS tersebut merupakan titik-titik tertinggi. Air hujan
13
yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang
yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain di sebelahnya.
Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas
DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin besar DAS
semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran
permukaan atau debit sungai.
(Sumber : Bambang Triatmodjo , Hidrologi Terapan, 2008)
Gambar 2.7 Daerah Aliran Sungai (DAS)
2.1.4
14
PMF dan PMP
PMF (Probable Maximum Flood) adalah Banjir maksimum yang dapat terjadi di
suatu daerah dengan durasi tertentu sedangkan PMP (Probable Maximum Precipitation)
didefinisikan sebagai hujan maksimum boleh jadi di suatu pos hujan untuk durasi
tertentu. PMP juga merupakan besaran hujan rancangan terbesar yang dapat digunakan
untuk menyelamatkan bangunan hidrolik yang mengandung resiko besar.
Sasaran utama dari analisis hidrologi adalah menetapkan nilai rancangan debit
sungai pada lokasi tertentu dengan tingkat resiko yang dapat diterima, sesuai dengan
tingkat kerugian yang mungkin dialami. Untuk merancang bangunan dengan resiko
bencana yang besar, khususnya jika menyangkut korban jiwa manusia, diinginkan debit
rancangan tanpa resiko gagal sama sekali. Debit rancangan tersebut adalah PMF
(Probable Maximum Flood) atau Banjir Maksimum Boleh Jadi (BMB).
Banjir Maksimum Boleh Jadi dihitung berdasarkan hasil dari perhitungan Curah
Hujan Maksimum Boleh Jadi. Jika data debit maksimum terbesar untuk suatu DAS
dapat diamati dan diukur, maka perhitungan BMB menjadi sederhana. Karena data debit
yang ada di Indonesia sangat jarang dan kurang lengkap, maka perhitungan CMB perlu
dilakukan dan selanjutnya dapat dilakukan sintesis untuk menghasilkan BMB dengan
menggunakan beberapa teknik hubungan hujan-limpasan. Dengan pertimbanganpertimbangan demikian penting sekali diperhitungkan kondisi objektif fisik dari DAS
bersangkutan yang akan menentukan hubungan hujan-limpasan yang perlu digunakan.
15
2.1.5
Analisa Konsistensi Data
Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak
konsisten. Data semacam ini tidak dapat langsung dianalisis, karena sebenarnya data di
dalamnnya berasal dari populasi data yang berbeda. Ketidak konsisten data seperti ini
dapat saja terjadi karena berbagai sebab, yaitu :
•
Alat ukur yang diganti dengan spesifikasi yang berbeda, atau alat yang sama
akan tetapi dipasang dengan patokan aturan yang berbeda.
•
Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, akan tetapi secara administrative
nama stasiun tersebut tidak diubah, misalnya karena masih dalam satu desa yang
sama.
•
Alat ukur sama, tempat tidak dipindakan, akan tetapi lingkungan yang berubah,
misalnya semula dipasang di tempat yang ideal, akan tetapi kemudian berubah
karena ada bangunan atau pohon besar yang terlalu dekat.
Untuk menguji Konsistensi data digunakan Metode Double Mass Curve. Metode
ini digunakan untuk menguji konsistensi data dari satu stasiun curah hujan, dengan
menggunakan acuan data rata-rata stasiun stasiun hujan disekitarnya.
16
2.2
Statistik Hidrologi
2.2.1
Rata – Rata Hitung
Rata-rata hitung disebut juga rata-rata dirumuskan sebagai berikut:
Rata − rata Hitung =
Jumlah Semua Nilai Data
Banyaknya Nilai Data
(2.1)
Perumusan dan perhitungan rata-rata akan lebih mudah dilakukan dengan memakai
simbol-simbol dari nilai data kuantitatif, X1,X2,X3,...,Xn.
X=
X 1 + X 2 + X 3 + ... + X n
n
(2.2)
2.2.2
Simpangan Baku
Simpangan baku atau standar deviasi adalah ukuran sebaran statistik yang paling
lazim. Singkatnya, ia mengukur bagaimana nilai-nilai data tersebar. Simpangan baku
didefinisikan sebagai akar kuadrat varians. Simpangan baku merupakan bilangan taknegatif, dan memiliki satuan yang sama dengan data. Rumus Simpangan Baku atau
Standar Deviasi adalah:
Σ ( X − X )2
S=
n −1
(2.3)
17
S
= Standar Deviasi
X
= Nilai setiap data/pengamatan dalam sample
X = Nilai rata-rata hitung dalam sampel
n
= Jumlah total data/pengamatan dalam sampel
Σ
= Simbol operasi Penjumlahan
2.2.3
Metode Double Mass Curve
Metode ini digunakan untuk menghitung kepanggahan data ( konsistensi data ).
Metode Double Mass Curve adalah metode yang membandingkan data hujan tahunan
kumulatif stasiun yang akan diuji (sumbu Y) dengan kumulatif rata – rata stasiun lain
(sumbu X) sesuai dengan kelompok data yang di uji (Searcy dan Hardison, 1982).
Tabel 2.1 Contoh Tabel Konsistensi Data
Rata-Rata Stasiun
Lain
Kumulatif Rata-Rata Stasiun Lain
Kumulatif Stasiun yang Diuji
...
...
...
...
...
...
18
Y
Kumulatif Stasiun yang diuji
Garis Konsistensi
X
Kumulatif Rata – rata Stasiun lain
Gambar 2.8 Grafik Konsistensi Data
Dari garis konsistensi dapat diketahui konsistensi data stasiun curah hujan yang
diteliti. Jika garis yang dihasilkan berupa garis lurus, maka data curah hujan tergolong
baik.
2.2.4
Metode Hersfield
Metode Hersfield (1961, 1986) merupakan prosedur statistik yang digunakan
untuk menghitung nilai Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi. Metode ini digunakan
untuk kondisi dimana data Meteorologi sangat kurang atau perlu perkiraan secara tepat.
Hersfield mengembangkan rumus frekuensi Chow. Rumus Metode Hersfield adalah
sebagai berikut:
X cmb = X n + K m σ n
Xcmb
= Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi
Xn
= Rata-rata dari data hujan harian maksimum tahunan
(2.4)
19
σn
= Simpangan Baku dari seri data Hujan harian maksimum tahunan
Km
= Faktor Frekuensi
Faktor frekuensi (Km) dihitung dengan menggunakan tabel. Nilai Km
berbanding terbalik dengan Hujan Rata-Rata Harian Maksimum Tahunan dan nilainya
bervariasi untuk berbagai durasi seperti 1 jam, 6 jam, 24 jam. Hersfield membuat
lengkung hubungan antara Hujan Rata-Rata Harian Maksimum Tahunan dengan Km
dan durasi hujan. Melalui rumus di atas dapat dihitung nilai CMB jika seri data hujan
maksimum tahunan, rata-rata dan simpangan bakunya tersedia.
( Sumber : Tata Cara Perhitungan Curah Hujan Maksimum BolehJadi dengan Metode Hersfield, 2003)
Gambar 2.9 Grafik Perhitungan Km
2.2.5
20
Peta Isohyet
Di Indonesia variabilitas ruang hujan sangat besar. Oleh sebab itu, peran masing–
masing stasiun hujan dalam menentukan besaran hujan Daerah Aliran Sungai (DAS)
menjadi sangat penting. Cara Isohyet ini mencoba menerjemahkan pengertian tersebut
untuk memperoleh hujan DAS, dengan garis isohyet.
Garis Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dalam suatu DAS
yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Garis ini biasanya diperoleh dengan cara
interpolasi data antar stasiun.
(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)
Gambar 2.10 Contoh Pembuatan Peta Isohyet
21
(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)
Gambar 2.11 Contoh Peta Isohyet
Peta Isohyet digambar berdasarkan skala peta yang disesuaikan dengan interval
curah hujan yang diinginkan. Interval curah hujan yang dipakai dalam pembuatan peta
Isohyet disesuaikan dengan kebutuhan gambar atau sesuai dengan data. Interval yang
selalu digunakan untuk pembuatan peta isohyet berkisar antara 10 – 50 mm. Manfaat
pembuatan peta Isohyet adalah untuk melihat tinggi curah hujan pada daerah yang
terdapat dalam peta isohyet.
Download